Akhir kisah.

Harsa terburu melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit, langkahnya begitu lebar menuju ruang VVIP dimana istrinya kini di rawat.

Iya, Harsa menikah dengan Raline sekitar setahun lalu. Dua tahun setelah Pak Julian memberikan restunya.

Begitu membuka pintu ruang rawat Raline Harsa di sambut dengan Sabil yang berkacak pinggang menghadangnya,

“Eh! Abang gak boleh masuk kalo belum mandi dan steril, ponakan aku harus bersih dari kuman-kuman jahat.”

Raline terkekeh lemah dari atas ranjangnya melihat tingkah Sabil yang memang begitu posesif pada sang ponakan sedari di dalam kandungan.

Tadi saat Mami Miyah mengabari Harsa bahwa Raline di larikan ke rumah sakit dan ketubannya pecah ia masih berada di Singapura, hendak melanjutkan penerbangan ke Korea.

“Abang udah bersih, mampir ke rumah dulu tadi. Liat abang gak pake pakaian rumah kan?”

Sabil menatap Harsa dari atas ke bawah, memastikan kiranya sang ipar benar-benar bersih atau tidak. Ia tidak mau keponakannya yang baru lahir terkontaminasi virus dari bandara yang di bawa ayahnya sendiri.

“Oke, aman.”

Harsa dengan cepat menghampiri Raline, menggenggam tangannya yang tidak tertancap selang infus. Memeluk tubuh lemah itu sebentar sebelum mengecup dahinya, lalu berbisik pelan,

“Makasih, kamu hebat sayang. Terimakasih banyak.”

Raline memejamkan matanya merasakan bibir Harsa yang mengecupi seluruh permukaan wajahnya sekarang. Ia mengelus lembut punggung Harsa yang tengah memeluknya.

“Maaf ya aku tadi gak bisa nemenin kamu, harusnya kemarin aku gak pergi.” Raline menggeleng lemah, tenaganya memang belum pulih sempurna sejak proses melahirkan tadi. Bahkan ia sempat pingsan, bayi mereka begitu sehat dengan bobot di atas rata-rata.

“Gak apa-apa, jangan ngerasa bersalah gitu. Anak kita aja yang gak sabar pingin liat dunia, padahal HPL masih 2 minggu lagi.”

Sekali lagi Harsa mengecup kening istrinya, kemudian tatapannya beralih ke arah mertuanya yang sedari tadi anteng mengendong putranya.

Raline menyentuh lengan Harsa pelan dan mengisyaratkan untuk mengambil putra mereka dari sang papi,

“Gendong gih, dia harus tau ayahnya yang hebat ini udah dateng.”

Tapi suaminya itu menggeleng pelan, justru kini duduk menyamping di ranjangnya dengan tangan yang masih menggenggamnya.

“Nanti aja abis papi, biar papi puas dulu gendong cucu pertamanya.”

Hubungan Harsa dan Pak Julian sebenarnya tidak begitu buruk, hanya saja dengan gengsi keduanya yang sama-sama tinggi terkadang membuat mereka terlihat kaku dan kurang akrab.

“Mau di kasih nama siapa kak, bang?” Tanya Sabil mengintrupsi kedua kakaknya yang mengobrol ringan.

“Mahesa Sadajiwa Hestamma.”

“Papi kasih panggilan Esa, boleh?” Pak Julian menyahuti ucapan Harsa meminta persetujuan, tubuhnya ia ayun-ayunkan pelan supaya sang cucu di gendongan nya yang mulai merengek kembali tenang.

“Boleh Pi, panggilan yang bagus dan terdengar begitu agung.”

Rupanya si bayi yang baru saja mendapatkan nama itu tau ayahnya telah tiba, tepat setelah jawaban Harsa ia menangis begitu kencang. Membuat Pak Julian sedikit kualahan.

“Siniin pi, kayaknya dia haus lagi.” ucap Raline, ia benar-benar menikmati peran barunya sebagai seorang ibu sekarang.

Begitu berada di dekapan Raline, Esa terdiam sesaat tapi kembali menangis melepaskan puting ibunya enggan untuk menyusu.

“Kayaknya baby pingin di gendong abang deh.” Ujar Sabil, entah dia hanya asal menyeletuk sebenarnya.

“Eh?” Harsa kebingungan begitu Raline menyuruhnya untuk mengangkat putra mereka.

“Aku takut yaangg...”

“Takut apa?”

“Takut jatuh nanti gimana?”

“Gak akan, kamu kan ayahnya harus bisa gendong dong.”

“Coba pelan-pelan dulu Sa, papi dulu pas Raline lahir juga gugup pertama kali gendongnya.” Pak Julian memberi saran begitu melihat menantunya terlihat ragu untuk menggendong sang cucu.

Di bantu Raline akhirnya Harsa berhasil menggendong putra mereka dan menenangkannya. Sepertinya benar dugaan Sabil, bayi itu langsung tenang di ayunan ayahnya.

Harsa menatap lamat tubuh putranya yang begitu mungil dalam dekapannya, ia mentap Raline dan berkata “Yaangg mungil banget dia, aku kekep gini gak keliatan.”

Raline melotot mendengarnya, yang benar saja bayi mereka berbobot 3,7 kg. Bisa-bisanya Harsa bilang terlalu kecil.

“Kecil dari mananya coba sayang bukalah matamu selebar dunia ini, itu aku sampek pingsan tadi ngeluarinnya gedean lagi wah kamu bisa dapet gelar duda keren.”

Pak Julian dan Sabil terkekeh mendengarnya, Raline being Raline.

“Hehehe, makasih ya udah berjuang buat baby. Kamu hebat.”

Raline merotasikan bola matanya, apalagi ia mengingat jika wajah Mahesa 100 persen mirip Harsa, yang melekat dari dirinya hanya kulit putihnya saja.

“Aku kesel liat muka baby niru kamu semua, padahal yang morning sickness berbulan-bulan aku, yang gak bisa tidur tiap malam karena tendangan tuh aku. Eh malah gak mirip aku sama sekali.”

Harsa tersenyum mendengar omelan Raline, lalu ia memperhatikan tiap inci muka putranya yang benar-benar seperti duplikatnya.

“Berarti yang paling sayang tuh abang bukan kakak selama ini...” Ujar Sabil.

“Dih sok tau, kata siapa?”

“Kata bi asih sih gitu kalo yang lebih mirip sama anaknya berarti yang paling mendominasi rasa sayangnya.”

“Iya sih, Mas Ayang kan bulol banget sama gue udahan.”

Mas Ayaang...

“Yaudah kalo kamu iri sama Harsa, tinggal buat satu lagi yang mirip kamu.”

“Setuju sama papi.” Harsa begitu bersemangat menyetujui ucapan sang mertua.

“Yang bener aja aku bahkan belum ada 24 jam yang lalu ngelahirin!?”

Raline mendengus sebal, lalu meraih putranya yang baru saja Harsa julurkan. Si kecil terlihat begitu nyaman dalam tidurnya.

Bertepatan dengan itu pintu ruang rawatnya kembali terbuka, menampilkan mami dan seorang perempuan baya yang tadi pagi menolongnya ke rumah sakit.

“Nah itu suaminya Raline, Harsa ini bu Tama yang tadi pagi ketemu Raline di depan Indomart pas ketubannya pecah, beliau juga yang membawa Raline ke rumah sakit.” Mami mengenalkan wanita penolong itu pada Harsa.

Harsa terpaku menatapnya, lalu menatap Raline yang kini juga menatapnya. Begitu istrinya mengangguk, Harsa merasa apakah semesta sekarang mencandainya?

“Wah tampan sekali suaminya, pantas kalo di kecil terlahir begitu sempurna. Perpaduan mama dan papanya.” Ujar bu Tama tersenyum lebar sambil menatap Mahesa yang kini berada di dekapan Raline.

“Saya jadi ingat putra saya, mungkin sekarang juga sudah dewasa dan punya bayi lucu seperti kalian.”

“Haduh maaf jadi curhat, hehehe. Kalau begitu saya pamit ya, sudah malam begini. Nak Raline sama bayinya sehat-sehat ya, saya harap kita bisa bertemu lagi.”

“Sekali lagi atas bantuannya bu Tama.” Pak Julian mengucapkannya dengan begitu tulus.

“Sama-sama pak, mari pak, bu, semuanya saya pamit.”

“Biar suami saya antar ibu pulang.” Ujar Raline tiba-tiba, membuat Harsa menoleh ke arahnya.

Sedari tadi laki-laki itu hanya diam, tidak tau harus berkata apa dan bereaksi bagaimana.

“Gak perlu repot-repot Nak Raline, saya bisa pesan ojek online.”

“Gapapa jeng, biar Harsa saja yang antar pulang. Lebih aman.” Mami ikut setuju dengan usulan Raline membuat Harsa mau tidak mau harus mengantarkan tamu mereka itu.

Melihat Harsa yang masih bergeming, Raline menyenggol lengannya mengintrupsi untuk mengajak Bu Tama pulang.

“Ma-marii saya antar pulang.”

Harsa memilih berjalan mendahului perempuan itu, bahkan selama dalam perjalanan mereka tidak ada obrolan apapun kecuali bu Tama mengarahkan jalan mana yang harus Harsa tempuh untuk sampai ke depan gang kontrakannya.

Mereka duduk terpisah, Harsa di kursi kemudinya dan Bu Tama di kursi belakang. Suasana yang benar-benar canggung, tau begitu tadi Bu Tama pulang sendiri saja.

Begitu sampai di depan gangnya, Bu Tama pamit ala kadarnya karena Harsa juga tidak menanggapi ucpannya.

“Terima kasih ya Nak Harsa, maaf saya merepotkan.”

Begitu membuka pintu mobil, Harsa baru bersuara. Dengan suaranya yang terdengar gemetar, menahan tangis

“Mama...Ini aku, Madaharsa.”