—Akhirnya, bertemu Papa.

Hati manusia masih dibuat oleh Tuhan, sekeras apapun pasti akan luluh. Apalagi hati seorang ibu, sebenci apapun Raline pada Harsa ia tidak akan pernah bisa menolak fakta bahwa laki-laki itu tetap ayah dari putranya.

Ia akhirnya mengalahkan egonya.

Sebulan setelah ulang tahun Harsa waktu itu, Raline akhirnya memberanikan diri untuk membawa putranya bertemu sang ayah. Mahesa berhak tau, anak siapa dia.

” Ma, kita mau kemana?” Tanya Mahesa ketika sang ibu pagi buta membangunkannya.

” Esa mau ketemu papa gak?”

Tentu saja dengan antusias Mahesa menjawab, “ MAU MAUU MAUU BANGET MA!”

Raline tersenyum, ah sesederhana ini kebahagiaan putranya.

” Ayo mama antar ketemu Papa.”

” Pa udah pulang kerja ya ma? Duitnya udah banyak? Yeayy nanti papa tidur sama kita ya Ma!” Mahesa saking semangatnya sampai berloncatan kesana kemari, akhirnya dia akan bertemu papa.

Tapi sayang, papa tidak akan pulang ke rumah bersama kita.

Setelah turun dari angkutan umum yang membawa mereka, Raline menggenggam erat tangan putranya memasuki komplek mewah itu. Berbekal alamat rumah yang Raline dapat dari Shirina, mereka akhirnya berdiri di depan sebuah rumah yang mewah. Sangat jauh berbeda dengan rumah kecil yang mereka huni.

” Ma, ini rumah siapa?” Mahesa begitu kagum memandang halaman rumah, ada kolam ikan dan air mancur di depannya, pun garasinya berjejer mobil-mobil keren yang mengkilat.

Andeca, Andeci, Bora, dan Bori. Hahahaha.

” Ini rumah Papa.” Kali ini Raline tampak ragu, haruskah ia mengetuk pintu besar itu?

” INI RUMAH PAPA? RUMAH KITA JUGA DONG MA?” Mahesa membelalakkan matanya begitu lebar, mulutnya pun ternganga. Wah keren dia bisa punya rumah seperti ini, rumah yang biasa ada di sinetron yang Mama tonton.

Raline tersenyum sebelum menjawab, “ Bukan sayang, ini rumah Papa bukan rumah kita.”

Ya tuhan menyesakkan.

Otak kecil Mahesa masih sulit mencerna, bagaimana bisa ini rumah papa tapi bukan rumahnya juga? Bukankah Rumah om Juan juga merupakan rumah Yuan? Mama lagi-lagi berbicara hal yang sulit Mahesa mengerti.

Raline akhirnya mengetuk pintu besar itu, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Bagaimana jika nanti ia di anggap meminta pertanggungjawaban? Tidak! Raline sama sekali tidak membutuhkan itu, juga tidak ingin menuntut apapun.

Ia hanya ingin Mahesa tau siapa Ayah kandungnya.

Sampai pada ketukan ketiga, pintu besar itu akhirnya terbuka. Menampilkan Maya yang rupanya terkejut dengan kehadiran mereka, lalu Harsa dari arah belakang bertanya,

” Siapa Ma?” Laki-laki itu masih menenteng dasinya, lengan kemejanya masih ia gulung ke atas. Rupanya mereka baru selesai sarapan bersama.

Ah sarapan bersama keluarga ya.

” A..aku.. hmm.. maksudnya sa..saya...” Raline tiba-tiba saja merasa tak sanggup berbicara, haruskah? Bagaimana jika nanti Mahesa pada akhirnya memilih tinggal bersama papanya? Ia akan sendirian, lagi?

” Loh Ma? Katanya mau bertemu Papa? Kita kok jadi ke rumah Nesa?” Mahesa begitu kebingungan ketika melihat kedua orang tua temannya berada di rumah yang tadi Mama bilang adalah rumah Papa.

Raline kini berjongkok di depan putranya, sekali lagi melihat ke arah Harsa dan istrinya sebelum berbicara pada putranya,

Tangan lembutnya mengelus kepala Mahesa, ia sedang berusaha menenangkan diri. Sungguh berdamai dengan masalalu itu tidak segampang yang orang lain mau.

” Mahesa sayang, ini rumah Papa, Esa bilang mau ketemu papa kan? Itu papa, ayo salim ke papa.” Raline menunjuk Harsa yang kini rasanya tak lagi sanggup berdiri, lututnya lemas. Ia bergetar mendengarnya, Raline akhirnya luluh.

” Ma, itukan papanya Nesa. Mama salah orang ya? Kata Mama, papa kerja jauh kan? Ayo Ma kita cari papa ke tempat kerjanya aja.” Mahesa rasa mamanya hanya berusaha menghibur dirinya.

Ma, Esa memang mau bertemu Papa, tapi bukan yang mengaku-ngaku seperti ini! Mahesa mau papanya yang asli, kalau di pinjami Nesa atau Yuan ya sama aja percuma.

” Mahesa dengerin Mama, itu beneran Papanya Esa, papa kandung Esa, papa yang buat Esa ada di dunia. “

” Pa...pa..?” Mahesa menahan tangisnya, benerkah itu papa? Berarti selama ini papa tidak pergi jauh? Papa ada di dekatnya. Papa adalah papanya Nesa juga?

Lalu kenapa papa tinggal bersama Nesa? Kenapa papa tidak tinggal bersamanya dan Mama? Apa papa tidak suka dengan kehadirannya?

Raline akhirnya menuntun Mahesa untuk mendekati ayahnya, anak itu kini menatap Harsa dengan berbagai tanda tanya.

Lalu ketika Harsa berjongkok di depannya ia bertanya,

” Om beneran papanya Esa?”

Harsa mengelus pucuk kepala putranya, ia begitu terharu.

” Papa sayang, ini papa bukan om.”

” Pa...pa...” Setelahnya tangis Mahesa pecah, berbarengan dengan pelukan Harsa yang begitu erat membungkus tubuh mungilnya.

Maya menangis di belakang suaminya, akhirnya waktu ini tiba. Pun dengan Raline yang kini tersedu-sedu telah memalingkan wajahnya ke arah belakang. Enggan menatap adegan haru biru itu.

Setelah melepaskan pelukan sang papa, Mahesa memundurkan langkahnya. Anak itu lalu mengajukan tanya yang membuat Madaharsa tak mampu berbicara,

” are you really my daddy? Pa gak suka ya sama Esa? Kenapa selama ini gak pernah pulang? Pa juga gak pernah telpon Esa, padahal Nesa bilang papanya sering telpon dia kalo pergi jauh. Pa apa bedanya Esa sama Nesa? Kenapa Pa ninggalin Mama sama Esa berdua aja? Pa, apa bener kata orang, kalo Esa anak yang tidak inginkan?”

Madaharsa sontak menggelengkan kepalanya dengan pertanyaan akhir itu, tidak sayang, tidak kamu adalah hal yang paling papa syukuri ada di dunia, menemani Mama.

” Pa, Esa seneng ketemu papa, tapi Esa benci papa.” Setelahnya Mahesa membalikkan badannya, lalu menyentuh jemari ibunya. Menggenggam erat tangan lembut itu, lalu melangkah pergi.

” Ma, ayo pulang. Pa kayaknya gak pernah mau Esa ada.”

” Ma, jangan nangis! Esa gak suka, ayo Ma pulang, Esa gapapa cuma tinggal sama Ma aja. Esa udah gak pingin ketemu Papa.”

Madaharsa terduduk di depan rumah menyaksikan kepergian putranya yang begitu tangguh menuntut sang ibu untuk meninggalkannya.

Dadanya remuk redam, ia bahkan seperti tidak lagi memiliki tujuan untuk hidup. Putranya membencinya, harusnya ia memang tau kesalahannya sefatal itu, memang pantas Mahesa membencinya.

Ketika Maya ikut duduk di sebelahnya, laki-laki itu memeluk istrinya erat ia butuh pelukan, sekedar bahu untuk bersandar dan mengeluh.

” May, saya gak tau setelah ini harus hidup untuk siapa. Mahesa benci ayahnya.”

Itu adalah kalimat paling pilu yang pernah Maya dengar dari Madaharsa, kalimat yang rasanya menyampaikan seluruh kesakitan laki-laki itu selama ini.