Artemia mengerjapakan matanya berkali-kali melihat sang suami yang kini ikut duduk di sebelahnya. Hal sangat jarang terjadi selama 2 tahun lebih pernikahan mereka. Tanpa Haemi, keduanya hampir tidak pernah duduk bersama seperti ini.

“Aku buatin kopi dulu ya Kak,” Artemia bergegas berdiri menawarkan kopi, ia sebenarnya hanya ingin keluar dari kecanggungan di antara mereka.

Terlebih tiap kali kakak iparnya berkunjung setelahnya hubungan mereka akan selalu menegang seperti ini.

“Duduk!” tangannya ditarik sang suami untuk duduk kembali di atas sofa.

“Hari kamu gimana?”

“Kakak kenapa?” Artemia melayangkan tanya pada sikap tak biasa suaminya.

“Berhenti manggil kakak bisa? Aku suami kamu.” Nada yang sedikit meninggi itu membuat Artemia menundukkan kepalanya, ia meremat unung kaos rumah yang ia kenakan.

“Mia capek, kalo kakak pulang mau ngajak debat perihal Hemi lagi nanti aja ya jangan sekarang.”

“Siapa yang mau ngajak kamu debat?” suara itu memelan, menjadi begitu lembut seiring dengan sentuhan diatas tangan Artemia yang masih meremat kaosnya.

“Kakak selalu gitu tiap kali mbak Ranti abis berkunjung, kenapa dulu kakak gak biarin aku nunda kehamilan aja? Hemi sayang banget sama kakak, aku harap kakak ga pernah menyesal atas kehadirannya di dunia.”

“Artemia! Stop manggil kakak, aku suami kamu.” Lagi-lagi suara itu meninggi, membuat Artemia memejamkan matanya.

“Aku juga istri kakak, bukan cuma ibunya Haemi!” Artemia memberanikan diri menatap mata legam suaminya yang ikut menatapnya intens.

“Mia? Aku mau peluk dulu boleh?” tanpa menunggu persetujuan sang istri, laki-laki langsung mendekap erat tubuh sang istri. Pelukan yang biasanya di isi Haemi di tengahnya, kini bebas tanpa penghalang.

“Mia aku suami kamu, apapun yang terjadi setiap harinya sama kamu aku berhak tau. Kamu bisa menceritakan semua hal yang kamu lalui ke aku,”

“Bagaimana perasaan kamu menjadi ibu Haemishara, bagaimana kehidupan pernikahan ini dimata kamu. Bagaimana rasanya menjadi istri Shakala Putra, semuanya bisa kamu tumpahkan ke aku setiap hari.”

“Tapi kakak —”

“Aku suami kamu Artemia, bukan kakak kamu,”

“Tapi kamu cuma berhasil jadi ayahnya Haemi, bukan seorang suami.” Artemia menumpahkan tangisnya.

“I know, this is painful for us. Our married life is hard for me, especially for you. Aku minta maaf telah membawa kamu pada kehidupan tidak menyenangkan ini, ”

“...tapi aku bersyukur kamu mau bertahan sejauh ini. Kamu menciptakan rumah yang begitu hangat bukan cuma untuk Haemi, tapi juga buat aku pulang.”

“Selama ini aku merasa kamu terbebani dengan pernikahan ini, selalu mempertanyakan apakah kamu bahagia? Apakah kalau seandainya belum ada Haemi kamu akan bertahan sampai sekarang?”

“Harusnya pertanyaan itu buat kamu sendiri Haekal, keluarga kamu yang nyeret aku masuk ke kehidupan kamu.”

“Kalau aku bahagia tapi kamu tidak, aku hanya berharap sendirian kan Mia?”

Artemia menatap mata di depannya yang kini ikut mengembun, “Aku tidak ingin nantinya kebahagiaanku memaksa kamu untuk tetap tinggal di kehidupan yang tidak membahagiakan kamu.”

“Kenapa bisa kamu mikir gitu?”

“Karena menikah denganku membuat mu harus mengorbankan banyak hal. Aku tau diri, aku terlalu banyak merepotkan mu.”

“Terus kamu mau apa Haekal?” ditanyai begitu Haekal menggenggam tangan Artemia lebih erat.

“Pertanyaan itu untuk kamu Mia, kamu berhak menentukan pilihan hidupmu sendiri sekarang.”

Haekal begitu was-was menunggu jawanan Artemia takut kalau jawaban sang istri sesuai apa yang ia pikirkan, “Kamu bener kehidupan pernikahan ini berat untuk kita berdua, bahkan aku sangat tidak siap menjalani.” Haekal menundukkan kepalanya, ucapan Artemia meremas jantungnya.

“Tapi aku mau melanjutkannya, aku mau menjalaninya lagi. Terlepas kamu menginginkannya atau tidak, aku ingin terus mempertahankan pernikahan ini. Aku mau mencoba untuk mencari kebahagiaan di pernikahan ini. Aku udah punya satu kebahagiaan, Haemi kita tapi boleh gak aku minta kebahagiaan dari kamu?”

Haekal menjatuhkan kepalanya di bahu Artemia yang bergetar, tangannya memeluk rapat pinggang ramping istrinya “Mia terimakasih.”