— Awal mula.

Meja itu sekarang hanya terisi Raline dan Harsa, Jenan dan Anji memilih merokok di sudut ruangan. Felix dan Nala bergabung dengan ciwi-ciwi kembali mencari teh hangat. Apin pamit pulang ke rumah orang tuanya, sementara Selena meminta Fajira menemani ke kamar mandi.

Harsa tau itu semua hanya akal-akalan mereka saja, membuat dirinya kini berduan dengan Raline. Begitu canggung rasanya, apalagi setelah tadi di soraki begitu keras.

Harsa menggaruk belakang tengkuk kepalanya, menatap ragu pada Raline yang tengah memainkan ponselnya.

“ Sorry yang tadi.” ujarnya pelan.

“ Hmm?” Raline mengangkat kepalanya, tak sengaja malah menatap Harsa.

Demi tuhan lucu sekali di mata Harsa.

“ Sorry yang tadi, temen-temen gue emang jahil banget.” Harsa kembali mengungkapkan permintaan maafnya.

“ Its okey gapapa, emang pada jahil mereka.”

Raline sebenarnya sedang berusaha mencari topik pembicaraan, dia tidak pernah kehabisan topik sebelumnya untuk berbicara dengan orang lain.

Tapi ini Madaharsa, ya tuhan benar-benar Madaharsa. Sudah lebih dari 5 tahun tidak lagi mengobrol dengan pemuda itu.

Kalau Raline tidak salah ingat, pertemuan terakhir mereka kurang mengenakkan untuk di ingat. Bertengkar.

Iya mereka pernah bertengkar, tau tidak tentang apa?

Tentang hal sederhana yang bahkan terlalu kekanak-kanakan jika di debatkan sekarang.

Itu dulu saat usia mereka begitu muda, 16 tahun kurang lebih. Segala bentuk kedewasaan masih baru di godok, belum matang sama sekali.

Harsa usia 16 tahun begitu menyebalkan di mata siapapun, keras kepala sedikit urakan dan ugal-ugalan dari segala aspek.

Remaja 16 tahun pada umumnya baru mengenal yang namanya di mabuk asmara, Harsa pun sama baru tau rasanya perut di gelitiki kupu-kupu dan jantung berdebar ketika waktu itu bertemu dengan pujaan hati.

Dulu mereka sering bertemu, di acara musik besar atau penghargaan tahunan. Keduanya sama-sama bungsu di grup masing-masing. Sama-sama masih di manjakan.

Harsa sepertinya jatuh hati karena intensitas pertemuan mereka yang cukup sering itu, ya waktu itu yang seumuran dengannya tidak banyak hanya bisa di hitung jari.

Tentu ia senang ada perempuan sebaya yang ikut debut di usia muda.

Mereka sama-sama ingin menikmati masa remaja, cinta monyet itu seperti apa. Tapi mereka lupa, dunia mereka tidaklah sama. Kamera mengintai dimana pun, tidak memberikan mereka kesempatan untuk bertemu.

Harsa berkali-kali mengeluh akan kegagalan pertemuan mereka, jadwal yang begitu padat dan hampir tidak ada celah untuk berkencan.

Hey anak muda, kau dulu masih remaja!

Raline awlanya biasa saja, menikmati segala perhatian Harsa. Seru juga ada seseorang yang memperhatikannya tiap hari. Tapi lama-lama ia merasa banyak selek mereka yang menjengkelkan.

Beberapa yang Harsa lakukan terlalu berlebihan dan agak kekanakan. Raline tidak suka itu. Apalagi ketika ia bertanya, apa yang Harsa paling suka darinya, pemuda itu justru menjawab, “ Tentu saja kamu cantik.”

Jawaban yang sama sekali tidak ingin Raline dengar, ia ingin di cintai karena dirinya bukan karena parasnya.

Keduanya sebenarnya sama, belum ada kematangan dalam pola pikir mereka. Apalagi di tambah dengan beban pekerjaan yang begitu luar biasa, terkadang memaksa dewasa melebihi kodratnya itu sungguh melelahkan.

Jika di bandingkan sekarang Harsa tentu jauh begitu dewasa, meningkat 10 tanjakan sepertinya. Pun dengan Raline yang lebih berpikir rasional. Sebenarnya dewasa kini membuat mereka sadar, dulu sangat memalukan untuk di ingat. Tidak seharusnya terjadi dan perlu di perbaiki, setidaknya membenarkan apa yang menjadi kesalahpahaman.

Bukankah sekarang harusnya mereka bisa berteman?

“ Sorry buat yang dulu-dulu juga ya.” Ucap Harsa tulus.

Raline mengangguk setuju, “ Gue juga minta maaf ya nolak lo gak etis banget dulu, hehehe.” Harsa ikut terkekeh mendengarnya.

Ya ampun memalukan kalau di ingat, ia di tolak lalu di campakkan dan sakit hati sendirian.

“ Ya gue kalo jadi lo dulu juga pasti bakal nolak bocah ingusan itu sih, hahaha.”

Syukurlah kalau sekarang mereka bisa menerima keadaan dan menertawakan dulu yang di anggap luka bersama seperti ini.

“ Sekarang gimana? Have you found someone who can accept your love?”

Harsa terbahak sebentar sebelum menggelengkan kepalanya pelan,

“ Belum, gak minat nyari sih kapok ah.” Candanya, tapi justru membuat Raline kembali memasang ekspresi bersalahnya.

“ yah, sorry nih kalo gue bi...”

“ No! no! Bercanda yang tadi, bukan karena kapok kok. Cuma ya kayaknya mau fokus kerja aja. Terlalu beresiko sama pekerjaan gue sekarang kalo mikirin cinta-cintaan lagi. Apalagi tim kami semakin besar, tanggung jawabnya lebih besar.”

Ya beginilah susahnya berada di dalam tim, setiap apa yang akan di lakukan akan berpengaruh pada semua orang disana.

Raline mengangguk paham, memang begitu berat berada di dalam tim. Banyak tekanan dari segala sisi, mengekang dirinya untuk berbuat ini dan itu.

“ Semangat deh ya buat kerjaan lo, semoga makin sukses. Dan semoga kedepannya lo menemukan seseorang yang bisa mengerti lo dan dunia lo yang ribet ini.” Raline benar-benar tulus mengucapkannya, dunia industri ini begitu kejam, ia hanya saling mensupport sesama orang yang menggeluti bidang mengerikan ini.

“ Raline juga semangat ya, suksek buat albumnya nanti. Gue berharap lo menemukan seseorang dalam versi terbaik buat lo.”

Keduanya lalu saling melempar senyum, bukankah melegakan ketika kita akhirnya mampu berdamai dengan masalalu?

“ Mau jadi teman gak?”