Ayunandiras membawakan dua mangkok kolak nangka ke halaman belakang villa keluarga Rajasa, “Ini mama buatin kolak nangka, Hema bilang kamu suka ini persis banget sama kakeknya dulu.”

Mira menerima mangkok tersebut, mencicip penuh minat untuk menyenangkan hati perempuan di depannya, ia tatap lekat kecantikan alami ayunandiras yang tidak terlihat menua. Bagaimana bisa dengan beban seberat itu ibu negara ini masih tetap terlibat segar? Tak terlihat garis kerutan menua di wajahnya.

“Selain kolak nangka, Mira suka apa lagi?”

“Es campur durian di Semara, sebelah masjid Agung itu Ma” Mira dengan anggun menjawab pertanyaan ibu negara ini.

“oh itu kesukaan Samudera kalo pulang ke Semara selalu minta belikan omnya disitu.”

“Iya mas Hema sering cerita kalau Sam sama Tata suka banget es campur disitu.”

“Gimana kolaknya? Enak atau kurang manis? Mama soalnya kurang suka manis.”

“Enak banget, ini nangka dari kebun belakang ya ma?”

“Iya dulu pak Jenderal nanam sendiri pohonnya, waktu Hema masih kecil mama masih hamil Nyayu.”

“Lebih tua pohon nangkanya dong daripada Nay.” Mira dan calon ibu mertuanya sama-sama tertawa.

“Samira, kamu tau sesuatu tentang laki-laki tidak?”

Samira menanti kelanjutan ucapan calon ibu mertuanya, “apa ma?”

“Laki-laki itu akan menikahi perempuan yang dia temui ketika dia siap untuk menikah. Itu yang pertama, bukan siapa yang dia suka pertama kali.”

“Dalam hidup laki-laki ada 2 jenis perempuan, pertama perempuan yang dia bidik dari kejauhan untuk dijadikan istri. Tidak akan ia ganggu sampai ia siap untuk menikah. Kedua, perempuan yang hanya ia jadikan teman untuk mebersamai hari sepi atau jahatnya perempuan yang memang ia ajak untuk main-main saja.”

“Sebagai perempuan terdengar jahat memang, tapi begitulah otak laki-laki bekerja berbeda dengan bagaimana otak kita bekerja.” Samira mendengarkan dengan seksama tiap kalimat yang keluar dari perempuan ayu di depannya.

“Laki-laki itu makhluk bermain, makhluk berburu sudah menjadi tabiatnya untuk kesana kemari dulu sebelum pulang.”

“Hema itu suka mengeksplorasi hal baru, dari kecil memang mudaj tertarik dengan hal-hal baru tapi pasti ada satu yang tetap menjadi favoritnya.”

“Dulu waktu bersama Erika, mama yakin kamu juga sudah tau bagaimana hubungan mereka media setiap hari kan mengulik itu. Mama tau Hema belum menemukan jenis perempuan pertama, karena dari awal mereka tau bagaimana pun tidak akan pernah bersama.”

“Erika perempuan baik, tapi restu Tuhan lebih dari segalanya. Dan Hema tau dia dan Erika hanya sedang membuang waktu, namanya juga anak muda.”

“Dengan perempuan setelah Erika mama tidak tau siapa saja mereka tapi yang mama tau Hema masih bermain, menjelajahi hal baru yang ia temui. Ibarat rumah orang dia hanya ingin mencicipi makanan suguhan di dalamnya, tidak berniat menetap. Karena ia tau bukan rumah itu yang mau dia jadikan tempat pulang, hanya sekedar singgah.”

“Lalu beberapa bulan lalu Hema menceritakan kamu di keluarga nya, setiap detail yang ia ketahui tentangmu ia sampaikan dengan mata berbinar-binar. Sebagai seorang ibu, mama tau putra kecil mama ternyata sudah membidik rumahnya untuk pulang. Bahkan jauh sebelum ia mengajakmu berkenalan.”

Ayu memegang tangan Samira, menata pada cincin yang melingkar indah di jari manis gadis itu, “Mau dilanjutkan atau tidak pernikahan ini semua keputusan ada di tanganmu. Jangan merasa terbebani dengan siapa besan ibumu ini, kalau memang kamu tidak bisa menjalani kehidupan bersama putra mama ya tidak apa-apa. Yang penting kamu harus bahagia ya nduk.”

Air mata Samira meluruh, dipeluknya erat sekali perempuan yang melahirkan Hema itu “Jangan nangis toh cah ayu, nanti Hema sedih kalau Hema sedih ibu merasa gagal jadi orang tuanya.”

“Mana senyum cantiknya?” Ayunandiras menghapus air mata Mira dengan jemari lentiknya, kemudian menarik senyum milik sang gadis.

“Nah ini senyum cantik yang sering putra mama banggakan. Katanya bikin mabuk kepayang.”

“Mama...”

“Dalem cantik?”

“Katanya jodoh itu cerminan ya?”

“Setengah betul setengah salah, pasangan itu saling nduk. Bukan selalu 50 dan 50 untuk menjadi 100 tapi kadang juga 70 dan 30 tergantung bagaimana keduanya saling memberi keseimbangan dan pengertian.”

“Kadangkala jika kitanya suka ngomel, bisa jadi pasangan kita stok sabarnya luar biasa. Ya itu soalnya stok sabar kita diambil pasangan semua ahahahahah.”

Rambut Samira dielus begitu lembut persis belaian ibunya sendiri dirumah, “Pernikahan itu berat, bukan cuma kamu dan pasanganmu jadi setiap aspeknya harus kamu pikirkan dengan matang. Segalanya perlu imbang supaya padu dan harmoni.”

“Mas Hema sering bilang begitu.”

Ayu tersenyum, “Itu petuah kakeknya dulu ketika pak Jenderal menikahi mama.”

“Dengar sekali lagi ya cah ayu, Hema mengajakmu menikah bahkan tidak memberimu pilihan untuk menolak tapi bukan berati kamu tidak bisa menolaknya. Kamu bisa menolak menikah dengannya, karena hidupmu masih milikmu dan hanya kamu yang berhak menentukan pilihan apapun itu.”

“Mama terimakasih sudah menerima aku dengan baik sekali.”

“Sudah seharusnya sebagai seorang ibu dan sesama perempuan begini.”

“Terimakasih juga telah melahirkan laki-laki sehebat Hemachandra.” Ayunandiras memeluk Samira kembali, sebisa mungkin ia menahan air matanya untuk tidak luruh.