Coming home
“Cantikku, sini peluk.”
Haechan terbangun dari tidurnya, bergegas turun dari ranjang setelah menyadari puan yang semalam ia peluk erat tak lagi berada disampingnya. Sebelum keluar dari kamar Haechan memakai celana selututnya yang semalam ia lempar asal.
“Yangg...” panggilnya begitu melihat punggung Somi berada di dapur apartemennya.
Perempuan itu tengah merapikan dapur yang terlihat berantakan dari terakhir dia berkunjung minggu lalu. Apartement itu memang milik Haechan, yang dibeli pemuda itu setengah tahun lalu. Tapi Somi sering berkunjung meski tanpa ada Haechan, rasanya bahkan sudah seperti apartemnnya sendiri. Sengaja memang Haechan membeli tempat singgah dekat dengan kawasan industri entertaiment agar kekasihnya itu tak perlu pulang jauh ke rumah orang tuanya jika harus bekerja sampai larut malam.
Haechan memeluk Somi dari belakang, menempelkan kepalanya di bahu paling nyaman untuk melepas lelah itu. “Ku cariin kaosnya di bawah ranjang tadi, ternyata kamu pake hihihi” disertai kekehannya Haechan menggesekkan hidungnya di permukaan mulus kulit Somi sambil menghirup dalam-dalam aroma favoritnya itu.
“Hyuck, geli ih! Jangan gitu, aku harus beresin hasil eksperimen temen-temen kamu kemarin nih.” Somi menggerakkan kedua bahunya supaya terlepas dari Haechan.
Haechan melepas pelukannya kemudian menatap Somi dari samping kemudian tangannya terangkat untuk mengelusi rambut yang diikat asal itu, “Maaf ya kemarin dapur favorit kamu diberantakin sama Jisung. Dia baru belajar masak sama Jaemin jadi aku gak tega buat bilang jangan eksperimen disini.”
Somi terkekeh membayangkan kekecauan apa yang telah teman satu grup pacrnya itu lakukan disini kemarin ketika mereka berkumpul, “Gak papa, sana kamu mandi dulu terus pake baju masuk angin nanti kamu kalo cuma pake celana doang gini.” Somi memencet hidung Haechan yang mengacung didepannya membuat pemuda itu meringis pelan.
“Hilih! Kamu juga ntar masuk angin kalo cuma pake kaosku doang!”
“Yaudah abis ini aku pake celana,”
“GAK USAH DEH GAPAPA!” Haechan menyela ucapan Somi, “Kamu gemesan kalo cuma pake kaosku gini, hehehe.”
“Dasar! Udah sana mandi Hyuck!”
“Sini cium dulu, morning kiss aku belum dikasih.” Haechan memegang pipi Somi dengan kedua tangannya untuk menyatukan dua cecap mereka.
Somi tersenyum lebar begitu Haechan melangkah masuk kembali ke kamarnya untuk mandi, meski telah ratusan kali mungkin mereka berciuman tetap saja rasanya luar biasa. Perutnya serasa digelitik ribuan kupu-kupu dan hendak dibawa terbang. Prianya punya ciuman yang begitu manis memabukkan, membuat Somi kecanduan dan melayang tanpa perlu marijuana.
Setelah membereskan dapurnya Somi berencana untuk menyiapkan sarapan seadanya, semalam ia tak sempat mampir ke supermarket karena terburu Haechan tarik ke kamar untuk melepas rindu sebagaimana rutinitas mereka tiap kali Haechan kembali dari luar negeri. Ia menyalakan kompor hendak memasak ramyeon cepat saji kesukaan Haechan, baru saja memanaskan air tapi tiba-tiba dari belakang ia dipeluk begitu erat.
“Cantikku...” Haechan bermanja dibahu Somi, bahkan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Somi dari ceruk leher perempuan itu.
“Bentar Hyuck, aku siapin sarapan dulu.”
“Mau peluk terus.”
Somi menoleh kesamping, menatap Haechan yang tengah menikmati posisinya dengan memejamkan mata. Haechan dengan mode manja seperti ini mengisyaratkan bahwa keadaan pemuda itu tidak baik-baik saja. Somi mematikan kompor, lalu berbalik menghadap Haechan. Menangkup kedua pipi lelakinya yang terlihat menirus sejak aktivitas padat yang ia lalui.
“Kenapa hm?”
“Gak papa, pingin peluk cantikku aja seharian.”
“Sayang?”
“Sini cantikku, peluk lagi.” Haechan kembali memeluk Somi erat, menidurkan kepalanya diatas bahu Somi lagi.
Dengan elusan lembut yang ia berikan di punggung Haechan, Somi berujar “Hyuck kenapa? Ayo cerita, aku punya waktu seumur hidup buat selalu dengerin keluh kesah kamu.”
“Gapapa sayang, aku cuma pingin pelukan aja.”
“Bohong, ayo duduk dulu.” Somi menggiring Haechan untuk duudk di sofa ruang tengah.
Haechan bergerak meraih pinggang Somi untuk duduk dipangkuannya, “Sini aja, aku mau peluk kamu begini.”
Sebelah tangan Somi bertumpu di kedua tangan Haechan yang memeluk perutnya erat, sebelah lagi bergerak mengusap lembut pipi Haechan.
“Kenapa kamu? Dunia jahat lagi ya?” Haechan menggeleng, tetapi semakin memperdalam hirupannya di ceruk leher Ssomi.
“Sayangnya Somi kenapa?” dengan suara yang lebih lembut begini justru membuat Haechan mengeratkan pelukannya.
“Jangan gitu yang, aku pingin nangis nih”
“Ya gapapa, nangis aja. Aku gak suka cowokku pura-pura kuat terus.”
“Tapi nanti aku gak keren kalau nangis, masa cowok nangis.”
Somi membalik duduknya menghadap Haechan, kemudia menangkup kepala prianya supaya mendongak menghadapnya “Keren itu kalau kamu tau limit kamu sampai batas mana, gak maksa untuk terus baik-baik aja.”
Haechan memejamkan matanya begitu Somi menciumnya lembut, begitu ciuman mereka terlepas ia menyembunyikan wajahnya dipelukan Somi. Tangisnya meluap, air matanya tumpah begitu saja seiring dengan bisikan Somi, “Kamu berhak ngeluh sayang, kamu boleh nangis. Kalau dunia gak mau tau kesedihan kamu, aku disini Hyuck. Aku yang selalu akan dengerin setiap kesedihan kamu, kamu punya aku buat ngeluh kalau capek. Aku disini sayang.”
Meski tangisan Haechan rasanya menyayat hati, tapi Somi merasa lega karena pemuda itu menumpahkannya tidak menyimpan sesaknya sendiri lagi apalagi ketika Haaechan akhirnya mengeluarkan segala keluh kesahnya.
“Aku capek banget, aku pingin berhenti. Aku punya banyak ketakutan, aku khawatir orang-orang gak suka sama apa yang aku tampilkan. apakah aku udah sesuai ekspektassi mereka atau aku gak cukup memuaskan. Aku pingin sedih, murung dan sedih tapi orang-orang selalu punya harapan besar biar aku ngasih hiburan semangat dan kebahgiaan ke mereka,” Haechan terisak ditengah keluhannya.
“Mereka punya ekspektasi yang tinggi Mi, itu buat aku tersiksa. Aku harus selalu berusaha memnuhi ekspektasi orang-orang. Itu bikin capek, bikin aku sering merasa frustasi dan punya banyak beban pikiran. Aku gatau harus ngeluarin ini semua, aku takut bilang Ibun justru akan jadi beban pikiran nantinya. Aku gamau keluargaku yang harusnya aku bahagiakan terbebani dengan tekanan-tekanan yang aku alami” Somi mengeratkan pelukannya, ia menahan kepala Haechan untuk tetap berad dipelukanya.
“Aku mau semua orang bahagia karena aku, tapi kadang aku juga butuh waktu buat sedih.”
“Hyuck, kamu selalu punya aku. Kamu bebas ungkapin semua perasaan kamu ke aku. Kamu boleh kok nangis berjam-jam ke aku. Kamu boleh lemah didepanku, kamu gak harus selalu jadi hebat. Selalu kasih tau aku apapun suasana hati kamu Hyuck, aku gak suka kamu pendem semuanya sendiri.”
“Tapi Mi, aku jahat banget ngeluh ke kamu yang juga punya kehidupan berat gini. Harusnya aku yang nguatin kamu-”
“Kamu bilang sepasang itu harus selalu beriringan, gak ada yang memimpin di depan atau memantau dari belakang. Kita harus saling berdampingan supaya seimbang. Adakalanya kamu sediain abhu buat aju nangis dan ngeluhin jahatnya dunia, tapi gak selalu begitu. Kadang itu jadi tugasku buat mastiin kamu gak tersiksa sendirian.”
“Aku sayang kamu Hyuck, biarin aku tau semua perasaan kamu, senang dan sedihnya kamu.”
Somi menyatukan dahinya dengan milik Haechan setelah menghapus air mata yang mengalir di pipi pemuda itu. Haechan kemudian menyatukan cecap manis mereka, bak memberi obat pada suasana menyedihkan yang baru saja terjadi.
Setelah melepas ciumannya Somi mengecupi satu persatu permukaan wajah Haechan, “I love you.”
“Makasih udah nyediain rumah yang hangat buat aku pulang ya Mi, makasih udah sejauh ini bertahan disampingku. I love you, more than 3000.”
“Jangan tinggalin aku,” Haechan kembali memeluk Somi seerat mungkin seolah takut kehilangan dunianya.
“Aku gak akan kemana-kemana Hyuck, as long as you still need me.”
“I always need u sayang, cantikku paling sempurna diduniaku. Cuma boleh jadi punyaku.”
Somi terkekeh dengan jawaban posesfi Haechan, setelah memberikan kecupan singkat ia hendak turun dari pangkuan Haechan tapi tangan yang memelukknya terlalu posesif enggan melepasnya turun.
“Aku harus lanjut nyiapin saarapan kita Hyuck, lepas dulu”
“Delivery order aja, aku masih mau manja sama kamu.”
Meski menghela napas kesal, tapi Somi menurut saja ia akhirnya memasan makanan cepat saji lewat gawai kekasihnya. Mereka menunggu pesanan dengan tiduran di sofa sambil berpelukan, lebih tepatnya Haechan yang memeluk Somi bak guling yang ia kunci rapat.