Haemilee
Haechan Lee baru saja sampai dari tempat laundry di dekat apartemennya. Begitu memasuki unitnya, suara tangisan bayi terdengar, ia kemudian menghampiri sang ibu di balkon kamarnya.
“Sini Bun, abang yang gendong,” ia mengambil alih gendongan sang ibu. Dia menggoyangkan badannya untuk membuat si bayi berusia hampir 5 bulan itu tenang, sesekali menepuk pantat bayi yang mulai berisi itu meski hanya mengkonsumsi susu formula tanpa setetes asi sejak lahir.
“Abang balik ke rumah aja ya, daripada nanti kerepotan kalo tinggal berdua disini. Di rumah ada adek-adek sama Ibun yang bisa bantuin ngasuh Haemi.” tutur sang ibu melihat putra pertamanya kini kesulitan menenangkan bayinya, belum lagi jika nanti laki-laki itu harus berurusan dengan pekerjaan rumah lainnya.
“Ngerepotin kalo di rumah Bun, abang mau belajar mandiri bertanggung jawab sepenuhnya atas Haemi. Lagipula ini masih seminggu abang pindah, masih adaptasi lah nanti lama-lama juga terbiasa.” Mama Lee hanya bisa menghela nafasnya, toh percuma membujuk lagi putra sulungnya itu memang teguh pendirian alias keras kepala.
“Yaudah kalo ada apa-apa jangan lupa telpon Ibun atau adek-adek mu.”
“Iya Bun, Ibun udah bilang berkali-kali loh seminggu ini.” Haechan berjalan masuk ke dalam kamarnya, mengambil botol susu di atas nakas begitu bayinya kembali merengek.
“Ibun tinggal ya bang, besok harus nganterin Nana ke bandara.”
“Iya, hati-hati bun bilang Gumi besok hati-hati bawa mobilnya ke bandara. Kalo Haemi gak rewel besok pagi abang ikut.” Haechan mengantar sang ibu ke pintu keluar, dengan badan yang masih mangayun berusaha menenangkan bayinya.
“Abang gak usah ikut gak apa-apa, daripada nanti di bandara ketemu wartawan.” Haechan hanya mengangguk, lalu segera menutup pintu begitu terdengar suara langkah kaki dari lorongnya. Bukan maksudnya mengusir Ibun, tapi biar bagaimanapun kerahasiaan putri kecilnya harus terjaga. Haemilee harus selamat dari kejaran blitz kamera yang bisa menyerangnya kapan saja. Kehidupan selebritas dulu benar-benar menjadi ancaman bagi putrinya.
Haemi masih menangis tidak tenang, mengeliat di gendongan ayahnya mencari kenyamanan. Dotnya dibuang, enggan menyusu tentu saja membuat Haechan kebingungan. Ia berjalan kedepan televisi berusaha menyalakan sebuah tontonan yang mungkin dapat menangkan putrinya. Adek bungsunya dirumah biasa mengasuh Haemi dengan menonton televisi barangkali memang itu yang di inginkan putrinya.
Begitu televisi menyala kepala haemi bergerak mencari sumber suara, kemudian kembali merengek. Haechan menatap music show yang ditampilkan setelah baru saja iklan selesai, ah dia merindukan panggungnya, merindukan bagaimana lelahnya rekaman berjam-jam untuk sekedar 5 menit pertunjukan. Merindukan kamera kamera besar itu menyoroti gerakannya, dan sorakan-sorakan histeris yang meneriaki namanya.
Tapi yang paling ia rindukan adalah penyanyi yang kini telah menampilkan lagu terbarunya, tampil begitu energik, cantik seperti biasanya. Lagu yang seminggu ini viral diputar dimanapun Haechan pergi. Sebuah comeback sukses setelah hiatusnya perempuan itu setahun lebih.
Haechan menatap bayinya yang kini tenang tak lagi merengek maupun mengeliat tak nyaman, justru tengah mengedipkan matanya lucu rupanya ikut menikmati suara dari televisi.
“Ih anak didi diem? Tau ya kalo itu suara mimi? Pinter banget kamu. Suara mimi indah ya?” haemilee lagi-lagi mengedipkan matanya, tapi kini disertai menguap.
“Dengerin mimi nyanyi bikin ngantuk ya? Yaudah cantiknya didi bobo aja yuk, didi puterin lagu mimi lagi.” Seolah mengerti bayi itu perlahan mulai mengerjapkan matanya menahan kantuk, dan menelusup di dada Haechan.
“Tidur nyenyak sayangnya didi.”