“Islam itu rahmatan lil alamiin, memang benar istri harus mematuhi dan menaati suami. Tetapi apabila si suami berada dalam kebenaran. Islam itu mengajarkan kebajikan, Rasullullah sendiri mengajarkan dalam rumah tangganya untuk saling mengasihi tanpa adanya kekerasan baik lahir maupun batin.” Ralina mengisi kelas hari ini dengan suara pengar, sejujurnya ia kurang enak badan tetapi memaksakan diri untuk tetap hadir. Ia tidak betah jika hanya berada didalam rumah.

“Tidak hanya untuk istri begitu juga bagi seorang suami hendaknya menjaga martabat dam harkat pasangannya, tidak mengumbar aib masing-masing. Buya kulo dawuhnya gini, Ralina nanti kalau sudah menikah segala urusan rumah tanggamu jangan sampai ke telinga buya ya. Buya tidak lagi berhak mencampuri urusan kamu dan suami, tetapi kalau perselisihan diantara kalian tidak lagi bisa diselesaikan dengan kepala dingin datanglah ke buya bersama suami untuk meminta saran, bukan mengadukan perbuatannya.” Seorang santriwati mengacungkan tangannya hendak bertanya, Ralina menganggukkan kepalanya.

“Ngapunten Ning, Jenengan kaliyan Gus pernah berselisih?”

Ralina menggeleng lalu tersenyum, “Alhamdulillah ndak pernah.”

“Ning barusan itu termasuk menjaga harkat dan martabat suami kan?”

“Benar mbak, apa yang yang terjadi didapur rumah saya hendaknya tetap menjadi rahasia saya dan suami. Orang lain tidak perlu tau bagaimana kami bertengkar, bagaimana kami berselisih dan bagaimana kami menyelesaikan segala permasalahannya. Paham?”

“Pahaaam...”

“Ning, apakah boleh menolak izin suami untuk berpoligami?” Ralina yang tadinya hendak kembali ke kursinya berhenti didepan meja guru. Ia mengerjap beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan sensitif itu.

“Boleh, poligami yang diajarkan Rasulullah adalah demi kemaslahatan umat. Contohnya izin menikahi seorang janda yang hidupnya perlu bantuan, atau menikahi seorang yatim piatu yang tidak lagi memiliki sanak saudara. Poligami bukan untuk berfoya-foya, kalau tujuannya bukan untuk membantu sesama ya mboten nopo-nopo jenengan angsal menolak.”

“Kalau semisal gus nedi izin kajenge poligami pripun ning?”

“Ya itu tadi mbak, mboten nopo-nopo semisal gus menikahi seorang janda tua yang perlu bantuan. Atau tunawisma lain yang memang hidupnya tidak tercukupi, tapikan membantu sesama tidak harus dengan menikahinya. Memberi nafkah tidak harus dengan menikahinya. Kalau saya pribadi masih banyak jalan menuju surga, ngapunten kalo gus memang nedinya poligami kulo mawon seng wangsul ten griyane Baba. Itulah mengapa janji surga bagi seorang perempuan yang mengizinkan suaminya menikah lagi, karena memang berat sekali prakteknya. Adilnya manusia tidak bisa seadil milik Allah.”

Harsa menghela nafasnya dibalik dinding kelas, ia sedari tadi mendengarkan ceramah istrinya dengan surau parau itu. Ralina dari 2 hari lalu sudah dalam keadaan tidak fit, tapi perempuan itu memaksa untuk terus beraktifitas, apalagi segala bentuk afeksinya diabaikan.

Begitu pintu kelas terbuka Harsa buru-buru menengok kelas sebelah, berpura-pura sedang meninjau kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Tapi rupanya Ralina tidak terusik dengan keberadaannya, perempuan itu begitu saja melangkah keluar dari gedung sekolah. Harsa mengikutinya dari belakang, kali ini berjarak 10 langkah.

Andai saja ada para santri yang melihat mereka ini akan terlihat aneh tidak seperti biasanya dimana Harsa berjalan didepan dengan hanya berjarak 5 langkah.

Begitu sampai didepan gerbang ndalem mereka, setelah memastikan tidak ada yang sedang menyapu halaman Harsa melebarkan langkahnya untuk menyamai langkah pendek Ralina, “Ayang...”

“Hmm..”

“Dipannggil kok begitu?”

“Dalem?” Ralina menolehkan wajahnya menghadap Harsa dengan senyum palsunya. Ia sedang dalam mood yang buruk beberapa hari ini.

“Masih marah ya?”

“Ndak...”

“Iya ini masih marah, akunya gak diwawo dari kemarin.” Harsa menuntun bahu istrinya untuk duduk di sofa depan. Lalu ia bersimpuh didepan Ralina, kepalanya ditaruh diatas pangkuan sang istri dengan tangan meraih tangan Ralina untuk mengelusi rambutnya.

“Lagi capek...” jawab Ralina seadanya.

“Demi Allah yang jangan begini, aku sedih kalau gak disapa ayang.”

“Iya nanti disapa.” lagi-lagi Ralina menjawab seadanya. Membuat Harsa mendongakkan kepalanya menatap sang puan yang kini netranya enggan balik menatapnya.

Tangan Harsa menggenggam erat keduanya tangan Ralina menyatukannya untuk ia ciumi, “Aku minta maaf ya sudah buat ayang kesal berhari-hari, tidak mendengarkan saran dan firasat ayang. Maaf ya aku salah.”

“Aku kan udah bilang jangan mau diajak kerjasama feeling aku jelek. Kamu bilang aku cuma susudzon, padahal aku udah bilang gak enak banget perasaan aku. Yaudah kamu gak percaya sama aku, padahal feeling seorang istri bisa jadi bocoran dari malaikat.” Ralina melepaskan kekesalannya lalu beristighfar begitu pelan.

“Iya maaf, lain kali aku dengarkan ayang. Aku hanya gak enak menolak ajakan makan malam beliau tanpa alasan, aku gak tau kalau beliau ada niat terselubung meminta ku untuk memadu putrinya.” Ralina melepaskan tangannya dari genggaman Harsa, ia lalu berdiri begitu saja.

“Duh aku mau ke ndalem belakang lupa ada janji sama Ummah.” Harsa menghela nafasnya begitu sang istri memilih masuk ke kamar mereka dan lagi-lagi mengabaikan topik percakapannya.

Ia menyusul kedalam kamar dan mendapati istrinya rupanya baru saja menghapus air mata, “ Ayang demi Allah aku tidak punya niat untuk berpoligami. Aku tidak akan menikah lagi, aku juga tidak minta izin untuk menikahi Aliyah. Aku hanya mau hidup sama ayang.”

“Kulo ke ndalem Ummah dulu njeh Gus.” Ralina tak mempedulikan penjelasan suaminya, ia menundukkan kepala begitu pamit pergi dan menyalimi sang suami.

Membuat Harsa lagi-lagi menghela nafasnya, “Ayang maaf...”

Satu jam setelahnya Harsa memberanikan diri menyusul Ralina ke ndalem orang tuanya di area belakang. Begitu sampai ia disambut dengan Buya yang tengah membaca koran harian di teras. Rupanya Buya baru selesai mengajar, kitabnya masih berada di atas meja.

“Assalamualaikum buya...” sapanya.

“Waalaikumsalam, duduk sini le.”

Harsa patuh lalu diam tanpa kata menunggu sang ayah berbicara, “Istrimu kenapa?”

“Ralina ceriyos?”

“Ndaklah, dia datang-datang bilang Ummah katanya pingin nangis dipangkuan ummah. Tadi ditanya ummah bilangnya abis nonton layangan putus. Sekarang tertidur dikamar kamu, tadi minta peluk Ummah. Kenapa? Bertengkar kalian?”

Harsa menundukkan kepalanya, “Ndak bertengkar Buya, hanya sedikit salah paham. Kulo salah memang.”

“Yowes susulo kono nang njero, ndang dimarikke jangan berlarut-larut.”

“Njeh Buya.”

Harsa hendak menyusul kedalam kamarnya tapi begitu sampai didepan pintu ia mendengar percakapan sang ibu dengan istrinya, “Ummah, buya pernah minta izin berpoligami ndak?”

“Alhamdulillah ndak pernah, kalopun pernah juga Ummah gak akan ngasih izin juga. Ummah gak akan sanggup, kenapa? Harsa minta izin poligami iya? Mana sini anaknya nanti ummah jewer kalo sampek berani begitu sama kamu.”

Harsa tersenyum dengan percakapan dekat dua perempuan yang paling dia cintai itu, ia lalu membuka pintu, “Assalamualaikum, perempuan hebatku lagi ngobrolin apa ini?”

“Waalaikumsalam, tuh udah ada Harsa Ummah keluar dulu ya mau masakin Buya sambel terong.” Meski dengan berat hati Ralina melepaskan pelukannya ditubuh sang ibu mertua. Entahlah ia sedari pagi begitu ingin dimanja Ummah.

“Lak tukaran ndang dimarikke, seng teges jadi suami. Njauk ngapuro nang cah ayu ku.” pesan Ummah sebelum keluar kamar dengan menepuk pundak putra kebanggaannya.

Harsa baru melangkah 3 langkahan mendekati istrinya tapi Ummah kembali membuka pintu, “Oh lupa Gus, jangan lupa telpon dokter Aisyah niku Ning gerah.”

“Dokter Aisyah kan dokter kandungan Ummah?”

“Memang, tanya saja istrimu.”

Ummah melenggang pergi begitu saja, membuat Harsa mengerjap berkali-kali menatap Ralina yang kini menatap kearah luar jendela dengan punggung yang ia sandarkan ke kepala ranjang.

“Ayaang?” Harsa mendekat dengan wajah tidak percayanya, “Ayaang...”

“Hmm dalem...”

“Aku minta maaf ya...maaf sekali...”

“Iya dimaafkan.”

“Ayang, boleh pegang perut?”

“Ndak boleh.”

“Ayang...”

“Nunggu dokter Aisyah dulu.”

Harsa tidak lagi berkata-kata ia memeluk sang istri dari samping begitu erat dan berkali-kali mengecupi pipi Ralina.