Jenoah menghembuskan napasnya berat. Penggerebekan yang begitu menguras tenaga, anak buahnya ada yang tertembak tapi syukurlah target akhirnya bisa di lumpuhkan dan kini pimpinan mereka telah di tangkap.
Jenoah menatap sosok di depannya, lelaki paruh baya yang kini tangannya terborgol duduk di kursi interogasi. Ia melangkah mendekat, siap mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Karena sedari tadi laki-laki itu enggan menjawab.
Jenoah membuka ponselnya menatap foto seorang gadis di ponselnya, lalu menunjukkan potret gadis itu pada tersangka di depannya.
” Putrimu cantik, tidakkah sangat di sayangkan jika ia harus terluka?” Jenoah memberikan ancaman agar bedebah di depannya ini membuka suara.
” Kau tidak akan berani melukainya.” Pak tua itu berbicara sangat tenang, terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang di kepalanya tertempel moncong pistol.
” Kenapa tidak? Jangan meremehkanku.” Ucap Jenoah lantang.
” Kau mencintai putriku, kau tidak akan pernah berani menyakitinya seujung kuku pun.” Jenoah menelan ludahnya dengan susah payah. Kegelisahan yang sedari tadi ia tahan akhirnya muncul.
” Anak muda kau pikir aku tidak mengawasi siapa saja yang berada di dekat putriku? Aku bahkan sudah tau pada akhirnya kau juga yang akan membelukku disini.”
Pak tua itu menjeda kalimatnya, lalu menatap Jenoah dengan intens.
” Shirina adalah harta paling berharga yang ku punya, ia tidak pernah memakai uang-uang haramku. Aku menyiapkan perusahaan ibunya untuk biaya hidupnya. Mungkin setelah ini aku bukan ayah yang baik baginya, tapi aku ingin dia mendapatkan figur yang lebih baik dariku...”
” Shirina sebatang kara setelah ini, bisakah kau berjanji untuk menjaganya setelah aku pergi? Tolong bahagiakan putriku Jenoah.”
Akhir dari perbincangan itu adalah eksekusi mati yang tak lagi dapat di hindari.
Shirina maaf.