Jum'at pagi biasanya diisi dengan kegiatan istighosah bersama seluruh santri di masjid utama yang terletak di tengah-tengah pesantren. Biasanya setelah pembacaan istighosah, Harsa melakukan ngaji singkat dengan ngesai bersama sekitar 15 menit. Namun hari ini ia meliburkan dulu acara rutin itu, dan akan diganti ketika malam hari nanti.
Harsa pulang dengan sedikit melebarkan langkahnya, bahkan ia tidak mampir ke asrama putra terlebih dahulu seperti Jum'at biasanya. Ia menyegerakan pulang ke rumah begitu tadi melirik ke barisan shaf pertama santri putri tidak ada istrinya disana.
Harsa merasa sedikit gusar, pasalnya tadi selepas sholat malam mereka Ralina mengeluh sedikit pening. Dan mengatakan ia ingin sholat shubuh di rumah saja, dan akan menyusul ketika istighosah berlangsung.
Begitu memasuki kamarnya ia melihat sang istri tengah meringkuk diatas ranjang. Harsa panik dan langsung memeriksa keadaannya.
“Ayang kenapa?” tanya nya khawatir. Tangannya meraba dahi Ralina.
“Hmmm...” Ralina mengerjapkan matanya, sedikit berjengit dari tidurnya.
“Loh ayang belum berangkat ke masjid?” Harsa mengerti rupanya sang istri ketiduran sehabis sholat shubuh. Terlihat juga dari mukenahnya yang masih tergeletak di samping pembaringannya.
“Baru saja pulang ini.”
“Astagfirullah, aku krtiduran.” Ralina mencoba untuk bangkit tetapi Harsa menahannya.
“Tiduran aja gapapa, ayang kayaknya kurang fit.” Ralina hanya mengerjapkan matanya setuju dengan pernyataan Harsa. Tubuhnya memang terasa begitu lemah pagi ini.
Harsa melipat mukenah milik istrinya lalu menaruhnya di tempat biasa sang istri meletakkan peralatan sholat mereka, “Terima kasih.” Ujar Ralina lirih.
Suaminya itu kemudian duduk di tepi ranjang membuatnya menggeser badan sedikit ke tengah. Tangan Harsa juga mengelusi pelipisnya pelan, sesekali memberikan pijatan.
“Masih pening? Maaf ya ayang beberapa hari ini harus keramas terus tiap dini hari.” Harsa mengecup kening istrinya lama, ia merasa bersalah membuat Ralina harus keramas setiap hari, apalagi rambut perempuan itu begitu panjang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengeringkannya.
Ralina tentu saja merona, lalu memukul pelan dada Harsa. Ia memeringkan tubuhnya ke arah sang suami lalu memeluk pinggang Harsa dari samping, “Apa sih...”
“Nanti malam engga deh, ayang lagi gak enak badan gini.” Ralina terkekeh dan semakin menyembunyikan wajahnya yang pasti semakin memerah.
“Aku lagi kedatangan tamu dari tadi pas mau ambil wudhu sholat shubuh, makanya niatnya meringkuk bentar buat ngilangin kram perut eh malah ketiduran.” Penjelasan Ralina membuat Harsa ikut merebahkan tubuhnya di samping sang istri dan tangannya mengelus perut Ralina yang terbalut gamis.
“Emang aku disuruh puasa dulu ini berarti, biar gak bikin ayang keramas mulu.” lagi-lagi Harsa menggodanya, tangan Ralina kembali melayang di dadanya kali ini lebih keras.
“Jangan digodain terus,” rengeknya.
“Kenapa ayang malu ya?”
“Ssstt diem! Dilepen nih aku...” Ralina meringis kala perutnya kembali terasa nyeri. Harsa cekatan mengelusinya berharap sentuhannya bisa mengurangi rasa nyeri yang membuat istrinya meringis itu.
“Enakan gak aku elus begini?” Tanyanya yang hanya di jawab anggukan oleh Ralina.
“Ayang...”
“Dalem?”
“Mau denger pengakuan dari aku gak?”
“Pengakuan apa?” Ralina mengernyit heran lalu menatap Harsa dari bawah. Laki-laki itu juga menatapnya, tatapan yang tidak pernah berubah selalu penuh cinta.
“Tentang aku, Najwa, dan kamu.”
“Kok ada aku?”
Harsa kini memeluk pinggang Ralina dan memangkas jarak antar keduanya, kaki laki-laki itu di naikkan satu ke atas kaki Ralina. Kebiasaan ketika ia tidur memang menjadikan Ralina gulingnya.
“Iya, kamu juga bagian dari cerita diantara aku dan alamarhumah”
Ralina menyamankan posisinya, mensejajarkan posisi kepalanya dengan kepala Harsa dengan menatap mata suaminya ia kini siap mendengarkan kisah yang akan Harsa ceritakan.
“Sekitar setahun yang lalu saat masih di Andalusia, Buya memberi kode dengan mengatakan kalau dulu Gus Sena ketika meminang Ning Ayes waktu seusia aku, persis setelah menyelesaikan tesisnya.” Ralina mengangguk, kakak perempuan Harsa memang menikah bersama sang suami tepat setelah mereka berdua sama-sama menyelesaikan pendidikan S2 nya.
“Sebagai putra Buya satu-satunya aku sadar, kelak yang akan meneruskan perjuangannya adalah aku. Meski Ummah dan Buya tidak mengucapkannya secara langsung aku tau mereka sedang menunggu kapan aku datang pada mereka untuk meminta dipinangkan seorang perempuan.”
“Begitu pulang ke rumah, Ummah seringkali menceritakan beberapa putri dari kenalan Buya. Rupanya waktu itu ummah sedang merekomendasikan calon istri.” Ralina sama sekali tidak memotong cerita suaminya.
“Ada nama ayang suatu hari dalam cerita Ummah, aku masih ingat waktu itu ummah menceritakan kalo ayang baru saja menyelesaikan hafalan beserta Sarjana.” Harsa tersenyum begitu mengingat cerita sang ibu tentang istrinya dulu.
“Jujur setelah pembicaraan sore itu tiba-tiba wajah ayang sering muncul di kepala. Brisik banget bahkan ketika aku menyelipkan do'a meminta calon istri yang seperti apa. Aku hanya berdo'a dipertemukan dengan perempuan yang paling pas menurut Allah denganku, tapi setiap kali do'a itu tersebut wajah ayang selalu terbayang.”
Ralina terkesiap, benerkah cerita suaminya itu?
“Masa sih?”
“Iya Ayang ngapain waktu itu gangguin pikiran ku? Aku sampek sering istighfar tiba-tiba.” Harsa mencubit hidung mancung milik istrinya itu yang tengah menatapnya gemas.
“ih aku mana tau lah, itu brati kamu aja yang emang naksir berat sama aku.” Ralina terkekeh niatnya menggoda Harsa.
“Ya emang.”
“Yang bener?” Ralina menaikkan suaranya terkejut dengan pernyataan itu.
“Siapa sih yang gak naksir ayang? Dulu di asrama putra ayang tuh selalu jadi pembicaraan tau.”
“Eh brati sering gosipin aku ya?”
“Bukan aku sih, tapi mas santri yang lain. Aku cuma dengerin aja.”
“Huuu sama aja dong kamu ikut gosipin aku.” Harsa tergelak dengan perubahan eksprei istrinya yang dibuat-buat seolah kesal.
“Terus-terus ayo lanjut ceritanya.” Ralina sungguh penasaran dengan kelanjutan cerita Suaminya. Ia bahkan begitu antusias sampai melupakan nyeri perutnya.
“Nah kebetulan minggu depannya waktu itu aku gantiin Buya di acara tabligh akbar di ndalem kamu? Inget gak?” Ralina berpikir sejenak mencoba mengingat kapan tepatnya itu, lalu ia mengangguk mantap.
“Saat itu Baba cerita kalau kamu masih ada rencana untuk melanjutkan S2 ke Yaman. Terus aku jadi inget dulu waktu kecil tiap kali kamu ke rumah selalu cerita sama Ummah pingin pergi ke Yaman. Dari situ aku merasa kamu belum siap untuk dipinang, aku juga tentunya tidak mau menghambat mimpi kamu. Yasudah pasrah saja kepada Allah berarti memang bukan jodohnya.”
“Sepulang dari sana aku bilang sama Buya sama Ummah untuk dicarikan calon istri yang terbaik menurut mereka bagaimana, insyaallah aku mau. Waktu itu aku rasa tidak baik berlarut dengan harapan tidak pasti.” Ralina mengangguk membenarkan perkataan suaminya. Ia juga turut menelusup di dada Harsa dan jemarinya menggenggam tangan sang suami ketika dirasa cerita akan memasuki kisah suaminya dengan perempuan lain.
“Setelah itu, sebentar...” Harsa menjeda ceritanya untuk menunduk dan mencium kening istrinya beserta sudut bibirnya.
“Ayang gak apa-apa aku ceritakan tentang Najwa?”
“Gak papa, lanjut aja. Tenang aku gak akan cemburu.”
“Cemburu juga tidak apa-apa loh, sayyidah Aisyah saja sempat cemburu berat pada sayyidah Khadijah.” Goda Harsa.
“Apa sih, ayo lanjut ceritanya udah penasaran nih.”
Harsa terkekeh sebelum melanjutkan ceritanya, “Aku ingat hari itu hari Jum'at selepas sholat Jum'at Buya menyampaikan ada lamaran yang datang. Lamaran dari ayahanda almarhumah yang menginginkan aku menjadi menantunya. Dari cerita yang Ummah sampaikan kala itu Najwa sedang sibuk menyelesaikan pendidikan di Istanbul. Tetapi dia meminta untuk dicarikan suami.”
“Seperti yang mungkin kamu sudah tau, setelah pinanganku diterima Ayahanda meminta akad nikah. Hari itu meski belum resmi secara hukum negara tapi Najwa telah menjadi istriku. Setelahnya kami sering berkomunikasi lewat telpon atau video call.” Ralina bergeming terus mendengarkan cerita suaminya. Ia waktu itu hadir di acara pernikahan siri Harsa dan Najwa bersama kedua orang tuanya. Kebetulan Baba nya menjadi saksi pernikahan mereka.
“Sebulan setelahnya aku ke Turki, mengunjunginya yang tengah mempersiapkan kelulusan. Akhirnya setelah sebulan menikah kami bisa bertemu secara tatap muka.” Harsa kembali menjeda ceritanya, ia menatap Ralina memastikan perempuannya tidak apa-apa dengan kelanjutan ceritanya.
“Ayang bener gak apa-apa kalo aku lanjut ceritanya?”
Ralina mengangguk, lalu mendongakan kepalanya untuk mengecup singkat bibir suaminya. “Gak apa-apa habibi, lanjut aja.”
“Okeii, sini sun lagi dulu.” Harsa membalas dengan kecupan singkat sebelum melanjutkan ceritanya.
“Aku hanya punya waktu 3 hari untuk mengenal Najwa, selama itu kami memanfaatkan waktu yang ada untuk menikmati keindahan konstantinopel dan berkeliling ke tempat-tempat yang Najwa suka.”
“Ayang maaf ya, di Turki aku jatuh cinta pada Najwa.” Ralina tersenyum dengan menggeleng mendengar permintaan maaf dari Harsa.
“Kenapa minta maaf? Mbak Najwa kan istri kamu waktu itu sudah seharusnya kamu mencintainya.”
“Ayo lanjut lagi ceritanya.”
“3 hari disana aku mengenalnya lebih dalam. Dia perempuan yang begitu mulia. Kami benar-benar hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan. Tidak ada kesempatan beribadah sebagaimana suami istri karena waktu itu Najwa sedang dalam masa udzurnya. Meski aku tidak memintanya tapi Najwa mengucapkan beribu maafnya karena tak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.”
“Belakangan aku mengerti dibalik semua cerita yang terjadi diantara kami, Allah menjaga Najwa untuk tetap suci sampai kembali kepangkuan-Nya.” Ralina tercengang mendengar penuturan Harsa, ya tuhan dugaannya selama ini ternyata salah besar.
“Berati ayang...”
“Iya, bukan hanya aku yang menjadi pertama untuk ayang. Ayang juga yang pertama buatku.”
“Masyaallah...”
“Mungkin memang sudah takdirnya begitu, Najwa bukan jodoh yang benar-benar Allah siapkan untuk menemani jihadku di dunia. Aku titip disetiap do'a ayang ya, untuk mendoakan almarhumah. Beliau orang baik.” Ralina mengangguk mantap, pasti dia akan selalu mendoakan mendiang istri suaminya itu.
“Sehari sebelum kepulangan almarhumah, ia menelpon dan bercerita ada satu tempat di Turki yang belum sempat ia kunjungi. Dia bilang dia ingin sekali pergi ke kapodakia, dan meminta ku berjanji untuk datang kesana kelak.”
“Aku rasa itu adalah hutang yang harus aku bayar, itu seperti wasiat almarhumah. Ayang tidak keberatan kan kalau suatu hari aku ajak kesana? Menenaikan janji pada alamrhumah.”
Ralina tentu mengangguk antusias, namun kemudian ia teringat sesuatu dan langsung menggeleng membuat Harsa bingung.
“Its her dream, not mine mas!” Harsa tergelak begitu menyadari Ralina meniru dialog dari sebuah sinema terkenal.
“yeee itu mah series yang lagi kamu tonton.” Harsa menguyel pipi Ralina dengan gemas membuat perempuan itu tertawa.
“Ahahahaha, iya iya nanti kita ke kapodakia sesuai dengan janji ayang ke mbak Najwa.”
“Masih lanjut gak nih ceritanya?”
“Masih, hari itu tepat 2 bulan pernikahan kami. Aku begitu antusias bersiap menjemputnye ke bandara. Dia bilang ketika pulang ingin mencoba soto Lamongan kesukaannya, aku bahkan sudah memesan tempat. Lalu tiba-tiba Ummah mengetuk pintu dengan tangisan, dan menyampaikan bahwa pesawat yang Najwa tumpangi telah jatuh ke laut.”
“Mulanya aku merasa tidak nyata, malamnya Najwa bahkan masih meminta dibacakan surah Ar-rahman kesukaannya sebelum tidur. Tapi ternyata takdir memang begitu adanya, kita sebagai manusia hanya bisa ikhlas dan berpasrah atas takdir yang telah Allah tentukan. Rupanya Allah begitu menyayangi Najwa, Dia tidak mengizinkan aku lebih lama mencintainya. Hari itu Ayahanda juga menyampaikan untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, dan tidak berharap jenazah Najwa dapat di evakuasi.” Ralina meremas baju kokoh suaminya, itu adalah cerita yang begitu malang.
Ralina ingat sekali bagaimana Uminya berterimakasih begitu besar padanya karena membatalkan studinya di Yaman. Karena dari awal Uminya enggan melepas kepergiannya, apalagi pesawat yang Najwa tumpangi adalah pesawat yang sama yang di jadwalkan membawanya ke Yaman.
“Sepuluh hari setelah kepergian Najwa, Ayahanda datang ke ndalem menemuiku langsung. Beliau langsung menodong dengan pertanyaan apakah aku punya rencana untuk segera menikah lagi.”
“Dawuhnya waktu itu aku tidak perlu menunggu lebih lama untuk menikah lagi, tidak ada tenggat Iddah untuk seorang laki-laki. Ayahanda bahkan menawarkan diri untuk mencarikan calon istri. Tapi aku bilang setidaknya tunggu sampai 40 hari kepergian almarhumah.”
“Menjelang 40 hari almarhumah, aku baru tau kalau ayang tidak jadi berangkat ke Yaman. Aku bertanya pada diri sendiri, apakah ini takdir yang Allah sudah tentukan? Begitu bercerita pada Ummah, beliau sarankan aku untuk beristikharah. Dan akhirnya aku mendapatkan jawaban dengan hari itu ayang datang ke rumah Ayahanda, lalu ibu memeluk ayang bukan? Beliau juga tersenyum dengan mengatakan padaku, ayang seperti putrinya sendiri.”
Ralina mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa takjub dengan takdir yang terjadi pada mereka. Benar-benar skenario yang kompleks tak tertrbak. “Atas saran ayahanda dan Buya hari itu aku beranikan diri bertamu ke ndalem Baba. Rasanya menegangkan ketika Baba memanggil ayang untuk keluar, aku takut ayang menolak lamaranku.”
Harsa mengelusi rambut Ralina, dan semakin mengeratkan pelukannya.
“Terimakasih ya hari itu ayang menganggukkan kepala, aku langsung lega luar biasa disertai perasaan yang begitu membuncah.” Ralina membalas ucapan terimakasih suaminya dengan mengecup dagu Harsa dari bawah. Kemudian ia kembali menenggelamkan wajahnya di dada Harsa, ia sedang menahan tangis haru atas takdir yang terjadi pada mereka.