Malam itu Mira mendapatkan hadiah pelukannya, cukup lama sampai ia sendiri yang melepaskan diri dari dekapan Hema. Alun-alun Nusanesia begitu sepi, hanya ada mereka bertiga tentunya dengan Mahatma yang berada di kejauhan.
“Kamu kenapa ?” Hema sepertinya peka sedang terjadi sesuatu dengan perempuannya.
“Mas, aku bukan perempuan yang suka membandingkan diri dengan perempuan lain. Aku tidak pernah merasa kurang dengan apa yang aku miliki, aku cukup percaya diri dengan apa adanya aku. Tidak peduli seberapa lama dan jauh hubunganmu dengan perempuan sebelumnya aku tidak perlu merasa kurang darinya, kalau kamu sudah memilihku artinya aku sudah layak bukan?”
Natsyamirah menjeda kalimatnya, memastikan bahwa pandangan Hema melekat padanya “Tapi aku tidak suka dengan hubungan yang belum selesa,”
“Hubunganku dengan Erika sudah selesai jauh sebelum aku bertemu kamu,”
“Bukan dengan Erika tapi dengan” Hema menyela ucapan Mira yang belum selesai itu “ Aku tidak pernah punya hubungan dengan perempuan lain selain Erika.” Mira menyandarkan punggungnya dibangku taman, melihat ke segala arah asal tidak bersitatap dengan Hema.
“Dengan anak menteri itu tidak pernah terjadi apapun selain kencan buta yang pernah dirancang orang tuanya. Dengan Roroajeng, kami tidak berkencan.”
“Tapi Mas Hema masih menggantungnya bukan?”
“Harusnya dia tau kami tidak bisa dilanjutkan dan sudah selesai.”
“Mas kamu tidak menyampaikan pamitmu, membuat dia merasa aku merebutmu.”
“Kamu tidak merebutku dari siapapun Mira!”
“Kemarin aku satu acara dengannya, ia menyampaikan banyak hal tentang kalian. Banyak janjimu yang belum kamu tepati terhadapnya. Selesaikan itu dulu mas, baru temui aku lagi. Atau,”
“Kamu mau apa Samira?”
“atau lebih baiknya memang kita berpisah dulu, kita masing-masing masih saling menyembunyikan satu sama lain. Itu bukan sebuah pondasi yang tepat, aku belum mengenal kamu sebaik kamu mengenalku.”
“Samira! Jangan ngaco kamu, kita udah persiapan pernikahan kita udah enam puluh persen.”
“Justru itu mas, ayo selesaikan dulu masing-masing dari kita. Urusan Mas Hema dengannya, begitupun dengan aku yang masih berusaha mencintaimu.”
Natsyamirah meninggalkan Hema sendirian di bangku taman, pemuda itu mengacak rambutnya dan berteriak kesal. Meski begitu tetap memerintah Mahatma untuk mengantar calon istrinya itu kembali ke rumah “Mahatma, antarkan Mira sampai rumah. Mulai besok kurangi penjagaannya.”