Mira dan Hema memisahkan diri dari rombongan kepresidenan selepas makan siang bersama. Mereka atau lebih tepatnya Hema memilih (memaksa) untuk berkendara sendiri dan hanya mengizinkan Mahatma mengikuti mereka dengan mobil lain.

“Gimana tadi ketemu keluargaku?” Mira yang tadinya asik memandangi jalanan tol baru dari Semara ke Nusanesia kini menoleh ke arah si pengemudi, Hema Chandra.

“Asyik, seru banget apalagi sama Nay.” Mendengar jawaban antusias Mira, tentu saja Hema tersenyum lebar.

“Udah gak nervous kan?”

“Awalnya tadi aku nervous, tapi Ibu ah maksudku mama yang welcome banget jadi berasa udah kenal lama banget. Aku ga nyangka Nay dan Mbak Nat juga se-seru tadi. Terakhir ketemu mbak Nat, masih ada sedikit kecanggungan. Tapi tadi seneng banget bisa akrab sama mereka.”

“Syukur deh kalo kamu nyaman selama acara tadi.”

“Aku enjoy kok, itu juga berkat Mas Hema. Makasih udah ceritain aku ke mama, Mbak dan Nay sebenarnya jadi aku merasa sangat diterima tadi.”

Hema menggenggam sebelah tangan Mira, “Tentu tugasku mengenalkan kamu pada keluargaku supaya kamu di terima.”

Mira menatap laki-laki disampingnya dengan lamat, dipandang begini Hema terlihat begitu tampan tak menampilkan sisi tengilnya seperti biasanya.

Setelah beberapa menit Hema bersuara kembali, “Sudah puas menatap ketampanan ku?”

“Ahahahhaha pede banget.”

“Mira akhir tahun ayo menikah, aku sudah bilang ibu dan ayahmu kemarin. Tadi sebelum perjalanan ini, mama dan papa juga sudah merestui.” Yang di ajak bicara hanya mampu mematung, masih kesulitan mencerna ucapan yang baru ia dengar.

“Bentar, Mas Hema bilang apa?”

“Ayo nikah sama aku.”

“Wah to the point banget.”

“Sudah menemukan yang aku cari, buat apa ditunda lagi?”

“Ini kamu ngajak pacaran aja engga, langsung gas nikah aja.”

“Oh kamu maunya pacaran dulu?”

“Maksudnya tuh minimal kamu nanyalah aku mau atau engga nikah sama kamu gitu.”

“Gak, aku gamau kasih kamu pilihan buat nolak. Aku mau kamu nikah sama aku.”

Mira melepas genggaman tangannya, lalu memijit pelipisnya “bentar mas aku pusing mencerna omongan mu.”

“Kita nikah akhir tahun ya?”

“Sek toh, kenapa akhirnya mantep sekali ngajak aku nikah?”

“Kriteria jadi istriku cuma 3 Mira, dan kamu sudah memenuhi ketiganya.”

“Emangnya apa aja?”

“Yang aku suka, yang aku suka banget, yang aku suka sekali.”

“MAS HEMA!”