— Nothing but Everything.
Cara terbaik untuk tetap mempertahankanmu adalah tidak memilikimu.
Haechan menatap puan di hadapannya dengan begitu datar, ia baru saja duduk di atas ranjang ketika si puan menatapnya nyalang penuh amarah.
“Berantemnya jangan sekarang ya? Gue capek banget abis latian, niatnya dateng ke tempat lo mau istirahat.”
Tapi Somi, si puan di depannya ini rupanya enggan mengerti. Meski jelas betul Haechan begitu lelah, Somi tetap mengibarkan bendera perangnya.
“ Justru itu gue udah bilang berkali-kali kalo lo capek dan butuh healing dateng ke tempat cewek lo, jangan ke gue!”
“ Som, gue beneran capek dan gak minat ngeladenin lo”
Haechan kali ini sedikit meninggikan nada bicaranya, berharap Somi mengerti hendaknya malam ini.
“ KALO GITU LO PULANG!! GAK USAH NEMUIN GUE LAGI!!”
“ LO KENAPA SIH?!”
Haechan ikut tersulut mendengar bentakan Somi, terhitung ini adalah pertengkaran ketiga mereka dalam minggu ini.
“ Lo yang kenapa!? Cewek lo ngehubungin gue mulu, nanya kabar cowoknya gimana? Cewek lo Chan, cewek lo!? Gimana bisa dia nanyain kabar cowoknya ke gue?”
“ Tinggal lo jawab gue sibuk latian, beres gak perlu ngajak berantem gini!”
“ Lo mikir gak sih, gue di mata cewek lo kayak apa? Justru gue yang bukan siapa-siapanya elo lebih tau daripada dia, lo pikir di mata dia gue masih baik-baik aja?!”
“ Kita udah bahas ini berkali-kali...”
“ Justru itu Chan, harusnya lo udah ngerti. Gue punya cowok, harusnya gue siap sedia buat cowok gue bukan cowok orang! Gue capek tau gak?!”
Haechan menatap Somi tidak percaya, jadi apakah kehadirannya menjadi beban di kehidupan gadis itu sekarang? Meski sering bertengkar, Somi sekalipun tidak pernah mengeluh lelah dengan tiap cek cok mereka.
Tapi malam ini....
“ Oh apakah kehadiran gue sekarang begitu menganggu? Apa cowok lo yang gak suka gue sering dateng kesini? Atau gue udah tergantikan sama dia?”
Haechan kini tertawa remeh, miris pada dirinya sendiri.
“ Kenapa lo tanya gue? Tanya sama dia, kan temen lo sendiri. Harusnya lo udah tau tanpa dia bilang pun dia pasti keberatan ceweknya di datengin cowok lain.”
Haechan bangkit dari duduknya begitu saja, berjalan ke arah pintu keluar. Mungkin merasa bahwa apa yang di ucapkan Somi itu benar, ia tidak tau posisi dan sekenanya sendiri.
Tapi, di depan pintu ia berhenti teringat sesuatu yang sepertinya perlu dia pastikan lagi.
Perihal rasa mereka...
“ Gue janji gak akan datang kesini lagi, asal jawaban lo udah berubah dari tempo hari.”
Somi enggan menatap Haechan yang kini mengintimidasinya, ia tau pertanyaan apa yang akan pemuda itu layangkan.
“ Do you still love me?”
Somi tidak lagi berapi-api seperti tadi, ia begitu saja drastis menjadi sendu. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca, dan di pastikan suaranya akan bergetar setelah ini.
“ Lo selalu nanya hal gak penting buat ngulur waktu...”
“ Whatever menurut lo penting apa engga, tapi buat gue ini penting. Gue perlu tau sekuat apa gue lo pertahanin.”
Terjadi jeda sepersekian detik, sebelum Haechan kembali menuntut jawaban.
“ Do you still love me? Ayo jawab!”
“ Lo tau jawabannya akan selalu sama!”
Setelah pekikan itu tangis Somi akhirnya pecah, dadanya terasa begitu menyesakkan.
Entahlah membahas tentang Haechan dan dirinya selalu penuh luka, tapi bodohnya tetap ia genggam sekuat tenaga.
Haechan kini menyunggingkan smirknya, see? He is unbeatable!
“ Gue tau, gue gak akan tergantikan siapapun. Dari dulu kita juga gak pernah berubah, tetep saling nyakitin.”
Setelahnya pemuda itu menghilang di balik pintu, meninggalkan Somi yang semakin keras menangis. Sekali lagi tentang Haechan selalu menyakitkan.
“ Gue lebih takut kehilangan lo dari apapun di dunia ini.”
Monolog Somi pada dirinya sendiri malam itu di sambut suara petir dan gemuruh hujan yang tiba-tiba saja mengguyur kawasan apartemennya. Seolah semesta ikut bersedih dan terluka dengan situasi mereka, tak terikat namun dekat.
Tak pernah ada tapi lebih dari segalanya.
Keduanya saling yang enggan asing, padahal masing-masing.
Menyakitkan yang terus mereka rawat, karena bagaimanapun bersama adalah obatnya.