Panji membawakan beberapa makanan untuk adik-adiknya di asrama mereka. Meski sebenarnya tujuannya kesana hanya untuk menghampiri Esha yang sudah seminggu tidak kembali ke asramanya.

“Esha dikamar siapa?” tanyanya pada si bungsu.

“Kamar mas Reno, tadi lagi kelon sama mas Dika.”

Panji melotot mendengarnya, “Huss mulutmu!” tegurnya

“hehehehe bercanda mas, lagian seisi asrama juga tau mas Esha lebih suka ngelonin cewek orangkan bukan cowok.” Panji menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan filter mulut penghuni asrama ini, obrolan mereka seringkali diluar batas kendali.

Begitu memasuki kamar Reno, Panji disambut dengan pemandangan Esha yang tertidur dengan Dika disampingnya yang sedang melukis, “Eh mas Panji? Bangunin aja mas tidur mulu dia semingguan. Aku tinggal ya.” Seolah mengerti keadaan Dika membiarkan Panji untuk berdua dengan Esha.

“bangun! Ada mas Panji.” Dika menarik selimut Esha sebelum keluar dari kamar Reno.

Begitu nyawa pemuda itu terkumpul, Esha menaruh kepalanya diatas pangkuan Panji. Tak lupa dengan tangan yang memeluk erat pinggang pemuda yang lebih tua 4 tahun darinya itu. Hal yang sebenarnya tidaklah asing namun tak pernah terlihat orang lain.

“Mas...i love her...” suara Esha tercekat tanpa menoleh pun Panji tau, adik kesayangannya itu sebentar lagi akan menangis.

“Gue kan udah pernah bilang, jangan main api tapi lo bandel banget melangkah sampai sejauh ini.” Panji mengehela napasnya kasar, meski begitu tapi tangannya terulur untuk mengelus rambut Esha.

“Kenapa mas? Karena lo gak mau gue merebut dia?”

Panji lagi-lagi menarik napas berat, “Dapat kesimpulan darimana? Apakah gue terlihat memihak satu sisi?”

Esha bangkit dari duduknya, menegakkan bahu dan kini bersila menghadap Panji “Gue bahkan dari awal udah mempersiapkan diri kalo lo tonjokin nantinya.”

“Tapi gue gak nonjok lo kan?”

“Lo salah kalo berpikir gue melarang lo melangkah sejauh ini buat ga ngerebut pacar orang, tapi gue gak mau lo patah hati dan terluka kayak gini. Gue gak mau lo ngerasain bertepuk sebelah tangan —”

Esha menyela ucapan itu dengan cepat, “Mas gue gak bertepuk sebelah tangan.”

“Iya gue tau, tapi apakah Emely memilih satu diantara kalian berdua? Engga kan? Dia gak milih siapa-siapa. Dia ninggalin lo yang lagi hancur sendirian.”

“Gak cuma lo yang hancur, tapi tim kita juga ikut berantakan.”

Esha terdiam, ia tak lagi punya sangghan untuk di ucapkan faktanya perkataan Panji memang benar adanya. Tim mereka tidak dalam kondisi solid karena ulahnya akhir-akhir ini.

“Gue gak suka liat lo terus-terusan ngurung diri dan sedih gini. Ini alamat Emely tinggal beberapa hari ini, temuin dia obrolin dan selesaikan urusan kalian secara dewasa.” Panji memberikan kertas kecil berisikan alamat Emely.

“Mas...?”

“Tolong jangan sia-siain kesempatan ini, gue tengkar dulu buat ngebujuk Shirin ngasih alamat itu.” Esha tak lagi menjawab tapi justru memeluk Panji begitu erat.

Harusnya dari awal Esha tau bukan, kalau Panji akan berada dipihaknya.