Ralina berjalan dengan langkah kecilnya menyusuri lorong sekolah yang saling bersahutan terdengar nadzoman para santri dari dalam kelas. Gamis merah maroon dipadukan dengan Rabbani softpink yang sempurna menutupi dada sampai ke pinggangnya, perpaduan warna yang pas dengan kulit putih susu miliknya.

((Nadzoman adalah media untuk menghafal))

Meski tanpa makeup tebal, Raline tetap terlihat begitu cantik. Wajahnya bersinar begitu berseri-seri, entah karena air wudhu yang tak pernah ia lupakan atau efek dari euforia pengantin baru. Eh.

Ralina baru menikah, sebulan lalu.

Bibir mungilnya sesekali mengikuti nadzoman, sekaligus melalar hafalannya agar tidak lupa. Kebetulan jadwal lalaran di sekolah hari ini adalah tasrif istilahi, pelajaran yang ia sukai dulu semasa mengemban pendidikan di pesantren.

((Tasrif istilahi adalah bagian ilmu shorrof, ilmu yang mempelajari tata bahasa arab))

“Fa'ila yaf'ilu fi'lan...” itu Bab 6 dari fi'il tsulasi mujarrod. Lalaran pelannya terhenti ketika seorang ustadzah menyadari kehadirannya.

Yang tadinya seorang ustadzah itu berdiri di depan kelas, mungkin sedang memantu lalaran di dalm kelas sekarang langsung menundukkan kepalanya berjalan mundur mempersilahkan Ralina untuk masuk ke dalam kelas.

“Monggo Ning sampun mantun laré-laré lalaranipun.” Tangan sang ustadzah mengepal dan menunjuk dengan jempolnya.

((Lalaran : mengulang hafalan))

Ralina tersenyum dan mengangguk anggun, “Nda papa Us, biarkan diselaikan dulu tinggal beberapa mauzun.” Sebenarnya sengaja Ralina tadi menunggu di balik dinding, ia tidak mau menginterupsi lalaran yang sudah jelas akan berhenti jika ia memasuki kelas detik itu juga. Toh bel pelajaran pertama belum berbunyi, hanya saja ia berangkat dari ndalem lebih cepat 5 menit tadi. Sengaja, sekaligus menemani suami berjalan menuju sekolah. Lalu keduanya terpisah di gerbang sekolah.

Begitu tidak lagi mendengar suara lalaran dari dalam kelas Ralina sekali lagi tersenyum sebelum mengangguk, “Saya masuk dulu ya Us.”

“Njih Ning.” Setelahnya ustadzah yang juga merupakan alumni santriwati itu menunduk menata alas kaki Ralina dengan posisi siap digunakan dari dalam kelas. Lalu berjalan mundur sampai menghilang dari jangkauan pandangan Ralina.

Memasuki kelas Ralina menyapa dengan senyuman manisnya. Senyuman yang beredar dikalangan santriwati menjadi salah satu alasan mengapa putra kiai mereka jatuh cinta pada Ralina.

Setelah mengucap salam dan membaca do'a qobla ta'alum, Ralina menyapa santriwati “Selamat pagi mbak, sudah sarapan?”

Dengan kompak mereka menjawab, “Pagi Ning, sampun.” ini merupakan salah satu yang disukai para santri dari Ralina, selalu menyapa mereka dan menunjukkan kepedulian dengan ceria.

“Alhamdulillah kalo begitu...”

“Ngapunten, Ning sampun sarapan?” Celetuk seorang santri diujung depan.

“Alhamdulillah sampun...”

“Kale sinten Ning?” Ujar yang lain menimpali, yang justru hal itu mengundang gelak tawa. Begitupun dengan Ralina yang merona dengan celetukan godaan itu, ia terkekeh.

“Eh nganu maksud kulo, sarapan kale nopo ngoten loh Ning...” Si santri menepuk bibirnya sendiri, mengoreksi pertanyaan.

“Njih sami kale nopo ingkang dipun dhahar mbak-mbak sedoyo niku. Sekarang hari Senin kan? Berarti waktunya dhahar rawon kan?” para santriwati itu mengangguk setuju, sampai lagi-lagi salah satu dari mereka kembali menyeletuk.

“Walah Ning, tirose kulo ten ndalem wonten menu spesial ngoten.” Ralina tersenyum dengan menggeleng pelan.

((Ndalem : sebutan rumah))

“Loh njih spesial toh, Ning kan dhahar e dipun rencangi kale Gus.” Lagi-lagi Ralina digoda, ia rasa pipinya sudah begitu memerah sekarang.

“Cieeee...”

Setelah menyelesaikan kekehan dan perasaan gelinya atas godaan itu Ralina mengintrupsi “Sampun njih, sak niku kulo absen riyen sak derenge lanjut ngesai.”

((Ngesai : memaknai kitab kuning dengan huruf pegon))

((Kitab kuning : kitab kosongan tanpa makna))

((Pegon : seni menulis arab, biasanya dengan bahasa daerah))

Namun begitu membuka buku absensi Ralina menyadari sesuatu, tidak ada bolpoin 3.0 yang biasa terselip di kitab kuningnya. Ralina merogoh saku gamisnya, siapa tau ia lupa memasukkan bolpoin khusus mengesai itu ke dalam saku. Namun ternyata tidak ada.

“Masyallah hi-tech saya sepertinya terjatuh...” Mendengar keluhan Ralina para santri meringis ngilu, bolpoin itu harganya lebih mahal dari bolpoin biasa. Dan apabila terjatuh akan membuatnya macet dan tersendat sehingga begitu tidak nyaman ketika digunakan.

Hi-tech jatuh, adalah mimpi buruk.

“Mba, boleh pinjam...” Belum selesai Ralina berbicara hendak meminjam bolpoin tetapi pintu kelas di ketuk oleh seorang santri.

“Assalamualaikum...”

“Waaalaikumsalam, Njih wonten nopo Mas?”

Santri tersebut menunduk begitu dalam, ia menjaga pandangan sebisa mungkin untuk tidak menatap satupun perempuan di ruangan itu. “Ngapunten Ning, niki bolpoin jenengan dugi Gus Harsa. Tirose ketinggalan wau ten meja makan.”

Ralina bangkit dari duduknya dan menghampiri sang santri yang kini berdiri dengan lututnya dengan tangan menjukurkan bolpoin Ralina sopan. “Masyallah, syukron njih Mas.”

< terimakasih ya mas>

“Kale niku Ning, wonten pesan dugi Gus...”

“Njih nopo?”

“Dawuhi Gus wau, mengke panjenengan mantun ngajar dipun rantos ten ngajenge masjid.”

Ralina lagi-lagi menahan pipinya supaya sebisa mungkin tidak merona, apalagi melihat para santriwati yang kini rasanya ikut menahan gemas dengan pesan dari suaminya itu.

“Njih, Njih, matur suwon Njih Mas.” Setelah santri tersebut pamit undur diri Ralina kembali memulai kelasnya.

“Mongga mbak do'anya...” Para santri menyambut dengan bacaan do'a pengharapan ilmu yang bermanfaat dari para mushonnif pengarang kitab.

“Qolal mushonnifu rahimahumullohu ta'ala wanafa ana bihi, wa bi ulumihi fid daraoini. Aamiin.”

((Do'a yg biasa di baca sebelum ngesai))

Setelahnya Ralina mulai membaca kitab kuning kosongan itu dengan sasa-an bahasa jawa yang akan di tulis oleh para santri. “Bismillahi kelawan nyebut asmanane Allah, Arrahmani kang moho welas ing dalem dunyo lan akhirat, Arrahimi kang moho welas ing dalem akhirat beloko.”

“Faslun, ai hada faslun utawi iki iku ono fasal.” Nada esai-an Ralina begitu khas, pelafalannya jelas dengan intonasi kuat meski bernada. Membuat para santri begitu senang jika mengesai kitab kuning dengannya.

Kurang lebih butuh 30 menit untuk mengesai satu fasal dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia berikut dengan keteranganya. Ada sisa waktu sekitar 10 menit sebelum jam pelajaran berganti.

Biasanya waktu tersebut Ralina gunakan untuk mendengarkan keluh kesah para santri, tentang apa yang membuat mereka merasa kurang nyaman di asrama. Atau ia gunakan untuk berbagi kisah para ulama' dan nilai nilai jihadnya.

“Alhamdulillah ngesai nya sampun, mbak-mbak ada yang mau di tanyakan?”

“Mboteeeen...”

“Kalau mboten kulo akhiri riyen Njih?”

“Njih..”

“Loh Ning tumben kajenge medal riyen? Biasanya nunggu bel.” Tanya Ara, santriwati yang tadi juga menggodanya.

“Lah jenengan sedoyo mboten wonten pertanyaan tirose, njih kulo akhire mawon.”

“Kulo sangkaaken kajenge medal riyen amergi dirantosi Gus.” Kan, lagi-lagi Ralina digoda.

“Astagfirullah...” Mau tidak mau Raline terkekeh, santriwati yang satu itu memang sedikit unik.

“Ngapunten Ning, kulo mung bercanda.”

“Njih mboten nopo-nopo, lucu jenengan.”

“Ning, Gus Harsa ten ndalem suka ngajak bercanda nopo mboten?” Pertanyaan spontan dari pojok ruangan membuat Ralina membelalakkan matanya, lalu kembali terkekeh.

“Suka, beliau cukup humoris. Kenapa mbak? Beliau kalau ngajar kaku tah?”

“Mboten....“ Para santriwati menggeleng.

“Gus Harsa lucu Ning kalo ngajar, banyak bercanda.” celetuk salah seorang santriwati, lalu beberapa detik kemudian ia menutup mulutnya yang spontan menjawab itu.

“Eh, ngapunten Ning.”

Ralina tersenyum, merasa bersyukur kalau cara mengajar suaminya disukai para santriwati.

“Coba nanti kalo beliau ada waktu luang sehabis ngajar jenengan mintai cerita lucu deh. Beliau punya banyak.” Ujar Ralina yang disambut tatapan antusias remaja muda itu.

“Ning ngapunten Njih, kulo mung penasaran. Ngapunten niki, Jenengan ten ndalem nimbali Gus Harsa nopo?” Ralina terkekeh dengan pertanyaan polos tersebut.

“Ya sama kayak mbak-mbak kalo manggil.”

“Gus ngoten?” Ralina mengangguk mengiyakan.

Rasanya tidak mungkin bukan ia menyebut secara gamblang panggilannya pada suami ketika dirumah.

“Masa Gus Ning? Mboten Mas ngoten? Nopo linthune ngoten?”

Ralina tersenyum, “Beliau ndak mau dipanggil Mas, Dawuhi kulo sanes adine beliau mboten angsal mangggil begitu.”

Meski tidak yakin dengan panggilan Gus-Ning yang Ralina utarkan tetapi para santriwati itu mengganguk paham dengan penjelasan yang baru saja dipaparkan.

Bertepatan dengan itu bel pergantian jam pelajaran berbunyi, mengharuskan Ralina segera mengakhiri kelasnya.

“Sudah Njih, semoga ilmunya bermanfaat”

“Aamiin...”

“akhirul kalam, summa salamualaikum wr.wb.”

Begitu keluar dari gerbang sekolah Ralina sudah melihat sang suami berdiri di depan masjid bersama seorang pengurus di asrama putra rupanya.

Ralina mendekat ke arah mereka, lalu berhenti sejajar dengan Harsa meski berjarak 3 meter. Membuat ustad yang sedang berbicara dengan Harsa itu reflek menunduk lalu melangkah sedikit mundur. Harsa menoleh ke belakang, mendapati istrinya yang tersenyum dengan mengagguk.

“Sampun Ning?” Tanya Harsa.

Sebenarnya tadi Ralina tidak berbohong, Harsa memang memanggilnya dengan sebutan Ning. Ketika diluar rumah mereka.

“Njih sampun Gus.” Harsa kemudian pamit undur diri pada ustad yang tadi menemaninya menunggu Ralina.

Harsa berjalan lebih dulu, baru Ralina mengikuti 3 langkah di belakangnya. Ini merupakan tatakrama ketika mereka berada di ruang publik.

Begitu dirasa jauh dari area santri dan mendekati ndalem mereka, Harsa memelankan langkahnya. Menunggu Ralina supaya beriringan disampingnya. Tangannya meraih kitab kuning yang Ralina dekap, “Mana sini kitabnya tak bawakan.”

“Lah ngapain?”

“Ya biar kamu gak keberatan, kamu gak boleh kecapekan pokoknya. Abis ngajar itu gak boleh bawa beban.”

“Alay deh, cuma kitab beratnya gak sampai satu kilo padahal.”

Mereka kini memasuki gerbang ndalem, dengan tangan Harsa yang berani merangkul pundak istrinya “Ya gapapa akukan mau manjakan istri, masa ayang gak suka hmm?”

“Ya suka.”

Nah sudah tau kan panggilan apa ketika mereka di rumah?