Raline kini tengan memperhatikan sudut-sudut di ruangan Harsa, sementara si empunya sedang sibuk menandatangani beberapa berkas. Rupanya ia melewatkan detail ruangan ini selama sering berkunjung, ia baru tau di sudut ruangan dekat dengan tanaman mini Harsa ada foto seorang wanita yang terpampang di figura kecil. Ralie mengambil foto itu dan mengamatinya, seorang wanita cantik dengan senyum matahari persis seperti senyuman Harsa.
Melihat Harsa telah menyelesaikan pekerjaannya, Raline mendekat dan bertanya “ ini foto sisapa?”
” Kata papa, itu foto mama saya.”
” hmm? gimana?”
ah mungkin memang sudah saatnya Raline tau apa saja yang terjadi dalam hidupnya selama ini.
Harsa mengambil figura foto itu dan menaruhnya di atas meja, ia letakkan di samping foto Raline yang sebulan lalu sengaja gadis itu taruh sendiri di atas meja kerjanya. Lalu Harsa meraih pinggang Raline mendekat, dan mendudukan gadis itu di ats pangkuannya. Harsa menaruh dagunya di atas bahu Raline, tangannya memeluk erat tubuh ramping itu.
Dan Raline menyandarkan punggungnya pada dada sebelah kiri Harsa, siap mendengarkan cerita yang rupanya akan cukup panjang.
” Saya belum pernah bertemu mama, saya tidak pernah tau hangat sentuhan tangannya bagaimana. Beliau meninggalkan saya dan papa bahkan sehari setelah saya lahir.” Raline dengan reflek ikut mengeratkan pelukannya pada tangan Harsa yang berada di atas perutnya, ya tuhan apa ini?
” Dulu tiap saya kecil bertanya kemana mama, papa selalu bilang mama sedang mencari kebahagiaanya dan suatu saat akan kembali. Tapi sampai saya remaja mama tidak pernah kembali, dan saya mulai membenci papa karena menganggap semua ucapannya bohong. Kemudian suatu hari saya tau fakta bahwa mama meninggalkan kami karena sudah tidak lagi mencintai papa dan dia berpaling, bahkan kehadiran saya tidak di inginkannya. Jika bukan karena papa, saya mungkin sudah berhasil mama lenyapkan sejak dalam kandungan.”
Tanpa sadar Raline meneteskan air matanya, kenapa Harsa harus hidup demikian?
” Saya tidak punya tempat untuk benar-benar pulang, dan menemukan apa yang di sebut rumah. Saya tidak punya rekan untuk mengeluhkan hidup, papa dulu begitu sibuk membangun semua ini. Dan berakhir dengan narkoba, karena saya tidak tau lagi bagaimana untuk terus hidup. Sampai saya bertemu dengan Shirina, dia membantu saya untuk melepaskan diri dari jerat kegelapan itu. Shirina menyelamatkan hidup saya, ia juga mengubah sudut pandang saya terhadap perempuan. Bahkan ketika saya hampir hancur lagi saat papa meninggal, dia begitu setia menemani saya. “
Raline mengecup lembut pelipis Harsa, berharap mampu menenangkan pemuda itu karena telah bercerita dan mebuka luka lama, ia tidak cemburu dengan Shirina. Bagaimanapun perempuan itu berjasa di kehidupan Harsa.
” Dari awal saya tau Shirina telah terikat pertunangan, tapi saya saja yang nekat mencoba ingin bersamanya. Tapi ternyata keluarganya tidak bisa menerima masalalu saya, itu kembali membuat saya terpukul. apakah saya tidak punya kesempatan untuk seorang perempuan baik? apakah saya tidak cukup pantas untuk memiliki setidaknya satu saja perempuan di hidup saya?”
” Tapi saya kemudian sadar mungkin Shirina memang bukan untuk saya, melepaskan Shirina untuk Jenoah bukan keputusan buruk saya mengenalnya cukup baik. 2 tahun kemudian mereka menikah, dan kamu tau Raline apa takdir semesta yang begitu indah?”
Raline menggelengkan kepalanya, ia enggan menebak dan hanya ingin mendengarkan kelanjutan cerita Harsa.
” Sehari setelah pernikahan mereka, saya bangun terlambat. Pak Supri sedang sakit dan saya harus datang sendiri ke kantor, lalu di tengah perjalan ban mobil saya bocor beruntung ada seorang rekan kerja yang membantu saya dan mengajak saya untuk mampir ke rumahnya sebentar. Kebetulan sekali saya tidak sempat sarapan pagi itu, beliau dan istrinya menawari saya untuk sarapan terlebih dahulu dan secara tidak terduga putri sulungnya yang rupanya baru saja bangun itu turun dan menguap di depan saya.”
Raline melotot tajam ke arah Harsa, ia menggeplak keras lengan pemuda itu yang kini malah tertawa. Raline ingin bangkit dari duduknya tapi Harsa menahannya dan semakin mengeratkan pelukannya. Ia menempelkan pipinya dengan pipi Raline,
” Saya pikir hari itu menjadi hari yang begitu sial, ternyata saya salah. Sekarang hari itu menjadi salah satu hari yang paling saya syukuri di dunia karena saya bertemu kamu. Terimakasih ya sudah mau meluluhkan saya, terimakasih karena tidak menyerah dan mau menunggu terlalu lama. Sekarang saya punya tempat untuk pulang, benar-benar sebuah rumah yang nyaman.”
Harsa menatap Raline begitu dalam, mnangkup wajah cantik itu dengan kedua tangannya.
” Sekarang biarkan saya berusaha keras untuk mendapatkan restu dan izin dari papimu, saya usahakan tidak akan lama.”
Harsa menempelkan dahi mereka dan menggesek pelan hidungnya di ats hidung mancung Raline, dan Raline menyambut itu dengan mengalungkan tangannya di leher Harsa sebelum menyatukan perasa keduanya.
Tenang saja, kali ini tidak ada Nalapraya.