—Salah, karena salahnya.
Madaharsa menghapus air matanya yang menetes begitu saja ketika mendengar ucapan terimakasih putranya, iya putranya. Mahesa Sadajiwa adalah putranya.
” Huu sediih, Esa pasti kangen sama papanya. Bersyukur Nesa punya papa sama mama yang selalu ada buat Nesa.” Gadis kecil itu menggenggam erat kedua tangan orang tuanya. Ia merasa bersyukur tidak merasakan sesakit apa merindukan papa seperti temannya itu, Papanya setiap hari selalu pulang ke rumah. Kalau pergi jauh pun akan menyempatkan waktu untuk vidcall bersamanya setiap kali akan pergi tidur.
Nesa begitu menyayangi papa, tentu juga mamanya.
Setelah acara usai Maya–ibu Nesa, berpamitan pergi ke toilet sebentar.
” Mama mau ke toilet dulu ya, Papa sama Nesa tunggu di mobil aja.” Madaharsa hanya mengangguk mendengar ucapan istrinya. Ia lalu membawa sang putri ke dalam gendongannya menuju mobil.
Tapi nyatanya Maya tidak pergi ke toilet, ia sengaja berbohong. Wanita itu menghampiri Raline yang kini tengah berbicara dengan Lala dan seorang guru.
” Permisi, bisa bicara dengan Raline?”
Ketiga orang di depannya serempak menoleh, lalu Raline bertanya
” Maaf, siapa ya?”
Maya mengulurkan tangannya, “Saya Maya ibunya Anesa.”
Rasanya Raline menyesal telah bertanya, ya tuhan wanita ini ingin membicarakan apa?
Akhirnya mereka berdua memilih berbicara empat mata di ruangan yang Maya pinjam pada seorang guru tadi.
” Saya tidak akan lama Raline, hanya sebentar.”
Mendengar ucapan pembukanya saja Raline sudah siap kalau-kalau ia akan di maki setelah ini.
” Lebih dari 5 tahun hidup bersama Madaharsa saya tidak pernah melihatnya menangis, ketika putri kami lahir ke dunia dia tidak menangis, ketika ibunya pergi meninggalkan dia selamanya dia juga tidak manangis. Harsa begitu terlihat tegar dengan apapun yang menghantamnya. Tapi hari ini aku melihatnya menangis, ketika putramu bilang dia membenci ayahnya sendiri. Madaharsa menangis untuk pertama kalinya di depan mataku.”
Raline hanya diam tak menanggapi apapun yang di ucapkan Maya, bahkan rasanya ia hanya menatap kosong ke arah sudut ruangan sedari tadi enggan menatap mata Maya ketika bercerita.
” Dia mencintaimu, 5 tahun tak mengubah apapun, dia tetap mencintaimu. Raline, menyakitkan ketika suamimu menyebut nama wanita lain ketika menggauli istrinya. Itu yang Harsa lakukan padaku di malam pertama kami, harusnya hari itu jadi hari bahagia kami berdua tapi nyatanya semalam penuh yang ia sebut adalah namamu.”
Kali ini cerita Maya berhasil meluruhkan air mata Raline yang sedari tadi ia tahan sekuat tenaga. Tidakkah Madaharsa terlihat seperti bajingan?
” Pernikahan kami tidak pernah berhasil Raline, kami saling bertahan demi Nesa. Aku sudah sering kali meminta di ceraikan, tapi kamu tau dia bilang apa Raline?,
...dia bilang dia telah gagal menjadi orang tua untuk anaknya bersamamu. Maka ia tidak ingin gagal lagi menjadi orang tua untuk Nesa, ia tidak mau menghancurkan rumah hangat yang Nesa miliki sekarang. Tapi aku tau di lubuk hatinya dia tetap ingin hidup bersamamu, bersama Mahesa.
Dengan suara bergetar Raline akhirnya berani menjawab pernyataan Maya.
” Lalu inti dari pembicaraan ini apa Nyonya Hestamma yang terhormat? Saya rasa mau Harsa mencintai saya atau tidak itu bukan lagi urusan saya. Saya tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan suami anda.”
Maya justru tertawa mendengarnya, “Kamu lucu Raline, bagaimana mungkin kamu dan Harsa tidak lagi memiliki hubungan jika ada Mahesa di antara kalian? Mau di tolak bagaiamapun kamu tidak bisa menampik itu.”
” Nyonya Hestamma, apa yang anda inginkan sekarang?”
” Aku mencintai laki-laki lain, tentu itu bukan Harsa. Aku ingin mengejar kebahagianku, tidak menyerah seperti Harsa.”
Raline terperangah mendengar, apa maksud wanita di depannya ini?
” Kau akan menghancurkan rumah hangat putrimu?”
” Raline, aku akan tetap menjadi ibu Anesa meski tidak lagi menjadi istri ayahnya. Aku pastikan Anesa tidak akan kehilangan sosok ibu,
....Aku mendatangimu hanya ingin memastikan sesuatu, kelak jika pada akhirnya kau telah mengalahkan egomu dan pada akhirnya berbaik hati memberi tau Mahesa tentang ayahnya. Tolong cintai putriku juga.”
Keduanya kemudian saling terdiam, larut dengan pikiran masing-masing.
Ya tuhan rumit sekali kau menciptakan alur hidup mereka.