—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.
Tadi saat pulang dari rumah Yuan, Esa terus berceloteh sampai mereka ada di depan rumah. Bocah itu menceritakan banyak hal pada sang ibu, mulai dari Bu guru yang mengajarkan nyanyian baru, lalu ia berkenalan dengan teman baru yang katanya menarik dan lucu. Sampai bercerita tentang papinya Yuan yang tersedak cola ketika mereka membeli es krim di resto cepat saji.
Mahesa setiap harinya memang seolah tak akan kehabisan kata. Berceloteh sepanjang hari.
Mungkin karena terlalu lelah malam ini bocah itu sudah tertidur dari pukul 8 malam, ia tertidur di depan televisi ketika melihat tayangan ulang kartun kesukaannya. Padahal hanya Raline tinggal sebentar mencuci piring bekas makan malam mereka.
Saat akan memindahkan putranya ke kamar, Raline merasakan suhu tubuh Esa lebih tinggi dari biasanya, bahkan terlalu panas rasanya.
Ia segera mengambil kompresan, dan memeluk putranya lebih erat dari biasanya, Esa tidak boleh kedinginan.
Tengah malam Raline terjaga ketika mendengar Esa meringik dan mengeluarkan air mata tanpa sadar, suhu tubuhnya semakin tinggi tidak seperti ketika ia demam biasanya. Raline panik.
Satu-satunya yang ia pikirkan saat itu adalah menelpon Lala, meminta sekali lagi bantuan pada keluarganya.
Lala tolong angkat telponnya!
” Halo, mbak...”
” Maaf menganggu malam-malam, aku gak tau lagi harus menghubungi siapa selain mbak. Esa demam tinggi, sudah ku kompres tapi tak kunjung turun, aku takut mbak. Bisa minta tolong antarkan kami ke rumah sakit? Aku tidak yakin ada kendaraan umum tengah malam begini.” Raline menangis dalam setiap kalimatnya, sesekali ia menatap Esa yang meringkuk di bawah selimut, anaknya terus meringis menahan sakit.
Ya tuhan kenapa tidak Raline saja yang merasakan sakitnya.
” Makasih mbak, makasih banyak. Iya aku tunggu. Hati-hati mbak.”
Raline rasanya ingin bersujud di depan Lala, mengucapkan ribuan kata terimakasih untuk seluruh kebaikannya, wanita itu dan suaminya telah begitu banyak membantu selama ini.
Tuhan terimakasih masih mengirimi Raline orang baik seperti mereka.
Setelah di beri penanganan di UGD Mahesa di bawa ke ruang inap, Juan memilihkan kamar VIP. Dan biaya perawatannya ia dan Lala yang akan menanggung.
Juan begitu merasa bersalah, tadi siang dia membelikan banyak es krim untuk Mahesa. Ia berkali-kali meminta maaf pada Raline,
” Gapapa Mas Juan, Esa emang sebelumnya abis ujan-ujanan bukan cuma perkara es krim itu aja.” Raline cukup memaklumi, putranya kan memang sering main air di tambah suka makan es krim tentu saja mudah jatuh sakit.
Sementara Juan mengurusi administrasi, Lala menemani Raline di ruang rawat Esa. Untung di rumahnya ada asisten rumah tangga, jadi Yuan bisa di tinggal tengah malam begini.
” Mbak makasih ya.” Ucap Raline yang kesekian kalinya.
” Dek, kamu udah bilang itu puluhan kali loh malam ini. Udah ya? Kamu kan udah mbak anggep keluarga, wajar dong minta bantuan sama mbak.”
Lala memeluk Raline, menyalurkan kekuatan untuknya. Sekaligus menenangkan kekhawatiran Raline, ia berkata bahwa Esa adalah anak yang kuat ia akan segera sembuh, lalu pulih dengan cepat.
Esa semoga cepat sembuh.
Lumayan lama sebelum akhirnya Juan kembali ke ruang rawat Mahesa, Lala yang menantinya pun sedikit mengantuk di sofa ruangan.
” Lama banget Mas?”
” Iya tadi di UGD ga sengaja ketemu temen, anaknya jatuh langsung di bawa ke rumah sakit.” Juan menjelaskan alasannya tertahan agak lama di ruang tunggu administrasi.
” Innalilahi, gapapa kan tapi? Apa jatuhnya parah?”
” Gak parah, cuma lecet dikit lututnya biasalah anak orang kaya, baret dikit di bawa ke rumah sakit padahal di tetesi obat merah di rumah sudah cukup.”
Raline yang mendengar percakapan itu kembali menahan tangisnya, ia menatap sang putra yang kini tertidur tenang dengan infus yang menancap di tangannya.
Maaf ya nak, mama baru bisa membawa kamu ke rumah sakit ketika sakit parah seperti ini. Itupun dengan bantuan om Juan, harusnya kamu terlahir seperti anak orang kaya itu.
” Syukurlah kalau begitu, anak siapa sih emang Mas?” Lala akhirnya penasaran, siapa teman suaminya yang membawa anaknya ke rumah sakit tengah malam hanya karena sedikit lecet.
” Temanku dulu pas SMA, yang pernah aku ceritain di jodohin ituloh, nikahnya ga jauh sama nikahan kita waktu itu.”
“Oalah, yang istrinya anak pejabat itu ya? Wah Alhamdulillah deh akhirnya mereka bahagia dan punya anak meski menikah karena paksaan.”
Lalu apakah mempunyai anak adalah ukuran kebahagiaan sebuah pernikahan?