—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.
Rupanya Madaharsa benar-benar menuruti permintaannya, ia tidak lagi menampakkan diri depan Raline maupun di depan Mahesa.
Mahesa juga bercerita, Nesa tidak lagi pernah di antar jemput papanya, selalu di atar sopir. Raline tentu tidak peduli.
” Ma, besok ke sekolah kan?” Esa bertanya pada sang mama yang kini sibuk menyetrika pakaian.
” Iya dong sayang, besok kan kamu wisuda. Nih makanya mama setrika baju bagus. Hmm anak ganteng mama udah gede aja, udah mau masuk sekolah dasar abis ini.”
Mahesa tertawa mendengar penuturan mamanya, ah mama memang paling tau bagaimana cara membuatnya bahagia.
“Hmmm Ma, besok ke sekolah sama siapa?”
” Besok kita di ajak bareng sama Mami Papinya Yuan, gapapa ya sayang kita nebeng dulu oke? Nanti kalo mama udah bisa beli mobil kita gak perlu nebeng lagi, gak perlu naik kendaraan umum lagi.”
Esa sekali lagi tersenyum mendengarnya, lalu memeluk mamanya dari samping.
” Makasih ya ma, udah selalu nemenin Esa. Esa sayang banget sama mama.”
Tapi sepertinya Raline menangkap suatu gelagat aneh dari putranya, ada yang sedang di sembunyikan rupanya.
” Anak mama kenapa? Ada yang mau di omongin?”
Esa terlihat ragu memandang mamanya, haruskah ia berkata jujur? Mengungkapkan apa yang seharian ini mengganggu pikirannya.
” Ma, bu guru bilang besok harus datang sama orang tua,” anak itu menunduk sebelum melanjutkan ucapannya, ia memainkan jarinya sendiri takut kalau-kalau mama tidak akan suka dengan apa yang akan ia ucapkan.
” Yuan bilang akan datang sama Mami Papinya, kemarin Nesa juga bilang kalau dia mau datang sama Mama Papanya. But, ma... Where is pa? Will he come home for me? Just tomorrow.” Meski Esa mengucapkan kalimat itu dengan begitu pelan dan lirih tapi sukses menyayat rongga dada Raline. Sukses membuat Raline meluruhkan air matanya. Ia bahkan sampai tak mampu berkata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.
Esa, sampai kapanpun Papa gak akan pernah pulang.
Anak laki-laki itu lalu berubah panik ketika melihat ibunya bersimbah airmata, ah ini salahnya harusnya tadi dia tidak bertanya hal iu.
“Ma, don't cry. Esa ga suka mama sedih, maaf ya Ma. It's okey, just Ma and me no Pa pun Esa tetep bahagia kok, besok kan Esa lulus. Besok Esa udah naik pangkat gedenya, hehehe.”
Mahesa menghapus air mata yang mengalir di pipi mamanya, lalu mengecup perempuan tercintanya itu berkali-kali. Anak itu kembali harus berlapang dada, kembali harus menahan iri ketika besok hari kelulusannya tak di hadiri seorang papa.