—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Setelah hari itu, hari dimana Raline tidak sengaja bertemu dengan papanya Nesa, ia merasa hidupnya tidak lagi tenang.

Apalagi menyangkut Mahesa, ia jadi merasa takut untuk kehilangan putranya. Hal ini menyebabkan ia sering sekali meminta izin pergi istirahat lebih awal untuk menjemput putranya.

Raline sudah terlalu banyak meminta izin, hingga hari ini terpaksa ia kembali menitipkan Mahesa pada Lala. Ia kini tengah berada di ruangan tempat Shirina–menantu bosnya biasanya menggambar desain baju pesanan pelanggan.

Mulanya ia tadi di minta Shirina mendesain ekor gaun pengantin yang baru, meskipun tidak pernah belajar tata busana, tapi Raline sedikit tau bagaimana cara mendesain gaun, Bu Fani yang mengajarinya dulu saat awal bekerja.

Lalu tiba-tiba saja, entah bagaimana caranya seseorang masuk ke ruangan itu dan duduk di sofa. Seseorang yang tempo hari tidak sengaja Raline temui.

Dan sialnya, Raline baru mengetahui fakta bahwa laki-laki di depannya ini adalah teman dekat suami Shirina, sial sial sial. Pantas saja laki-laki itu mengetahui keberadaannya.

Mati-matian Raline berusaha tidak menghiraukan kehadirannya, tidak menoleh apalagi bersuara.

” Sudah sangat lama ya...” Laki-laki itu bersuara setelah sekitar sepuluh menit lebih terjebak keheningan bersama Raline.

” Tuan tolong jangan mengganggu, saya sibuk.” Raline masih terus berfokus pada gambar ekor gaunnya, meski sedari tadi ia hanya hapus-coret. Fokusnya bahkan sudah lenyap sedari laki-laki itu masuk ke butik ini.

” Terimakasih telah melahirkannya...” Ucapan laki-laki itu membuat Raline mengangkat kepala dan menatapnya nyalang. Alisnya bahkan terangkat sebelah, seolah bertanya melahirkan siapa?

” Raline, tanpa melihat dan tahu keberadaannya pun saya tau ia akan lahir,”

Harsa kini menundukkan kepalanya, tak lagi berani menatap manik wanita di depannya.

” Waktu itu meskipun saya memilihmu orang tua saya tidak akan membiarkan saya pergi begitu saja dengan pilihan sendiri, pada akhirnya kamu yang akan menjadi korban.”

” Saya melepas kamu, dan memilih menikah dengan perempuan pilihan itu. Karena mau di perjuangkan seperti apapun saya tidak akan pernah bisa memiliki kamu.”

Raline kini bergetar mendengarnya, genggamannya pada pensil lukis itu semakin mengerat mungkin akan segera mematahkan pensil itu sebentar lagi.

” Waktu itu saya akhirnya memilih egois, saya sengaja menghadirkan dia supaya ketika kita berpisah pun kamu akan terus mengingat saya. Saya mau terus ada dalam kehidupan kamu, meski tidak nyata setidaknya hadirnya dia telah mewakilkan saya. Saya tau kamu tidak akan membunuhnya, kamu akan mencintainya begitu tulus. Terimakasih sudah mencintai bagian dari saya itu.”

Mendengarnya emosi Raline seperti di sulut, bualan macam apa yang baru saja di katakan laki-laki di depannya ini?

“BRENGSEKK!!” Raline melempar pensil dalam genggamannya ke arah Harsa, lalu berdiri di depan laki-laki itu dengan amarah.

Tangannya hampir saja melayangkan sebuah tamparan, tapi ia cegah

” Karena keegoisan lo dan pemikiran dangkal lo yang tolol itu, anak gue lahir berbeda sama anak orang lain. Dia harus menerima sanksi sosial tercap anak haram!” Raline kini melampiaskan amarahnya, amarah yang sudah ia tahan bertahun-tahun. Wajahnya pun sudah bersimbah air mata, tapi tatapannya tetap nyalang menantang Madaharsa.

” EMANG DARI AWAL HARUSNYA MAHESA TAU KALAU DIA GA PERNAH PUNYA PAPA, PAPANYA UDAH MATI BAHKAN SEBELUM DIA ADA!”

Setelah itu Raline menyambar tas kerjanya, keluar ruangan dengan menutup pintu begitu keras. Ia tak peduli jika di lihat banyak orang, ia tak peduli di tatap aneh.

Yang Raline mau saat ini adalah pelukan putranya, Raline butuh sumber kehidupannya.