Sebut saja namanya Emely, gadis ayu berwajah khas Eropa turunan dari sang ayah yang bedarah Dutch dan Canadian. Kulitnya putih bersih seperti bagaimana darah Mongoloid ibunya mengalir. Perpaduan yang luar biasa cantik, terlalu cantik.

Emy —panggilannya, sedang berdiri di balkon kamar sebuah penginapan kelas atas dekat dengan pantai di daerah kelahiran ibunya. Dia sedang berlibur, atau lebih tepatnya meliburkan diri kabur dari kesibukan ibukota yang kerap kali memaksanya berpeluh mengais lembaran dollar.

Meski disinipun nanti Emy juga akan berpeluh.

Rambut pirangnya diterbangkan angin, menambah kesan cantik begitu melihatnya dari samping. Siapapun akan betah berlama-lama menatapnya, begitupun netra pria yang sedari tadi duduk di ujung balkon dengan kaki yang ditopang sebelah. Dijarinya tersemat gulungan tembakau yang kini tinggal beberapa hisapan saja.

Emy membalikkan tubuhnya menatap pria yang sedari tadi tak melepas pandangan padanya, “Belum puas ngeliatin gue?” si pria bernama Esha itu terkekeh pelan.

“Puser lo manggil-manggil dari tadi.”

“Pisir li minggil-mimggil diri tidi.” Emy mencibir lalu mendudukan diri disebalah Esha, tapi sejengkal saja pantatnya akan menyentuh kursi Esha menarik lengannya untuk duduk diatas paha milik pria itu.

Emy memberontak, karena Esha masih masih menghisap nikotin yang seringkali membuat Emy kesal itu, “Si babi udah gue bilang abisin dulu rokok lo.” Gadis itu menghentakkan kakinya kesal, bahkan sengaja menginjak kaki Esha sesekali.

“Iya nyonya,” Esha mematikan rokoknya pada permukaan asbak diatas meja, lalu tangannya beralih memeluk perut Emy dengan dagu yang ia topangkan dibahu mulus Emy “ Mau nyoba rasa rokok gue gak?”

“Emang rasanya apa?”

“Makanya cobain.” Meski dengan memutar bola matanya malas tapi Emy tetap berbalik memiringkan posisi duduknya.

Puan itu memegang rahang kokoh milik Esha sebelum menabrakan bibirnya pada bibir pria di depannya yang menatap penuh minat itu, “Gak enak anjir, gue gak suka.”

“Yaudah berdiri dulu, gue sikat gigit dulu.” Bukannya berdiri Emy justru melingkarkan tangannya pada leher Esha, memeluk dengan erat.

“Mau gendooong,” ujarnya manja.

“Manja deh lo nyet!” meski dengan gerutuan tapi Esha tetap menggendong Emy memasuki kamar yang mereka pesan untuk dua hari kedepan ini. Sekedar informasi kamar yang mereka pesan ini honeymoon package, sinting padahal bukan suami istri.

Esha rupanya membawa Emy ikut masuk kedalam kamar mandi, membuat perempuan itu kesal dan menggigit telinganya, “Jangan gigit-gigit dulu heh! Nanti main di kamar mandi lo protes!”

“Kenapa bawa gue kesini kalo gitu?!”

“Ya gapapa, pingin lo sikatin gigi.”

“Idih manja!”

“Yang minggu lalu ngerengek minta gue sabunin gak berhak komentar.” Emy mencibir lalu tangannya meraih sikat gigi yang dijulurkan Esha. Dengan telaten dia menyikat gigi pria manja didepannya.

Setelah selesai dengan kegiatan menyikat giginya, Emy mengecup pelan bibir Esha yang masih terasa pasta gigi mint itu “Gue cukur lagi ya? Udah mulai tumbuh nih, gak enak banget ke pipi gue, kasar bos.” Esha hanya mengangguk pasrah begitu Emy meraba area dagunya bahkan ketika perempuan itu mencukuri kumisnya yang baru tumbuh itu.

Esha sedari tadi hanya fokus menatap Emy yang sibuk merawat wajahnya, sebenarnya setiap bertemu Emy pria itu juga akan menatapnya intens penuh minat. Emy selalu menggoda dimatanya.

“Mata lo bentar lagi copot kelamaan natap gue.” Sindir Emy sambil mengelap rahang bawah Esha. Pria itu tertawa, lalu mengecupi bibir Emy yang sebenarnya akan mengomel.

Tanpa perlu diperintah Emy mengalungkan tangannya dileher Esha begitu tubuhnya diangkat dalam gendongan. Esha membawanya keatas ranjang berantakan mereka, ranjang bekas semalam begadang bersama berbagi peluh kenikmatan.

“Jangan disobek lagi, gue ga punya daleman lagi.” cegah Emy begitu tangan Esha kasar sekali menarik penutup tubuhnya.

“Yaudah buka sendiri.” Emy berdecak dan menatap Esha yang tengah mengerlingkan godaan dengan tatapan malas.

Begitu Emy tak tertutupi sehelai benangpun Esha merobohkan perempuan itu ketengah ranjang, mengunci tubuh Emy dengan kedua kakinya.

“Minggu depan kagak usah bawa daleman aja ya, daripada lo protes.” Emy melotot dengan penuturan kurang akar Esha itu.

“Belum ketemu lo gue udah diterkam orang di jalan dong bodoh.”

“Ahahahahahaha”

“Gemes banget sih!” Esha menggigit puncak kecoklatan milik Emy yang sedari semalam tak ia lepas.

“Brengsek sakit!” Emy memukul keras punggung Esha yang masih terbalut kaos oblong favorit pria itu. Seolah tanpa dosa ia justru tertawa keras.

“Bukain baju gue dong,” titah Esha sambil mengangkat tanganya “Manja banget sih lo!”

“Ayoo dong tanteee bukain.” Esha semakin merengek

“Tante-tante bibir lo sini gue gampar!” Emy mendudukkan dirinya dan menarik kaos Esha lalu membuangnya asal ke lanatai.

“Mending dicium daripada di gampar.” masih dengan posisi diatas tubuh Emy pria itu memajukan bibirnya. Mengecupi Emy berkali-kali. Tanpa adanya lumatan.

Hal itu justru membuat Emy kesal bukan main, ia merasa dipermainkan. Sekuat tenaga Emy menahan tengkuj Esha untuk tetap menunduk, bibirnya ia gerakkan untuk melumat pria itu dengan kasar. Emy memberikan beberapa gigitan supaya Esha membuka mulut dan membalas ciuman panasnya.

Tentu saja Esha menampilkan senyum smirknya ditengah ciuman panas Emy, inilah yang dia mau. Memancing Emy untuk menjadi dominan. Esha suka ketika Emy menguasai tubuhnya, bertindak lebih agresif daripad ia.

Emy rasanya sudah begitu hafal dengan rongga mulut Esha, perempuan itu begitu menggebu dalam ciumannya. Saliva mereka telah saling bertaut.

Emy dengan kasar membalikkan tubuhnya menjadi diatas Esha, dengan tak sabar jemari mungilnya melepaskan celana pendek yang dikenakan pria itu. Tubuhnya turun kebawah, siap memuja kebanggaan Esha yang tengah menantinya.

Emy terlihat begitu seksi dimata Esha ketika diselimuti kabut gairah panas seperti ini, pemandangan paling ia suka ketika Emy memanjakan buah zakarnya dengan jilatan panas dan remasan kenikmatan dibawah sana. Esha menyandarkan kepalanya dikepala ranjang beberapa kali meringis nikmat dengan perlakuan Emy. Tangannya meremas rambut panjang yang Emy biarkan tergerai ketika mereka bercinta itu.

“Myyyhh...” desahnya tertahan begitu merasa akan meledak.

Emy tidak suka Esha meledak sia-sia, ia bangun untuk menatap pria yang tengah menanti pelapasan itu, “Bentar ya sayang...”

Emy merangkak menaiki tubuh Esha, memposisikan senjata yang berdiri tegak itu tepat dibawah miliknya yang telah basah. Emy rupanya ingin menggoda dengan hanya menggesekkan miliknya, menikmati pemandangan muka Esha yang tengah terpejam kenikmatan.

“myyhh ayoo donhgh” Esha menekan tubuh Emy untuk merapat pada tubuhnya, menggerakkan pinggulnya sendiri untuk memasuki Emy.

Mereka saling bekerjasama mencapai puncak kenikmatan seperti semalam. Emy menggerakkan tubuhnya kebawah begitu kuat, dengan hentakan-hentakan panas yang membuat Esha memanggil namanya dengan desahan merdu.

Esha menarik dagu Emy untuk ia ciumi, padahal Emy sedang berfokus melanjutkan mahakarya di dada Esha sejak semalam. Memberi label bahwa diatas ranjang Esha adalah miliknya.

Begitu puncak didepan mata Esha membalikkan posisinya, menindih Emy yang sudah terengah lalu menumbuknya dengan keras. Emy memeluk tubuh kekar Esha dengan erat begitu ia meledak, ia bahkan menggigit tulang selangka Esha.

“Gweeh belumhh...” Esha membalik tubuh Emy untuk membelakanginya. Memacu Emy dari belakang untuk mencapai kepuasannya, tanganya meremat dada Emy tanpa ampun. Bibirnya juga dengan panas menjilati punggung mulus itu. Emy adalah miliknya jika begin, hanya miliknya dan ia hanya mau segila ini dengan Emy seorang.

Desahan Emy memacu tumbukannya untuk lebih keras lagi, tak sampai 5 tumbukan Esha akhirnya meledak menumpahkan bibit kentalnya didalam Emy tanpa penghalang.

Emy tidak suka memakai silikon pelindung, kurang nyaman dan sensasinya berbeda. Ia tak bisa merasakan bagaimana gagahnya Esha melepas miliknya jika menggunakan alat kontrasepsi.

Dengan intensitas bercinta mereka yang tinggi Emy lebih memilih untuk injeksi kedokter kandungan. Ia benar-benar selalu ingin menyatu sempurna dengan Esha tanpa penghalang apapun.

Emy memeluk Esha yang terbaring diseblahnya, tak merasa risih meski senjata milik Esha masih bersemayam di dalam miliknya. Justru memberikan pelukan supaya masuk lebih dalam.

Esha memberikan kecupan diseluruh permukaan wajah Emy, disertai dengan tangannya yang meraba si kembar dari balik selimut.

Kemesraan panas mereka terintrupsi dengan dering ponsel Emy yang berbunyi. Esha meraba nakas di belakang punggungnya meraih gawai perempuan yang kini tengah menghisapi dadanya itu.

Begitu Esha menaruh kembali gawai miliknya, Emy bertanya “Siapa?”

“Pacar lo” Emy hanya menganggukkan kepalanya lalu kembali melanjutkan mahakaryanya.

“Ada pesan juga dia.”

“Apa katanya?”

“Mau jemput di bandara besok.” Emy mendongakkan kepalanya, lalu mengecup singkat bibir bengkak Esha yang sedari tadi ia gigit kasar.

“Maaf ya besok gue balik bareng dia.” Esha mengangguk mengerti, “Gapapa tapi sekali lagi ya?”

Emy belum sempat menjawab tapi si jantan dibawah sana telah melancarkan aksinya untuk memporak-porandakan milik Emy, lagi.