“Seorang janda diperbolehkan menikah lagi setelah masa iddahnya selesai. Ada yang tau berapa lama masa Iddah itu?” Ralina hari ini mendapatkan amanata dari ummah—Ibu mertuanya untuk menggantikan beliau mengajar dikelas akhir. Ummah hari ini sedang kurang enak badan, semalam sempat deman tinggi.
“3 bulan...” beberapa santriwati menjawab.
“Iya, atau lebih tepatnya 3 kali masa haid. Kenapa sih ada masa iddah? Tujuannya adalah untuk memastikan kosongnya rahim dari pembuahan terakhir. Maka dari itu seorang Janda baru di perbolehkan menikah lagi setelah ia melewati masa iddahnya.” Jelas Ralina yang langsung ditulis oleh semua santriwati. Mereka akan mencatat keterangan tersebut dengan seksama.
“Ning, kalau masa iddahnya duda bagaimana?” Ralina yang tadinya berjalan mengitari meja para santri menoleh ke arah barisan depan, pada seorang santriwati yang mengacungkan tangannya.
“Duda tidak memiliki masa iddah,” Ralina tersenyum sebelum melanjutkan penjelasannya. “Seorang duda bahkan diperbolehkan menikah lagi setelah sehari cerai mati.”
Santriwati yang duduk di sebelah si penanya tadi menyenggol lengan temannya. Memberi sebuah kode yang langsung dimengerti, “Ngapunten Ning. Ngapunten sanget kulo mboten niat tanglet ngoten.”
Kelas menjadi hening, sementara Ralina menampilkan senyum teduhnya “Loh kenapa minta maaf mbak? Pertanyaan jenengan mboten salah kok.”
Ralina menutup kitab yang ia bawa, lalu duduk kembali di kursi guru. Penjelasan yang ia sampaikan hari ini sudah selesai, sesuai dengan batasan yang ummah sampaikan.
“Sampun njih, keterangan selanjutnya nanti akan di lanjutkan sama beliaunya Minggu depan. Hari ini saya hanya bertugas mbadali Ummah karena beliaunya tasek gerah.”
Ralina mengisi absen kehadiran guru, sebelum melihat jam tangan yang melingkar cantik dipergelangan mungilnya. Pukul 19.45, masih tersisa 15 menit sampai bel pulang ngaji malam.
“Mbak-mbak ada yang mau ditanyakan?”
“Ning ngapunten.” santriwati yang tadi bertanya kembali meminta maaf.
“Loh kenapa minta maaf mbak? Jenengan mboten salah nopo-nopo.”
“Sudah ya jangan minta maaf lagi, monggo mbak-mbak menawi badhé tanglet nopo, menawi nggadhah ceriyos nopo ngoten, nopo kita sharing mawon sambil menunggu bel.”
Dengan kompak para santriwati itu menjawab, “Ceriyos mawon.” Ralina lagi-lagi terkekeh, santriwatinya hobi sekali meminta cerita. Persis seperti suasana kelasnya dulu ketika masih di pesantren, mengulur waktu ustadzah membahas materi dengan cerita.
“Ceriyos nopo?”
“Kemarin waktu kelas fiqih nisa' ustadzah Savina dawuh tirose jenengan kale beliau nya teman satu kamar dulu njih waktu di pesantren?” Tanya santriwati yang duduk tepat di depan Ralina.
((Fiqih nisa' : ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang menyangkut perempuan. Contohnya hitungan masa Haid, istihadoh dll.))
“Iya dulu semasa jabatan Jam'iyah saya sama beliaunya satu kamar 2 tahun, jadi ya begitulah kami jadi dekat.” Ralina berbinar menerawang masa-masa ia menjadi santri.
((Jam'iyyah : organisasi))
“Ustadzah Savina ceriyos nopo mawon kemarin?”
“Banyak, tirose Us Vina juga sepesantren sama Ustadz Jamil sama Gus Harsa juga.”
“Iya gitu mbak, dulu Ustadz Jamil sama Gus niku senior kulo ten pesantren. Mereka dulu itu sohib banget, ketua sama wakil ketua Jam'iyyah putra masa jabatan diatas saya sama Us Vina, jadi ya menawi wonten rapat akbar ngoten njih ke panggeh. Beliau berdua juga kan jadi dewan perwakilan asrama putra.”
Rasanya sudah begitu lama, memori-memori remajanya kembali mengudara. Betapa indahnya kehidupan pesantren nya dulu.
“Oh berarti cinlok ngoten Njih Ning?”
Ralina terkekeh, “Siapa? Ustadz Jamil sama ustadzah Savina?”
Semua santri membelalakkan matanya, “Ha? Iya tah Ning? Ustadz Jamil beneram sama ustadzah Savina?”
“Loh gosip yang beredar di mbak-mbak santri ngoten kan?” sejujurnya Ralina sendiri tidak tau ada hubungan apa antara sahabatnya itu dan ustadz idaman para santriwati itu.
“Iya sih Ning, tapi dikiranya bercanda aja. Soalnya ustadzah Savina selalu bilang ustadz Jamil itu ngeselin orangnya.”
“Ustadz Jamil itu jail orangnya memang, hampir sama kayak Gus gitu. Humoris.”
Ralina sekali lagi melihat pergelangan tangan nya, menatap jarum jam yang meunujuk pukul 19.55, kurang 5 menit lagi. Ralina takut terlalu seru bercerita ia bisa lupa waktu.
“Kalo Ning sama Gus gimana?”
“Apanya mbak?”
“Cinlok juga?” Ralina menggeleng pelan sambil tersenyum geli, bagaimana bisa ada cinta lokasi? Ia dan Harsa semasa di kepengurusan dulu tidak pernah bertegur sapa secara personal. Hanya saling tahu nama, keduanya hanya bertemu dalam acara. Meski kedua orang tua mereka dekat, dan keduanya mengenal dekat orang tua masing-masing tapi hubungan mereka asing.
“Ya seperti yang mbak-mbak semua tau, Njih mboten ngoten.”
“Gus Harsa dulu idaman ya Ning di pesantren?”
“Wah kalau itu jangan ditanya lagi, kayaknya hampir satu asrama putri juga jejeritan kalo sehabis beliaunya numpang lewat.”
Para santriwati itu tergelak, seperti dugaan Gus mereka menjadi idaman dimana-mana. Bagaimana tidak? Adam itu hampir sempurna untuk tidak diidolakan.
“Sudah ya mbak, ceriyosnya di sambung lain waktu. Semoga ilmu yang didapat hari ini bermanfaat...”
“aamiin...”
“akhirul kalam, summa salamualaikum wr.wb.”
*
Ralina berjalan membelah kerumunan santriwati, sudah menjadi tatakrama apabila seorang guru berjalan para santri akan membelah jalan. Hanya dengan sebuah isyarat ‘ssttt’ mereka akan otomatis menepi, memberi jalan dengan kedua tangan bertumpuk didepan dan kepala yang menunduk hormat.
Untuk menuju ndalemnya, yang kebetulan berada di depan ia harus melewati masjid. Khimar biru mudanya di terpas angin malam, wajah ayunya tersiram cahaya rembulan yang semakin mempercantik penampilan Ralina.
Dilihatnya di depan masjid sedang ada 2 orang yang bercengkrama, ia mengenal keduanya. Ralina memutuskan untuk menghampiri dan menyapa, “Asslamualaikum akhi, ukhti.”
“Waalaikumsalam wr.wb.”
“Hayo ada apa ini berduaan? Nanti yang ketiganya setan loh.” Godanya sambil mendekat ke arah Savina. Membuat Jamil seketika memundurkan sedikit langkahnya, dan menunduk. Tidak berani menatap adik kelasnya dulu yang sekarang menjadi Ning nya.
“Sembarangan, ndak berduan kok tadi sama suami jenengan juga ini bahas kepanitiaan harlah bulan depan. Cuma Gus bucin satu itu keburu pulang takut istrinya nunggu di ndalem katanya, eh istrinya ternyata baru pulang ngajar.” Ralina terkekeh mendengar celotehan Savina, ini yang ia suka dari sahabatnya itu tidak berubah meski statusnya berubah. Savina being Savina, sama sekali tidak membuat batasan antar keduanya.
Jamil ikut terkekeh sebelum akhirnya pamit undur diri, “Ning, ustadzah saya pamit kembali ke asrama Njih.”
“Loh kulo baru datang padahal, ini ndak mau bahas harlah kale kulo?” Jamil tersenyum kikuk, lalu menggeleng pelan.
“Mboten ngoten Ning. Kulo menyelamatkan diri dugi si pencemburu ulung. Mboten angsal lami kepanggeh jenengan.” Ralina tersenyum menahan tawanya dengan tangan. Suaminya memang begitu persis yang Jamil bilang, pencemburu ulung.
Setelah kepergian Jamil, Ralina mencolek pinggang Savina. Menggoda. “Cie...”
“Cia, cie, cia, cie... Ini pasti ide kamukan yang jadiin aku sekretaris panitia harlah? Duh males banget mana Si Jamil lagi ketuanya.”
Ralina menggeleng dengan terkekeh, apalagi dengan ekspresi kesal milik Savina begitu menghiburnya. “Bukan aku loh, itu dari buya sendiri yang milih. Kalo ndak percaya ya tanya sama Gus.”
Savina mencibir, lalu dengan gerakan pelan ia mendorong bahu Ralina untuk beranjak pergi “Sudah sana kamu pulang Ning, sudah di tunggu misua di ndalem loh. Malaem jum'at sekarang, hus hus pulang.”
Pipi Ralina memerah digoda begitu, memangnya kenapa kalau malam Jum'at?
“Apa sih?”
“Pulang Ningku yang cantik kesayangan Gus bucin, kalo kamu gak cepet pulang nanti disusul loh.”
Ralina terkekeh sebentar, sebelum raut wajahnya berubah. Menerawang ke tanah lapang di depan masjid.
“Sav...” lirihnya pelan membuat Savina mengerti rupanya sang sahabat ingin menceritakan sesuatu yang mengganjal hatinya.
“Hmm, kenapa?”
“Menurut kamu, aku jahat nggak?”
Savina menunggu Ralina menggambil jeda, “Almarhummah marah ndak ya, suaminya menikah lagi bahkan sebelum 100 hari kepergiannya?”
“Na...” Savina tidak tau harus menjawab apa, ia menggenggam erat jemari kanan Ralina dan tangan lainnya merangkul bahu sahabatnya itu.
*
“Assalamualaikum...” begitu membuka pintu kamar mereka Ralina disuguhi pemandangan sang suami tengah membaca buku di atas sofa kamar.
“Waalaikumsalam, ayang kenapa lama? Aku kira tadi pulang duluan.” Ralina melangkah mendekati Harsa, lalu mencium punggung tangannya.
Begitu Ralina duduk disebelahnya Harsa menarik tubuhnya mendekat, tangannya tidak melepas genggaman Ralina dan balik menciumi punggung tangan sang istri.
“Tadi ketemu Savina, terus sedikit ngobrol.”
“Ngobrol apa hmm?”
“Rahasia.” Harsa tersenyum, kemudian ia melepas peniti yang mengikat khimar istrinya. Begitu penutup kepala Ralina terlepas tangannya mengelusi lembut surai hitam lebat berbau mint kesukaannya itu.
Harsa mencium puncuk kepala Ralina, lalu turun ke dahi sebelum juga bibirnya mampir di ujung bibir Ralina.
“Ayang kenapa hmm?” tanyanya begitu menyadari rupanya Ralina baru meneteskan air mata. Terlihat dari bulu matanya yang basah.
“Ndak papa tuh...”
“Ayang...” Ralina balik menatap manik mata Harsa yang kini mencoba menyelami tatapannya. Ia mengehmbuskan nafasnya berat.
“Hubby...” cicitnya pelan.
“Apa apa ayang? Ayang panggil aku apa?” Harsa berpura-pura tidak mendengar dengan panggilan yang bisa dihitung jari Ralina menggunakannya.
“ahahahaha, Hubby...”
“Dalem habibati?” Ralina tersenyum, tangannya tergerak untuk mengelus permukaan wajah suaminya. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya sebelum menyampaikan keresahan hatinya pada sang suami.
“Aku pantas gak sih buat ayang?”
Harsa terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu, “Ayang kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”
“Mbak Najwa bakal kecewa gak ya ayang menikah lagi bahkan ketika orang-orang masih bergkabung akan kepergiannya. Apa aku jahat?”
Harsa langsung memeluk tubuh Ralina erat, enggan mendengar pertanyaan lanjutan dari wanitanya itu.
“Gak ada yang jahat, sudah takdirnya begitu. Najwa sudah bahagia disana, berhenti berpikir seperti itu. Sudah takdir kita seperti ini, lebih baik kita do'akan saja semoga semua amal ibadah Najwa diterima tuhan dan ia ditempat di sisis terbaik-Nya.”
Ralina balas memeluk tubuh Harsa dengan erat, air matanya mengalir lagi. Ia menangis tanpa suara, kadangkala ia berpikir perihal jodoh, mau dan rezeki adalah rahasia tuhan. Lalu bagaimana dengan jodoh Harsa? Bukankah jodoh dibagi menjadi 3? Jodoh dunia, jodoh akhirat dan jodoh dunia akhirat. Ia termasuk yang mana?