Setidaknya meski tak lagi sama, kita pernah.
“Ini beneran gapapa kita disini?” Raline bertanya was-was dengan pandangan yang mengamati sekitarnya. Tempatnya tak asing, tapi rasanya aneh dan ini pengalaman pertama nya di dunia ini.
Dengan santai Kirana menjawab sambil meminum matcha latte yang baru saja dia pesan, “Tenang, aman kok.”
Azalea disebelahnya mengehela napas pasrah, “Kebiasaan Kirana ini.”
“Apa sih Prameswari ini, protes mulu dari tadi.”
“Ya abisnya kamu, aku udah bilang jangan asal main ke universe lain. Nanti itu bisa — ssssttt! Diam! Itu liat target yang kita cari disini.” Ucapan Azalea dipotong begitu saja.
Mereka berempat kini menatap pada sepasang laki-laki dan perempuan yang baru saja memasuki cafe dengan membawa setumpuk box yang entah apa isinya.
*
Gadis itu menggerutu sebal sedari tadi, bahkan dari semalam ketika saudara sepupunya meminta tolong untuk mengambilkan pesanan seragam pernikahannya. Bukan tidak mau membantu, masalahnya yang diperintah untuk mengantarkannya adalah Aghazian. Laki-laki yang pernah memiliki hubungan dengannya, meskipun entah apa hubungan mereka dulu. Yang jelas dia malas sekali harus pergi dengan laki-laki itu.
“Ini kita bisa langsung pulang aja gak sih mas?”
“Bentar, napas dulu disini. Capek aku muterin jalan, kamu salah baca maps!”
“Salah sendiri siapa nyuruh gue baca maps?”
“Perempuan emang gamau salah.”
“Maksud —” Omelannya tak lagi mampu keluar begitu seorang waitres menyapa meja mereka, menanyakan pesanan.
“Loh Gilang?” Aghazian menyapa, sementara ia mendadak terdiam tak mampu berkata.
“Eh Mas Aghaz, apa kabar? Masih sama ini ya? Awet banget kalian.” Dia melotot dengan ucapan pemuda yang diam-diam telah lama mencuri hatinya. Jauh sekali dari zaman sekolah menengah.
“Ahahahaha, kabar baik. Awet apa nih?”
“Hubungannya, hehehehe mau pesan apa kalian berdua?”
Aghazian meboleh pada perempuan yang mendadak diam tak mengomel disebelahnya, “Mau pesan apa kamu?” Yang ditanya bukan menjawab justru terlihat seperti orang linglung bingung hendak menjawab apa. Berada diantara kedua laki-laki ini membuatnya ingin enyah dari semesta.
*
Setelah mencatat pesanan kedua teman lamanya semasa sekolah, Gilang bergegas kembali tapi seseorang pelanggan menahan lengannya.
“Sorry, mas nya kenal sepasang yang duduk di meja nomor 11 itu?”
“oh itu teman saya dulu pas sekolah Kak.” jawab Gilang ramah.
“Kalau yang perempuan?”
“Teman satu kelas,” kali ini gilang menjawab sambil menatap ke meja nomor 11.
“Tapi ku rasa dia bukan hanya sekedar teman satu kelas?” Gilang menatap curiga pada perempuan di depannya, sekaligus menatap satu persatu teman perempuan itu yang ketiganya kompak menatapnya.
“Maaf kak, kita pernah ketemu sebelumnya?”
“Gak penting kita pernah ketemu atau engga, yang penting gimana perasaan kamu ke perempuan itu?”
“Kamu siapa?”
“Kalau ku jawab seseorang yang tau perasaan perempuan itu, kau mau menjawab pertanyaan yang tadi tidak?”
“Memangnya bagaimana perasaannya?”
“Jawab dulu, bagaimana perasaan mu?” Gilang merubah tatapan curiganya menjadi lebih lunak, “She is my ex crush.”
“Omo!”
“Haaaa?”
Yang memekik itu jelas Azalea dan Ratu, Raline Nadindra tentu saja hanya mampu mengangakan mulutnya. Dan Kirana menjentikkan jarinya antusias lalu menarik Gilang untuk duduk di meja mereka.
“Eh? Saya harus kerja kak.”
“Tenang, udah aku booking ke manager kamu buat berdongeng disini.”
“Ha?”
“Udah, anggap aja aku ini lagi butuh kamu sebagai narasumber yang ceritanya mau ditulis.”
“Ha?”
“Ih kebanyakan hah heh hoh!” Ratu melemparinya tisu.
Setelahnya mengalirlah cerita semasa SMA yang Raline simak dengan begitu cermat, sebisa mungkin ia menahan ekspresi. Apalagi ketika Gilang mengatakan ia tak punya kesempatan untuk mengutarakan perasaannya bahkan sampai kini mereka hidup masing-masing. Gilang bilang perempuan itu kini hanya bagian dari masa indah sekolahnya, meski ia menyesal tak pernah mengutarakan apa yang seharusnya ia katakan dari dulu pada perempuan itu tapi mau bagaimanapun waktu tidak bisa di ulang. Dan kesempatan tak lagi datang. Gilang telah melepaskan perasaannya, menyimpannya begitu rapi dengan kenangan-kenangan remajanya yang lain. Toh menurut nya sekarang, rupanya si perempuan sudah bahagia dengan laki-laki itu. Laki-laki yang dulu juga membuatnya mundur.
*
“Gimana udah lega?” Azalea bertanya begitu mereka hendak kembali.
Raline lemas rasanya tak sanggup banyak bicara mendengarkan cerita versi Gilang di dunia ini, “Setidaknya aku gak jatuh sendirian kan?”
“Tapi, tapi ini sama gak sih sama di tempat kita?” Ratu bertanya pada Kirana, jujur ia tak paham dengan konsep dunia ini.
“Kurang lebih sama, tapi aku juga gak bisa menjamin hahahahaha.”
“Lah?”
“Aku gatau Raline dan Gilang disini memilih pilihan yang sama atau tidak dengan Raline dan Gilang disana. Karena terakhir aku tau Kirana disini memilih melepaskan daripada tetap menggenggam sepertiku.”
“Yaudah yang penting sekarang Raline tidak lagi penasaran dengan perasaan laki-lakinya bukan?”
“Yep benar kata Prameswari.”
“Terus ini kalo kembali apa yang mau lo lakuin?” Ratu bertanya pada Raline, tapi perempuan itu justru mengendikkan bahunya tak tahu.
“Kalau saranku, seandainya bertemu dengan Gilang versimu disana. Coba kalian urai perasaan kalian dulu. Semisal sekarang sudah tak saling menyukai tak masalah setidaknya mampu menjawab semua tanya yang selama ini menghantui.”
“Capek ya jadi dewasa?” Kirana menghela napasnya.
“Udah ayo cepet balik ke tempat asal.” Ajak Azalea pada teman-temannya.
Kirana menggeleng, ia tersenyum lebar sebelum berkata “Kalian duluan aja?”
“Kamu mau kemana emang?”
“Mau nyari si sekkiya bentar, aku gatel banget pingin melampiaskan amarah. Hahhahaha.”
Ketiga menatap aneh, entahlah Kirana kadang memang diluar nalar pola pikirnya.