Shamsi Prihadi, pria 30 tahun yang kini berada di pekarangan rumahnya itu sedang memberikan pupuk kompres pada tanaman miliknya saat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Laki-laki itu melepas yopi besar khas yang digunakan para petani sebelum melangkah mendekat hendak menyambut tamu yang datang tanpa undangan itu.
Langkah sepatu bootsnya berhenti begitu melihat seorang perempuan turun dari mobil yang kini Shamsi tau, adalah mobil travel yang mengantarkan perempuan itu pastinya.
Shamsi tidak melanjutkan langkahnya, tangannya juga terdiam disebelah kanan dan kiri badannya. Ia terdiam meski perempuan di depannya memberikan seutas senyum paling cantiknya. Senyuman yang hampir sepuluh tahun tidak pernah Shamsi lihat lagi.
“Hai” suara lembut itu masih saja terdengar lembut di telinga Shamsi meski sudah sejak lama menghapusnya dari list daftar suara favorit.
Tak mendapatkan respon dari laki-laki di depannya, Almahyra Diana menurunkan kembali tangannya ia kemudian menatap sekitar. Pekarangan rumah yang meski tanpa bertanya Heera tau siapa pemiliknya, sangat Shamsi sekali. Penuh dengan bunga-bunga indah, sayuran, dan beberapa buah yang bisa cepat panen. Pekarangan rumah yang pernah Heera impikan, sepuluh tahun lalu.
Seolah tersadar dari keterkejutan dan lamunannya Shamsi akhirnya bersuara, “Heera?”
Perempuan di depannya terkejut, sebelum akhirnya matanya berbinar seolah suka mendengar bahwa laki-laki ‘nya’ masih mengingat namanya.
“Hehehe iya, aku kira tadi kamu lupa”
“eh? Gak lupa tapi tadi aku agak terkejut aja, maksud aku kok bisa kamu ada disini?” Shamsi merevisi perkataannya, dengan tanya yang lebih baik.
“ah itu dari Kania yang ngasih alamat ini.”
“Kania? Kania Prihadi? Adikku itu?” Heera mengangguk tegas, “Kamu kok kenal Kania?”
“Kamu kenapa gak pernah ngenalkan Kania?”
Shamsi tersenyum dengan pertanyaan itu, masih sama sepertinya dengan Heera sepuluh tahun lalu, dari pada menjawab sebuah tanyanya lebih suka membalik pertanyaan.
“Mungkin belum sempat saja, ayo duduk dulu aku panggilkan Kania kalo begitu.”
Heera duduk di atas ranjang kayu yang sudah di lapisi karpet hangat, begitu Shamsi hendak berbalik arah ia menyampaikan tujuannya datang ke Jepang kali ini “Aku kesini bukan untuk ketemu Kania, tapi ketemu kamu.”
Shamsi menatap perempuan itu lekat, “Banyak hal yang harusnya kita selesaikan dari sepuluh tahun lalu bukan?” Shamsi mengerti maksud Heera bagaimana, ia akhirnya ikut duduk disebelah perempuan itu dengan banyaknya kecamuk yang kini berterbangan di dalam kepalanya.
Obrolan mereka baru saja hendak di mulai begitu seorang gadis kecil keluar dari dalam rumah, “Papaa?”
“Ya sayang?” Heera tentu menoleh terkejut begitu Shamsi menghampiri gadis kecil itu dengan sebutan kasihnya.
Berbeda dengan si kecil yang sepertinya tertarik dengan kehadiran tamu sang ayah, “oh? Ada tamu? Halo tante” dengan ramah ia menjulurkan tangan mungilnya menyapa Heera dan mengajak bersalaman.
Tentu saja Heera akan mengesampingkan rasa penasarannya dan menyambut perkenalan menggemaskan itu, “Halo cantik” si kecil menahan salah tingkahnya begitu di panggil demikian oleh orang asing.
“Namu kamu siapa?”
“Ana”
“Wah cantik sekali namanya, Ana umur berapa?”
“5 tahun” Heera kemudian menatap Shamsi yang begitu lekat menatap gadis kecil itu, Heera tau mungkin saja kesempatan nya sekarang tidak pernah datang lagi.
“Papa, aunty Nia bilang makanannya sudah siap.”
“Ya sayang, bilang aunty Nia dulu ya kalo ada tamunya dari Jakarta oke?”
“Okee, bye tante”
Heera menatap Shamsi seolah meminta penjelasan, “Itu tadi putriku.”
Meski dengan mata yang hampir berkaca-kaca Heera meresponnya dengan baik, “Cantik, cantik sekali mungkin persis ibunya ya?” Shamsi menunduk, mengangguk pelan “Ibunya sudah meninggal saat dia berusia 3 bulan.”
“ah maaf,”
“its okey, bukan salah siapapun atas kepergiannya.”
“aku turut berduka cita”
“Terima kasih Heera”
“Sham, aku punya kesempatan gak?”
“Buat?”
Pertanyaan spontan Almahyra belum terjawab begitu Nia hadir diantara mereka, “Kak Heera! Aku kira masih sejaman lagi sampainya.”