Stupid i love you

Somi menggerutu sebal sambil menaiki tangga khusus menuju rooftop gedung yang digunakan sebagai tempat pesta ulang tahun Yeri. Doyeon enggan diajak pulang lebih awal dan justru sekarang tengah menikmati pesta miras di bawah sana. Rasanya ingin ia tinggalkan Doyeon sendirian tapi dia masih punya hati dan pikiran bagaimana sahabatnya akan pulang nanti dalam keadaan teler begitu.

Di bawah sana Somi bukan tidak mengenal semua orang, teman-teman Yeri kebanyakan juga kenal dekat dengannya. Hanya saja kehadiran dreamies, atau lebih spesifik lagi ada Haechan yang membuatnya memilih untuk mengasingkan diri ke rooftop. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, angin malam tentu saja menembus tulang kedinginannya. Beruntung di mobilnya terdapat beberapa pakaian ganti yang memang disediakan untuk keadaan darurat, Somi mengambil padding jacket Adidas yang akhir-akhir ini sering dia bawa karena cuaca yang selalu tidak bersahabat.

Begitu ia membuka pintu penghubung matanya menangkap punggung seorang pemuda yang rupanya baru menyelakan rokoknya, disebelah pemuda itu ada sebotol wine yang kira-kira baru satu tegukan di minum.

Somi hendak berbalik arah, tapi si pemuda lebih dulu menyadari kehadirannya. Dengan isyarat tatapan pemuda itu menyuruhnya duduk di bean bag sebelahnya. Somi hanya diam di tempat sampai si pemuda menyadari gadis itu tidak suka asap rokok, dengan cekatan rokoknya di jatuhkan kebawah lalu di injak mematikan asapnya.

“Sorry, kalo ke ganggu sama asap rokok gue.” Ucap Haechan membuka percakapan mereka di tengah suasana awkard itu.

Somi menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk duduk disebelah pemuda itu, ikut menikmati pemandangan malam dari atas gedung berlantai 40 itu. Hembusan angin begitu dingin, sedingin kecanggungan di antara mereka. Somi mengeratkan jaketnya, tangannya bersedekap dada memeluk tubuhnya sendiri.

Haechan melirik sekilas, kemudian terkekeh dengan sendirinya. Jaket yang Somi kenakan itu padding Adidas kesayangan 2 tahun lalu. Waktu itu ia kenakan pasa gadis itu ketika mereka pulang larut malam dari agenda kencan dadakan, Somi kedinginan di perjalanan.

Menyadari kekehan Haechan, Somi tersenyum kikuk “Sorry ini jaket lo waktu itu. Belum sempat gue balikin soalnya, ya waktu itu keburu kita berakhir.”

Haechan menatapnya dengan senyuman yang berusaha ia tahan, entah kemana perasaan canggung yang tadi turut menyelimuti nya “Pake aja gapapa, lo hak milik juga gapapa.”

“No thanks, nanti gue balikin. Kebetulan ini tadi ada di mobil gue, biasanya di pake Evelyn.”

Haechan mengangguk, keadaan kembali hening seiring dengan penolakan tak kasat mata yang baru saja Somi ucapkan. Haechan seketika sadar posisinya. Lagi-lagi keduanya saling diam sambil menatap ke segala arah yang penting tidak saling menatap.

“it's been two years since we already broke up, sometimes i miss u badly. Tapi kemudian berubah jadi perasaan menyedihkan ketika gue sadar bahkan kita belum sempat bikin kisah apa-apa. Cuma ada waktu sebulan buat kita —”

“ 3 Minggu.” Somi menyela ucapan Haechan.

“Seminggu terakhir gak bisa disebut kita karena isinya cuma berantem.” Haechan mengangguk setuju.

“Gue selalu kebingungan tiap kali ditanya kenapa susah banget buat move on, kenangan mana yang bikin gue terus terjebak sama lo. Kita terlalu minim kenangan sampe gue gatau yang mana yang ngikat gue untuk tetap disana.” Somi menolehkan kepalanya terkejut, what did he said?

“Excuse me? Lo apa?” Haechan terkekeh, ah sial di mata Somi ia begitu tampan dengan wajah yang tersiram rembulan begitu. “Gue belum bisa move on dari kita.”

Somi mengerjakan matanya berkali-kali berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar tidak misunderstanding, “Terserah percaya apa engga, tapi 3 minggu yang kita lalui waktu itu sukses bikin gue sampek sekarang menajdikan lo standar untuk apapun.”

“I try to find someone after we broke up. But i'm failed. No one can replace you.”

Somi pada akhirnya hanya menjadi pendengar bagaimana mereka dulu dari sudut pandang Haechan. Ia juga mendengarkan dengan seksama bagaimana kehidupan Haechan setelah perpisahan mereka.

“Kalo di pikir-pikir lagi yang lo bilang barusan itu bener juga, well kita ada karena kakak lo menolak di jodohin sama gue berkahir dengan lo konyol banget nawarin diri buat gantiin dia.” Haechan kini memerhatikan Somi yang akhirnya bercerita meski dengan pandangan yang terus lurus kedepan enggan menatapnya.

“Gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba disuruh tunangan sama stranger itu hal terkonyol yang pernah gue lakuin. Lebih konyol nya lagi lo ngajak gue buat nyoba jalanin aja dulu, abis itu kita pacaran seminggu kemudian. Terlalu dini banget buat bangun sebuah hubungan gak sih?” Somi terkekeh di ujung kalimatnya.

“Bayangin dalam waktu 2 minggu pacaran itu kita cuma ngedate 3 kali. Goblok banget gak sih kalo akhirnya kita berdua gak bisa move on? Sama sekali gak ada hal yang bisa di kenang dari hubungan singkat itu.”

Haechan tersenyum lebar mendengarnya, “So? Am I not the only one who can't move on?”

Somi tidak menjawab tapi justru mengambil botol wine milik Haechan dan meneguknya, merasa di pandangi dari samping gadis itu menjulurkannya pada Haechan “Mau?”

Tentu saja Haechan mau menikmati wine nya, bukan dengan tegukan pastinya ia punya cara lain dengan menarik tengkuk Somi mendekat ke arahnya dan menempelkan bibir mereka.

Ciuman pertama mereka justru terjadi setelah putus, 2 tahun kemudian.

Somi mendorong dada Haechan setelah beberapa saat, “Lo selingkuh Haechan. Lo gak ngaku kalo waktu itu lo punya pacar.”

Haechan menarik napasnya kemudian menatap lekat pada manik Somi yang menatapnya penuh emosional sulit diartikan, “Berapa kali harus gue bilang kalo waktu itu gue udah putus sama dia?”

“Tapi faktanya you were introduced as her lover at the family gathering that time”

“Gue cuma bantu dia, keluarga dia taunya kami belum putus.”

“Keluarga dia taunya lo masih pacar dia dan keluarga gue yang juga ada disana taunya lo tunangan gue. See? Brengsek gak lo?”

Haechan menundukkan kepalanya ia tau keputusan nya waktu itu datang menemani mantan kekasihnya berakhir melukai banyak pihak, “I'm sorry. Gue minta maaf karena tidak memanfaatkan waktu kita yang singkat itu untuk menciptakan kenang-kenangan yang buat berkesan tapi justru menyakitkan buat lo inget.”

“Gue benci fakta bahwa sebulan sama lo gue cuma punya 5 kenangan yang bisa terekam manis, sisanya nyakitin. Tapi kenapa gue justru terjebak sama perasaan ini? Gue terjebak sama lo bertahun-tahun.” Somi pada akhirnya menangis, kepalanya jatuh ke dada Haechan.

Kepalanya di elus begitu lembut, dengan dagu Haechan yang bertumpu dipundaknya “Lo emang bukan yang pertama Nik, bahkan mantan-mantan gue lebih punya banyak hal buat di kenang daripada lo. Tapi gue bisa apa kalo yang terus teringat kemanapun gue pergi justru lo? Harus berapa kali gue coba move on? Selalu gagal. Lo ikat gue pake apa sih?”

Somi mengencangkan pelukannya di punggung Haechan seiring dengan isakannya yang menjadi. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu, karena ia pun merasakan perasaan yang sama. Haechan menyebaknya di hubungan tidak jelas ini.

“Nik, mau kasih aku kesempatan untuk mengubah kenangan menyakitkan itu?”

Tidak sda jawaban selain suara isak tangis, Haechan rasa ia tak lagi punya kesempatan rupanya Somi tidak memberikan respon yang mengisyaratkan sebuah persetujuan.

“it's okey, I will try to move on again.”

Somi mengangkat kepalanya, menampilkan matanya yang membengkak akibat menangis. Tangannya memukul sebelah kiri dada Haechan, “Stupid i love you!”