— Sunrise girl.
Mas Asa, terimakasih telah menjadi cahaya dikehidupan saya. Meski secara tidak sengaja, tapi kamu menggantikan mentari untuk menyinari kegelapan yang saya alami.
Harsa berdecak sebal menatap pecahan cangkirnya di lantai, belum lagi dengan kemejanya yang kini bernoda tumpahan kopi. Kemeja yang ia pakai sekarang adalah kemeja terakhir, Harsa belum sempat mengantarkan tumpukan pakaian kotornya seminggu ini ke tempat laundry. Ia terlalu sibuk, kampus tempatnya mengajar tidak memberikan cuti tahun baru. Mengharuskan Harsa menghabiskan akhir Desembernya dengan ujian akhir mahasiswa.
Harsa keluar menuju balkon apartementnya berharap ada penghuni sebelah yang bisa ia mintai tolong. Benar saja seperti dugaannya, penghuni sebelah sedang menatap matahari yang baru saja terbit seperti rutinitasnya tiap hari.
“Mba sunrise,” panggilanya, tapi gadis berambut blonde itu tidak menoleh. Harsa lalu mencoba lebih dekat “Mba, sunsrise...”
Gadis itu akhirnya menoleh kaget, bagaimana ia tidak menyadari kehadiran tetangga unitnya sampai sedekat ini?
“Mba sunrise?” Raline, si gadis menunjuk dirinya sendiri memastikan kalau yang Harsa panggil adalah dia.
“Iya kamu, hehehe...” Raline ikut terkekeh melihat Harsa yang terkekeh tapi juga menggaruk belakang kepalanya canggung.
“Kenapa mangil sunrise?”
“Abisnya saya gak tau nama kamu, tapi saya liat tiap hari kamu selalu di balkon nungguin matahari terbit, maaf kalo kamu gak suka panggilannya.”
“Sunrise bagus kok, makasih buat panggilannya.” Raline tersenyum lebar pada Harsa, hal yang justru membuat Harsa tiba-tiba merasa salah tingkah.
“Nganu...” Harsa terlihat ragu-ragu untuk mengutarakan sesuatu.
Tapi Raline rupanya paham begitu ia melihat kemeja pemuda itu bernoda coklat pekat di bagian dada.
“Kemeja masnya kenapa?” Raline menunjuk bagian dada Harsa.
“Nah ini! Kemeja saya tinggal satu ini, dan gak sengaja ketumpahan kopi, mba sunrise punya, molto gak? Kalau boleh saya mau minta, saya gak punya kemeja lagi sementara siang ini saya harus ngasih ujian di kampus.” Raline menahan tawanya, apalagi melihat mimik muka Harsa yang begitu melas.
“Boleh kok, sebentar saya ambilkan.” Begitu Raline masuk ke kamarnya Harsa menghembuskan napasnya lega. Ya setidaknya ia mengatasi satu masalah pagi ini, meski tidak tau bagaimana cara mencuci kemeja yang benar.
Raline keluar tidak lebih dari 3 menit, gadis itu menenteng satu renteng molto cair “Mau berapa mas?”
“Kalo nyuci satu kemeja kira-kira butuh berapa?”
Raline tidak lagi bisa menahan tawanya, ia terbahak mendengar pertanyaan Harsa.
“Jangan bilang masnya gak pernah nyuci ya?” Harsa hanya tersenyum kikuk, lalu menggeleng.
“EH JANGAN LONCAT LAGI!!” Harsa berteriak begitu Raline menaikkan kakinya ke atas pagar.
“Tenang aja saya gak akan nyoba bunuh diri lagi kayak seminggu lalu, saya mau loncat ke balkon masnya mau bantuin nyuci kemeja.”
Harsa memicingkan matanya, dengan tangan yang masih memegang pergelangan tangan Raline. Takut gadis itu ingin meloncat terjunke bawah untuk mengakhiri hidupnya seperti seminggu lalu. Beruntung waktu itu Harsa bisa mencegahnya.
“Beneran?”
“Iya, sini saya aja yang nyuciin.” Raline sudah bersiap untuk kembali naik ke atas pagar.
“Eh, eh! Gak usah loncat! Saya ngeri, mending lewat depan aja.”
Raline menepuk dahinya pelan, kenapa juga ia tidak lewat depan saja?
30 menit setelahnya Raline baru selesai membereskan kekacauan yang terjadi di apartement Harsa. Tadi ketika ia mencuci kemeja Harsa, laki-laki itu membereskan pecahan cangkir kopinya. Tapi ternyata Harsa tidak pandai dalam mengurus rumah, kaki dan jari tangannya justru berdarah tidak sengaja terkena beling.
“Nanti kemejanya tinggal di setrika aja, untung di luar lagi panas banget jadi bisa cepet kering. Punya setrika kan?”
Harsa yang sedari tadi duduk di sofa memperhatikan Raline yang membereskan dapurnya kini hanya mampu terpaku menatap Raline.
Harsa menggeleng, “Engga...”
“Yaudah bentar saya ambil setrika saya dulu sekalian deh saya setrikain juga, kamu kayaknya juga ga bisa pake setrika.”
Harsa tersenyum menahan malu, ia menundukkan kepalanya dan menggaruk tengkuk lehernya.
“Mba sunrise, makasih ya udah mau saya repotin hari ini.” Raline tersenyum dan mengangguk.
“Sama-sama, hitung-hitung sebagai balas budi masnya menyelamatkan hidup saya.”
Begitu Raline pamit untuk mengambil setrikanya, Harsa tersenyum begitu lebar diam-diam dia membayangkan rasanya punya istri yang akan mengurusnya seperti Raline yang sedari tadi mengurusnya.
Hari ini Raline benar-benar membantunya, bahkan sampai mengikatkan dasinya. Gadis itu juga membuatkan makan siang untuk Harsa, benar-benar seperti seorang istri bukan?
Begitu Raline pamit kembali ke unitnya Harsa menanyakan agenda gadis itu untuk acara pergantian tahun nanti malam.
“Mba sunsrise nanti malam ada acara?”
Raline menatap Harsa lamat-lamat, mencoba membaca maksud dari pertanyaan pemuda di depannya.
“Maksud saya kalo gak ada mau saya ajak makan malam, sebagai balasan karena mba nya udah bantuin saya seharian ini.”
Raline tersenyum “Lihat nanti ya kalau saya punya waktu.” Setelahnya ia melenggang pergi meninggalkan Harsa yang tengah terseyum menatap punggungnya.
Menjelang malam Harsa baru menyelesaikan kelas terakhirnya, ia baru membereskan lembar jawaban di atas meja ketika ada seorang mahasiswi menghampirinya dan memberinya sebuah amplop.
“Maaf pak Harsa, saya tadi sebelum masuk kelas bapak mendapat titipan ini dari mahasiswi fakultas sebelah.” Harsa menerima amplop tersebut dengan dahi yang berkerut, ia pikir setelah rumor palsu dia dan seorang dosen wanita disini berkencan para mahasiswi akan berhenti mengiriminya surat cinta, ternyata tidak ya?
“Dari siapa?” Tanyanya
“Saya juga tidak mengenalnya pak, maaf.”
“Yasudah, makasih ya.”
“Sama-sama, saya pamit duluan ya pak.”
Harsa langsung membuka amplop tersebut begitu tinggal ia sendiri di ruangan kelas itu, padahal biasanya Harsa paling malas membuka surat dari mahasiswi. Tapi rupanya kali ini berbeda, amplop putih polos itu menarik perhatiannya.
Halo Mas sunshine, Bolehkan saya panggil begitu? Kita belum sempat berkenalan secara resmi ya? Nama saya Raline Nadindra, tadi pagi kamu panggil saya mba sunrise. Saya suka panggilannya, saya merasa indah mendapatkan panggilan itu. Tempo hari saya berniat mengakhiri hidup saya karena kebejatan seseorang telah menodai saya. Saya kotor, saya takut dunia dan seisinya menolak saya dan menganggap saya sampah. Tapi kamu menyelamatkan saya, kamu memberikan saya motivasi untuk tetap hidup dan menyadarkan saya bahwa pemikiran saya salah. Kamu juga bilang saya berhak di cintai siapapun kedepannya, semoga saja ya. Hari ini panggilan sederhana darimu 'sunrise' membuat saya kembali percaya diri, saya masih layak disebut indah.
Mas Asa, terimakasih telah menjadi cahaya dikehidupan saya. Meski secara tidak sengaja, tapi kamu menggantikan mentari untuk menyinari kegelapan yang saya alami. Saya harap kedepannya kamu juga bisa menjadi sunshine untuk orang lain. Bahagia selalu orang baik :)
Maaf saya tidak bisa memenuhi janji makan malam sama kamu, malam ini saya berencana pergi jauh dari kota ini. Saya ingin menyembuhkan luka, selamat tingal mas Asa.
Pak dosen, maaf ya saya lancang panggil pake sebutan mas, hehehe
Harsa tercengang membaca surat dari Raline, ia lalu terburu memasukkan semua barangnya kedalam tas dan berlari menuju parkiran. Berharap macet masih bisa ia terobos setidaknya ia punya semenit saja untuk bertemu Raline.
Seperti dugaan Harsa terjebak macet lebih dari satu jam, begitu sampai di apartementnya ia berlari menuju unit Raline. Bertepatan dengan gadis itu yang baru saja menutup pintu dengan koper besar di sebelahnya.
Harsa mengatur napsanya yang terengah.
Tanpa aba ia memeluk Raline yang kini mematung dalam dekapannya. Gadis itu tak mampu berkata-kata, apalagi ketika Harsa berbisik padanya.
“Boleh gak saya minta kamu untuk tetap tinggal? Saya mau jadi sunshine buat kamu aja.”