—Yang datang melamar.

Sudah hampir setahun dari patah hatinya waktu itu, Ralina tak lagi meminta siapa, yang penting sekarang adalah mencintai sang pencipta sebaik-baiknya.

Perihal jodoh tanpa di cari pun jika sudah tiba waktunya akan datang dengan sendirinya. Ralina hanya harus bersiap menjadi calon makmum terbaik untuk siapapun nanti yang berani datang pada Buya.

Tapi sejauh ini Buya sama sekali tidak menyinggung perihal pernikahan, perihal perjodohan ataupun perihal lamaran seseorang.

Kemarin saat menggantikan umma mengisi ngaji di salah satu kelas putri, santrinya ada yang bertanya “ Ning Alin pun nggadah calon dèrèng?”

Ralina hanya tersenyum, “Belum.”

Lalu di sambut doa para remaja putri itu, “ Semoga segera ya Ning, Buya pasti carikan imam yang paling baik dari yang terbaik.”

” Aamiin...” Setiap doa baik itu harus di aamiinkan.

Selepas kelas, grusak grusuk terdengar di bagian belakang. Beberapa santriwati itu mencuri pandang ke jendela luar. Rupanya ada seorang ustad yang lewat.

Itu Mas Harsa, rupanya dia benar-benar idola. Buktinya namanya terkenal di santri putri.

Sayup-sayup Ralina mendengar bisikan mereka, “Ustad Harsa katanya sama Buya mau di jodohin tau!”

” Sama siapa?”

” Yang jelas kayaknya sama Hafidzah, ustad Harsa kan kesayangannya Buya. Pasti di carikan yang terbaik.”

” Kenapa ndak sama Ning Alin saja ya?”

” Huss kamu ini! Ning Alin kan putri tunggal, otomatis Buya carikan calon suami yang setara bibit bobotnya, yang bisa memegang yayasan menggantikan Buya nanti.”

” Iya juga ya, mungkin jodohnya ustad Harsa emang ustadzah, bukan Ning.”

Ah benar, Ralina anak tunggal. Seperti hukum tak tertulis calon suaminya kelak harus bisa meneruskan perjuangan Buyanya, seperti peraturan tak tertulis calon suaminya harus setara dengan mereka.

Meski jodoh adalah rahasia milik tuhan.

Maka dari itu kekagumannya pada Harsa sudah ia pangkas sedini mungkin, perasaan itu tak lagi ada, bahkan tak di biarkan berkembang.

Ngomong-ngomong soal calon istrinya Harsa, siapa kira-kira yang akan Buya berikan ya?

Ustadzah Layla kah? Atau dari salah satu santri Tahfidzul Qur'an? Atau Buya carikan dari kerabat dekat mereka?

Tiba-tiba saja suasana di sekitarnya menjadi senyap, Ralina menoleh ke belakang, para santri itu membuka jalan dan menundukkan kepala mereka, ada Buya yang berjalan bersama Mas Harsa.

Ralina ikut menepi, kepalanya ikut tertunduk sampai Buya berhenti di depannya.

” Ning ngajaré sampun?”

” Sampun Buya, niki badhé wangsul.”

Buya mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkahnya meninjau pesantren bersama Harsa, rutinitas tiap minggu Buya.

Ralina sebenarnya tidak pernah lagi bertemu Harsa setelah di antarkan ke rumah teman waktu itu. Jika pemuda itu sedang sibuk di ndalem bersama Buya, ia hanya mendengar suaranya.

Ralina juga tidak pernah bertegur sapa, bukan mahram kan? Nanti justru menimbulkan fitnah.

Pun Harsa demikian, mengagumi perempuan itu sebenernya mudah. Bahkan di asrama putra pun sepertinya semua santri juga sering membicarakannya, kecantikannya, budi pekertinya, kecerdasannya. Semua orang bilang istri idaman.

Tapi siapa yang berani dengan lancang mengidamkan putri kiai mereka?

Untuk memandangnya saja ia tidak berani, bagaimana menaruh hati?

Ralina pasti akan mendapatkan calon suami yang terbaik pilihan Buyanya.

Ngomong-ngomong soal minta di carikan calon istri waktu itu, Buya sama sekali tidak menyebutkan nama-nama yang di rekomendasikan.

Justru meminta Harsa memilih sendiri. Dawuhnya waktu itu, “ Kamu harus dapat mawar terbaik menurut mu, belum tentu pilihan Buya nanti cocok dengan hatimu. Datang lagi kemari jika sudah menemukan mawar mana yang hendak kamu petik, Buya pasti berikan restu.”

Andai Buya tau jika sebenarnya Harsa meminta carikan calon istri waktu itu hanya untuk menghindari, menghindar dari harapannya sendiri memetik mawar terbaik yang Buya miliki.

Harsa sadar diri. Dia siapa, si cantik itu siapa.