—Yang telah halal di pandang.
Ralina tidak mengerti bagaimana takdir berjalan sebagus ini. Rasanya belum terbiasa duduk berdua di kamarnya bersama seseorang yang kini ia sebut suami.
Ah suami, malu sekali rasanya!
Mereka baru saja melaksanakan sholat sunnah bersama, pertama kalinya di imami seseorang yang bukan Buyanya atau Ummanya. Atau imam sholat Jama'ah di masjid.
Imam yang akan memimpin hidupnya untuk seterusnya.
Duduk di tepi ranjang berdua, sama-sama merasa canggung. Keheningan melanda sampai Harsa akhirnya memberanikan diri memegang tangan istrinya,
Ia tadi pagi Harsa mengikat perempuan itu sebagai istrinya, Ijab Qobul langsung bersama Buya.
Harsa gugup, pun dengan Ralina lebih gugup lagi. Tangannya di genggam laki-laki lain selain Buya.
” Saya ada pengakuan Ning.”
Ralina lalu menatap suaminya, masyaallah tatapan mereka kini telah halal dan menjadi pahala.
” Nopo Mas?”
Mas, Mas Harsa, merdu sekali panggilannya.
” Pengapunten, sebelum kita menikah saya pernah mengharapkan seorang perempuan untuk dinikahi.”
Rasanya seperti di jatuhkan ke jurang, jantungnya seperti merosot, Ralina tidak tau perasaan apa ini. Tapi mendengar pengakuan laki-laki yang baru tadi pagi menikahinya itu membuat air matanya jatuh begitu saja.
Ya Allah menyakitkan sekali.
Harsa menghapus bulir itu, mata cantik istrinya berair, rupanya ia salah bicara.
” Mas Asa, kenapa tidak menolak permintaan Buya? Buya kah yang menawarkan pernikahan ini?”
Dadanya rasanya remuk redam, ia tau pasti Harsa tidak kuasa menolak tawaran Buyanya? Harsa pasti terpaksa menerima saja calon istri pilihan Buyanya.
Harsa menggeleng kuat, kembali menghapus air mata istrinya.
” Buya tidak pernah menawarkan siapapun, tidak juga meminta saya untuk menjadi imam siapa.”
Ralina menatap heran, bukankah waktu itu Harsa meminta carikan calon istri pada Buyanya?
” Saya pernah meminta carikan calon istri, tapi Buya menolak. Buya bilang saya harus cari sendiri, dan meminta restunya ketika sudah menemukan yang terbaik.”
Harsa lalu dengan lembut menarik penutup kepala istrinya, mengelus lembut rambut Ralina yang panjang hitam lebat tak pernah terlihat orang lain itu.
” Perempuan yang pernah saya harapkan itu kini sudah menjadi istri saya.”
Oh ya Tuhan takdir apa ini?
” Setiap malam saya berdoa supaya perempuan itu mendapatkan jodoh terbaiknya, meski bukan saya.”
” Masyaallah, saya juga doakan Mas Asa dapat istri yang paling baik menurut Allah.” Ralina tidak menyangka bahwa selama ini mereka saling mendoakan.
Benar bukan, jangan meminta siapa tapi berdoalah yang terbaik untuk siapa.
” Waktu itu saya tidak cukup berani untuk meminta Mawar terbaik milik Buya, saya sadar diri saya siapa, jênêngan siapa. Apalagi setelah tau ada beberapa lamaran yang Buya tolak datangnya. Saya semakin merasa tidak pantas.”
Ralina terkejut mendengarnya, lamaran? Iyakah? Buya tidak pernah menyampaikan satupun lamaran kecuali lamaran Harsa bulan lalu.
” Saya tidak tau ada lamaran itu.”
Harsa tersenyum mendengarnya, kembali ia mengelus lembut tangan istrinya.
” Ada beberapa Ning, Putra kiai seberang, Ustad muda, Hafidz Qur'an, rekan Buya, semuanya di tolak. Saya bertanya pada diri sendiri menantu seperti apa yang Buya inginkan sebenarnya? Semua orang shalih yang saya tau itu di tolak, tidakkah jika saya maju pun akan di tolak?”
Ralina terkesima mendengarnya, apakah sebenarnya Buyanya tau perihal perasaan di antara keduanya?
” Lantas malam itu saya mencoba, saya beranikan diri saya, ditolakpun tidak masalah yang penting saya akhirnya tau bagaimana menantu yang Buya inginkan.”
Harsa mengingat kembali malam menegangkan seumur hidupnya itu, ketika selesai mengantar Buya menghadiri undangan pengajian. Selepas memarkirkan mobil, Harsa meminta sedikit waktu Buya untuk berbicara.
” Buya saya sudah menemukan mawar mana hendak saya petik.”
Buya waktu itu tersenyum mendengarnya, “ Alhamdulillah kalau begitu, sinten Le?”
” Pengapunten ingkang katah Buya, ngapunten menawi kulo lancang. Saya ingin memetik mawar terbaik Buya. Kulo kerso kalo Ning Ralina.”
Harsa tidak berani menatap kiainya, bahkan tangannya sekarang berair karena gugup.
Ia tetap menunduk bahkan ketika Buya menyambut perkataannya tadi dengan tawa khasnya.
Malam itu Buya tidak memberikan jawaban setelah tertawa, tapi Harsa ingat wajah teduh itu terpancar bahagia.
” Saya tidak tau lamaran saya di terima atau tidak, Buya sama sekali tidak memberikan jawabannya. Tapi 2 hari setelahnya,”
Sebelum melanjutkan ceritanya Harsa menangkup pipi istrinya, sedari tadi perempuan itu fokus menyimak ceritanya.
” Buya datang pagi sekali ke asrama putra, bahkan berdiri di depan kamar saya Ning. Membuat kehebohan semua santri, lalu beliau rangkul saya dan berkata 'mantuku ahlan wa sahlan', bahkan saya sampai menangis mendengarnya.”
Ralina ingat malam ini, malam ketika Buyanya pulang dari pengajian dengan wajah berseri-seri. Di tanya Umma pun tidak menjawab apa alasannya tersenyum secerah itu.
Lalu keesokan malamnya selepas mengimami sholat isya' di masjid, Buya meminta Ralina berbicara bersama di ruang kerjanya.
” Putri Buya, bagaimana jika ada seseorang yang menginginkan kamu menjadi istrinya?”
Ralina tau hari itu akan tiba, hari dimana Buya bertanya tentang pernikahan.
” Jika menurut Buya dia yang terbaik insyallah Alin terima.”
Setelahnya Buya tersenyum dan mengelus lembut pucuk kepalanya, bebarengan dengan Umma yang datang membawakan secangkir teh untuk Buya.
” Lamarannya di terima Buya?” Tanya Umma.
Ah rupanya Umma juga sudah tau hal ini.
” Putri kita sudah besar Umma, sudah di minta orang.”
Entah kenapa Ralina menangis mendengarnya, ah Buya kenapa menjadi melo seperti ini.
” Alin jangan sungkan menolak jika tidak ingin, Alin tanyakan dulu pada Allah, sholat istikharah. Tanyakan pada Buya lelaki seperti apa yang memintamu, yang akan menjalani pernikahan ini kamu bukan Buya bukan juga Umma.”
Ralina akhirnya melaksanakan saran yang i ucapkan Ummanya. Ia berdoa meminta petunjuk kepada sang pencipta, apakah benar yang memintanya adalah laki-laki terbaik dari yang paling baik untuknya.
Setelah mendapatkan jawabannya, ia sampaikan pada Buya dan Ummah jika ia siap menikah dengan siapapun yang Buya pilihkan.
Umma sempat bilang, lihat dulu calonnya sebelum menerima. Siapa tau nanti tidak cocok.
Tapi Ralina menolak, siapapun itu insyaallah pilihan Buya akan menjadi yang terbaik di hidupnya.
Lalu esok harinya ketika Buya bilang yang melamarnya adalah Harsa, Ralina merasa takdir begitu indah menjawab semua doa-doanya.
Harsa dan Ralina saling takjub mendengar kisah masing-masing, saling sempat memendam perasaan, saling mendoakan yang terbaik akhirnya Allah jawab doa mereka dengan pernikahan.
” Uhibbuki...” Cengkrama malam itu di tutup dengan kecupan di seluruh wajah Ralina, lalu Harsa memegang ubun-ubunnya membacakan doa suami istri. Ralina menengadahkan tangannya, mengaminkan doa suaminya.
Ya Allah berkahi pernikahan mereka.
Hari yang indah, berakhir dengan pelukan hangat keduanya, tepat sebelum memjamkan matany Ralina bersuara, “ Habibii, uhibbuka...”
Lalu ia mengeratkan pelukannya, malu jikalau wajah meronanya terpandang Harsa.
Akhirnya Harsa tidur tidak lagi memeluk guling sekarang, ada seorang istri yang halal ia peluk kapan saja.