Akan ada masanya, punya kriteria tak berarti apa-apa.
“Prameswari!” Teriakan dari arah selatan membuat Azalea Prameswari menghentikan langkahnya, ia berbalik menoleh ke belakang menunggu Kirana yang berlari kearahnya.
“Udah dibilang manggilnya Azalea aja, masih aja Prameswari.” Azalea memperingati yang kesekian kali pada gadis di depannya, tapi percuma ucapannya justru mendapat kekehan.
“Biarin wleee, Prameswari cantik tau!”
“Terserah kamu aja, si paling ngeyel.”
“Ahahahahahahah! Oh iya ini novel kemarin yang mau kamu pinjam.” Rana menjulurkan sebuah novel besutan penulis ternama kehadapan Azalea, sontak hal itu memunculkan binar antusias dari sahabatnya.
“Wah makasih ya, ini koleksi Baba?” Yang ditanya hanya menganggukkan kepala, lalu menyeret Azalea untuk duduk di kursi terdekat dengan mereka.
Kirana mengeluarkan 2 kaleng susu beruang kesukaannya, “Temani aku minum susu disini.”
Azalea tersenyum, “Alah bilang aja bukan sekedar minum susu, tapi juga cuci mata.”
“Cuci mata itu di fakultas sebelah, disini kamu hanya akan melihat..yah begitulah.”
“Ahahahaha benar juga.”
“Anyway, Baba punya koleksi Datuk Indomo tidak?” Pertanyaan Azalae membuat Kirana mengangkat alisnya seolah bertanya, siapa lagi itu? Tapi kemudian ia mengerti siapa yang baru saja Azalea sebutkan, “ aah! Tenggelamnya kapal Van der Wijck?”
“Yeps, punya koleksi yang lainya gak?”
“Baba sebenarnya gak koleksi novel sih...”
“Lah ini?” Azalea mengangkat novel bidadari bermata bening yang tadi diberikan Kirana.
“Pengecualian kalo karya Habiburrahman El shirazy, selebihnya gak ada.”
“Terus punya koleksi apalagi?”
“Ihya' ulumuddin, mau pinjam?”
“No thanks, ahahahahaahaha.” Keduanya kemudian tertawa sebelum akhirnya mata Kirana menangkap visual seorang pemuda yang berjalan tak jauh dari mereka.
“Ekhem arah jam sebelas, cakep ya?”
Azalea mengikuti arah pandang Kirana, menatap pemuda yang tengah menyapa banyak orang yang dilewatinya kemudian tersenyum melihat Kirana yang menaik turunkan alisnya menggoda, “Gimana kabarnya?”
“Kabar siapa?”
“Ayolah Prameswari, kamu tahu siapa yang sedang aku bicarakan.” Azalae menutup novel yang sempat ia buka, lalu memutar kaleng susu dihadapannya, “Gak gimana-gimana.”
“For real?? Kamu gak tertarik sama si tampan satu itu?”
“Tertarik, tapi ...”
“NAH THAT'S THE POINT!” Kirana being Kirana dengan segala keantusiasannya.
“Menarik aja gak cukup, aku belum banyak tahu tentang dia”
“Ya cari tahu!” Kirana memotong ucapan Azalea.
“Gimana kalo udah cari tahu, dia gak —”
“Dia gak kayak Pramudya?” Azalea menoleh menatap Kirana yang seperti sedang mengintrogasinya, pernyataan yang tepat sasaran.
“Come on Prameswari! Mau sampai kapan nyari yang kayak Pramudya?”
“Ya sampek ketemu yang seperti itu?”
“Kalo gak ada yang seperti itu?” Pertanyaan Kirana membuatnya menunduk, iya juga memangnya akan ada yang seperti Pramudya nantinya?
“Sadar gak sih selama ini kamu nolak banyak cowok cuma karena kamu gak menemukan sosok Pramudya di mereka, itu jahat Prameswari.”
“Rana!”
“Cinta gak seperti itu, kamu boleh punya standar dan kriteria setinggi langit tapi jangan mencari seseorang di diri orang lain.”
“Masalahnya standar yang aku punya lengkap sempurna ada di Pramudya, kamu gak ngerti!”
Kirana menghela nafasnya, “Iya aku gak ngerti gimana rasanya mencari seseorang di diri orang lain. Tapi yang aku tahu kamu juga tersiksa sama itu.”
Azalea menatap kosong ke depan, merenungkan kembali banyak percakapannya dengan Kirana perihal Pramudya selama ini.
“Gak semudah itu melepas bayang-bayang Pramudya, aku udah nyoba berkali-kali dan akan berakhir dengan kenapa mereka gak kayak Pramudya? Kenapa mereka gak punya apa yang Pramudya punya?”
“Sebenarnya apa memang sesudah itu melepas Pramudya atau kamu yang belum ingin melepasnya?”
Azalea menoleh menatap tepat pada mata kecokelatan milik Kirana yang kini memaku tatapannya, “Pramudya itu semp—”
“Pramudya itu ninggalin kamu, Pramudya gak memilih kamu. Apa fakta itu gak cukup untuk kamu sadar bahwa dia tidak berhak kamu kagumi sampai sejauh ini?”
“Kenapa dia gak milih aku? Apa aku gak pantas dia pilih?” Tiba-tiba saja Azalea merubah suasana menjadi melankolis, “Kenapa justru berpikir begitu?”
“Prameswari, coba mari kita rubah sudut pandangnya. Sebodoh apa Pramudya sampai tidak memilihmu? Pramudya tidak sesempurna itu, selama ini kesempurnaannya adalah ilusi yang kamu ciptakan sendiri untuk terus mengaguminya.”
“Pramudya tidak lagi pantas kamu kagumi, ketika ia telah meninggalkanmu. You deserve better than him!”
“Memang ada yang lebih baik dari dia?”
Kirana memutar bola matanya, “Kan!”
“Bukan yang lebih baik dari dia, tapi yang terbaik untukmu.”
“Artinya kamu setuju tidak ada yang lebih baik lagi nantinya dari Pramudya dong?”
“Prameswari, anggap saja seperti ini Pramudya itu ahli matematika dia yang terbaik disana dan kamu mengagumi itu sementara kamu ini ahli tata bahasa, bukankah mau sebaik apa ahli matematika itu tetap saja akan ada ahli tata bahasa yang nantinya paling pas menjadi patnermu bercengkrama?”
“Kenapa tidak kita saja yang berusaha memahami matematika darinya?”
Kirana tertawa dengan pertanyaan Azalea, “Sulit memang melepaskan seseorang yang telah lama kita damba.”
Percakapan mereka terhenti beberapa saat, Kirana membiarkan Azalea termenung, dia justru menatap kearah lain sembari menghabiskan susu beruangnya.
“Gimana caranya tidak lagi mencari Pramudya di laki-laki lain, Rana?”
Yang ditanya hanya mengangkat bahu, tatapannya tidak beralih membuat Azalea ikut menatap kedepan. Sedetik kemudian Kirana tertawa, “Entahlah aku juga buruk dalam asmara, tapi akan ada masa dimana nanti kamu menemukan seseorang yang dengannya kamu tidak akan lagi membandingkan Pramudya, yang dengannya kamu tidak lagi melihat list kriteria, yang dengannya Pramudya tidak lagi mengahantui kepala.”
Azalea berusaha mencerna ucapan Kirana, lalu tersenyum menatap arah pandangnya “Ya semoga ucapanmu kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya, selalu tepat sasaran.”
“Ahahahahhahaha, Trust me! Akan ada masanya kamu menemukan seseorang yang bahkan mungkin sangat berbeda dengan Pramudya tapi kamu akan menerimanya dengan dengan tangan terbuka lebar.”
“Gitu ya?”
“Iya! Sekarang lihat kedepan itu ada Mas Ajil, nikmati saja ketampanannya.”
“Mas Ajil, atau orang yang baru saja disapa Mas Ajil?”
“Mas Ajil cocok gak sama aku?”
“Halah! Mas Ajil cocoknya sama aku!” Kirana terkekeh dengan ucapan Azalea.
“Pfftt udah ga cocok sama Pramudya nih?”
“Katanya disuruh nyoba melepas?”
“Ahahahaha nanti kalo udah next move sama Mas Ajil bilang ya, ku kasih stok gombalan banyak.”
“No thanks, aku mau bahas berbagai macam bahasa aja.”
“Kok jadi bahasa?” Kirana mengangkat alisnya heran, “Katamu tadi aku ahli bahasa?”
“Oh iyaya, ahahahhaha. Semoga Mas ajil profesor bahasanya ya!”
“Dan semoga kamu ketemu Zainuddin,” Azalea balik menggoda Kirana.
Gadis itu justru menunjuk novel Bidadari bermata bening dihadapan Azalea dan tersenyum menantang, “Mau Mas Alif aja, jangan Zainuddin.”
“Lebih minat menjadi Ayna daripada Hayati?”
“Lebih minat jadi Jeon Somi sih.”
“Astaga ya tuhan siapa lagi itu.” Kirana terbahak mendengar keluhan Azalea.
Candaan mereka terintrupsi dengan sapaan seseorang yang tiba-tiba sudah berada dihadapan mereka, “Loh Azalea? Kamu ke kampus hari ini?”
“Eh? Iya Mas Ajil, tadi ada janji temu dengan Pak dosen.”
“Oh begitu, gimana skripsinya?”
Yang ditanya Azalea, tapi yang menahan teriakan gemas justru Kirana. Begitu Mas Ajil pamit melanjutkan jalannya Kirana berucap, “Udah yok berhenti dengerin lagunya tulus yang sewindu, ganti lagunya Raisa aja yang jatuh hati.”