Ran;

Akan ada masanya, punya kriteria tak berarti apa-apa.

“Prameswari!” Teriakan dari arah selatan membuat Azalea Prameswari menghentikan langkahnya, ia berbalik menoleh ke belakang menunggu Kirana yang berlari kearahnya.

“Udah dibilang manggilnya Azalea aja, masih aja Prameswari.” Azalea memperingati yang kesekian kali pada gadis di depannya, tapi percuma ucapannya justru mendapat kekehan.

“Biarin wleee, Prameswari cantik tau!”

“Terserah kamu aja, si paling ngeyel.”

“Ahahahahahahah! Oh iya ini novel kemarin yang mau kamu pinjam.” Rana menjulurkan sebuah novel besutan penulis ternama kehadapan Azalea, sontak hal itu memunculkan binar antusias dari sahabatnya.

“Wah makasih ya, ini koleksi Baba?” Yang ditanya hanya menganggukkan kepala, lalu menyeret Azalea untuk duduk di kursi terdekat dengan mereka.

Kirana mengeluarkan 2 kaleng susu beruang kesukaannya, “Temani aku minum susu disini.”

Azalea tersenyum, “Alah bilang aja bukan sekedar minum susu, tapi juga cuci mata.”

“Cuci mata itu di fakultas sebelah, disini kamu hanya akan melihat..yah begitulah.”

“Ahahahaha benar juga.”

“Anyway, Baba punya koleksi Datuk Indomo tidak?” Pertanyaan Azalae membuat Kirana mengangkat alisnya seolah bertanya, siapa lagi itu? Tapi kemudian ia mengerti siapa yang baru saja Azalea sebutkan, “ aah! Tenggelamnya kapal Van der Wijck?”

“Yeps, punya koleksi yang lainya gak?”

“Baba sebenarnya gak koleksi novel sih...”

“Lah ini?” Azalea mengangkat novel bidadari bermata bening yang tadi diberikan Kirana.

“Pengecualian kalo karya Habiburrahman El shirazy, selebihnya gak ada.”

“Terus punya koleksi apalagi?”

“Ihya' ulumuddin, mau pinjam?”

“No thanks, ahahahahaahaha.” Keduanya kemudian tertawa sebelum akhirnya mata Kirana menangkap visual seorang pemuda yang berjalan tak jauh dari mereka.

“Ekhem arah jam sebelas, cakep ya?”

Azalea mengikuti arah pandang Kirana, menatap pemuda yang tengah menyapa banyak orang yang dilewatinya kemudian tersenyum melihat Kirana yang menaik turunkan alisnya menggoda, “Gimana kabarnya?”

“Kabar siapa?”

“Ayolah Prameswari, kamu tahu siapa yang sedang aku bicarakan.” Azalae menutup novel yang sempat ia buka, lalu memutar kaleng susu dihadapannya, “Gak gimana-gimana.”

“For real?? Kamu gak tertarik sama si tampan satu itu?”

“Tertarik, tapi ...”

“NAH THAT'S THE POINT!” Kirana being Kirana dengan segala keantusiasannya.

“Menarik aja gak cukup, aku belum banyak tahu tentang dia”

“Ya cari tahu!” Kirana memotong ucapan Azalea.

“Gimana kalo udah cari tahu, dia gak —”

“Dia gak kayak Pramudya?” Azalea menoleh menatap Kirana yang seperti sedang mengintrogasinya, pernyataan yang tepat sasaran.

“Come on Prameswari! Mau sampai kapan nyari yang kayak Pramudya?”

“Ya sampek ketemu yang seperti itu?”

“Kalo gak ada yang seperti itu?” Pertanyaan Kirana membuatnya menunduk, iya juga memangnya akan ada yang seperti Pramudya nantinya?

“Sadar gak sih selama ini kamu nolak banyak cowok cuma karena kamu gak menemukan sosok Pramudya di mereka, itu jahat Prameswari.”

“Rana!”

“Cinta gak seperti itu, kamu boleh punya standar dan kriteria setinggi langit tapi jangan mencari seseorang di diri orang lain.”

“Masalahnya standar yang aku punya lengkap sempurna ada di Pramudya, kamu gak ngerti!”

Kirana menghela nafasnya, “Iya aku gak ngerti gimana rasanya mencari seseorang di diri orang lain. Tapi yang aku tahu kamu juga tersiksa sama itu.”

Azalea menatap kosong ke depan, merenungkan kembali banyak percakapannya dengan Kirana perihal Pramudya selama ini.

“Gak semudah itu melepas bayang-bayang Pramudya, aku udah nyoba berkali-kali dan akan berakhir dengan kenapa mereka gak kayak Pramudya? Kenapa mereka gak punya apa yang Pramudya punya?”

“Sebenarnya apa memang sesudah itu melepas Pramudya atau kamu yang belum ingin melepasnya?”

Azalea menoleh menatap tepat pada mata kecokelatan milik Kirana yang kini memaku tatapannya, “Pramudya itu semp—”

“Pramudya itu ninggalin kamu, Pramudya gak memilih kamu. Apa fakta itu gak cukup untuk kamu sadar bahwa dia tidak berhak kamu kagumi sampai sejauh ini?”

“Kenapa dia gak milih aku? Apa aku gak pantas dia pilih?” Tiba-tiba saja Azalea merubah suasana menjadi melankolis, “Kenapa justru berpikir begitu?”

“Prameswari, coba mari kita rubah sudut pandangnya. Sebodoh apa Pramudya sampai tidak memilihmu? Pramudya tidak sesempurna itu, selama ini kesempurnaannya adalah ilusi yang kamu ciptakan sendiri untuk terus mengaguminya.”

“Pramudya tidak lagi pantas kamu kagumi, ketika ia telah meninggalkanmu. You deserve better than him!”

“Memang ada yang lebih baik dari dia?”

Kirana memutar bola matanya, “Kan!”

“Bukan yang lebih baik dari dia, tapi yang terbaik untukmu.”

“Artinya kamu setuju tidak ada yang lebih baik lagi nantinya dari Pramudya dong?”

“Prameswari, anggap saja seperti ini Pramudya itu ahli matematika dia yang terbaik disana dan kamu mengagumi itu sementara kamu ini ahli tata bahasa, bukankah mau sebaik apa ahli matematika itu tetap saja akan ada ahli tata bahasa yang nantinya paling pas menjadi patnermu bercengkrama?”

“Kenapa tidak kita saja yang berusaha memahami matematika darinya?”

Kirana tertawa dengan pertanyaan Azalea, “Sulit memang melepaskan seseorang yang telah lama kita damba.”

Percakapan mereka terhenti beberapa saat, Kirana membiarkan Azalea termenung, dia justru menatap kearah lain sembari menghabiskan susu beruangnya.

“Gimana caranya tidak lagi mencari Pramudya di laki-laki lain, Rana?”

Yang ditanya hanya mengangkat bahu, tatapannya tidak beralih membuat Azalea ikut menatap kedepan. Sedetik kemudian Kirana tertawa, “Entahlah aku juga buruk dalam asmara, tapi akan ada masa dimana nanti kamu menemukan seseorang yang dengannya kamu tidak akan lagi membandingkan Pramudya, yang dengannya kamu tidak lagi melihat list kriteria, yang dengannya Pramudya tidak lagi mengahantui kepala.”

Azalea berusaha mencerna ucapan Kirana, lalu tersenyum menatap arah pandangnya “Ya semoga ucapanmu kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya, selalu tepat sasaran.”

“Ahahahahhahaha, Trust me! Akan ada masanya kamu menemukan seseorang yang bahkan mungkin sangat berbeda dengan Pramudya tapi kamu akan menerimanya dengan dengan tangan terbuka lebar.”

“Gitu ya?”

“Iya! Sekarang lihat kedepan itu ada Mas Ajil, nikmati saja ketampanannya.”

“Mas Ajil, atau orang yang baru saja disapa Mas Ajil?”

“Mas Ajil cocok gak sama aku?”

“Halah! Mas Ajil cocoknya sama aku!” Kirana terkekeh dengan ucapan Azalea.

“Pfftt udah ga cocok sama Pramudya nih?”

“Katanya disuruh nyoba melepas?”

“Ahahahaha nanti kalo udah next move sama Mas Ajil bilang ya, ku kasih stok gombalan banyak.”

“No thanks, aku mau bahas berbagai macam bahasa aja.”

“Kok jadi bahasa?” Kirana mengangkat alisnya heran, “Katamu tadi aku ahli bahasa?”

“Oh iyaya, ahahahhaha. Semoga Mas ajil profesor bahasanya ya!”

“Dan semoga kamu ketemu Zainuddin,” Azalea balik menggoda Kirana.

Gadis itu justru menunjuk novel Bidadari bermata bening dihadapan Azalea dan tersenyum menantang, “Mau Mas Alif aja, jangan Zainuddin.”

“Lebih minat menjadi Ayna daripada Hayati?”

“Lebih minat jadi Jeon Somi sih.”

“Astaga ya tuhan siapa lagi itu.” Kirana terbahak mendengar keluhan Azalea.

Candaan mereka terintrupsi dengan sapaan seseorang yang tiba-tiba sudah berada dihadapan mereka, “Loh Azalea? Kamu ke kampus hari ini?”

“Eh? Iya Mas Ajil, tadi ada janji temu dengan Pak dosen.”

“Oh begitu, gimana skripsinya?”

Yang ditanya Azalea, tapi yang menahan teriakan gemas justru Kirana. Begitu Mas Ajil pamit melanjutkan jalannya Kirana berucap, “Udah yok berhenti dengerin lagunya tulus yang sewindu, ganti lagunya Raisa aja yang jatuh hati.”

The sunset is beautiful isn't?

Ralina duduk diteras rumahnya menselonjorkan kaki setelah 5 menit lalu motor yang dikendarai ia dan Harsa terparkir dipekarangan rumahnya, hampir seharian mereka berkeliling kota tanpa arah dengan motor kesayangan itu.

“Masuk yuk Sa, duduk di dalem aja!” ajak Ralina hampir bangkit dari duduknya. Tapi Harsa memegang tangan perempuan itu untuk tetap duduk disampingnya.

“Disini aja Ra, teras rumah kamu bikin adem apalagi kena matahari sore begini.” Ralina menghela nafasnya, menyadari tak seharusnya pintu rumahnya terbuka begitu lebar sementara tamunya hanya ingin singgah santai di beranda.

“Mau aku buatin minum apa Sa?”

“Engga usah repot-repot Ralina, nih aku bawa mineral sendiri.” Meski ucapan Harsa beriring senyum paling manis menurut Ralina, tetap saja dadanya bak terhantam batu tak kasat mata.

Setelahnya mereka hanya saling diam, hening sejak Ralina memutuskan untuk tidak lagi memulai percakapan.

“Capek ya Ra? Tumben diem aja?” Harsa memberikan tatapan teduhnya, tatap yang pernah membius Ralina kala pertama kali mereka bertemu.

Dengan menarik napas panjang Ralina mengangguk perlahan, tatapannya lurus kedepan tak lagi menatap Harsa seperti biasanya ketika ia berbicara “Iya, capek banget rasanya.”

“Yaudah aku pulang ya, kamu istirahat aja abis ini...” ucapan Harsa disela Ralina begitu saja,

“Capek tau tiba-tiba kamu datang ke rumah ngajakin keluar gitu aja, terus keliling gak jelas mau kemana kita cuma muterin jalan ngabisin bensin kamu. Giliran aku tanya sebenarnya kamu mau kemana, malah ga tau katanya yang penting sejalannya motor aja...”

“Kamu buang waktu aku Sa, lain kali kalo mau ngajakin keluar yang jelas tujuannya jangan bikin capek yang ga menghasilkan satu oleh-oleh pun. Padahal sebenarnya aku tadi punya setumpuk pekerjaan...”

“Ra, maaf janji lain kali gak akan tiba-tiba ngajakin keluar kayak gini lagi.”

“It's okey, tapi aku ga mau ada lain kali keliling ga jelas begini. Kalau mau ngajakin aku pergi tentuin dulu tempatnya, biar aku tau pake outfit apa, bawa barang apa aja juga. Kalo gak jelas kayak tadi aku cuma kebingungan dijalan. Capek tau nebak-nebak tujuan kamu ini pantai apa pegunungan eh taunya cuma ngukur aspal ahahahahha...”

“Ra...”

“Besok kalo main ke rumah lagi bilang dulu ya Sa, kamu mau sekedar mampir diteras begini atau mau masuk kedalam. Kalo sekedar di teras, pintunya ga aku buka selebar ini liat tuh daun keringnya berterbangan masuk kedalam rumah hehehehe nanti ibu marah nih pasti gara-gara aku buka pintunya kelebaran.”

“Ini kamu lagi ngomongin apa sih Ra?”

“Ngomongin capeknya hari ini, kenapa?” Harsa menatap Ralina yang kini justru fokus memperhatikan langit jingga.

“Liat deh Sa, langitnya bagus ya? Kesukaan kamu nih sunset.”

“Katamu tadi kamu lebih suka sunrise Ra, gak ada sunset yang bisa ngalahin sunrise.”

“Harusnya begitu, tapi liat deh sunset hari ini cantik bukan?”

Somi menahan kantuknya begitu sampai di bandara internasional Incheon, pesawat yang membawanya terbang dari California baru 30 menit lalu mendarat kembali ke Korea.

Rasanya begitu lelah terbang dalam lebih dari 12 jam tanpa transit, apalagi dengan perbedaan waktu yang di lalui. Harusnya ia tidur saat ini, seperti kemarin-kemarin saat masih berada di Los Angeles. Tapi kini ia berada di Incheon, pagi hari adalah waktunya beraktivitas bukan tidur.

Somi mempercepat langkahnya menuju lounge, sebisa mungkin berusaha tidak mencolok dan berkamuflase agar tak di ketahui publik. Pagi ini bandara begitu penuh, lebih tepatnya penuh dengan para pemuja kekasihnya. Kalo sudah begini Somi hanya bisa menarik napas panjang, kenapa pacarnya seorang superstar yang kemana mana di sorot kamera? Mau berkencan menikmati waktu berdua saja susahnya minta ampun.

Seorang staff menunggunya di pintu belakang mengantarkan nya masuk ke dalam private room yg sudah di pesan. Begitu sampai di tempat tujuan Somi berhigh five dengan para member kekasihnya. Mengobrol sepatah dua kata sambil menunggu sang kekasih kembali dari kamar mandi.

“Ngapain lu nyet disini?” Haechan yg baru saja muncul menoel sebelah pundak Somi. Membuat perempuan itu memutar bola matanya jengah.

“Nemuin cowok gue lah.”

“Mana cowok lu?” pemuda itu menatap ke sekeliling Somi, mencari-cari dimana kekasih bule cantik itu.

“Ck, jadi ciuman gak sih? Kalo engga gue mau pulang masih jet lag nih.” Sebal somi dengan tangan yg bersedakap dada, ia memberikan tatapan malasnya pada Haechan yang sedang membual.

“AHAAHHAAHHAHAHAHAHA, ya masa disini yang?”

“mau dimana? Cepet deh, bibir gw udah pake lipbalm strawberry kesukaan lo awas kalo lo bau rokok!”

Pembicaraan tidak tersensor mereka di dengar beberapa member yg berada disana, para kakak itu hanya menggelangkan kepala lalu satu persatu sadar diri dan pergi meninggalkan mereka berduaan.

“Inget ciuman doang, udah kita berangkat abis ini ada airport report.” Peringat salah seorang anggota Haechan.

“Ssstt lo mending keluar deh hyung, gue mau ciuman dulu jangan ganggu”

Begitu tinggal mereka berdua, Haechan menarik Somi untuk duduk di atas pangkuannya. Tangannya cekatan meraih tengkuk mulus Somi, menekan kepala perempuan tinggi itu untuk menunduk menggapai bibirnya.

Baru beberapa lumatan tapi Haechan mengaduh kesakitan, Somi rupanya menggigit bibir bawahnya membuat ciuman mereka terlepas “aduh aduh sakit yang!”

Somi mendorong dada Haechan ke belakang “Ih lo abis ngerokok! Kan gue udah bilang kalo mau ciuman jangan ngerokok dulu, gue ga suka!”

“sssst nanggung, gue kedinginan tadi pagi lo belum sampek Korea. Udah sini ciuman lagi, keburu gue flight kagak usah kebanyakan protes lo!”

Haechan kembali menarik bibir somi, memagutnya ala-ala kissing scene drama korea yang sering ia tonton. Meski dengan gerutuan protes tapi Somi tetap menikmati ciumannya. Ciuman yang akan selalu melepas lelah dan rasa rindunya.

Begitu tangan Haechan mulai bergerilya Somi menghentikan ciuman mereka, menahan tangan sang pacar untuk berhenti “Hyuck, besok-besok aja ya.”

“Kangen” rengek Haechan

“Ya gue juga! Ntar nunggu lo balik dari Jepang, gue ga mau kentang disini lagian diluar fans lo gila banget”

“Janji ya?”

“Kapan gue ingkar janji kalo soal ngasih jatah?”

“Hehehehe engga pernah, makanya gue semangat kerja.”

“Hilih, dah sana berangkat kerja cari duit yang banyak soalnya —”

“Soalnya hyuck, gue ga makan cinta hidup hedon gue perlu limitless card. Jadi lo harus kerja keras. Apal gue yang lo mau ngomong apa”

“ahahahahaha, sayang Hyuck banyak-banyak.”

“Yaudah turun, gue mau siap siap dulu.”

“Bentar kiss lagi sekali aja”

Ciuman terakhir mereka tak berlangsung lama, hanya beberapa sesapan tapi dengan jail somi memberi gigitan di akhir ciumannya. Setelahnya mereka berpelukan sampai sang manager mengintrupsi dan memberitahu bahwa pesawat yang akan membawa Haechan ke Jepang sudah siap.

“Abis ini pulang langsung bobo oke? Nanti gue kabarin kalo udah sampek Jepang.” Elusan di pucuk kepala Somi membuatnya memejamkan mata, Haechan selalu memberikan kedamaian dalam tiap perhatiannya

“Oke, Hati-hati mbul, jangan genit! Ga usah ngide godain staff lagi, ato gue beliin lo Crocs pink satu truck balim dari Jepang”

“AHAHAHAHAHAHAHAHHA FAK GEMES BANGET CEWEK GUE”

#Relationshipherge

Perempuan itu berdiri di depan rumah kostnya, daster yang ia pakai tak mampu menutupi perutnya yang membuncit. Ia menatap nyalang pada pria di depannya seolah tatapannya adalah pedang yang siap menghunus kapan saja, “Ge…” suara yang sudah lebih dari delapan bulan tak terdengar telinganya, suara yang tak pernah ia harap dapat terdemgar lagi kini kembali menelusup gendang telinganya.

“Pulang.” Suaranya begitu lugas, dan tegas. Tapi membuat siapapun yang mendengarnya tercabik-cabik hatinya.

“Gladys..”

“Kalo lo mau pergi, pergi aja! Jangan muncul dihadapan gue lagi. Lo udah ninggalin gue, jangan balik lagi!” Herda menunduk, tak kuasa mendengar ucapan lantang yang menyayat dadanya.

“Maaf,” Gladys berjalan cepat ke arah Herda, melayangkan sebuah tamparan keras di pipi pria itu membuat semua orang meringis mendengarnya.

“Lo tuh berengsek tau gak?! Lo tau gue benci di tinggalin, lo janji ga akan pergi tapi lo ngilang gitu aja! Lo tau gue gak punya siapa-siapa lagi, tapi” Gladys menjeda amarahnya, “Lo ninggalin gue sendiri.” Tangannya reflek mengelus perut buncitnya.

Setelahnya ia berbalik badan, beranjak meninggalkan Herda dengan segala penyesalan dan rasa bersalahnya. Herda begitu pilu melihat Gladys setegar karang tak meneteskan air matanya sama sekali, Gladys yang berpura-pura kuat begini lebih menyakitinya daripada Gladys dengan derai air mata.

“Gue gak akan ngemis-ngemis supaya lo menetap, pergi aja Herda jangan balik lagi!”

Gladys berjalan memasuki rumahnya begitu melihat Haiyan keluar rumah dengan menenteng trashbag yang akan ia buang, Iyan keheranan melihat banyak orang di depan rumah temannya sepagi ini, “Aws…” Mendengar ringisan Gladys, Haiyan reflek membuang bawaan ditangannya dan menyambut tangan Gladys yang mencengkram tangannya, “Iyan adeknya nendang?”

Terlihat jelas sekali raut muka antusias Gladys, meski dengan ringisan ia begitu bahagia. Ini adalah pertama kalinya bayi dalam kandungannya menendang seperti ini. Di elusnya lembut tendangan-tendangan yang semakin keras itu “Iyan, dia gerak-gerak.”

Herda menarik lembut tangan Gladys lalu membalik tubuh perempuan hamil itu untuk meghadapnya. Kedua tangannya menahan tangan Gladys untuk tidak berbalik, ia berjongkok di depan perut buncit perempuan yang siang malam menghantuinya dengan perasaan bersalah di New York.

“Hai, adek ini papa,,”

“Kamu sehatkan di perut mama? Gak nakal kan sama mama? Kamu..” Herda tak mampu melanjutkan kalimatnya ia kini menangis menempelkan dahinya ke perut Gladys, merasakan tendangan halus dari dalamnya.

Gladys memundurkan tubuhnya memberi jarak diantara Herda, “Lo bukan papanya.”

“Ge?”

“Lo pikir gue cewek baik-baik yang cuma tidur sama lo? Gue cewek murahan yang bisa tidur sama siapa aja demi uang!” Kali ini suara Gladys bergetar, ia berjalan cepat memasuki rumah.

Beberapa menit kemudian ia kembali dengan sebuah koper yang ia lempar ke hadapan Herda, “Uang bokap lo! Gue gak butuh!” Gladys meninggalkan Herda yang mematung di depan rumah, dengan lengannya yang di tuntun Haiyan.

Herda mengepalkan tangannya, hendak menyusul masuk ke dalam rumah tapi Alwi menahannya “Fer, pulang dulu temui bokap lo. Jangan paksa Gege sekarang, gak usah khawatir bayi yang dia kandung itu anak lo.”

Herda meninggalkan teman-temsnnys begitu saja, melesatkan mobil Alwi menuju kantor ayahnya, bagaimana bisa tua bangka itu menolak menyembunyikan kehamilan Gladys darinya.

Artemia mengerjapakan matanya berkali-kali melihat sang suami yang kini ikut duduk di sebelahnya. Hal sangat jarang terjadi selama 2 tahun lebih pernikahan mereka. Tanpa Haemi, keduanya hampir tidak pernah duduk bersama seperti ini.

“Aku buatin kopi dulu ya Kak,” Artemia bergegas berdiri menawarkan kopi, ia sebenarnya hanya ingin keluar dari kecanggungan di antara mereka.

Terlebih tiap kali kakak iparnya berkunjung setelahnya hubungan mereka akan selalu menegang seperti ini.

“Duduk!” tangannya ditarik sang suami untuk duduk kembali di atas sofa.

“Hari kamu gimana?”

“Kakak kenapa?” Artemia melayangkan tanya pada sikap tak biasa suaminya.

“Berhenti manggil kakak bisa? Aku suami kamu.” Nada yang sedikit meninggi itu membuat Artemia menundukkan kepalanya, ia meremat unung kaos rumah yang ia kenakan.

“Mia capek, kalo kakak pulang mau ngajak debat perihal Hemi lagi nanti aja ya jangan sekarang.”

“Siapa yang mau ngajak kamu debat?” suara itu memelan, menjadi begitu lembut seiring dengan sentuhan diatas tangan Artemia yang masih meremat kaosnya.

“Kakak selalu gitu tiap kali mbak Ranti abis berkunjung, kenapa dulu kakak gak biarin aku nunda kehamilan aja? Hemi sayang banget sama kakak, aku harap kakak ga pernah menyesal atas kehadirannya di dunia.”

“Artemia! Stop manggil kakak, aku suami kamu.” Lagi-lagi suara itu meninggi, membuat Artemia memejamkan matanya.

“Aku juga istri kakak, bukan cuma ibunya Haemi!” Artemia memberanikan diri menatap mata legam suaminya yang ikut menatapnya intens.

“Mia? Aku mau peluk dulu boleh?” tanpa menunggu persetujuan sang istri, laki-laki langsung mendekap erat tubuh sang istri. Pelukan yang biasanya di isi Haemi di tengahnya, kini bebas tanpa penghalang.

“Mia aku suami kamu, apapun yang terjadi setiap harinya sama kamu aku berhak tau. Kamu bisa menceritakan semua hal yang kamu lalui ke aku,”

“Bagaimana perasaan kamu menjadi ibu Haemishara, bagaimana kehidupan pernikahan ini dimata kamu. Bagaimana rasanya menjadi istri Shakala Putra, semuanya bisa kamu tumpahkan ke aku setiap hari.”

“Tapi kakak —”

“Aku suami kamu Artemia, bukan kakak kamu,”

“Tapi kamu cuma berhasil jadi ayahnya Haemi, bukan seorang suami.” Artemia menumpahkan tangisnya.

“I know, this is painful for us. Our married life is hard for me, especially for you. Aku minta maaf telah membawa kamu pada kehidupan tidak menyenangkan ini, ”

“...tapi aku bersyukur kamu mau bertahan sejauh ini. Kamu menciptakan rumah yang begitu hangat bukan cuma untuk Haemi, tapi juga buat aku pulang.”

“Selama ini aku merasa kamu terbebani dengan pernikahan ini, selalu mempertanyakan apakah kamu bahagia? Apakah kalau seandainya belum ada Haemi kamu akan bertahan sampai sekarang?”

“Harusnya pertanyaan itu buat kamu sendiri Haekal, keluarga kamu yang nyeret aku masuk ke kehidupan kamu.”

“Kalau aku bahagia tapi kamu tidak, aku hanya berharap sendirian kan Mia?”

Artemia menatap mata di depannya yang kini ikut mengembun, “Aku tidak ingin nantinya kebahagiaanku memaksa kamu untuk tetap tinggal di kehidupan yang tidak membahagiakan kamu.”

“Kenapa bisa kamu mikir gitu?”

“Karena menikah denganku membuat mu harus mengorbankan banyak hal. Aku tau diri, aku terlalu banyak merepotkan mu.”

“Terus kamu mau apa Haekal?” ditanyai begitu Haekal menggenggam tangan Artemia lebih erat.

“Pertanyaan itu untuk kamu Mia, kamu berhak menentukan pilihan hidupmu sendiri sekarang.”

Haekal begitu was-was menunggu jawanan Artemia takut kalau jawaban sang istri sesuai apa yang ia pikirkan, “Kamu bener kehidupan pernikahan ini berat untuk kita berdua, bahkan aku sangat tidak siap menjalani.” Haekal menundukkan kepalanya, ucapan Artemia meremas jantungnya.

“Tapi aku mau melanjutkannya, aku mau menjalaninya lagi. Terlepas kamu menginginkannya atau tidak, aku ingin terus mempertahankan pernikahan ini. Aku mau mencoba untuk mencari kebahagiaan di pernikahan ini. Aku udah punya satu kebahagiaan, Haemi kita tapi boleh gak aku minta kebahagiaan dari kamu?”

Haekal menjatuhkan kepalanya di bahu Artemia yang bergetar, tangannya memeluk rapat pinggang ramping istrinya “Mia terimakasih.”

“Tadi Artemia tuh telat, terus dia belum ngerjain presentasinya sampek harus ganti double task. Mana dia bawa anaknya, katanya gak sempet ke day care dulu tadi,”

“Suaminya kemana anjir?!” Jamil mengintrupsi begitu saja.

“Gue tadi maksa dia cerita, apalagi pas liat muka dia ga secerah biasanya. Keliatan banget capeknya. Semalem anaknya gamau tidur nyariin bapaknya, suaminya gak pulang.”

“ANJIR???”

“Artemia itu dari kecil sekolahnya internasional, lo pada tau kan gimana anak inter kebanyakan. Terus lulus tiba-tiba disuruh nikah? Gak kebayang gimana down nya dia waktu itu. Udah gitu nikah sama bangsawan dengan segala peraturan strictnya, tau sendiri kan gimana kehidupan Haekal?” Semua menganggukan kepala, termasuk Haekal yang menyesap kopinya.

“Artemia tabu sama itu semua, kehidupan pernikahannya kaku dan dia sendiri gak tau apa pernikahannya cuma sebuah formalitas di keluarga suaminya. Jangankan untuk punya anak, buat menikah aja waktu itu dia belum siap. Tapi mau gak mau mereka harus punya anak.”

“Menikah di tengah kehidupan kuliah itu berat, apalagi punya anak. Artemia harus ngorbanin pendidikannya dulu. Banyak hal yang dia korbankan, termasuk cita-citanya jadi pramugari.”

“Lah suaminya gimana sih anjir?” Mamad rupanya tak tahan dengan cerita Gamalea, ia rasanya ingin melabrak suami Artemia.

“Artemia bilang dia capek jadi pihak yang serba salah, kalo dulu dia menunda buat punya anak tentu bakal banyak pihak nyalahin dia. Tapi sekarang dia punya anakpun masih di hantui rasa bersalah.”

“Alasan Artemia dan suaminya tinggal jauh dan berada dikota ini karena kakak iparnya belum dipercaya tuhan untuk punya anak. Gue ngerti gimana sedihnya seorang perempuan yang udah menikah tapi belum dikaruniai anak, Artemia juga ngerti itu dengan baik. Keadaan kakaknya yang selalu sedih tiap ngeliat anak Artemia justru bikin hubungan dia sama suaminya sering kali menegang.”

Hhk

“Cantikku, sini peluk.”

Haechan terbangun dari tidurnya, bergegas turun dari ranjang setelah menyadari puan yang semalam ia peluk erat tak lagi berada disampingnya. Sebelum keluar dari kamar Haechan memakai celana selututnya yang semalam ia lempar asal.

“Yangg...” panggilnya begitu melihat punggung Somi berada di dapur apartemennya.

Perempuan itu tengah merapikan dapur yang terlihat berantakan dari terakhir dia berkunjung minggu lalu. Apartement itu memang milik Haechan, yang dibeli pemuda itu setengah tahun lalu. Tapi Somi sering berkunjung meski tanpa ada Haechan, rasanya bahkan sudah seperti apartemnnya sendiri. Sengaja memang Haechan membeli tempat singgah dekat dengan kawasan industri entertaiment agar kekasihnya itu tak perlu pulang jauh ke rumah orang tuanya jika harus bekerja sampai larut malam.

Haechan memeluk Somi dari belakang, menempelkan kepalanya di bahu paling nyaman untuk melepas lelah itu. “Ku cariin kaosnya di bawah ranjang tadi, ternyata kamu pake hihihi” disertai kekehannya Haechan menggesekkan hidungnya di permukaan mulus kulit Somi sambil menghirup dalam-dalam aroma favoritnya itu.

“Hyuck, geli ih! Jangan gitu, aku harus beresin hasil eksperimen temen-temen kamu kemarin nih.” Somi menggerakkan kedua bahunya supaya terlepas dari Haechan.

Haechan melepas pelukannya kemudian menatap Somi dari samping kemudian tangannya terangkat untuk mengelusi rambut yang diikat asal itu, “Maaf ya kemarin dapur favorit kamu diberantakin sama Jisung. Dia baru belajar masak sama Jaemin jadi aku gak tega buat bilang jangan eksperimen disini.”

Somi terkekeh membayangkan kekecauan apa yang telah teman satu grup pacrnya itu lakukan disini kemarin ketika mereka berkumpul, “Gak papa, sana kamu mandi dulu terus pake baju masuk angin nanti kamu kalo cuma pake celana doang gini.” Somi memencet hidung Haechan yang mengacung didepannya membuat pemuda itu meringis pelan.

“Hilih! Kamu juga ntar masuk angin kalo cuma pake kaosku doang!”

“Yaudah abis ini aku pake celana,”

“GAK USAH DEH GAPAPA!” Haechan menyela ucapan Somi, “Kamu gemesan kalo cuma pake kaosku gini, hehehe.”

“Dasar! Udah sana mandi Hyuck!”

“Sini cium dulu, morning kiss aku belum dikasih.” Haechan memegang pipi Somi dengan kedua tangannya untuk menyatukan dua cecap mereka.

Somi tersenyum lebar begitu Haechan melangkah masuk kembali ke kamarnya untuk mandi, meski telah ratusan kali mungkin mereka berciuman tetap saja rasanya luar biasa. Perutnya serasa digelitik ribuan kupu-kupu dan hendak dibawa terbang. Prianya punya ciuman yang begitu manis memabukkan, membuat Somi kecanduan dan melayang tanpa perlu marijuana.

Setelah membereskan dapurnya Somi berencana untuk menyiapkan sarapan seadanya, semalam ia tak sempat mampir ke supermarket karena terburu Haechan tarik ke kamar untuk melepas rindu sebagaimana rutinitas mereka tiap kali Haechan kembali dari luar negeri. Ia menyalakan kompor hendak memasak ramyeon cepat saji kesukaan Haechan, baru saja memanaskan air tapi tiba-tiba dari belakang ia dipeluk begitu erat.

“Cantikku...” Haechan bermanja dibahu Somi, bahkan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Somi dari ceruk leher perempuan itu.

“Bentar Hyuck, aku siapin sarapan dulu.”

“Mau peluk terus.”

Somi menoleh kesamping, menatap Haechan yang tengah menikmati posisinya dengan memejamkan mata. Haechan dengan mode manja seperti ini mengisyaratkan bahwa keadaan pemuda itu tidak baik-baik saja. Somi mematikan kompor, lalu berbalik menghadap Haechan. Menangkup kedua pipi lelakinya yang terlihat menirus sejak aktivitas padat yang ia lalui.

“Kenapa hm?”

“Gak papa, pingin peluk cantikku aja seharian.”

“Sayang?”

“Sini cantikku, peluk lagi.” Haechan kembali memeluk Somi erat, menidurkan kepalanya diatas bahu Somi lagi.

Dengan elusan lembut yang ia berikan di punggung Haechan, Somi berujar “Hyuck kenapa? Ayo cerita, aku punya waktu seumur hidup buat selalu dengerin keluh kesah kamu.”

“Gapapa sayang, aku cuma pingin pelukan aja.”

“Bohong, ayo duduk dulu.” Somi menggiring Haechan untuk duudk di sofa ruang tengah.

Haechan bergerak meraih pinggang Somi untuk duduk dipangkuannya, “Sini aja, aku mau peluk kamu begini.”

Sebelah tangan Somi bertumpu di kedua tangan Haechan yang memeluk perutnya erat, sebelah lagi bergerak mengusap lembut pipi Haechan.

“Kenapa kamu? Dunia jahat lagi ya?” Haechan menggeleng, tetapi semakin memperdalam hirupannya di ceruk leher Ssomi.

“Sayangnya Somi kenapa?” dengan suara yang lebih lembut begini justru membuat Haechan mengeratkan pelukannya.

“Jangan gitu yang, aku pingin nangis nih”

“Ya gapapa, nangis aja. Aku gak suka cowokku pura-pura kuat terus.”

“Tapi nanti aku gak keren kalau nangis, masa cowok nangis.”

Somi membalik duduknya menghadap Haechan, kemudia menangkup kepala prianya supaya mendongak menghadapnya “Keren itu kalau kamu tau limit kamu sampai batas mana, gak maksa untuk terus baik-baik aja.”

Haechan memejamkan matanya begitu Somi menciumnya lembut, begitu ciuman mereka terlepas ia menyembunyikan wajahnya dipelukan Somi. Tangisnya meluap, air matanya tumpah begitu saja seiring dengan bisikan Somi, “Kamu berhak ngeluh sayang, kamu boleh nangis. Kalau dunia gak mau tau kesedihan kamu, aku disini Hyuck. Aku yang selalu akan dengerin setiap kesedihan kamu, kamu punya aku buat ngeluh kalau capek. Aku disini sayang.”

Meski tangisan Haechan rasanya menyayat hati, tapi Somi merasa lega karena pemuda itu menumpahkannya tidak menyimpan sesaknya sendiri lagi apalagi ketika Haaechan akhirnya mengeluarkan segala keluh kesahnya.

“Aku capek banget, aku pingin berhenti. Aku punya banyak ketakutan, aku khawatir orang-orang gak suka sama apa yang aku tampilkan. apakah aku udah sesuai ekspektassi mereka atau aku gak cukup memuaskan. Aku pingin sedih, murung dan sedih tapi orang-orang selalu punya harapan besar biar aku ngasih hiburan semangat dan kebahgiaan ke mereka,” Haechan terisak ditengah keluhannya.

“Mereka punya ekspektasi yang tinggi Mi, itu buat aku tersiksa. Aku harus selalu berusaha memnuhi ekspektasi orang-orang. Itu bikin capek, bikin aku sering merasa frustasi dan punya banyak beban pikiran. Aku gatau harus ngeluarin ini semua, aku takut bilang Ibun justru akan jadi beban pikiran nantinya. Aku gamau keluargaku yang harusnya aku bahagiakan terbebani dengan tekanan-tekanan yang aku alami” Somi mengeratkan pelukannya, ia menahan kepala Haechan untuk tetap berad dipelukanya.

“Aku mau semua orang bahagia karena aku, tapi kadang aku juga butuh waktu buat sedih.”

“Hyuck, kamu selalu punya aku. Kamu bebas ungkapin semua perasaan kamu ke aku. Kamu boleh kok nangis berjam-jam ke aku. Kamu boleh lemah didepanku, kamu gak harus selalu jadi hebat. Selalu kasih tau aku apapun suasana hati kamu Hyuck, aku gak suka kamu pendem semuanya sendiri.”

“Tapi Mi, aku jahat banget ngeluh ke kamu yang juga punya kehidupan berat gini. Harusnya aku yang nguatin kamu-”

“Kamu bilang sepasang itu harus selalu beriringan, gak ada yang memimpin di depan atau memantau dari belakang. Kita harus saling berdampingan supaya seimbang. Adakalanya kamu sediain abhu buat aju nangis dan ngeluhin jahatnya dunia, tapi gak selalu begitu. Kadang itu jadi tugasku buat mastiin kamu gak tersiksa sendirian.”

“Aku sayang kamu Hyuck, biarin aku tau semua perasaan kamu, senang dan sedihnya kamu.”

Somi menyatukan dahinya dengan milik Haechan setelah menghapus air mata yang mengalir di pipi pemuda itu. Haechan kemudian menyatukan cecap manis mereka, bak memberi obat pada suasana menyedihkan yang baru saja terjadi.

Setelah melepas ciumannya Somi mengecupi satu persatu permukaan wajah Haechan, “I love you.”

“Makasih udah nyediain rumah yang hangat buat aku pulang ya Mi, makasih udah sejauh ini bertahan disampingku. I love you, more than 3000.”

“Jangan tinggalin aku,” Haechan kembali memeluk Somi seerat mungkin seolah takut kehilangan dunianya.

“Aku gak akan kemana-kemana Hyuck, as long as you still need me.”

“I always need u sayang, cantikku paling sempurna diduniaku. Cuma boleh jadi punyaku.”

Somi terkekeh dengan jawaban posesfi Haechan, setelah memberikan kecupan singkat ia hendak turun dari pangkuan Haechan tapi tangan yang memelukknya terlalu posesif enggan melepasnya turun.

“Aku harus lanjut nyiapin saarapan kita Hyuck, lepas dulu”

“Delivery order aja, aku masih mau manja sama kamu.”

Meski menghela napas kesal, tapi Somi menurut saja ia akhirnya memasan makanan cepat saji lewat gawai kekasihnya. Mereka menunggu pesanan dengan tiduran di sofa sambil berpelukan, lebih tepatnya Haechan yang memeluk Somi bak guling yang ia kunci rapat.

“Saya memang berhenti jadi manager Andy, tapi saya gak resign dari kerjaan. Sekarang saya jadi kepala manager di kantor. Tugas saya ngasih arahan dan mantau manager artist lain juga, jadi gak perlu turun lapangan kayak sebelumnya waktu jadi manager pribadi Andy.” Somi membelalakkan matanya begitu mendengar penjelasan dari manager Hyuck. Andy ternyata membohongi nya semalam, malu sekali rasanya menganggap managet Hyuck resign dari pekerjaannya demi dirinya.

Somi menundukkan kepalanya diatas meja, “ah memalukan sekali” ia bahkan memukul kepalanya sendiri. Manager Hyuck dengan cekatan merapikan rambutnya yang berantakan, lalu mengelus lembut disertai kekehannya akibat gemas dengan tingkah Somi.

“Tapi kalo ada hal yang harus saya lakukan supaya kamu nyaman, akan saya lakukan.” mamager Hyuck menumpu dagunya dengan kedua tangan, ia kini menatap Somi dengan lamat. Membuat gadis itu menahan salah tingkah.

“JANGAN NGELIATIN GITU!”

Lagi-lagi manager Hyuck terkekeh, “hahaha padahal saya suka liatin setiap ekspresi kamu. Selalu lucu.”

“Ish!”

Somi menarik napas panjang sebelum ikut balik menatap managet Hyuck yang masih betah menatapnya, “Gini ya managernim —”

“Lee donghyuck, kamu bisa panggil saya Hyuck atau kalau mau panggil sayang juga boleh.” Manager Hyuck menyela ucapan Somi yang masih memanggilnya secara formal.

“YAK!”

“aku gak ngerti sisi mana dari diriku yang bisa buat managern— Hyuck jadi suka? Please tell me why u falling in love with me?”

“Kamu gak tau aja kalo kamu itu menarik banget, tau gak kalo banyak reporter atau staff cowok yang naksir kamu?” Somi lagi-lagi melotot terkejut.

“Ha?????”

“Kamu itu menarik banget, yang suka bamyaaak banget.”

“Ih mana ada? Selama aku ngikutin Andy kemana-mana gak ada satupun tuh yang berusaha deketin aku? Bohong ya?”

Manager Hyuck tersenyum simpul, “Iyalah soalnya udah saya warning kalo kamu gebetan saya.”

“What??!”

“Tapi sayang ternyata saya ditolak, mungkin saya emang bukan kri —”

“AKU GAK BILANG NOLAK YA!”

“Brati saya diterima?” senyum manager Hyuck melebar sempurna.

“Ya— ya gak juga. Ish belum! Bentar aku masih perlu mikir, aduh gimana ya? Akutuh —”

“Saya gak butuh jawaban bertele-tele padahal, cukup kamu bilang berapa waktu yang kamu butuhkan buat saya nunggu. Atau cukup bilang apa yang kamu inginkan dari saya supaya bisa kamu terima, sesimple itu”

“SETOP BIKIN AKU BAPER TERUS BISA?”

Manager Hyuck tertawa mendengarnya, tangannya meraih tangan Somi diatas meja lalu mengelusnya pelan.

“Love you.”

“DIEM!!”

Somi menggerutu sebal sambil menaiki tangga khusus menuju rooftop gedung yang digunakan sebagai tempat pesta ulang tahun Yeri. Doyeon enggan diajak pulang lebih awal dan justru sekarang tengah menikmati pesta miras di bawah sana. Rasanya ingin ia tinggalkan Doyeon sendirian tapi dia masih punya hati dan pikiran bagaimana sahabatnya akan pulang nanti dalam keadaan teler begitu.

Di bawah sana Somi bukan tidak mengenal semua orang, teman-teman Yeri kebanyakan juga kenal dekat dengannya. Hanya saja kehadiran dreamies, atau lebih spesifik lagi ada Haechan yang membuatnya memilih untuk mengasingkan diri ke rooftop. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, angin malam tentu saja menembus tulang kedinginannya. Beruntung di mobilnya terdapat beberapa pakaian ganti yang memang disediakan untuk keadaan darurat, Somi mengambil padding jacket Adidas yang akhir-akhir ini sering dia bawa karena cuaca yang selalu tidak bersahabat.

Begitu ia membuka pintu penghubung matanya menangkap punggung seorang pemuda yang rupanya baru menyelakan rokoknya, disebelah pemuda itu ada sebotol wine yang kira-kira baru satu tegukan di minum.

Somi hendak berbalik arah, tapi si pemuda lebih dulu menyadari kehadirannya. Dengan isyarat tatapan pemuda itu menyuruhnya duduk di bean bag sebelahnya. Somi hanya diam di tempat sampai si pemuda menyadari gadis itu tidak suka asap rokok, dengan cekatan rokoknya di jatuhkan kebawah lalu di injak mematikan asapnya.

“Sorry, kalo ke ganggu sama asap rokok gue.” Ucap Haechan membuka percakapan mereka di tengah suasana awkard itu.

Somi menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk duduk disebelah pemuda itu, ikut menikmati pemandangan malam dari atas gedung berlantai 40 itu. Hembusan angin begitu dingin, sedingin kecanggungan di antara mereka. Somi mengeratkan jaketnya, tangannya bersedekap dada memeluk tubuhnya sendiri.

Haechan melirik sekilas, kemudian terkekeh dengan sendirinya. Jaket yang Somi kenakan itu padding Adidas kesayangan 2 tahun lalu. Waktu itu ia kenakan pasa gadis itu ketika mereka pulang larut malam dari agenda kencan dadakan, Somi kedinginan di perjalanan.

Menyadari kekehan Haechan, Somi tersenyum kikuk “Sorry ini jaket lo waktu itu. Belum sempat gue balikin soalnya, ya waktu itu keburu kita berakhir.”

Haechan menatapnya dengan senyuman yang berusaha ia tahan, entah kemana perasaan canggung yang tadi turut menyelimuti nya “Pake aja gapapa, lo hak milik juga gapapa.”

“No thanks, nanti gue balikin. Kebetulan ini tadi ada di mobil gue, biasanya di pake Evelyn.”

Haechan mengangguk, keadaan kembali hening seiring dengan penolakan tak kasat mata yang baru saja Somi ucapkan. Haechan seketika sadar posisinya. Lagi-lagi keduanya saling diam sambil menatap ke segala arah yang penting tidak saling menatap.

“it's been two years since we already broke up, sometimes i miss u badly. Tapi kemudian berubah jadi perasaan menyedihkan ketika gue sadar bahkan kita belum sempat bikin kisah apa-apa. Cuma ada waktu sebulan buat kita —”

“ 3 Minggu.” Somi menyela ucapan Haechan.

“Seminggu terakhir gak bisa disebut kita karena isinya cuma berantem.” Haechan mengangguk setuju.

“Gue selalu kebingungan tiap kali ditanya kenapa susah banget buat move on, kenangan mana yang bikin gue terus terjebak sama lo. Kita terlalu minim kenangan sampe gue gatau yang mana yang ngikat gue untuk tetap disana.” Somi menolehkan kepalanya terkejut, what did he said?

“Excuse me? Lo apa?” Haechan terkekeh, ah sial di mata Somi ia begitu tampan dengan wajah yang tersiram rembulan begitu. “Gue belum bisa move on dari kita.”

Somi mengerjakan matanya berkali-kali berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar tidak misunderstanding, “Terserah percaya apa engga, tapi 3 minggu yang kita lalui waktu itu sukses bikin gue sampek sekarang menajdikan lo standar untuk apapun.”

“I try to find someone after we broke up. But i'm failed. No one can replace you.”

Somi pada akhirnya hanya menjadi pendengar bagaimana mereka dulu dari sudut pandang Haechan. Ia juga mendengarkan dengan seksama bagaimana kehidupan Haechan setelah perpisahan mereka.

“Kalo di pikir-pikir lagi yang lo bilang barusan itu bener juga, well kita ada karena kakak lo menolak di jodohin sama gue berkahir dengan lo konyol banget nawarin diri buat gantiin dia.” Haechan kini memerhatikan Somi yang akhirnya bercerita meski dengan pandangan yang terus lurus kedepan enggan menatapnya.

“Gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba disuruh tunangan sama stranger itu hal terkonyol yang pernah gue lakuin. Lebih konyol nya lagi lo ngajak gue buat nyoba jalanin aja dulu, abis itu kita pacaran seminggu kemudian. Terlalu dini banget buat bangun sebuah hubungan gak sih?” Somi terkekeh di ujung kalimatnya.

“Bayangin dalam waktu 2 minggu pacaran itu kita cuma ngedate 3 kali. Goblok banget gak sih kalo akhirnya kita berdua gak bisa move on? Sama sekali gak ada hal yang bisa di kenang dari hubungan singkat itu.”

Haechan tersenyum lebar mendengarnya, “So? Am I not the only one who can't move on?”

Somi tidak menjawab tapi justru mengambil botol wine milik Haechan dan meneguknya, merasa di pandangi dari samping gadis itu menjulurkannya pada Haechan “Mau?”

Tentu saja Haechan mau menikmati wine nya, bukan dengan tegukan pastinya ia punya cara lain dengan menarik tengkuk Somi mendekat ke arahnya dan menempelkan bibir mereka.

Ciuman pertama mereka justru terjadi setelah putus, 2 tahun kemudian.

Somi mendorong dada Haechan setelah beberapa saat, “Lo selingkuh Haechan. Lo gak ngaku kalo waktu itu lo punya pacar.”

Haechan menarik napasnya kemudian menatap lekat pada manik Somi yang menatapnya penuh emosional sulit diartikan, “Berapa kali harus gue bilang kalo waktu itu gue udah putus sama dia?”

“Tapi faktanya you were introduced as her lover at the family gathering that time”

“Gue cuma bantu dia, keluarga dia taunya kami belum putus.”

“Keluarga dia taunya lo masih pacar dia dan keluarga gue yang juga ada disana taunya lo tunangan gue. See? Brengsek gak lo?”

Haechan menundukkan kepalanya ia tau keputusan nya waktu itu datang menemani mantan kekasihnya berakhir melukai banyak pihak, “I'm sorry. Gue minta maaf karena tidak memanfaatkan waktu kita yang singkat itu untuk menciptakan kenang-kenangan yang buat berkesan tapi justru menyakitkan buat lo inget.”

“Gue benci fakta bahwa sebulan sama lo gue cuma punya 5 kenangan yang bisa terekam manis, sisanya nyakitin. Tapi kenapa gue justru terjebak sama perasaan ini? Gue terjebak sama lo bertahun-tahun.” Somi pada akhirnya menangis, kepalanya jatuh ke dada Haechan.

Kepalanya di elus begitu lembut, dengan dagu Haechan yang bertumpu dipundaknya “Lo emang bukan yang pertama Nik, bahkan mantan-mantan gue lebih punya banyak hal buat di kenang daripada lo. Tapi gue bisa apa kalo yang terus teringat kemanapun gue pergi justru lo? Harus berapa kali gue coba move on? Selalu gagal. Lo ikat gue pake apa sih?”

Somi mengencangkan pelukannya di punggung Haechan seiring dengan isakannya yang menjadi. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu, karena ia pun merasakan perasaan yang sama. Haechan menyebaknya di hubungan tidak jelas ini.

“Nik, mau kasih aku kesempatan untuk mengubah kenangan menyakitkan itu?”

Tidak sda jawaban selain suara isak tangis, Haechan rasa ia tak lagi punya kesempatan rupanya Somi tidak memberikan respon yang mengisyaratkan sebuah persetujuan.

“it's okey, I will try to move on again.”

Somi mengangkat kepalanya, menampilkan matanya yang membengkak akibat menangis. Tangannya memukul sebelah kiri dada Haechan, “Stupid i love you!”