Ran;

나는 너만의 chef, 입맛대로 골라 ma dish.

Jeon somi buru-buru mengemas kado kedalam paper bag begitu melihat notifikasi chat dari laki-laki Juni yang tengah menunggunya dimobil. Meski sebenarnya enggan mengakuinya tapi tentu saja ia tidak sabar bertemu sang tuan, letupan perasaan ingin bertemu itu sudah meledak-ledak sejak Haechan kembali dari tour Jepangnya. Sayangnya kesibukan mereka tidak bisa diajak berkompromi barang sedetikpun mengharuskan pertemuannya perlu ditunda sampai hari ini.

Si cantik berlari kecil menghampiri Mercedes Benz seri G65 milik Haechan, begitu pintu dibuka oleh si empunya ia melempar paper bag ke pangkuan Haechan lalu segera masuk kedalam mobil dan melepas atribut penyamarannya.

“Apa nih?”

“Kado?”

“Widih tumbenan sok sweet lu?” Haechan mencibir seperti biasa hal yang selalu pemuda itu lakukan untuk membuat Somi kesal.

“Bacot! Cepet buka!”

“Emang apa isinya?”

“Buka aja sik tinggal buka ribet amat lu!”

“Ahahahahaha gue buka nih ya?” Tangan Haechan mulai mengeluarkan kotak kado dari paper bag, lalu dengan tidak sabaran ia menyobek bungkusnya.

Keningnya mengernyit begitu menyadari itu adalah sebuah kotak merk alas kaki ternama tapi batinnya menebak-nebak apakah kotak dan isinya selaras. Begitu mengeluarkan barang tersebut gelak tawa memenuhi mobil mereka yang masih betah berada di kawasan tempat tinggal Somi.

“AHAHAHAHAHAHHAHA YAAANG! BUSET BENERAN DIBELIIN CROCS PINK GUE?” Somi tidak ikut tertawa justru berbalik menatap Haechan garang.

“Iyalah! Pake sekarang! Kaki lo biar gak kegatelan!” ucapan penuh penekanan itu bukannya membuat Haechan takut justru pria Juni itu semakin terbahak.

“Yadeh gue pake nih, seneng gak lo?” Haechan mengganti sepatu Converse kesayangannya dengan hadiah yang telah Somi berikan, hitung-hitung memuaskan amarah puannya.

*“Biasa aja,” jawab Somi cuek yang berhasil membuat Haechan menguyel pipinya gemas.

“Gue gigit juga nih lo lama-lama jangan gemes-gemes dong yang!”

*“Jingin gimis-gimis ding ying, cepet jalan katanya lo laper tadi. Udah reservasi belum?” Somi hanya memastikan Haechan tak melupakan pesanannya. *

Haechan menyalakan mobilnya lalu segera menancap gas menuju hotel yang telah ia pesan dari kemarin. “Udah yang astaga lo udah nanya 3 kali, gue reservasi dari masih di Jepang.”

Somi hanya mengangguk tidak ingin tahu tempat macam apa yang kekasihnya pesan untuk mereka, toh mungkin tidak akan jauh-jauh dari tempat menginap. Terlalu hafal bagaimana akhir dari ajakan makan yang selalu Haechan lakukan. Apalagi di hari ulang tahun pemuda itu hari ini jelas sudah makanan seperti apa yang Haechan inginkan, Somi terlampau hafal.

Begitu mobil yang dikemudikan Haechan berhenti di salah satu hotel langganan mereka Somi mentap kesal pada pemuda disampingnya, “Pesen makan apa lo?”

Haechan mengendikkan bahunya, “Dunno nona chef mau nyajiin apa, but i hope that's something spicy.” Perkataan yang diakhiri sebuah kerlingan nakal yang membuat Somi rasanya ingin meraup wajah tampan di depannya itu.

“Ucapan lo kayak logo Crocs, Buaya!”

“YANG AHAHAHAHA KAMU MAKIN LUCU AJA SETELAH AKU BALIK DARI JEPANG.”

Somi tidak membalas komentar Haechan, ia bergegas turun dari mobil meninggalkan Haechan bersama tasnya untuk dibawa pemuda itu.

“Buru-buru amat sih yang? Pelan-pelan aja jalannya,” Haechan menggengam sebelah tangan Somi untuk ia tuntun berjalan beriringan disampingnya.

“Katanya lo udah laper tadi? Ya ayo buruan.”

“Makan appetizer dulu lah dibawah, gue mau menikmati main course nya dengan perut kenyang.”

“Ntar lo kekenyangan gue suruh nyuapin dan lo cuma diem aja!”

“ahahahhaha i like your service babee,” Somi hanya mencibir didalam pelukan Haechan yang membawanya ke restoran hotel.

“Nanti aku nikmatin main coursenya sendiri deh, janji ga bikin kamu kecapekan. Gantian aku aja yang nyuapin kamu malam ini gimana?”

“Mau lo ato gue yang nyuapin tetep aja bikin sakit badan!”

“Yaudah pelan-pelan ntar nyuapinnya,”

“Awas boong! Lo kalo udah lama ga ketemu suka kelewatan, nyeri tau hyuck.”

Haechan mengelusi lengan Somi sebelum menarikkan sebuah kursi dimeja yang telah ia pesan, “Maaf ya kalo aku sering bablas. Gigit aja ntar kalo kebablasan.”

“MALAH MAKIN BABLAS!”

🔞

Selesai dengan jamuan makan malamnya Haechan merangkul Somi yang sedikit tipsy akibat tuangan alkohol yang terus ia tegukkan. Sengaja memang Haechan tidak ikut minum, ia ingin menikmati main course malam ini dengan sempurna. Somi akan menyajikan hal luar biasa ketika dalam keadaan setengah sadar begini, sementara ia akan menikmati hadiah ulangtahunnya dengan kesadaran penuh kali ini.

“aaaaaaa bungaaa, uwaaa!” Somi berlari kecil menuju ranjang ditengah ruangan lalu melompat keatas tumpukan kelopak bunga mawar, ia menggesekkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah memainkan kelopak itu dengan begitu riang.

“Heh! Jangan di berantakin nih pesanan spesial gue buat honeymoon package!” Haechan menarik tangan Somi untuk berdiri dan menjauh dari ranjang, gadis itu membuat hampir setengah kelopak bunga berjatuhan ke lantai.

Somi menatap Haechan dengan kerlingan menggoda nya, “ow ow ow wow siapa tuh yang mau honeymoon hmmm?” sambil dengan cepat melingkarkan tangannya dileher Haechan, tentu tak lupa dengan lidahnya yang sengaja ia buat menjilat bibir samping untuk menggoda tuan di depannya.

Haechan terkekeh melihat tingkah pacarnya, Somi dalam keadaan setengah sadar begini memang agak liar, “Duduk dulu cil! Gue mau ambil Es cube.”

Haechan mendorong kepala Somi untuk duduk diatas sofa, lalu ia berjalan ke arah kulkas kecil di sebelah televisi untuk mengambil beberapa ice cube dan memasukkannya pada cangkir kecil di atas meja yang telah ia tuang wine. Sementara Somi sibuk dengan varian kondom yang ia keluarkan dari dalam sling bagnya.

“Lo ngapain sih yang?” Haechan berdiri tepat di depan Somi, si cantik justru mendongak dengan mengedipkan matanya lucu berulang kali. Membuat Haechan mengusak kepalanya dari atas.

“Lo ganteng banget dari bawah begini,” ucapan Somi mendapatkan cibiran dari Haechan.

“Random banget cewek gue, baru nyadar cowoknya ganteng dari posisi begini.”

Somi mengendikkan bahunya lalu terkikik geli sendiri begitu Haechan meraih dagunya untuk tetap mendongak menatap ke atas, “Lo juga bakal lebih cantik kalo gue liat dari bawah nanti.”

Somi dengan batas kesadarannya bersemu dengan godaan sensual itu, ia lalu menatap lurus ke depan, menyaksikan milik Haechan yang rupanya bereaksi. Tangannya tidak tau diri menepuk pelan kebanggaan sang pacar, membuat Haechan meringis namun tersenyum lebar.

“Peter cubangetttt aigooo gemesnya”

“ahahaahahahha yang! Apa deh luca lucu, dia lagi ngasih sinyal tau kalo kangen banget udahan sama Enik.” Somi memberikan tatapan dibuat-buat seolah tak percaya kemudian tangannya lebih nakal merangsek membuka sabuk milik Haechan dengan sekali tarikan.

“Coba sini liat dulu, sekangen apa Peter sama Ennik?” Tangan mulus itu mengelus dengan lembut tapi rasanya si empunya justru meminta sesuatu yang kasar dan panas.

“YANG... ADUH...JANGAN DIGITUIN! UDAH AH GUE GAMAU DI EMUT DULU!”

Haechan mendorong kepala Somi menjauh dari Peternya, membuat sang puan mengerucutkan bibirnya kecewa. “Hyuck! Mau peter ih!”

“Eits gada yang gratis, bayar dulu kalo gitu gimana?” Somi hanya membalas dengan anggukan menggemaskannya.

“Gue mau nona chef malam ini nyajiin main corse yang spesial hot and spicy, gimana?” Somi langsung mengangkat tangannya membentuk hormat mengangguk mantap dengan wajah imut yang justru ternyata lebih menggoda dimata Haechan.

“Sini lepas dulu baju lo,” Somi mengangkat tangannya ke atas begitu Haechan menarik bajunya. Perempuan itu reflek berdiri begitu mas pacarnya berdiri setengah tiang di depannya guna melepas celana setengah pahanya.

Haechan kini sedang sibuk menghirup aroma menu utama makan malamnya kali ini, sementara Somi tengah memejamkan mata menahan perasaan gemelitik di inti tubuhnya dengan meremas rambut Haechan yang mulai memanjang.

*Tubuh Somi meremang begitu Haechan dibawah sana memulai aksinya dengan menggesekkan hidung mancungnya pada permukaan ennik yang masih terbalut celana dalam tipis andalannya. Itu celana dalam yang Haechan hadiahkan 3 bulan lalu oleh Haechan, tidak tebal bahkan cenderung sangat tipis memperlihatkan kulitnya.”

“Can i?” tanya Haechan mendongakkan kepalanya

Somi tidak menjawab justru menarik Haechan untuk berdiri sebelum ia dorong terjatuh di atas sofa, kaki jenjangnya naik ke atas sofa menindih tubuh kekar di bawahnya. Bibir manis gadis itu sudah lebih dulu memporak porandakan mulut Haechan, memberi ciuman begitu menuntut. Dengan pola tidak sabaran Somi menarik-narik kaos Haechan untuk ia lepas. Tapi rupanya si empunya tidak membiarkan puannya menjadi pemimpin permainan kali ini.

Haechan bangkit dari tidurnya, melepas sendiri kaos yang ia kenakan lalu menggendong Somi bak koala ke arah ranjang. Tubuh ramping itu ia lempas begitu saja, membuat beberapa kelopak mawar berterbangan akibat ulahnya.

Dengan perlahan Haechan melepas satu persatu kain yang menutupi tubuh cantik bersih puannya, sengaja memperlambat tempo untuk mengisi malam yang ia rancang panjang ini. Begitu Somi tanpa sehelai benangpun ia duduk disampingnya sambil menatap dengan gelak tawa tubuh mulus itu. Tangannya dengan jail mengelus lembut seluruh permukaan tubuh Somi, terutama dibagian si kembar. Ia memberi Somi sensasi yang lebih menyiksa daripada sebuah permainan kasar.

“Hyuckkk mauuu Peter plisss” Somi merengek manja dengan polah berusaha meraih apa yang ia inginkan. Tapi Haechan justru meninggalkannya.

Laki-laki itu berjalan Shirtless ke arah meja mengambil gelas kecilnya untuk dibawa ke atas ranjang, menemaninya menikmati santapan utama. Haechan meneguk winenya, menyisakan ice cube yang perlahan telah mencair. Sisa ice nya ia ambil lalu sengaja ia taruh di tengah si kembar. Membiarkannya sedikit meleleh lagi dengan suhu tubuh Somi yang memanas. Beberapa detik kemudian Haechan menarik es itu untuk turun ke bawah sampai tepat di atas Enik.

“Hyuckkk shhh dingin...” Somi meringis merasakan kulitnya bersentuhan langsung dengan es yang mencair, ia berusaha bangkit dari tidurnya namun Haechan kembali mendorongnya untuk terlentang. Kini dengan kaki yang di tindih pemuda itu, tubuh Somi terkunci apalagi dibawah sana Enik berkedut menyambut elusan seduktif yang Haechan lakukan.

“Cantik banget Enik,” suara berat Haechan begini semakin membuat Somi kelimpungan. Rasanya ingin meminta Haechan segera melakukan tugasnya dengan baik melepaskan rindu milik Enik dan Peter sekarang juga.

Sementara satu jari Haechan sibuk merayu Enik, tangan lainnya bergerilya naik mengelus si kembar yang menegang. Dengan jahil ia menyentik kerasa ketegangan Somi, membuat perempuan di bawahnya itu memekik sakit. Somi mencoba merobohkan Haechan dari atas tubuhnya namun gagal, pemuda itu justru kini memegangi kedua tangannya diatas dan melanjutkan aksi menjahili si kembar, titik paling sensitif milik Somi yang akan selalu bereaksi dengan lumatannya.

Puas membasahi si kembar dengan mulutnya Haechan turun ke bawah, berniat lebih menyiksa Somi dengan merayu Enik memakai lidahnya. Haechan selalu luar biasa mempermainkan kewarasan Somi memang, oralannya selalu berhasil membuat Enik basah bukan kepayang tak sampai ratusan detik.

Merasa Enik telah siap Haechan menarik Somi untuk duduk diatasnya, ia ingin Peternya juga dimanjakan terlebih dahulu. Tapi sialnya Somi dengan setengah sadar begini justru bergerak abstrak tak karuan, mengguncang jiwa kelaki-lakianya untuk segera membanting Somi kembali ke atas ranjang.

Begitu Somi melancarkan godaannya dengan menggesekkan Enik dan Peter dibawah sana. Haechan meraih si kembar yang mengacung di atasnya. Jemarinya memilin keduanya dengan keras ketika dirasa Somi ingin mencari kenikmatan nya sendiri.

“SAKITTTTHH HYUCK SHHH!”

Haechan terkekeh sebelum membalik Somi untuk kembali dibawahnya, “sstt diem dulu nona chef, biarin pelanggan ini menikmati menu utamanya sendiri.”

Haechan menaikkan kedua kaki jenjang Somi ke atas bahunya, membuat Peter yang menegang sempurna bertemu dengan kabasahan luar biasa Enik. Dengan sekali hentak keduanya saling memeluk, Enik dengan lancar melahap Peter masuk kedalamnya. Gerakan Haechan memacu dengan tempo sedang, tak ingin segera mancapai garis finish. Apalagi melihat wajah Somi yang terpontang panting karena ulahnya.

“Babe i love your voice,” Haechan menarik tangan Somi ndsri gigtian perempuan itu sendiri yang tengah menahan desahan. Terbukti sekali desahan Somi muncul dibawah sana Peter menumbuk Enik lebih kerasa dari tempo sebelumnya. Tak perlu waktu lama Enik memuntahkan miliknya dengan keras, membuat peter tentu saja basah kuyup didalamnya.

“Curang keluar dulu!” Haechan memukul pantat Somi dari bawah, lalu membalikkan tubuh ramping didepannya itu untuk membelakangi nya. Haechan mengajak Somi berdiri dengan lututnya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang berdecit akibat aktivitas keras mereka.

Dari belakang Haechan justru bekerja semakin keras, Peter selalu kurang ajar dalam mode memporak porandakan isi Enik. Posisi yang Haechan sukai karena miliknya bisa menumbuk spot dengan tepat. Tangannya ikut aktif meraih si kembar dari belakang meremasnya keras keras seirama dengan dorongan yang ia berikan. Somi kelimpungan, pengaruh alkoholnya membuat ia tak bisa banyak berpartisipasi mengejar kenikmatan mereka.

Somi sudah dua kali pelepasan tapi Haechan rupanya tangguh sekali belum mencapai klimaksnya. Haechan kembali membawa Somi terlentang, kali ini ia menumbuk lebih kasar tempo yang semakin kuat dan berantakan membuat peter di dalam Enik membesar pertanda ia akan meledak. Begitu dirasa sejangkal lagi sampai Somi buru-buru memeluk Haechan erat-erat, mengunci tubuh gagah diatasnya dengan melilitkan kaki di pinggang. Ledakan Haechan alhasil menyatu dengan miliknya didalam Enik.

Haechan ambruk diatas Somi, ia kini membenamkan wajahnya di ceruk leher yang penuh tanda merah miliknya. “Yang gue belum pake kondom loh tadi,” membuat Somi di sisa-sisa kesadarannya tersenyum.

*“It's okey, that's your special gift today.” Dengan mata terpejam Somi mengelus rambut Haechan dan mengecup pelipisnya.

Haechan hendak menarik diri dari atas Somi, tapi justru ia di tarik untuk terjatuh disebelah Somi dengan Peter yang masih menempel didalam Enik. “Bentar yang, lengket banget.”

Enik menggeleng, tidak setuju dengan Haechan yang ingin melepas penyatuan mereka. Dengan posisi miring Somi merapatkan tubuh keduanya, semakin menempel dengan sisa-sisa peluh yang membanjiri tubuh. Membuat Enik dan Peter semakin erat didalam sana.

“Nona chef mau pelanggannya lebih lama menikmati hidangan malam ini,” ucapan lemah Somi ditanggapi dengan kekehan sebelum lumatan kecil dibibir mungilnya.

Di dalam pelukan Somi, Haechan menyandarkan kepalanya diatas dada empuk favoritnya. Menikmati aroma tubuh Somi yang selalu candu baginya. Pelukan hangat yang akan selalu terngiang dalam ingatan Haechan kemanapun ia pergi tanpa Somi.

Dengan kesadaran yang tersisa Somi mengelusi rambut panjang Haechan yang tadi sempat ia jambaki ketika Peter bekerja keras, “Hyuck gimana hari kamu? Capek? Ada yang mau dikeluhin?”

“Capeeekkk Enik luar biasa banget bikin Peter bekerja ekstra.” Somi terkekeh dibuatnya.

“Kalo kamu mau ngeluhin dunia yang suka jahat ke kamu inget aku selalu jadi pendengar setia.” Haechan mengecup bibir Somi, lalu kembali menempelkan wajahnya di dada.

“Kamu selalu bikin semua orang bahagia, tapi kamu udah bahagia belum?”

“I have u babe, of course i'm happier than everyone.”

“Hihihihi, logo crocs.”

“Ah lu mah ganggu suasana nyet!” Haechan menyentik hidung Somi.

“Sini nempel lagi,” Somi menarik kepala Haechan untuk kembali bersandar di dadanya. “Hyuck aku gamau liat kamu selalu ketawa mulu, sekali-kali aku pingin liat kamu nangis luapin semua keluh kesah kamu. Kamu ga perlu bertanggung jawab sebegitu besar terhadap ketawanya semua orang tiap ada kamu. Kamu juga boleh capek, kamu boleh sekali-kali berhenti ngambil peran buat menghibur mereka. Kamu manusia biasa sayang, kamu juga perlu dihibur.”

Haechan menenggelamkan kepalanya di cetuk leher Somi, merasakan elusan dipunggungnya yang lembut. Somi ini memang yang paling mengerti dia dari segi apapun.

“Capek kan hyuck selalu berusaha bikin semua orang bahagia? Padahal kita sendiri juga lagi pingin ngeluh berat. I'm here, always here to hear everything...”

Haechan tanpa suara menangis dalam pelukan Somi, seoalah menyampaikan keluh kesah yang ia tahan berbulan-bulan. Haechan selalu berusaha terlihat baik-baik saja didepan semua orang. Ia adalah sumber bahagia semua orang, tapi dikala lelahnya hanya sedikit yang mau mengerti nya. Dan hanya Somi yang memberinya ruang untuk bersedih, murung, lelah dan ragam emosi lainnya tak hanya bahagia.

Meski tanpa bercerita Somi tau prianya telah menceritakan seberat apa hari-harinya dengan tangisan. Dirasa Haechan lega, somi menarik kepala sang tuan sedikit kebawah, “Kata Ibun dulu pas kamu kecil kalo nangis dikasih ASI langsung diem. Aku gatau kalo kamu gede dieminnya gimana, yaudah ayo nen aja tapi nen aku belum ada asinya ya.”

“Ahahahahhahahaha yang apasih? Ada aja ucapan ajaib lo tiap hari.”

“Mau nen gak? Kalo engga yaudah aku bobo, capek banget abis ngasih menu utamanya Peter.”

“Ya mauuuuu!”

🔞

Pagi hari Somi terbangun dengan tubuh polos dalam dekapan Haechan. Perutnya berbunyi lapar, ia menepuk-nepuk pelan lengan Haechan untuk bangun. “Hyuck lapeeerr!”

“Yang bentar ngantuk banget loh ini semalem Peter lembur masa sepagi ini Enik udah minta sarapan lagi aja.”

Somi memukul lengan Haechan, “ish! Yang laper Somi bukan Enik!”

“Oh laper beneran toh? Bilang dong.”

“Minggir gue mau bangun,” Somi melepaskan diri dari kukungan Haechan. Namun pemuda itu enggan melepasnya.

*“Morning kiss dulu mana?” Haechan memajukan bibirnya menyambut ciuman Somi.

“Udah nih yang morning kiss aja? Morning routine nya kurang sih kayaknya.”

“Diem deh lo! Gue kelaperan gara-gara lo semalem ngajak lembur.”

“Padahal kamu juga menikmati.”

“Ya emang!”

“ahahahahaha gemes banget pacar akuuu.”

“ish! Sana pesen sarapan dulu, gue mau makan diatas kasur aja remuk semua nih badan.”

“Yang sarapan di atas kasur tuh Enik sama Peter yaaang...”

“Yaudah padahal mau nawarin Peter sarapan di kamar mandi aja ntar abis gue makan disini.”

“EH EH! OKE DEAL PETER SARAPAN DI KAMAR MANDI HAECHAN OTW NGUENG PESEN SARAPAN DI ATAS RANJANG!”

Arumi berkali-kali melirik jam tangan yang melingkar indah dipergelangannya. Sudah lebih dari 30 menit sejak ia menghubungi Leo dan Ester untuk menjemputnya dari ketersesatan yang ia sendiri tidak tau tepatnya dimana ini. Sebenarnya bisa saja ia memesan ojek online tapi Arumi tidak berani mengambil resiko dalam keadaan panik seperti ini.

Ia merutuki diri sendiri yang sedari sore naik bus umum berkeliling, tak punya arah tujuan hanya karena patah hati. Tadi siang rencananya ia akan menemui sang pujaan hati dan berniat mengajak mas crushnya itu untuk menghabiskan malam minggu bersama. Rencana memang lebih banyak gagalnya, ia justru mengetahui fakta bahwa pemuda yang sebulan ia anggap mendekatinya itu ternyata sudah punya kekasih. Nasib oh nasib, Arumi selalu berakhir begini dalam setiap pedekate yang ia lalui.

Kalau sampai 30 menit lagi Leo dan Ester tidak datang menjemputnya, Arumi sudah menyiapkan air mata untuk menangis. Jujur ia hampir tidak pernah pergi sejauh ini seorang diri. Akan selalu ada Mandalika selaku orang yang orang tuanya beri kepercayaan untuk menjaganya di negri ini. Atau jika tidak ada Mandalika, akan ada orang-orang kepercayaan laki-laki itu seperti Teh Dedes, Ester, Leo, Ecan dan kawan-kawannya.

Bicara soal Ecan biasanya laki-laki itu akan menjadi call center pertamanya setelah Mandalika tiap kali mengalami kesusahan. Tapi hari ini ia sedang begitu malas untuk bertegur sapa dengan adik ipar kakak sepupunya itu. Entahlah dari pagi Arumi memang sedang berusaha menghindari laki-laki itu.

Tiba-tiba sebuah Ferarri berhenti tepat di depan halte yang ia duduki, klakson mobil itu berbunyi kemudian menampilkan si pengemudi yang menurunkan kaca jendelanya. Ada Jenaka Fachrezan dibalik kemudinya.

Melihat Arumi tak bergeming dari duudki, Ecan memutuskan untuk menghampirinya. Begitu sampai didepan gadis itu, pinggangnya di tarik tiba-tiba kedepan. Arumi memeluknya dengan erat dengan tangisan khasnya, “Huuuuu lama banget, gue takut dari tadi di godain orang lewat.”

Ecan menepuk pelan kepala gadis berdarah Kanada itu, “Maaf gue tuker motor dulu sama mobil Uno pas dikasih tau Cimut tadi. Kenapa gak langsung telpon gue?”

“Lo lagi satnite-an gitu tadi, gue gak mau ganggu.”

Ecan mengangkat kepala Arumi untuk menatapnya, jemarinya menghapus air mata si gadis dengan lembut “Kalo ada keadaan darurat jangan ragu buat hubungin gue dulu ya lain kali?” Arumi mengangguk mengerti dengan sisa isak tangisnya.

“Mau langsung pulang apa mau keliling-keliling dulu? Mas sama Teteh kayaknya belum pulang, Leo sama Cimut juga masih kejebak macet.”

Arumi memegang perutnya yang baru saja berbunyi, “Lapeeeerrr gue belum makan dari siang.”

Ecan melotot mendengarnya, tangan pemuda itu lalu memencet hidung mancung Arumi “KEBIASAAN DEH LO!”

“Aduh sakiiit!”

“Ngapain aja dari sore lo maemunah kagak makan-makan?”

“Menggalau, sssttt diem jangan ngejekin gue.” Ecan menahan kejahilannya kali ini, biarlah kali ini Arumi menikmati kegalauannya. Toh masih ada besok pagi untuk mengejek gadis itu perihal kepatahatiannya.

Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk membeli makanan lewat drive thru saja dan menikmati makan siang telat beberapa jamnya Arumi dengan berkeliling kota menikmati ramainya jalanan ketika malam minggu begini.

“Pelan-pelan aja nyet makannya.”

“Gwee lapwer tauuuuk...”

“Yaudah tuh porsi gue makan juga sekalian.”

“Boleh?” Ecan hanya mengangguk dan tetap fokus pada kemudinya.

“Lo udah makan emang?”

“Udah tadi sama anak-anak.”

Ditemani dengan musik yang diputar Ecan Arumi menikmati porsi kedua dari makanannya, atau lebih tepatnya makanan yang harusnya milik Ecan.

“Kenapa bawa mobil Uno?” Tanya gadis itu setelah meneguk minumannya.

“Gue tadi pergi pake motor, yaudah jadi tuker aja sama Uno daripada lo kedingan nanti.”

“Hehehehe makasih Ecan, maaf ya ngerepotin. Nih gue suapin aaaak?” Arumi menyuapi potongan terakhir dari burger jumbonya pada Ecan yang langsung dilahap habis oleh pemuda itu. Tak lupa ia juga mengelap sisi bibir Ecan yang belepotan terkena saos dengan jari lentiknya.

“Masih ngerasa galau gak? Kalo masih gue bawa muter-muter lagi.”

“Dikit...”

“Yaudah pulang agak ntaran aja kalo gitu.”

Arumi tidak menjawab ucapan Ecan, kali ini ia ikut bersenandung mengikuti irama lagu sambil membalas pesan dari Ester yang menanyakan apakah ia sudah aman bersama Ecan atau belum.

“Cause friends don't do the things we do Everybody knows you love me too”

“Tryna be careful with the words I use I say it cause I'm dying to”

“I'm so much more than just a friend to you”

“Ini lagunya cocok banget buat nyindir Cimut sama Leo gak sih,” Arumi terkekeh sendiri dengan ucapannya. Sementara Ecan hanya menatapnya sekilas lalu kembali menatap jalanan didepannya.

“Harusnya emang cuma buat cimut sama Leo.” Gumam Ecan pelan.

나는 너만의 chef, 입맛대로 골라 ma dish.

Jeon somi buru-buru mengemas kado kedalam paper bag begitu melihat notifikasi chat dari laki-laki Juni yang tengah menunggunya dimobil. Meski sebenarnya enggan mengakuinya tapi tentu saja ia tidak sabar bertemu sang tuan, letupan perasaan ingin bertemu itu sudah meledak-ledak sejak Haechan kembali dari tour Jepangnya. Sayangnya kesibukan mereka tidak bisa diajak berkompromi barang sedetik mengharuskan pertemuannya perlu ditunda sampai hari ini.

Haechan mengemudikan mobil milik ayah kekasihnya dengan satu tangan, tangannya yang lain menggenggam erat jemari gadis di sampingnya. Sesekali mengecupi punggung tangan mulus itu.

“Nyetir yang bener kak!” protesan Somi tak di hiraukan, justru kini Haechan semakin mengeratkan genggamannya, membawa tangan Somi ke atas pangkuannya.

“Ya ampun aku gak akan ilang,”

“Ssstttt! Adek diem deh, ini udah mau sampek.”

Somi merotasikan bola matanya, ia memandang keluar jendela mobil. Mereka telah memasuki basemant apartemen pribadi milik Haechan, tempat yang sesekali mereka hampiri untuk sembunyi menjalin kasih.

Kehidupan publik figur rentan ancaman sorotan publik, apapun itu. Mengharuskan mereka punya tempat rahasia.

Meski sedikit kesulitan memarkirkan mobil dengan satu tangan, tapi Haechan keukeh tidak melepaskan tangan Somi, seolah sedetik saja genggamannya lepas ia akan di tinggalkan.

Begitu selesai memarkirkan si merah, Haechan keluar dan langsung terburu membukakan pintu Somi. Menuntun gadis itu untuk keluar lalu menundukkan punggungnya.

“Ngapain kak?” Somi bukannya tak paham, hanya saja Haechan serius akan menggendongnya sampai lantai sepuluh? Hei dia tidak gila! Kekasihnya pasti kelelahan, kalau di hari biasa mungkin Somi akan langsung meloncat ke punggung lebar di depannya itu.

“Ayo naik kayak biasanya...”

“Gamau ih, kamu kecapekan pasti. Bahaya banget kalo harus gendong aku!”

“Gapapa, aku kuat loh biasanya juga gitukan?”

“Gamau, kakak abis konser tiga hari yang bener aja kalo gendong aku pasti remuk itu badan.”

“Gapapa adek,”

“Engga usah kak, gini aja kita gandengan sampek atas.” Somi langsung mengapit lengan Haechan dan menyeret pemuda itu untuk segera pergi dari basemant.

“Padahal aku pingin manjain kamu.” Ujar Haechan sambil mengelus pipi sebelah Somi yang tidak menempel di bahunya.

“Aku aja yang manjain malam ini,”

“Bener ya?” Haechan mendadak antusias

“Gini aja kamu semangat!”

“Iya dong kan udah aku bilang, mau recharge energi.” Haechan mengecup pelipis Somi, tak peduli bahwa mereka masih berjalan di lorong.

Toh sudah tengah malam, orang gila mana yang akan menguntit mereka di lorong begini? Lagipula penghuni apartemen ini orang-orang sibuk, sengaja Haechan membelinya supaya leluasa tanpa gangguan ketika berkunjung kemari.

🔞

Haechan membaringkan tubuhnya di ranjang, dengan Somi yang sibuk membersihkan sisa make-up di wajahnya. Gadis itu begitu telaten mengelap seluruh permukaan wajahnya dengan kapas. Begitu dirasa selesai Haechan langsung menariknya ke dalam dekapan. Somi menindih sebelah lengannya, dengan kepala yang menempel pada sebelah sisi dada bidangnya.

“Mau kemana sayang?” Haechan mengunci tubuh Somi begitu gadis itu bangkit dari tidurnya. Lengannya ia lingkarkan di perut Somi, dan menciumi punggungnya dari belakang.

“Bantar kak aku beresin dulu ini bekas kapasnya,”

“Your punishment?”

“Astaga, iya gak kabur akutuh. Sekalian mau ke kamar mandi cuci muka dulu.” Somi perlahan melepaskan pelukan Haechan, mengabaikan pemuda yang kini terduduk menatapnya pergi ke kamar mandi.

“Aku ikut ke kamar mandi ya?” Haechan sedikit berteriak mengutarakan niatnya, bahkan ia sudah bersiap turun dari ranjang.

“No! Udah malem ya, gamau aku dingin-dinginan!” Somi tentu saja menolak, yang benar saja kalau si kakak tersayang itu ikut ke kamar mandi, mereka bisa saja keluar bersamaan dengan fajar shadiq.

“Yaudah cepetan!”

Somi tidak menjawab, membuat Haechan turun dari ranjang dan memilih duduk di Sofa depan ranjang lalu menyalakan televisi. Sepertinya Netflix and chill akan menyenangkan?

“Gak tidur aja kak?” Tanya Somi begitu keluar dari kamar mandi.

“Tiba-tiba mood nonton film,”

“Kamu gak capek apa?Mending di pake istirahat waktunya tuh, mumpung besok juga di kasih libur.” Somi mengelus pelan kapala Haechan yang berada di bahunya.

“Lah inikan aku juga lagi istirahat?”

“Istirahat apaan coba?” Haechan hanya terkekeh, lalu merangkul pinggang Somi untuk di angkat ke pangkuannya.

“Kak...” Somi meremang, begitu Haechan tidak lagi fokus pada film di depannya justru kini mengendus belakang lehernya yang terekspos bebas, karena rambut yang ia cepol ke atas.

“Hmm?”

“Geli...jangan gitu...” Somi berusaha turun dari pangkuan Haechan, tapi pemuda itu menahannya.

Kali ini Haechan melepaskan jepit rambut yang Somi kenakan, melemparnya asal dan tak peduli Somi mendengus karenanya. Rambut panjang Somi ia kesampingkan, lalu tangannya kembali jail mengelus halus leher belakang Somi. Membuat si puan meremang.

“Kak, udahan yuk bobo aja?”

“Aku belum mau bobo, sayang...” Setelah menghela napas pasrah, Somi membalikkan tubuhnya menghadap Harchan.

Ia mengelusi permukaan wajah tampan di depannya itu, yang meski lelah masih terlihat tidak mengantuk. Haechan justru kini menampilkan wajah polosnya tapi dengan tatapan penuh minat.

“Yaudah mau apa?”

“Kamu.” Tangannya kembali nakal, menelusup bebas ke dalam kaos oblong putih miliknya yang sering Somi kenakan ketika mereka berdua seperti ini.

Tidak agresif, Haechan cenderung lembut dengan mengelus lembut punggung halus Somi. Tapi berhasil membuat si puan mendesis dan hanya mampu menempelkan wajah di bahu kirinya.

Somi yang tak tahan mendekatkan wajahnya pada leher Haechan, menghembuskan napasnya tepat di bawah rahang. Bahkan ia berani mengecupi jakun sang pacar yang naik turun karena menahan desahan akibat ulahnya.

“Aku pingin nyoba hal baru?”

“Apa?”

“Ayo di lantai,”

“Apanya?”

“Making love on the floor,” Somi memekik begitu Haechan mengangkat tubuhnya dan membawanya berbaring di bawah Sofa, di atas karpet bulu yang baru Haechan beli minggu lalu.

Niat terselubung rupanya!

Haechan memposisikan dirinya di atas Somi, mengukung dengan dua tangannya di sertai dengan smirk andalan miliknya. Ia mengecupi wajah Somi mulai dari dahi hingga dagunya, lalu berakhir dengan mengecup bibir manisnya yang langsung di sambut lumatan oleh Somi.

Haechan menurunkan tubuhnya agar lebih menempel pada tubuh di bawahnya, tangannya mulai menyingkap kaos yang Somi kenakan. Perut rata ber-abs itu ia jamah dengan perlahan, mengelus lembut dari pusar ke atas sampai belahan dada. Membuat Somi menggelinjang dan menahan desahannya lagi di sela ciuman mereka yang mulai menuntut.

Dengan tiba-tiba Haechan melepaskan pagutannya, ia beralih mengecupi leher Somi ke bawah, sesekali menyesap kulit putih itu sengaja memberi tanda.

Ia mengangkat kepala, menatap Somi dari atas yang tengah terengah ternyata terlihat begitu seksi dan menggoda. Haechan terkekeh begitu melihat leher si puan penuh ruam merah, ah mahakarya nya!

“Love sign,” Gumannya pelan sebelum kembali menunduk dan kini beralih turun guna mengcupi perut Somi.

Kali ia memainkan lidah, menggoda dengan kurang ajarnya. Kecupan panasnya bahkan bergerak turun ke bawah pusar, dengan tangan yang tak tinggal diam melesak masuk di balik bra, bermain lembut pada obyek favoritnya.

Haechan tidak hanya memilin ia kerap menariknya ke atas meski terhalang bra, membuat Somi meringis sedikit menahan sakit.

Tak tahan dengan perilaku si dominan, Somi menarik kepala Haechan untuk kembali menciumnya. Kali ini pagutan mereka lebih panas dari sebelumnya. Apalagi disertai tangan Haechan yang kian aktif di dadanya, meremas-remas tanpa henti. Bahkan dengan jail menyentil puncaknya yang menegang.

Somi menggapai resleting celana Haechan, tapi tangan pemuda itu menepisnya. Ia lalu berusaha menarik kaos Haechan ke atas, kali ini tidak hanya di tepis tapi kedua tangannya Haechan bawa ke atas, pemuda itu menggeleng pelan “I'm your pilot, baby!” Bisikan penuh penekanan itu membuat Somi pasrah, Haechan tidak akan mengizinkannya memimpin permainan malam ini.

Haechan begitu cekatan melepaskan semua pakaian yang menempel di tubuh Somi, ia hanya menyisakan segita berenda di bawah yang masih belum minat ia sentuh.

Kali ini lidahnya ia ajak mengabsen puncak dada Somi, tangannya yang satu memegang kedua tangan Somi di atas kepala. Tangannya yang lain ia gunakan untuk mengelusi wajah Somi yang memerah. Jari telunjuk nya ia hadapkan ke bibir Somi, meminta untuk masuk.

Somi menggigitnya setelah beberapa detik memberikan jilatan, membuat Haechan terkekeh meski mengaduh kesakitan.

“Nakal!”

Pemuda itu beralih turun ke bawah, membuka sedikit sisa kain yang menutupi tubuh di bawahnya. Memberikan elusan lembut di atas kelembaban milik sang pacar, yang telah lama ia klaim menjadi miliknya.

Somi tak lagi mampu menahan desahannya, tubuhnya melengkung keatas ketika Haechan memberikan kecupan di bawah.

“Kak...”

Haechan mengangkat kepalanya, “No baby girl, you know the rules!” ia memberi peringatan dengan menggigit puncak dada Somi yang sedari tadi menegang.

“ah..jangan di gigit hyuckkh!” Somi meringis, salahnya sendiri kelepasan salah panggil di saat mereka bermain seperti ini.

Haechan kembali ke bawah belum puas mengecupi si manis yang telah basah. Semakin membuat Somi belingsatan tak kuasa menahan lebih lama.

“Hyuuckkh...”

“Hmmm?”

“Plis...sh..”

“Bentar sayang aku masih mau nyapa,”

Somi hanya mampu menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tak tau lagi harus bagaimana. Tangannya masih erat di genggam Haechan tak di lepaskan. Membuatnya frustasi sendiri karena tak dapat berbuat banyak untuk mengejar kenikmatan yang sekarang di permainkan Haechan.

“Hyuuckkhh plis...” Haechan menampilkan smurknya lagi begitu Somi memohon dengan lirih, ia melepaskan kedua tangan Somi dan lidahnya kembali berulah. Menyapa si manis.

Somi menekan kepala Haechan di bawah begitu ia merasa sesuatu akan sampai. Tapi Haechan justru menghentikannya, pemuda itu justru menarik lepas celana dalamnya dengan begitu pelan. Sengaja mempermainkannya.

Begitu tubuh di bawahnya polos sempurna Haechan tertawa tanpa dosa, “Manis banget adek!” Somi mendengus sebal, ia menarik tangan Haechan untuk di gigit.

“No adek!”

“okey baby, tonight i can't let you go!”

Haechan kembali beraksi, kali ini melesakkan satu jarinya menjajal si manis sebelum senjata miliknya. Ia memberikan permainan yang selalu Somi suka, gadis itu kini tak berdaya dengan mata yang terbuka tertutup. Desahannya bahkan menjadi melodi merdu di telinga Haechan.

Begitu di rasa akan benar-benar sampai Haechan menarik diri. Membuat Somi memikik tertahan dan melotot pada laki-laki yang kini berdiri di atasnya, tubuh Somi berada di antara dua kaki panjang Haechan.

Tanpa perasaan bersalah Haechan melepaskan seluruh pakaiannya dengan Somi yang menatapnya dari bawah. Somi menahan tangannya untuk tidak meraih si jantan yang mengacung tegak di hadapannya, Haechan tidak akan suka di sentuh terlebih dahulu ketika ia memilih menjadi dominan.

Haechan kembali menunduk untuk menyusu pada benda kenyal milik Somi, tangannya mengarahkan jemari Somi meraih miliknya di bawah. Ia meminta rematan.

Begitu siap, Haechan memposisikan miliknya di atas si manis. Menggesek dengan perlahan, memberikan sapaan sebelum melesakkannya kuat. Somi memekik, meski bukan yang pertama kali tapi tetap saja milik Haechan rasanya terlalu besar untuknya.

Haechan memegang kendali penuh, ia memompa dengan tempo sedang. Tangannya bertumpu di samping tubuh Somi, dengan tatapan yang fokus pada penyatuan mereka.

“Hyuckhh...” Somi menarik dagu Haechan untuk menatapnya, keduanya sekarang sama tengah banjir dengan peluh.

Haechan menyambar bibir Somi, memagut dengan kasar sesuai dengan tempo gerakan pinggulnya di bawah. Somi ikut mengalungkan tangannya di leher Haechan, tak mau kalah dalam ciuman mereka.

Merasa sama-sama akan mencapai klimaks keduanya melepaskan tautan bibirnya, Haechan semakin dalam memasukkan miliknya. Semakin tanpa jeda menggempur si manis, mengagahinya luar biasa kuat. Membuat Somi kalang kabut, ia tak lagi fokus bahkan bibirnya ia gigit sendiri tangannya meremas kasar karpet bulu di bawahnya.

Haechan dengan penuh pengertian menuntun tangan Somi untuk meremas bahunya saja, ia merendahkan lagi tubuhnya jadi lebih menempel dengan tubuh Somi.

“Hyuckkhh i willh cummh...”

Haechan menundukkan bahunya, sebelah lengannya menumpu kepala Somi dan mendorong nya, seolah memerintah untuk melampiaskan perasaan Somi dengan menggigit bahunya.

“Give me your love sign, baby...”

Cengkraman Somi di punggungnya menajam, di sertai gigitan kecil ketika tubuhnya bergetar. Sekali hentakan keduanya meledak bersama, penyatuan mereka bergetar di bawah sana. Somi melemas di bahu Haechan, tak peduli jika percikan pelepasan mereka meluber ke luar, membasahi karpet di bawahnya.

Rasanya begitu hangat, sampai Somi menyadari sesuatu ketika Haechan ambruk di atasnya.

“Hyuckkh kamu ga pake pengaman!” ia spontan menepuk kasar punggung polos Haechan yang tengan nyaman menempelkan kepala di dadanya.

Haechan merebahkan diri di samping Somi setelah melepas penyatuan mereka, tangannya ia selipkan di bawah leher Somi untuk dijadikan bantalan.

“Maaf lupa,” ia mengecup pelipis Somi yang masih lembab akibat peluh yang ia ciptakan.

“Kamu lagi ga dalam masa subur kan?”

“Engga,” Somi menjawab dengan sebal.

“Maaf baby, nanti pake pengaman ya?”

Somi melotot mendengarnya, ia langsung menolehkan wajah menghadap Haechan yang tengah tersenyum.

“Apaan nanti?”

“Ayo pindah ke kasur, keras banget di lantai badan kamu remuk nanti. Aku pake pengaman abis ini.”

Somi memekik begitu Haechan mengangkat tubuhnya yang masih lemas lalu membanting ke ranjang.

🔞

Sesuai dugaan Somi, mereka akan telat bangun pagi. Atau bangun siang? Semalam Haechan tak melepaskannya berisitirahat, pemuda itu menggempurnya berkali-kali. Meminta berbagai gaya yang tentu saja membuat tubuh Somi rasanya remuk.

Matanya masih susah mengerjap, tapi Haechan rupanya sedang mencapai hormon tertingginya. Pemuda itu sekarang mengecupi punggung polosnya, tangannya tak tinggal diam menggoda si manis di bawah. Serta dari belakang si jantan ikut tidak sopan menggoda,

“Hyuckkhh udah dong!” protes Somi lemah.

“Iya udah, aku cuma mau main sendiri.”

“Capek banget sayang,” lirih Somi memohon.

Haechan terkekeh, memeluk Somi dari belakang tidak lagi memainkan tubuh lemas dalam pelukannya itu.

“Maaf ya aku kelewatan semalem,” ia mengecup pundak Somi.

“Bukan kelewatan doang kamu mah bablas, ga ke kontrol banget!”

“Maaf ya sayang, janji deh puasa sebulan.”

“Halah puasa kamu paling mentok cuma seminggu!”

“Beneran sebulan, aku sibuk abis inikan?”

Somi menyadari sesuatu, ia lalu membalikkan tubuhnya menghadap Haechan. Dengan erat menempelkan tubuh mereka yang masih polos, ia memeluk begitu erat.

Rupanya semalam Haechan menyampaikan salam perpisahan, pemuda itu akan pergi keliling dunia bulan depan. Sibuk dengan pekerjaan yang tentu saja menyita kebersamaan mereka. Meski saling terikat hubungan keduanya begitu rentan, banyak aral yang siap memaksa mereka untuk berpisah. Tak berjarak saja mereka di intai untuk di paksa bersama yang lain, apalagi berjarak?

“I love you,” bisik Somi pelan.

“I know, baby girl.”

“You love me, right?”

“Yes i do,”

Haechan membalas pelukan Somi tak kalah erat, mencoba mengisi energi lebih banyak supaya ketika berpisah bisa menjadi penawar rindu nanti.

“Kakak gak akan tanda tangan kontrak itukan?”

“Engga, akan sayang”

“Adek!”

Haechan tersenyum melihat Somi kini terbiasa dengan panggilan itu, entahlah semenjak tawaran kontrak agensi tentang hubungan pura-pura nya dengan publik figur lain Somi menjadi lebih suka di manja, lebih suka menggunakan panggilan kakak adek.

“Iya adek, kakak cuma punya kamu.”

as long as you happy, i'll be there for you...

Suasana latihan mereka selalu hangat dan berisik, panggung bagi mereka adalah tempat untuk bermain karena memang hanya itu satu-satunya tempat aman untuk mereka bermain. Kehidupan selebritas mereka menyita banyak kebebasan, bukan hanya perihal romansa tapi juga huru hara remaja lainnya. Mereka telah lama tidak memiliki kenormalan hidup sebagaimana trahnya manusia, tapi itu adalah tuntutan profesionalitas yang mampu meraup jutaan dollar. Beberapa duduk dilantai panggung untuk meneguk mineralnya, yang lainnya berada di ruangan mereka untuk mengistirahatkan punggung yang seharian telah diajak berlincah ria. Sang kepala menepuk tangannya keras begitu selesai mengevaluasi hasil latihan mereka.

“Good job, guys! we did it!!”

Lalu sahutan teriakan para anggotanya melantang, selalu begitu.

Tamu tak diundang tiba-tiba memasuki studio besar itu, tangan lentiknya menenteng bungkusan berisi makanan. Kehadirannya merebut atensi si bungsu yang berebut kipas angin dengan kakak tertua mereka. Bertepatan dengan itu empat serangkai dari mereka kembali ke atas panggung.

“Yoo Mark! long time no see! i miss you sooooooo bad!”

Tidak perlu diherankan, gadis ini memang penuh drama dan skenario bual. Dia memeluk Mark begitu erat seolah benar-benar tidak pernah bertemu ratusan purnama. Tak lupa memberikan kecupan dipipi laki-laki sedarah tanah air dengannya itu.

“Kita baru ketemu minggu lalu?!”

“oh sorry! i'm forget it! muach muach!”

Mark mengelap pipinya lalu bergidik ngeri, ayolah dia lelah menjadi korban pemancing kecemburuan gadis itu. Dia menggelengkan kepalanya begitu melihat si gadis kini mengejar bungsu mereka untuk dipeluk.

“Miss you jisungieeee...”

“NO!! Nuna aku masih mau hidup tenang dan bermain game dengan bebas nanti malam!”

*Tetapi percuma, pelukan itu tidak terelakkan pun sama dengan kecupan dipipinya. Membuat si bungsu menatap pelakunya begitu kesal. Berbeda dengan Jisung, justru Chenle menghampiri teman sebayanya itu meski dengan tertatih, memberi pelukan hangat seperti yang meraka lakukan tiap saat. Tapi begitu pipinya akan dikecup, ia menghalangi bibir gadis itu,

“Aku tidak tanggung jawab ya kalau selepas ini kau adu mulut lagi dengan pacarku?”

“Ah pacarmu itu posesif sekali! Tapi aku suka pergi berbelanja dengannya.”

Renjun yang datang dari belakang merentangkan tangannya, siap menerima pelukan gadis itu. Tentu saja ia akan menikmati drama yang sedang diciptakan ini.

“Mana pelukanku?”

“Memang hanya Renjuniee yang mencintaiku disini...muach muachh..”

Pelukan yang begitu erat itu disertai banyak sekali kecupan di wajah Renjun, bahkan hidupnya sekalipun tak terlewatkan.

“Ya baiklah, aku akan menjadi perantara pelukan lagi hari ini.”

Kelakaran Renjun disambut gelak tawa mereka semua, kecuali si serba hitam diujung yang rupanya baru bangun tidur dan sedang meneguk minumannya. Kemudia si gadis berpindah memeluk Jaemin yang sedari tadi tersenyum menatapnya datang.

“yoo, Somi Lee lama tidak berjumpa.”

“SOMI JEON YAAK!”

“oh kupikir akan diubah menjadi Somi Lee?”

“Harusnya sih begitu kalau Jeno Lee tidak memutuskanku waktu itu.”

“Tenang saja masih banyak Lee lain bukan?”

“LEE SOO MAN? OFCOURSE I WILL MARYY HIM!”

Keduanya memang begitu jika bertemu, seringkali melemparkan candaan yang berbahaya dan kadang diluar nalar. Kombinasi yang pas untuk membuat orang lain kebingungan akan tingkahnya.

“Hey nona! Jangan melempar arang begitu, bukan aku yang memutuskanmu kau sendiri yang bilang bahwa kita lebih cocok berteman daripada berkencan.”

“Oh benarkah? sepertinya aku lupa.”

Somi memeluk Jeno begitu erat, mereka berdua bahkan kompak menggoyangkan tubuh dalam pelukannya. Tak lupa kecupan yang meski Jeno ingin hindari tapi gadis itu tetap berhasil meraihnya

“I miss you, so baaaaaaaad my ex.”

Jeno hanya tertawa, kebal dengan skenario yang dijalankan gadis itu. Apalagi ketika gadis itu mengumpulkan mereka berenam untuk melingkar mendekatinya.

“Aku bawa food truck spesial untuk mendukung kalian, ku pesan khusus untuk you, you, you, you, you and you.”

“Hanya untuk kami berenam?”

Tanya Jisung menggoda saat Somi hanya menunjuk enam dari tujuh anggota mereka.

“Yep! Jangan lupa ajak para staff.”

“Haechan hyung tidak dapat?”

“Oh adakah seseorang bernama Haechan disini?”

“Dia sedang tidak berminat kau ajak bercanda, semangat!”

Renjun menepuk pundak Somi, lalu bergegas keluar studio menyusul teman-temannya untuk melihat hadiah yang gadis itu bawakan untuk mereka.

Somi kemudian duduk diatas panggung, tepat disebelah laki-laki yang sedari tadi menatapnya malas. Ia membuka bungkusan yang sedari tadi ia bawa.

“Makanlah, aku masak sendiri hari ini. Kau bilang tempo hari menginginkan ini.”

Tidak menjawab ucapan Somi, tapi Haechan mengambil makanannya dan memakan dengan lahap. Ia masih mengabaikan kehadiran gadis cerewet disebelahnya. Meski tidak dipedulikan, Somi justru kini menempelkan kepalanya dibahu pemuda itu.

“Aku sedih tau...”

“Kalo gak sedih gak akan jauh-jauh nyamperin kesini kan?”

Somi mengangkat kepalanya lalu menatap haechan cukup lama, sebelum akhirnya mengecupi pipi pemuda itu yang tengah penuh dengan makanan.

“Aku sedih soalnya Haechan gak ngasih kabar berhari-hari.”

“Sibuk latihan.”

“Aku sedih soalnya Haechan mengabaikanku.”

“La...”

“Hyuck?? You said you love me kan? Tapi hari ini kamu bikin aku sedih, aku gak suka kamu abaikan gini.”

Haechan menaruh makanannya lalu memeluk Somi dari samping, kepalanya ia taruh diatas kepala gadis itu.

“Aku hanya sedang lelah,”

“Tapi jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkanmu.”

Somi mengeratkan pelukannya, kepalanya semakin menempel didada Haechan tak peduli bahwa sekarang mereka masih berada di tengah panggung dan dilihat orang-orang yang sedang berlalu lalang.

“Maaf karena enggan terikat denganmu.”

“As long as you happy, Nik.”

Panji membawakan beberapa makanan untuk adik-adiknya di asrama mereka. Meski sebenarnya tujuannya kesana hanya untuk menghampiri Esha yang sudah seminggu tidak kembali ke asramanya.

“Esha dikamar siapa?” tanyanya pada si bungsu.

“Kamar mas Reno, tadi lagi kelon sama mas Dika.”

Panji melotot mendengarnya, “Huss mulutmu!” tegurnya

“hehehehe bercanda mas, lagian seisi asrama juga tau mas Esha lebih suka ngelonin cewek orangkan bukan cowok.” Panji menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan filter mulut penghuni asrama ini, obrolan mereka seringkali diluar batas kendali.

Begitu memasuki kamar Reno, Panji disambut dengan pemandangan Esha yang tertidur dengan Dika disampingnya yang sedang melukis, “Eh mas Panji? Bangunin aja mas tidur mulu dia semingguan. Aku tinggal ya.” Seolah mengerti keadaan Dika membiarkan Panji untuk berdua dengan Esha.

“bangun! Ada mas Panji.” Dika menarik selimut Esha sebelum keluar dari kamar Reno.

Begitu nyawa pemuda itu terkumpul, Esha menaruh kepalanya diatas pangkuan Panji. Tak lupa dengan tangan yang memeluk erat pinggang pemuda yang lebih tua 4 tahun darinya itu. Hal yang sebenarnya tidaklah asing namun tak pernah terlihat orang lain.

“Mas...i love her...” suara Esha tercekat tanpa menoleh pun Panji tau, adik kesayangannya itu sebentar lagi akan menangis.

“Gue kan udah pernah bilang, jangan main api tapi lo bandel banget melangkah sampai sejauh ini.” Panji mengehela napasnya kasar, meski begitu tapi tangannya terulur untuk mengelus rambut Esha.

“Kenapa mas? Karena lo gak mau gue merebut dia?”

Panji lagi-lagi menarik napas berat, “Dapat kesimpulan darimana? Apakah gue terlihat memihak satu sisi?”

Esha bangkit dari duduknya, menegakkan bahu dan kini bersila menghadap Panji “Gue bahkan dari awal udah mempersiapkan diri kalo lo tonjokin nantinya.”

“Tapi gue gak nonjok lo kan?”

“Lo salah kalo berpikir gue melarang lo melangkah sejauh ini buat ga ngerebut pacar orang, tapi gue gak mau lo patah hati dan terluka kayak gini. Gue gak mau lo ngerasain bertepuk sebelah tangan —”

Esha menyela ucapan itu dengan cepat, “Mas gue gak bertepuk sebelah tangan.”

“Iya gue tau, tapi apakah Emely memilih satu diantara kalian berdua? Engga kan? Dia gak milih siapa-siapa. Dia ninggalin lo yang lagi hancur sendirian.”

“Gak cuma lo yang hancur, tapi tim kita juga ikut berantakan.”

Esha terdiam, ia tak lagi punya sangghan untuk di ucapkan faktanya perkataan Panji memang benar adanya. Tim mereka tidak dalam kondisi solid karena ulahnya akhir-akhir ini.

“Gue gak suka liat lo terus-terusan ngurung diri dan sedih gini. Ini alamat Emely tinggal beberapa hari ini, temuin dia obrolin dan selesaikan urusan kalian secara dewasa.” Panji memberikan kertas kecil berisikan alamat Emely.

“Mas...?”

“Tolong jangan sia-siain kesempatan ini, gue tengkar dulu buat ngebujuk Shirin ngasih alamat itu.” Esha tak lagi menjawab tapi justru memeluk Panji begitu erat.

Harusnya dari awal Esha tau bukan, kalau Panji akan berada dipihaknya.

Haechan Lee baru saja sampai dari tempat laundry di dekat apartemennya. Begitu memasuki unitnya, suara tangisan bayi terdengar, ia kemudian menghampiri sang ibu di balkon kamarnya.

“Sini Bun, abang yang gendong,” ia mengambil alih gendongan sang ibu. Dia menggoyangkan badannya untuk membuat si bayi berusia hampir 5 bulan itu tenang, sesekali menepuk pantat bayi yang mulai berisi itu meski hanya mengkonsumsi susu formula tanpa setetes asi sejak lahir.

“Abang balik ke rumah aja ya, daripada nanti kerepotan kalo tinggal berdua disini. Di rumah ada adek-adek sama Ibun yang bisa bantuin ngasuh Haemi.” tutur sang ibu melihat putra pertamanya kini kesulitan menenangkan bayinya, belum lagi jika nanti laki-laki itu harus berurusan dengan pekerjaan rumah lainnya.

“Ngerepotin kalo di rumah Bun, abang mau belajar mandiri bertanggung jawab sepenuhnya atas Haemi. Lagipula ini masih seminggu abang pindah, masih adaptasi lah nanti lama-lama juga terbiasa.” Mama Lee hanya bisa menghela nafasnya, toh percuma membujuk lagi putra sulungnya itu memang teguh pendirian alias keras kepala.

“Yaudah kalo ada apa-apa jangan lupa telpon Ibun atau adek-adek mu.”

“Iya Bun, Ibun udah bilang berkali-kali loh seminggu ini.” Haechan berjalan masuk ke dalam kamarnya, mengambil botol susu di atas nakas begitu bayinya kembali merengek.

“Ibun tinggal ya bang, besok harus nganterin Nana ke bandara.”

“Iya, hati-hati bun bilang Gumi besok hati-hati bawa mobilnya ke bandara. Kalo Haemi gak rewel besok pagi abang ikut.” Haechan mengantar sang ibu ke pintu keluar, dengan badan yang masih mangayun berusaha menenangkan bayinya.

“Abang gak usah ikut gak apa-apa, daripada nanti di bandara ketemu wartawan.” Haechan hanya mengangguk, lalu segera menutup pintu begitu terdengar suara langkah kaki dari lorongnya. Bukan maksudnya mengusir Ibun, tapi biar bagaimanapun kerahasiaan putri kecilnya harus terjaga. Haemilee harus selamat dari kejaran blitz kamera yang bisa menyerangnya kapan saja. Kehidupan selebritas dulu benar-benar menjadi ancaman bagi putrinya.

Haemi masih menangis tidak tenang, mengeliat di gendongan ayahnya mencari kenyamanan. Dotnya dibuang, enggan menyusu tentu saja membuat Haechan kebingungan. Ia berjalan kedepan televisi berusaha menyalakan sebuah tontonan yang mungkin dapat menangkan putrinya. Adek bungsunya dirumah biasa mengasuh Haemi dengan menonton televisi barangkali memang itu yang di inginkan putrinya.

Begitu televisi menyala kepala haemi bergerak mencari sumber suara, kemudian kembali merengek. Haechan menatap music show yang ditampilkan setelah baru saja iklan selesai, ah dia merindukan panggungnya, merindukan bagaimana lelahnya rekaman berjam-jam untuk sekedar 5 menit pertunjukan. Merindukan kamera kamera besar itu menyoroti gerakannya, dan sorakan-sorakan histeris yang meneriaki namanya.

Tapi yang paling ia rindukan adalah penyanyi yang kini telah menampilkan lagu terbarunya, tampil begitu energik, cantik seperti biasanya. Lagu yang seminggu ini viral diputar dimanapun Haechan pergi. Sebuah comeback sukses setelah hiatusnya perempuan itu setahun lebih.

Haechan menatap bayinya yang kini tenang tak lagi merengek maupun mengeliat tak nyaman, justru tengah mengedipkan matanya lucu rupanya ikut menikmati suara dari televisi.

“Ih anak didi diem? Tau ya kalo itu suara mimi? Pinter banget kamu. Suara mimi indah ya?” haemilee lagi-lagi mengedipkan matanya, tapi kini disertai menguap.

“Dengerin mimi nyanyi bikin ngantuk ya? Yaudah cantiknya didi bobo aja yuk, didi puterin lagu mimi lagi.” Seolah mengerti bayi itu perlahan mulai mengerjapkan matanya menahan kantuk, dan menelusup di dada Haechan.

“Tidur nyenyak sayangnya didi.”

“Islam itu rahmatan lil alamiin, memang benar istri harus mematuhi dan menaati suami. Tetapi apabila si suami berada dalam kebenaran. Islam itu mengajarkan kebajikan, Rasullullah sendiri mengajarkan dalam rumah tangganya untuk saling mengasihi tanpa adanya kekerasan baik lahir maupun batin.” Ralina mengisi kelas hari ini dengan suara pengar, sejujurnya ia kurang enak badan tetapi memaksakan diri untuk tetap hadir. Ia tidak betah jika hanya berada didalam rumah.

“Tidak hanya untuk istri begitu juga bagi seorang suami hendaknya menjaga martabat dam harkat pasangannya, tidak mengumbar aib masing-masing. Buya kulo dawuhnya gini, Ralina nanti kalau sudah menikah segala urusan rumah tanggamu jangan sampai ke telinga buya ya. Buya tidak lagi berhak mencampuri urusan kamu dan suami, tetapi kalau perselisihan diantara kalian tidak lagi bisa diselesaikan dengan kepala dingin datanglah ke buya bersama suami untuk meminta saran, bukan mengadukan perbuatannya.” Seorang santriwati mengacungkan tangannya hendak bertanya, Ralina menganggukkan kepalanya.

“Ngapunten Ning, Jenengan kaliyan Gus pernah berselisih?”

Ralina menggeleng lalu tersenyum, “Alhamdulillah ndak pernah.”

“Ning barusan itu termasuk menjaga harkat dan martabat suami kan?”

“Benar mbak, apa yang yang terjadi didapur rumah saya hendaknya tetap menjadi rahasia saya dan suami. Orang lain tidak perlu tau bagaimana kami bertengkar, bagaimana kami berselisih dan bagaimana kami menyelesaikan segala permasalahannya. Paham?”

“Pahaaam...”

“Ning, apakah boleh menolak izin suami untuk berpoligami?” Ralina yang tadinya hendak kembali ke kursinya berhenti didepan meja guru. Ia mengerjap beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan sensitif itu.

“Boleh, poligami yang diajarkan Rasulullah adalah demi kemaslahatan umat. Contohnya izin menikahi seorang janda yang hidupnya perlu bantuan, atau menikahi seorang yatim piatu yang tidak lagi memiliki sanak saudara. Poligami bukan untuk berfoya-foya, kalau tujuannya bukan untuk membantu sesama ya mboten nopo-nopo jenengan angsal menolak.”

“Kalau semisal gus nedi izin kajenge poligami pripun ning?”

“Ya itu tadi mbak, mboten nopo-nopo semisal gus menikahi seorang janda tua yang perlu bantuan. Atau tunawisma lain yang memang hidupnya tidak tercukupi, tapikan membantu sesama tidak harus dengan menikahinya. Memberi nafkah tidak harus dengan menikahinya. Kalau saya pribadi masih banyak jalan menuju surga, ngapunten kalo gus memang nedinya poligami kulo mawon seng wangsul ten griyane Baba. Itulah mengapa janji surga bagi seorang perempuan yang mengizinkan suaminya menikah lagi, karena memang berat sekali prakteknya. Adilnya manusia tidak bisa seadil milik Allah.”

Harsa menghela nafasnya dibalik dinding kelas, ia sedari tadi mendengarkan ceramah istrinya dengan surau parau itu. Ralina dari 2 hari lalu sudah dalam keadaan tidak fit, tapi perempuan itu memaksa untuk terus beraktifitas, apalagi segala bentuk afeksinya diabaikan.

Begitu pintu kelas terbuka Harsa buru-buru menengok kelas sebelah, berpura-pura sedang meninjau kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Tapi rupanya Ralina tidak terusik dengan keberadaannya, perempuan itu begitu saja melangkah keluar dari gedung sekolah. Harsa mengikutinya dari belakang, kali ini berjarak 10 langkah.

Andai saja ada para santri yang melihat mereka ini akan terlihat aneh tidak seperti biasanya dimana Harsa berjalan didepan dengan hanya berjarak 5 langkah.

Begitu sampai didepan gerbang ndalem mereka, setelah memastikan tidak ada yang sedang menyapu halaman Harsa melebarkan langkahnya untuk menyamai langkah pendek Ralina, “Ayang...”

“Hmm..”

“Dipannggil kok begitu?”

“Dalem?” Ralina menolehkan wajahnya menghadap Harsa dengan senyum palsunya. Ia sedang dalam mood yang buruk beberapa hari ini.

“Masih marah ya?”

“Ndak...”

“Iya ini masih marah, akunya gak diwawo dari kemarin.” Harsa menuntun bahu istrinya untuk duduk di sofa depan. Lalu ia bersimpuh didepan Ralina, kepalanya ditaruh diatas pangkuan sang istri dengan tangan meraih tangan Ralina untuk mengelusi rambutnya.

“Lagi capek...” jawab Ralina seadanya.

“Demi Allah yang jangan begini, aku sedih kalau gak disapa ayang.”

“Iya nanti disapa.” lagi-lagi Ralina menjawab seadanya. Membuat Harsa mendongakkan kepalanya menatap sang puan yang kini netranya enggan balik menatapnya.

Tangan Harsa menggenggam erat keduanya tangan Ralina menyatukannya untuk ia ciumi, “Aku minta maaf ya sudah buat ayang kesal berhari-hari, tidak mendengarkan saran dan firasat ayang. Maaf ya aku salah.”

“Aku kan udah bilang jangan mau diajak kerjasama feeling aku jelek. Kamu bilang aku cuma susudzon, padahal aku udah bilang gak enak banget perasaan aku. Yaudah kamu gak percaya sama aku, padahal feeling seorang istri bisa jadi bocoran dari malaikat.” Ralina melepaskan kekesalannya lalu beristighfar begitu pelan.

“Iya maaf, lain kali aku dengarkan ayang. Aku hanya gak enak menolak ajakan makan malam beliau tanpa alasan, aku gak tau kalau beliau ada niat terselubung meminta ku untuk memadu putrinya.” Ralina melepaskan tangannya dari genggaman Harsa, ia lalu berdiri begitu saja.

“Duh aku mau ke ndalem belakang lupa ada janji sama Ummah.” Harsa menghela nafasnya begitu sang istri memilih masuk ke kamar mereka dan lagi-lagi mengabaikan topik percakapannya.

Ia menyusul kedalam kamar dan mendapati istrinya rupanya baru saja menghapus air mata, “ Ayang demi Allah aku tidak punya niat untuk berpoligami. Aku tidak akan menikah lagi, aku juga tidak minta izin untuk menikahi Aliyah. Aku hanya mau hidup sama ayang.”

“Kulo ke ndalem Ummah dulu njeh Gus.” Ralina tak mempedulikan penjelasan suaminya, ia menundukkan kepala begitu pamit pergi dan menyalimi sang suami.

Membuat Harsa lagi-lagi menghela nafasnya, “Ayang maaf...”

Satu jam setelahnya Harsa memberanikan diri menyusul Ralina ke ndalem orang tuanya di area belakang. Begitu sampai ia disambut dengan Buya yang tengah membaca koran harian di teras. Rupanya Buya baru selesai mengajar, kitabnya masih berada di atas meja.

“Assalamualaikum buya...” sapanya.

“Waalaikumsalam, duduk sini le.”

Harsa patuh lalu diam tanpa kata menunggu sang ayah berbicara, “Istrimu kenapa?”

“Ralina ceriyos?”

“Ndaklah, dia datang-datang bilang Ummah katanya pingin nangis dipangkuan ummah. Tadi ditanya ummah bilangnya abis nonton layangan putus. Sekarang tertidur dikamar kamu, tadi minta peluk Ummah. Kenapa? Bertengkar kalian?”

Harsa menundukkan kepalanya, “Ndak bertengkar Buya, hanya sedikit salah paham. Kulo salah memang.”

“Yowes susulo kono nang njero, ndang dimarikke jangan berlarut-larut.”

“Njeh Buya.”

Harsa hendak menyusul kedalam kamarnya tapi begitu sampai didepan pintu ia mendengar percakapan sang ibu dengan istrinya, “Ummah, buya pernah minta izin berpoligami ndak?”

“Alhamdulillah ndak pernah, kalopun pernah juga Ummah gak akan ngasih izin juga. Ummah gak akan sanggup, kenapa? Harsa minta izin poligami iya? Mana sini anaknya nanti ummah jewer kalo sampek berani begitu sama kamu.”

Harsa tersenyum dengan percakapan dekat dua perempuan yang paling dia cintai itu, ia lalu membuka pintu, “Assalamualaikum, perempuan hebatku lagi ngobrolin apa ini?”

“Waalaikumsalam, tuh udah ada Harsa Ummah keluar dulu ya mau masakin Buya sambel terong.” Meski dengan berat hati Ralina melepaskan pelukannya ditubuh sang ibu mertua. Entahlah ia sedari pagi begitu ingin dimanja Ummah.

“Lak tukaran ndang dimarikke, seng teges jadi suami. Njauk ngapuro nang cah ayu ku.” pesan Ummah sebelum keluar kamar dengan menepuk pundak putra kebanggaannya.

Harsa baru melangkah 3 langkahan mendekati istrinya tapi Ummah kembali membuka pintu, “Oh lupa Gus, jangan lupa telpon dokter Aisyah niku Ning gerah.”

“Dokter Aisyah kan dokter kandungan Ummah?”

“Memang, tanya saja istrimu.”

Ummah melenggang pergi begitu saja, membuat Harsa mengerjap berkali-kali menatap Ralina yang kini menatap kearah luar jendela dengan punggung yang ia sandarkan ke kepala ranjang.

“Ayaang?” Harsa mendekat dengan wajah tidak percayanya, “Ayaang...”

“Hmm dalem...”

“Aku minta maaf ya...maaf sekali...”

“Iya dimaafkan.”

“Ayang, boleh pegang perut?”

“Ndak boleh.”

“Ayang...”

“Nunggu dokter Aisyah dulu.”

Harsa tidak lagi berkata-kata ia memeluk sang istri dari samping begitu erat dan berkali-kali mengecupi pipi Ralina.

Jum'at pagi biasanya diisi dengan kegiatan istighosah bersama seluruh santri di masjid utama yang terletak di tengah-tengah pesantren. Biasanya setelah pembacaan istighosah, Harsa melakukan ngaji singkat dengan ngesai bersama sekitar 15 menit. Namun hari ini ia meliburkan dulu acara rutin itu, dan akan diganti ketika malam hari nanti.

Harsa pulang dengan sedikit melebarkan langkahnya, bahkan ia tidak mampir ke asrama putra terlebih dahulu seperti Jum'at biasanya. Ia menyegerakan pulang ke rumah begitu tadi melirik ke barisan shaf pertama santri putri tidak ada istrinya disana.

Harsa merasa sedikit gusar, pasalnya tadi selepas sholat malam mereka Ralina mengeluh sedikit pening. Dan mengatakan ia ingin sholat shubuh di rumah saja, dan akan menyusul ketika istighosah berlangsung.

Begitu memasuki kamarnya ia melihat sang istri tengah meringkuk diatas ranjang. Harsa panik dan langsung memeriksa keadaannya.

“Ayang kenapa?” tanya nya khawatir. Tangannya meraba dahi Ralina.

“Hmmm...” Ralina mengerjapkan matanya, sedikit berjengit dari tidurnya.

“Loh ayang belum berangkat ke masjid?” Harsa mengerti rupanya sang istri ketiduran sehabis sholat shubuh. Terlihat juga dari mukenahnya yang masih tergeletak di samping pembaringannya.

“Baru saja pulang ini.”

“Astagfirullah, aku krtiduran.” Ralina mencoba untuk bangkit tetapi Harsa menahannya.

“Tiduran aja gapapa, ayang kayaknya kurang fit.” Ralina hanya mengerjapkan matanya setuju dengan pernyataan Harsa. Tubuhnya memang terasa begitu lemah pagi ini.

Harsa melipat mukenah milik istrinya lalu menaruhnya di tempat biasa sang istri meletakkan peralatan sholat mereka, “Terima kasih.” Ujar Ralina lirih.

Suaminya itu kemudian duduk di tepi ranjang membuatnya menggeser badan sedikit ke tengah. Tangan Harsa juga mengelusi pelipisnya pelan, sesekali memberikan pijatan.

“Masih pening? Maaf ya ayang beberapa hari ini harus keramas terus tiap dini hari.” Harsa mengecup kening istrinya lama, ia merasa bersalah membuat Ralina harus keramas setiap hari, apalagi rambut perempuan itu begitu panjang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengeringkannya.

Ralina tentu saja merona, lalu memukul pelan dada Harsa. Ia memeringkan tubuhnya ke arah sang suami lalu memeluk pinggang Harsa dari samping, “Apa sih...”

“Nanti malam engga deh, ayang lagi gak enak badan gini.” Ralina terkekeh dan semakin menyembunyikan wajahnya yang pasti semakin memerah.

“Aku lagi kedatangan tamu dari tadi pas mau ambil wudhu sholat shubuh, makanya niatnya meringkuk bentar buat ngilangin kram perut eh malah ketiduran.” Penjelasan Ralina membuat Harsa ikut merebahkan tubuhnya di samping sang istri dan tangannya mengelus perut Ralina yang terbalut gamis.

“Emang aku disuruh puasa dulu ini berarti, biar gak bikin ayang keramas mulu.” lagi-lagi Harsa menggodanya, tangan Ralina kembali melayang di dadanya kali ini lebih keras.

“Jangan digodain terus,” rengeknya.

“Kenapa ayang malu ya?”

“Ssstt diem! Dilepen nih aku...” Ralina meringis kala perutnya kembali terasa nyeri. Harsa cekatan mengelusinya berharap sentuhannya bisa mengurangi rasa nyeri yang membuat istrinya meringis itu.

“Enakan gak aku elus begini?” Tanyanya yang hanya di jawab anggukan oleh Ralina.

“Ayang...”

“Dalem?”

“Mau denger pengakuan dari aku gak?”

“Pengakuan apa?” Ralina mengernyit heran lalu menatap Harsa dari bawah. Laki-laki itu juga menatapnya, tatapan yang tidak pernah berubah selalu penuh cinta.

“Tentang aku, Najwa, dan kamu.”

“Kok ada aku?”

Harsa kini memeluk pinggang Ralina dan memangkas jarak antar keduanya, kaki laki-laki itu di naikkan satu ke atas kaki Ralina. Kebiasaan ketika ia tidur memang menjadikan Ralina gulingnya.

“Iya, kamu juga bagian dari cerita diantara aku dan alamarhumah”

Ralina menyamankan posisinya, mensejajarkan posisi kepalanya dengan kepala Harsa dengan menatap mata suaminya ia kini siap mendengarkan kisah yang akan Harsa ceritakan.

“Sekitar setahun yang lalu saat masih di Andalusia, Buya memberi kode dengan mengatakan kalau dulu Gus Sena ketika meminang Ning Ayes waktu seusia aku, persis setelah menyelesaikan tesisnya.” Ralina mengangguk, kakak perempuan Harsa memang menikah bersama sang suami tepat setelah mereka berdua sama-sama menyelesaikan pendidikan S2 nya.

“Sebagai putra Buya satu-satunya aku sadar, kelak yang akan meneruskan perjuangannya adalah aku. Meski Ummah dan Buya tidak mengucapkannya secara langsung aku tau mereka sedang menunggu kapan aku datang pada mereka untuk meminta dipinangkan seorang perempuan.”

“Begitu pulang ke rumah, Ummah seringkali menceritakan beberapa putri dari kenalan Buya. Rupanya waktu itu ummah sedang merekomendasikan calon istri.” Ralina sama sekali tidak memotong cerita suaminya.

“Ada nama ayang suatu hari dalam cerita Ummah, aku masih ingat waktu itu ummah menceritakan kalo ayang baru saja menyelesaikan hafalan beserta Sarjana.” Harsa tersenyum begitu mengingat cerita sang ibu tentang istrinya dulu.

“Jujur setelah pembicaraan sore itu tiba-tiba wajah ayang sering muncul di kepala. Brisik banget bahkan ketika aku menyelipkan do'a meminta calon istri yang seperti apa. Aku hanya berdo'a dipertemukan dengan perempuan yang paling pas menurut Allah denganku, tapi setiap kali do'a itu tersebut wajah ayang selalu terbayang.”

Ralina terkesiap, benerkah cerita suaminya itu?

“Masa sih?”

“Iya Ayang ngapain waktu itu gangguin pikiran ku? Aku sampek sering istighfar tiba-tiba.” Harsa mencubit hidung mancung milik istrinya itu yang tengah menatapnya gemas.

“ih aku mana tau lah, itu brati kamu aja yang emang naksir berat sama aku.” Ralina terkekeh niatnya menggoda Harsa.

“Ya emang.”

“Yang bener?” Ralina menaikkan suaranya terkejut dengan pernyataan itu.

“Siapa sih yang gak naksir ayang? Dulu di asrama putra ayang tuh selalu jadi pembicaraan tau.”

“Eh brati sering gosipin aku ya?”

“Bukan aku sih, tapi mas santri yang lain. Aku cuma dengerin aja.”

“Huuu sama aja dong kamu ikut gosipin aku.” Harsa tergelak dengan perubahan eksprei istrinya yang dibuat-buat seolah kesal.

“Terus-terus ayo lanjut ceritanya.” Ralina sungguh penasaran dengan kelanjutan cerita Suaminya. Ia bahkan begitu antusias sampai melupakan nyeri perutnya.

“Nah kebetulan minggu depannya waktu itu aku gantiin Buya di acara tabligh akbar di ndalem kamu? Inget gak?” Ralina berpikir sejenak mencoba mengingat kapan tepatnya itu, lalu ia mengangguk mantap.

“Saat itu Baba cerita kalau kamu masih ada rencana untuk melanjutkan S2 ke Yaman. Terus aku jadi inget dulu waktu kecil tiap kali kamu ke rumah selalu cerita sama Ummah pingin pergi ke Yaman. Dari situ aku merasa kamu belum siap untuk dipinang, aku juga tentunya tidak mau menghambat mimpi kamu. Yasudah pasrah saja kepada Allah berarti memang bukan jodohnya.”

“Sepulang dari sana aku bilang sama Buya sama Ummah untuk dicarikan calon istri yang terbaik menurut mereka bagaimana, insyaallah aku mau. Waktu itu aku rasa tidak baik berlarut dengan harapan tidak pasti.” Ralina mengangguk membenarkan perkataan suaminya. Ia juga turut menelusup di dada Harsa dan jemarinya menggenggam tangan sang suami ketika dirasa cerita akan memasuki kisah suaminya dengan perempuan lain.

“Setelah itu, sebentar...” Harsa menjeda ceritanya untuk menunduk dan mencium kening istrinya beserta sudut bibirnya.

“Ayang gak apa-apa aku ceritakan tentang Najwa?”

“Gak papa, lanjut aja. Tenang aku gak akan cemburu.”

“Cemburu juga tidak apa-apa loh, sayyidah Aisyah saja sempat cemburu berat pada sayyidah Khadijah.” Goda Harsa.

“Apa sih, ayo lanjut ceritanya udah penasaran nih.”

Harsa terkekeh sebelum melanjutkan ceritanya, “Aku ingat hari itu hari Jum'at selepas sholat Jum'at Buya menyampaikan ada lamaran yang datang. Lamaran dari ayahanda almarhumah yang menginginkan aku menjadi menantunya. Dari cerita yang Ummah sampaikan kala itu Najwa sedang sibuk menyelesaikan pendidikan di Istanbul. Tetapi dia meminta untuk dicarikan suami.”

“Seperti yang mungkin kamu sudah tau, setelah pinanganku diterima Ayahanda meminta akad nikah. Hari itu meski belum resmi secara hukum negara tapi Najwa telah menjadi istriku. Setelahnya kami sering berkomunikasi lewat telpon atau video call.” Ralina bergeming terus mendengarkan cerita suaminya. Ia waktu itu hadir di acara pernikahan siri Harsa dan Najwa bersama kedua orang tuanya. Kebetulan Baba nya menjadi saksi pernikahan mereka.

“Sebulan setelahnya aku ke Turki, mengunjunginya yang tengah mempersiapkan kelulusan. Akhirnya setelah sebulan menikah kami bisa bertemu secara tatap muka.” Harsa kembali menjeda ceritanya, ia menatap Ralina memastikan perempuannya tidak apa-apa dengan kelanjutan ceritanya.

“Ayang bener gak apa-apa kalo aku lanjut ceritanya?”

Ralina mengangguk, lalu mendongakan kepalanya untuk mengecup singkat bibir suaminya. “Gak apa-apa habibi, lanjut aja.”

“Okeii, sini sun lagi dulu.” Harsa membalas dengan kecupan singkat sebelum melanjutkan ceritanya.

“Aku hanya punya waktu 3 hari untuk mengenal Najwa, selama itu kami memanfaatkan waktu yang ada untuk menikmati keindahan konstantinopel dan berkeliling ke tempat-tempat yang Najwa suka.”

“Ayang maaf ya, di Turki aku jatuh cinta pada Najwa.” Ralina tersenyum dengan menggeleng mendengar permintaan maaf dari Harsa.

“Kenapa minta maaf? Mbak Najwa kan istri kamu waktu itu sudah seharusnya kamu mencintainya.”

“Ayo lanjut lagi ceritanya.”

“3 hari disana aku mengenalnya lebih dalam. Dia perempuan yang begitu mulia. Kami benar-benar hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan. Tidak ada kesempatan beribadah sebagaimana suami istri karena waktu itu Najwa sedang dalam masa udzurnya. Meski aku tidak memintanya tapi Najwa mengucapkan beribu maafnya karena tak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.”

“Belakangan aku mengerti dibalik semua cerita yang terjadi diantara kami, Allah menjaga Najwa untuk tetap suci sampai kembali kepangkuan-Nya.” Ralina tercengang mendengar penuturan Harsa, ya tuhan dugaannya selama ini ternyata salah besar.

“Berati ayang...”

“Iya, bukan hanya aku yang menjadi pertama untuk ayang. Ayang juga yang pertama buatku.”

“Masyaallah...”

“Mungkin memang sudah takdirnya begitu, Najwa bukan jodoh yang benar-benar Allah siapkan untuk menemani jihadku di dunia. Aku titip disetiap do'a ayang ya, untuk mendoakan almarhumah. Beliau orang baik.” Ralina mengangguk mantap, pasti dia akan selalu mendoakan mendiang istri suaminya itu.

“Sehari sebelum kepulangan almarhumah, ia menelpon dan bercerita ada satu tempat di Turki yang belum sempat ia kunjungi. Dia bilang dia ingin sekali pergi ke kapodakia, dan meminta ku berjanji untuk datang kesana kelak.”

“Aku rasa itu adalah hutang yang harus aku bayar, itu seperti wasiat almarhumah. Ayang tidak keberatan kan kalau suatu hari aku ajak kesana? Menenaikan janji pada alamrhumah.”

Ralina tentu mengangguk antusias, namun kemudian ia teringat sesuatu dan langsung menggeleng membuat Harsa bingung.

“Its her dream, not mine mas!” Harsa tergelak begitu menyadari Ralina meniru dialog dari sebuah sinema terkenal.

“yeee itu mah series yang lagi kamu tonton.” Harsa menguyel pipi Ralina dengan gemas membuat perempuan itu tertawa.

“Ahahahaha, iya iya nanti kita ke kapodakia sesuai dengan janji ayang ke mbak Najwa.”

“Masih lanjut gak nih ceritanya?”

“Masih, hari itu tepat 2 bulan pernikahan kami. Aku begitu antusias bersiap menjemputnye ke bandara. Dia bilang ketika pulang ingin mencoba soto Lamongan kesukaannya, aku bahkan sudah memesan tempat. Lalu tiba-tiba Ummah mengetuk pintu dengan tangisan, dan menyampaikan bahwa pesawat yang Najwa tumpangi telah jatuh ke laut.”

“Mulanya aku merasa tidak nyata, malamnya Najwa bahkan masih meminta dibacakan surah Ar-rahman kesukaannya sebelum tidur. Tapi ternyata takdir memang begitu adanya, kita sebagai manusia hanya bisa ikhlas dan berpasrah atas takdir yang telah Allah tentukan. Rupanya Allah begitu menyayangi Najwa, Dia tidak mengizinkan aku lebih lama mencintainya. Hari itu Ayahanda juga menyampaikan untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, dan tidak berharap jenazah Najwa dapat di evakuasi.” Ralina meremas baju kokoh suaminya, itu adalah cerita yang begitu malang.

Ralina ingat sekali bagaimana Uminya berterimakasih begitu besar padanya karena membatalkan studinya di Yaman. Karena dari awal Uminya enggan melepas kepergiannya, apalagi pesawat yang Najwa tumpangi adalah pesawat yang sama yang di jadwalkan membawanya ke Yaman.

“Sepuluh hari setelah kepergian Najwa, Ayahanda datang ke ndalem menemuiku langsung. Beliau langsung menodong dengan pertanyaan apakah aku punya rencana untuk segera menikah lagi.”

“Dawuhnya waktu itu aku tidak perlu menunggu lebih lama untuk menikah lagi, tidak ada tenggat Iddah untuk seorang laki-laki. Ayahanda bahkan menawarkan diri untuk mencarikan calon istri. Tapi aku bilang setidaknya tunggu sampai 40 hari kepergian almarhumah.”

“Menjelang 40 hari almarhumah, aku baru tau kalau ayang tidak jadi berangkat ke Yaman. Aku bertanya pada diri sendiri, apakah ini takdir yang Allah sudah tentukan? Begitu bercerita pada Ummah, beliau sarankan aku untuk beristikharah. Dan akhirnya aku mendapatkan jawaban dengan hari itu ayang datang ke rumah Ayahanda, lalu ibu memeluk ayang bukan? Beliau juga tersenyum dengan mengatakan padaku, ayang seperti putrinya sendiri.”

Ralina mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa takjub dengan takdir yang terjadi pada mereka. Benar-benar skenario yang kompleks tak tertrbak. “Atas saran ayahanda dan Buya hari itu aku beranikan diri bertamu ke ndalem Baba. Rasanya menegangkan ketika Baba memanggil ayang untuk keluar, aku takut ayang menolak lamaranku.”

Harsa mengelusi rambut Ralina, dan semakin mengeratkan pelukannya.

“Terimakasih ya hari itu ayang menganggukkan kepala, aku langsung lega luar biasa disertai perasaan yang begitu membuncah.” Ralina membalas ucapan terimakasih suaminya dengan mengecup dagu Harsa dari bawah. Kemudian ia kembali menenggelamkan wajahnya di dada Harsa, ia sedang menahan tangis haru atas takdir yang terjadi pada mereka.

“Seorang janda diperbolehkan menikah lagi setelah masa iddahnya selesai. Ada yang tau berapa lama masa Iddah itu?” Ralina hari ini mendapatkan amanata dari ummah—Ibu mertuanya untuk menggantikan beliau mengajar dikelas akhir. Ummah hari ini sedang kurang enak badan, semalam sempat deman tinggi.

“3 bulan...” beberapa santriwati menjawab.

“Iya, atau lebih tepatnya 3 kali masa haid. Kenapa sih ada masa iddah? Tujuannya adalah untuk memastikan kosongnya rahim dari pembuahan terakhir. Maka dari itu seorang Janda baru di perbolehkan menikah lagi setelah ia melewati masa iddahnya.” Jelas Ralina yang langsung ditulis oleh semua santriwati. Mereka akan mencatat keterangan tersebut dengan seksama.

“Ning, kalau masa iddahnya duda bagaimana?” Ralina yang tadinya berjalan mengitari meja para santri menoleh ke arah barisan depan, pada seorang santriwati yang mengacungkan tangannya.

“Duda tidak memiliki masa iddah,” Ralina tersenyum sebelum melanjutkan penjelasannya. “Seorang duda bahkan diperbolehkan menikah lagi setelah sehari cerai mati.”

Santriwati yang duduk di sebelah si penanya tadi menyenggol lengan temannya. Memberi sebuah kode yang langsung dimengerti, “Ngapunten Ning. Ngapunten sanget kulo mboten niat tanglet ngoten.”

Kelas menjadi hening, sementara Ralina menampilkan senyum teduhnya “Loh kenapa minta maaf mbak? Pertanyaan jenengan mboten salah kok.”

Ralina menutup kitab yang ia bawa, lalu duduk kembali di kursi guru. Penjelasan yang ia sampaikan hari ini sudah selesai, sesuai dengan batasan yang ummah sampaikan.

“Sampun njih, keterangan selanjutnya nanti akan di lanjutkan sama beliaunya Minggu depan. Hari ini saya hanya bertugas mbadali Ummah karena beliaunya tasek gerah.”

Ralina mengisi absen kehadiran guru, sebelum melihat jam tangan yang melingkar cantik dipergelangan mungilnya. Pukul 19.45, masih tersisa 15 menit sampai bel pulang ngaji malam.

“Mbak-mbak ada yang mau ditanyakan?”

“Ning ngapunten.” santriwati yang tadi bertanya kembali meminta maaf.

“Loh kenapa minta maaf mbak? Jenengan mboten salah nopo-nopo.”

“Sudah ya jangan minta maaf lagi, monggo mbak-mbak menawi badhé tanglet nopo, menawi nggadhah ceriyos nopo ngoten, nopo kita sharing mawon sambil menunggu bel.”

Dengan kompak para santriwati itu menjawab, “Ceriyos mawon.” Ralina lagi-lagi terkekeh, santriwatinya hobi sekali meminta cerita. Persis seperti suasana kelasnya dulu ketika masih di pesantren, mengulur waktu ustadzah membahas materi dengan cerita.

“Ceriyos nopo?”

“Kemarin waktu kelas fiqih nisa' ustadzah Savina dawuh tirose jenengan kale beliau nya teman satu kamar dulu njih waktu di pesantren?” Tanya santriwati yang duduk tepat di depan Ralina.

((Fiqih nisa' : ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang menyangkut perempuan. Contohnya hitungan masa Haid, istihadoh dll.))

“Iya dulu semasa jabatan Jam'iyah saya sama beliaunya satu kamar 2 tahun, jadi ya begitulah kami jadi dekat.” Ralina berbinar menerawang masa-masa ia menjadi santri.

((Jam'iyyah : organisasi))

“Ustadzah Savina ceriyos nopo mawon kemarin?”

“Banyak, tirose Us Vina juga sepesantren sama Ustadz Jamil sama Gus Harsa juga.”

“Iya gitu mbak, dulu Ustadz Jamil sama Gus niku senior kulo ten pesantren. Mereka dulu itu sohib banget, ketua sama wakil ketua Jam'iyyah putra masa jabatan diatas saya sama Us Vina, jadi ya menawi wonten rapat akbar ngoten njih ke panggeh. Beliau berdua juga kan jadi dewan perwakilan asrama putra.”

Rasanya sudah begitu lama, memori-memori remajanya kembali mengudara. Betapa indahnya kehidupan pesantren nya dulu.

“Oh berarti cinlok ngoten Njih Ning?”

Ralina terkekeh, “Siapa? Ustadz Jamil sama ustadzah Savina?”

Semua santri membelalakkan matanya, “Ha? Iya tah Ning? Ustadz Jamil beneram sama ustadzah Savina?”

“Loh gosip yang beredar di mbak-mbak santri ngoten kan?” sejujurnya Ralina sendiri tidak tau ada hubungan apa antara sahabatnya itu dan ustadz idaman para santriwati itu.

“Iya sih Ning, tapi dikiranya bercanda aja. Soalnya ustadzah Savina selalu bilang ustadz Jamil itu ngeselin orangnya.”

“Ustadz Jamil itu jail orangnya memang, hampir sama kayak Gus gitu. Humoris.”

Ralina sekali lagi melihat pergelangan tangan nya, menatap jarum jam yang meunujuk pukul 19.55, kurang 5 menit lagi. Ralina takut terlalu seru bercerita ia bisa lupa waktu.

“Kalo Ning sama Gus gimana?”

“Apanya mbak?”

“Cinlok juga?” Ralina menggeleng pelan sambil tersenyum geli, bagaimana bisa ada cinta lokasi? Ia dan Harsa semasa di kepengurusan dulu tidak pernah bertegur sapa secara personal. Hanya saling tahu nama, keduanya hanya bertemu dalam acara. Meski kedua orang tua mereka dekat, dan keduanya mengenal dekat orang tua masing-masing tapi hubungan mereka asing.

“Ya seperti yang mbak-mbak semua tau, Njih mboten ngoten.”

“Gus Harsa dulu idaman ya Ning di pesantren?”

“Wah kalau itu jangan ditanya lagi, kayaknya hampir satu asrama putri juga jejeritan kalo sehabis beliaunya numpang lewat.”

Para santriwati itu tergelak, seperti dugaan Gus mereka menjadi idaman dimana-mana. Bagaimana tidak? Adam itu hampir sempurna untuk tidak diidolakan.

“Sudah ya mbak, ceriyosnya di sambung lain waktu. Semoga ilmu yang didapat hari ini bermanfaat...”

“aamiin...”

“akhirul kalam, summa salamualaikum wr.wb.”

*

Ralina berjalan membelah kerumunan santriwati, sudah menjadi tatakrama apabila seorang guru berjalan para santri akan membelah jalan. Hanya dengan sebuah isyarat ‘ssttt’ mereka akan otomatis menepi, memberi jalan dengan kedua tangan bertumpuk didepan dan kepala yang menunduk hormat.

Untuk menuju ndalemnya, yang kebetulan berada di depan ia harus melewati masjid. Khimar biru mudanya di terpas angin malam, wajah ayunya tersiram cahaya rembulan yang semakin mempercantik penampilan Ralina.

Dilihatnya di depan masjid sedang ada 2 orang yang bercengkrama, ia mengenal keduanya. Ralina memutuskan untuk menghampiri dan menyapa, “Asslamualaikum akhi, ukhti.”

“Waalaikumsalam wr.wb.”

“Hayo ada apa ini berduaan? Nanti yang ketiganya setan loh.” Godanya sambil mendekat ke arah Savina. Membuat Jamil seketika memundurkan sedikit langkahnya, dan menunduk. Tidak berani menatap adik kelasnya dulu yang sekarang menjadi Ning nya.

“Sembarangan, ndak berduan kok tadi sama suami jenengan juga ini bahas kepanitiaan harlah bulan depan. Cuma Gus bucin satu itu keburu pulang takut istrinya nunggu di ndalem katanya, eh istrinya ternyata baru pulang ngajar.” Ralina terkekeh mendengar celotehan Savina, ini yang ia suka dari sahabatnya itu tidak berubah meski statusnya berubah. Savina being Savina, sama sekali tidak membuat batasan antar keduanya.

Jamil ikut terkekeh sebelum akhirnya pamit undur diri, “Ning, ustadzah saya pamit kembali ke asrama Njih.”

“Loh kulo baru datang padahal, ini ndak mau bahas harlah kale kulo?” Jamil tersenyum kikuk, lalu menggeleng pelan.

“Mboten ngoten Ning. Kulo menyelamatkan diri dugi si pencemburu ulung. Mboten angsal lami kepanggeh jenengan.” Ralina tersenyum menahan tawanya dengan tangan. Suaminya memang begitu persis yang Jamil bilang, pencemburu ulung.

Setelah kepergian Jamil, Ralina mencolek pinggang Savina. Menggoda. “Cie...”

“Cia, cie, cia, cie... Ini pasti ide kamukan yang jadiin aku sekretaris panitia harlah? Duh males banget mana Si Jamil lagi ketuanya.”

Ralina menggeleng dengan terkekeh, apalagi dengan ekspresi kesal milik Savina begitu menghiburnya. “Bukan aku loh, itu dari buya sendiri yang milih. Kalo ndak percaya ya tanya sama Gus.”

Savina mencibir, lalu dengan gerakan pelan ia mendorong bahu Ralina untuk beranjak pergi “Sudah sana kamu pulang Ning, sudah di tunggu misua di ndalem loh. Malaem jum'at sekarang, hus hus pulang.”

Pipi Ralina memerah digoda begitu, memangnya kenapa kalau malam Jum'at?

“Apa sih?”

“Pulang Ningku yang cantik kesayangan Gus bucin, kalo kamu gak cepet pulang nanti disusul loh.”

Ralina terkekeh sebentar, sebelum raut wajahnya berubah. Menerawang ke tanah lapang di depan masjid.

“Sav...” lirihnya pelan membuat Savina mengerti rupanya sang sahabat ingin menceritakan sesuatu yang mengganjal hatinya.

“Hmm, kenapa?”

“Menurut kamu, aku jahat nggak?”

Savina menunggu Ralina menggambil jeda, “Almarhummah marah ndak ya, suaminya menikah lagi bahkan sebelum 100 hari kepergiannya?”

“Na...” Savina tidak tau harus menjawab apa, ia menggenggam erat jemari kanan Ralina dan tangan lainnya merangkul bahu sahabatnya itu.

*

“Assalamualaikum...” begitu membuka pintu kamar mereka Ralina disuguhi pemandangan sang suami tengah membaca buku di atas sofa kamar.

“Waalaikumsalam, ayang kenapa lama? Aku kira tadi pulang duluan.” Ralina melangkah mendekati Harsa, lalu mencium punggung tangannya.

Begitu Ralina duduk disebelahnya Harsa menarik tubuhnya mendekat, tangannya tidak melepas genggaman Ralina dan balik menciumi punggung tangan sang istri.

“Tadi ketemu Savina, terus sedikit ngobrol.”

“Ngobrol apa hmm?”

“Rahasia.” Harsa tersenyum, kemudian ia melepas peniti yang mengikat khimar istrinya. Begitu penutup kepala Ralina terlepas tangannya mengelusi lembut surai hitam lebat berbau mint kesukaannya itu.

Harsa mencium puncuk kepala Ralina, lalu turun ke dahi sebelum juga bibirnya mampir di ujung bibir Ralina.

“Ayang kenapa hmm?” tanyanya begitu menyadari rupanya Ralina baru meneteskan air mata. Terlihat dari bulu matanya yang basah.

“Ndak papa tuh...”

“Ayang...” Ralina balik menatap manik mata Harsa yang kini mencoba menyelami tatapannya. Ia mengehmbuskan nafasnya berat.

“Hubby...” cicitnya pelan.

“Apa apa ayang? Ayang panggil aku apa?” Harsa berpura-pura tidak mendengar dengan panggilan yang bisa dihitung jari Ralina menggunakannya.

“ahahahaha, Hubby...”

“Dalem habibati?” Ralina tersenyum, tangannya tergerak untuk mengelus permukaan wajah suaminya. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya sebelum menyampaikan keresahan hatinya pada sang suami.

“Aku pantas gak sih buat ayang?”

Harsa terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu, “Ayang kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”

“Mbak Najwa bakal kecewa gak ya ayang menikah lagi bahkan ketika orang-orang masih bergkabung akan kepergiannya. Apa aku jahat?”

Harsa langsung memeluk tubuh Ralina erat, enggan mendengar pertanyaan lanjutan dari wanitanya itu.

“Gak ada yang jahat, sudah takdirnya begitu. Najwa sudah bahagia disana, berhenti berpikir seperti itu. Sudah takdir kita seperti ini, lebih baik kita do'akan saja semoga semua amal ibadah Najwa diterima tuhan dan ia ditempat di sisis terbaik-Nya.”

Ralina balas memeluk tubuh Harsa dengan erat, air matanya mengalir lagi. Ia menangis tanpa suara, kadangkala ia berpikir perihal jodoh, mau dan rezeki adalah rahasia tuhan. Lalu bagaimana dengan jodoh Harsa? Bukankah jodoh dibagi menjadi 3? Jodoh dunia, jodoh akhirat dan jodoh dunia akhirat. Ia termasuk yang mana?