Ran;

Ralina berjalan dengan langkah kecilnya menyusuri lorong sekolah yang saling bersahutan terdengar nadzoman para santri dari dalam kelas. Gamis merah maroon dipadukan dengan Rabbani softpink yang sempurna menutupi dada sampai ke pinggangnya, perpaduan warna yang pas dengan kulit putih susu miliknya.

((Nadzoman adalah media untuk menghafal))

Meski tanpa makeup tebal, Raline tetap terlihat begitu cantik. Wajahnya bersinar begitu berseri-seri, entah karena air wudhu yang tak pernah ia lupakan atau efek dari euforia pengantin baru. Eh.

Ralina baru menikah, sebulan lalu.

Bibir mungilnya sesekali mengikuti nadzoman, sekaligus melalar hafalannya agar tidak lupa. Kebetulan jadwal lalaran di sekolah hari ini adalah tasrif istilahi, pelajaran yang ia sukai dulu semasa mengemban pendidikan di pesantren.

((Tasrif istilahi adalah bagian ilmu shorrof, ilmu yang mempelajari tata bahasa arab))

“Fa'ila yaf'ilu fi'lan...” itu Bab 6 dari fi'il tsulasi mujarrod. Lalaran pelannya terhenti ketika seorang ustadzah menyadari kehadirannya.

Yang tadinya seorang ustadzah itu berdiri di depan kelas, mungkin sedang memantu lalaran di dalm kelas sekarang langsung menundukkan kepalanya berjalan mundur mempersilahkan Ralina untuk masuk ke dalam kelas.

“Monggo Ning sampun mantun laré-laré lalaranipun.” Tangan sang ustadzah mengepal dan menunjuk dengan jempolnya.

((Lalaran : mengulang hafalan))

Ralina tersenyum dan mengangguk anggun, “Nda papa Us, biarkan diselaikan dulu tinggal beberapa mauzun.” Sebenarnya sengaja Ralina tadi menunggu di balik dinding, ia tidak mau menginterupsi lalaran yang sudah jelas akan berhenti jika ia memasuki kelas detik itu juga. Toh bel pelajaran pertama belum berbunyi, hanya saja ia berangkat dari ndalem lebih cepat 5 menit tadi. Sengaja, sekaligus menemani suami berjalan menuju sekolah. Lalu keduanya terpisah di gerbang sekolah.

Begitu tidak lagi mendengar suara lalaran dari dalam kelas Ralina sekali lagi tersenyum sebelum mengangguk, “Saya masuk dulu ya Us.”

“Njih Ning.” Setelahnya ustadzah yang juga merupakan alumni santriwati itu menunduk menata alas kaki Ralina dengan posisi siap digunakan dari dalam kelas. Lalu berjalan mundur sampai menghilang dari jangkauan pandangan Ralina.

Memasuki kelas Ralina menyapa dengan senyuman manisnya. Senyuman yang beredar dikalangan santriwati menjadi salah satu alasan mengapa putra kiai mereka jatuh cinta pada Ralina.

Setelah mengucap salam dan membaca do'a qobla ta'alum, Ralina menyapa santriwati “Selamat pagi mbak, sudah sarapan?”

Dengan kompak mereka menjawab, “Pagi Ning, sampun.” ini merupakan salah satu yang disukai para santri dari Ralina, selalu menyapa mereka dan menunjukkan kepedulian dengan ceria.

“Alhamdulillah kalo begitu...”

“Ngapunten, Ning sampun sarapan?” Celetuk seorang santri diujung depan.

“Alhamdulillah sampun...”

“Kale sinten Ning?” Ujar yang lain menimpali, yang justru hal itu mengundang gelak tawa. Begitupun dengan Ralina yang merona dengan celetukan godaan itu, ia terkekeh.

“Eh nganu maksud kulo, sarapan kale nopo ngoten loh Ning...” Si santri menepuk bibirnya sendiri, mengoreksi pertanyaan.

“Njih sami kale nopo ingkang dipun dhahar mbak-mbak sedoyo niku. Sekarang hari Senin kan? Berarti waktunya dhahar rawon kan?” para santriwati itu mengangguk setuju, sampai lagi-lagi salah satu dari mereka kembali menyeletuk.

“Walah Ning, tirose kulo ten ndalem wonten menu spesial ngoten.” Ralina tersenyum dengan menggeleng pelan.

((Ndalem : sebutan rumah))

“Loh njih spesial toh, Ning kan dhahar e dipun rencangi kale Gus.” Lagi-lagi Ralina digoda, ia rasa pipinya sudah begitu memerah sekarang.

“Cieeee...”

Setelah menyelesaikan kekehan dan perasaan gelinya atas godaan itu Ralina mengintrupsi “Sampun njih, sak niku kulo absen riyen sak derenge lanjut ngesai.”

((Ngesai : memaknai kitab kuning dengan huruf pegon))

((Kitab kuning : kitab kosongan tanpa makna))

((Pegon : seni menulis arab, biasanya dengan bahasa daerah))

Namun begitu membuka buku absensi Ralina menyadari sesuatu, tidak ada bolpoin 3.0 yang biasa terselip di kitab kuningnya. Ralina merogoh saku gamisnya, siapa tau ia lupa memasukkan bolpoin khusus mengesai itu ke dalam saku. Namun ternyata tidak ada.

“Masyallah hi-tech saya sepertinya terjatuh...” Mendengar keluhan Ralina para santri meringis ngilu, bolpoin itu harganya lebih mahal dari bolpoin biasa. Dan apabila terjatuh akan membuatnya macet dan tersendat sehingga begitu tidak nyaman ketika digunakan.

Hi-tech jatuh, adalah mimpi buruk.

“Mba, boleh pinjam...” Belum selesai Ralina berbicara hendak meminjam bolpoin tetapi pintu kelas di ketuk oleh seorang santri.

“Assalamualaikum...”

“Waaalaikumsalam, Njih wonten nopo Mas?”

Santri tersebut menunduk begitu dalam, ia menjaga pandangan sebisa mungkin untuk tidak menatap satupun perempuan di ruangan itu. “Ngapunten Ning, niki bolpoin jenengan dugi Gus Harsa. Tirose ketinggalan wau ten meja makan.”

Ralina bangkit dari duduknya dan menghampiri sang santri yang kini berdiri dengan lututnya dengan tangan menjukurkan bolpoin Ralina sopan. “Masyallah, syukron njih Mas.”

< terimakasih ya mas>

“Kale niku Ning, wonten pesan dugi Gus...”

“Njih nopo?”

“Dawuhi Gus wau, mengke panjenengan mantun ngajar dipun rantos ten ngajenge masjid.”

Ralina lagi-lagi menahan pipinya supaya sebisa mungkin tidak merona, apalagi melihat para santriwati yang kini rasanya ikut menahan gemas dengan pesan dari suaminya itu.

“Njih, Njih, matur suwon Njih Mas.” Setelah santri tersebut pamit undur diri Ralina kembali memulai kelasnya.

“Mongga mbak do'anya...” Para santri menyambut dengan bacaan do'a pengharapan ilmu yang bermanfaat dari para mushonnif pengarang kitab.

“Qolal mushonnifu rahimahumullohu ta'ala wanafa ana bihi, wa bi ulumihi fid daraoini. Aamiin.”

((Do'a yg biasa di baca sebelum ngesai))

Setelahnya Ralina mulai membaca kitab kuning kosongan itu dengan sasa-an bahasa jawa yang akan di tulis oleh para santri. “Bismillahi kelawan nyebut asmanane Allah, Arrahmani kang moho welas ing dalem dunyo lan akhirat, Arrahimi kang moho welas ing dalem akhirat beloko.”

“Faslun, ai hada faslun utawi iki iku ono fasal.” Nada esai-an Ralina begitu khas, pelafalannya jelas dengan intonasi kuat meski bernada. Membuat para santri begitu senang jika mengesai kitab kuning dengannya.

Kurang lebih butuh 30 menit untuk mengesai satu fasal dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia berikut dengan keteranganya. Ada sisa waktu sekitar 10 menit sebelum jam pelajaran berganti.

Biasanya waktu tersebut Ralina gunakan untuk mendengarkan keluh kesah para santri, tentang apa yang membuat mereka merasa kurang nyaman di asrama. Atau ia gunakan untuk berbagi kisah para ulama' dan nilai nilai jihadnya.

“Alhamdulillah ngesai nya sampun, mbak-mbak ada yang mau di tanyakan?”

“Mboteeeen...”

“Kalau mboten kulo akhiri riyen Njih?”

“Njih..”

“Loh Ning tumben kajenge medal riyen? Biasanya nunggu bel.” Tanya Ara, santriwati yang tadi juga menggodanya.

“Lah jenengan sedoyo mboten wonten pertanyaan tirose, njih kulo akhire mawon.”

“Kulo sangkaaken kajenge medal riyen amergi dirantosi Gus.” Kan, lagi-lagi Ralina digoda.

“Astagfirullah...” Mau tidak mau Raline terkekeh, santriwati yang satu itu memang sedikit unik.

“Ngapunten Ning, kulo mung bercanda.”

“Njih mboten nopo-nopo, lucu jenengan.”

“Ning, Gus Harsa ten ndalem suka ngajak bercanda nopo mboten?” Pertanyaan spontan dari pojok ruangan membuat Ralina membelalakkan matanya, lalu kembali terkekeh.

“Suka, beliau cukup humoris. Kenapa mbak? Beliau kalau ngajar kaku tah?”

“Mboten....“ Para santriwati menggeleng.

“Gus Harsa lucu Ning kalo ngajar, banyak bercanda.” celetuk salah seorang santriwati, lalu beberapa detik kemudian ia menutup mulutnya yang spontan menjawab itu.

“Eh, ngapunten Ning.”

Ralina tersenyum, merasa bersyukur kalau cara mengajar suaminya disukai para santriwati.

“Coba nanti kalo beliau ada waktu luang sehabis ngajar jenengan mintai cerita lucu deh. Beliau punya banyak.” Ujar Ralina yang disambut tatapan antusias remaja muda itu.

“Ning ngapunten Njih, kulo mung penasaran. Ngapunten niki, Jenengan ten ndalem nimbali Gus Harsa nopo?” Ralina terkekeh dengan pertanyaan polos tersebut.

“Ya sama kayak mbak-mbak kalo manggil.”

“Gus ngoten?” Ralina mengangguk mengiyakan.

Rasanya tidak mungkin bukan ia menyebut secara gamblang panggilannya pada suami ketika dirumah.

“Masa Gus Ning? Mboten Mas ngoten? Nopo linthune ngoten?”

Ralina tersenyum, “Beliau ndak mau dipanggil Mas, Dawuhi kulo sanes adine beliau mboten angsal mangggil begitu.”

Meski tidak yakin dengan panggilan Gus-Ning yang Ralina utarkan tetapi para santriwati itu mengganguk paham dengan penjelasan yang baru saja dipaparkan.

Bertepatan dengan itu bel pergantian jam pelajaran berbunyi, mengharuskan Ralina segera mengakhiri kelasnya.

“Sudah Njih, semoga ilmunya bermanfaat”

“Aamiin...”

“akhirul kalam, summa salamualaikum wr.wb.”

Begitu keluar dari gerbang sekolah Ralina sudah melihat sang suami berdiri di depan masjid bersama seorang pengurus di asrama putra rupanya.

Ralina mendekat ke arah mereka, lalu berhenti sejajar dengan Harsa meski berjarak 3 meter. Membuat ustad yang sedang berbicara dengan Harsa itu reflek menunduk lalu melangkah sedikit mundur. Harsa menoleh ke belakang, mendapati istrinya yang tersenyum dengan mengagguk.

“Sampun Ning?” Tanya Harsa.

Sebenarnya tadi Ralina tidak berbohong, Harsa memang memanggilnya dengan sebutan Ning. Ketika diluar rumah mereka.

“Njih sampun Gus.” Harsa kemudian pamit undur diri pada ustad yang tadi menemaninya menunggu Ralina.

Harsa berjalan lebih dulu, baru Ralina mengikuti 3 langkah di belakangnya. Ini merupakan tatakrama ketika mereka berada di ruang publik.

Begitu dirasa jauh dari area santri dan mendekati ndalem mereka, Harsa memelankan langkahnya. Menunggu Ralina supaya beriringan disampingnya. Tangannya meraih kitab kuning yang Ralina dekap, “Mana sini kitabnya tak bawakan.”

“Lah ngapain?”

“Ya biar kamu gak keberatan, kamu gak boleh kecapekan pokoknya. Abis ngajar itu gak boleh bawa beban.”

“Alay deh, cuma kitab beratnya gak sampai satu kilo padahal.”

Mereka kini memasuki gerbang ndalem, dengan tangan Harsa yang berani merangkul pundak istrinya “Ya gapapa akukan mau manjakan istri, masa ayang gak suka hmm?”

“Ya suka.”

Nah sudah tau kan panggilan apa ketika mereka di rumah?

Sebut saja namanya Emely, gadis ayu berwajah khas Eropa turunan dari sang ayah yang bedarah Dutch dan Canadian. Kulitnya putih bersih seperti bagaimana darah Mongoloid ibunya mengalir. Perpaduan yang luar biasa cantik, terlalu cantik.

Emy —panggilannya, sedang berdiri di balkon kamar sebuah penginapan kelas atas dekat dengan pantai di daerah kelahiran ibunya. Dia sedang berlibur, atau lebih tepatnya meliburkan diri kabur dari kesibukan ibukota yang kerap kali memaksanya berpeluh mengais lembaran dollar.

Meski disinipun nanti Emy juga akan berpeluh.

Rambut pirangnya diterbangkan angin, menambah kesan cantik begitu melihatnya dari samping. Siapapun akan betah berlama-lama menatapnya, begitupun netra pria yang sedari tadi duduk di ujung balkon dengan kaki yang ditopang sebelah. Dijarinya tersemat gulungan tembakau yang kini tinggal beberapa hisapan saja.

Emy membalikkan tubuhnya menatap pria yang sedari tadi tak melepas pandangan padanya, “Belum puas ngeliatin gue?” si pria bernama Esha itu terkekeh pelan.

“Puser lo manggil-manggil dari tadi.”

“Pisir li minggil-mimggil diri tidi.” Emy mencibir lalu mendudukan diri disebalah Esha, tapi sejengkal saja pantatnya akan menyentuh kursi Esha menarik lengannya untuk duduk diatas paha milik pria itu.

Emy memberontak, karena Esha masih masih menghisap nikotin yang seringkali membuat Emy kesal itu, “Si babi udah gue bilang abisin dulu rokok lo.” Gadis itu menghentakkan kakinya kesal, bahkan sengaja menginjak kaki Esha sesekali.

“Iya nyonya,” Esha mematikan rokoknya pada permukaan asbak diatas meja, lalu tangannya beralih memeluk perut Emy dengan dagu yang ia topangkan dibahu mulus Emy “ Mau nyoba rasa rokok gue gak?”

“Emang rasanya apa?”

“Makanya cobain.” Meski dengan memutar bola matanya malas tapi Emy tetap berbalik memiringkan posisi duduknya.

Puan itu memegang rahang kokoh milik Esha sebelum menabrakan bibirnya pada bibir pria di depannya yang menatap penuh minat itu, “Gak enak anjir, gue gak suka.”

“Yaudah berdiri dulu, gue sikat gigit dulu.” Bukannya berdiri Emy justru melingkarkan tangannya pada leher Esha, memeluk dengan erat.

“Mau gendooong,” ujarnya manja.

“Manja deh lo nyet!” meski dengan gerutuan tapi Esha tetap menggendong Emy memasuki kamar yang mereka pesan untuk dua hari kedepan ini. Sekedar informasi kamar yang mereka pesan ini honeymoon package, sinting padahal bukan suami istri.

Esha rupanya membawa Emy ikut masuk kedalam kamar mandi, membuat perempuan itu kesal dan menggigit telinganya, “Jangan gigit-gigit dulu heh! Nanti main di kamar mandi lo protes!”

“Kenapa bawa gue kesini kalo gitu?!”

“Ya gapapa, pingin lo sikatin gigi.”

“Idih manja!”

“Yang minggu lalu ngerengek minta gue sabunin gak berhak komentar.” Emy mencibir lalu tangannya meraih sikat gigi yang dijulurkan Esha. Dengan telaten dia menyikat gigi pria manja didepannya.

Setelah selesai dengan kegiatan menyikat giginya, Emy mengecup pelan bibir Esha yang masih terasa pasta gigi mint itu “Gue cukur lagi ya? Udah mulai tumbuh nih, gak enak banget ke pipi gue, kasar bos.” Esha hanya mengangguk pasrah begitu Emy meraba area dagunya bahkan ketika perempuan itu mencukuri kumisnya yang baru tumbuh itu.

Esha sedari tadi hanya fokus menatap Emy yang sibuk merawat wajahnya, sebenarnya setiap bertemu Emy pria itu juga akan menatapnya intens penuh minat. Emy selalu menggoda dimatanya.

“Mata lo bentar lagi copot kelamaan natap gue.” Sindir Emy sambil mengelap rahang bawah Esha. Pria itu tertawa, lalu mengecupi bibir Emy yang sebenarnya akan mengomel.

Tanpa perlu diperintah Emy mengalungkan tangannya dileher Esha begitu tubuhnya diangkat dalam gendongan. Esha membawanya keatas ranjang berantakan mereka, ranjang bekas semalam begadang bersama berbagi peluh kenikmatan.

“Jangan disobek lagi, gue ga punya daleman lagi.” cegah Emy begitu tangan Esha kasar sekali menarik penutup tubuhnya.

“Yaudah buka sendiri.” Emy berdecak dan menatap Esha yang tengah mengerlingkan godaan dengan tatapan malas.

Begitu Emy tak tertutupi sehelai benangpun Esha merobohkan perempuan itu ketengah ranjang, mengunci tubuh Emy dengan kedua kakinya.

“Minggu depan kagak usah bawa daleman aja ya, daripada lo protes.” Emy melotot dengan penuturan kurang akar Esha itu.

“Belum ketemu lo gue udah diterkam orang di jalan dong bodoh.”

“Ahahahahahaha”

“Gemes banget sih!” Esha menggigit puncak kecoklatan milik Emy yang sedari semalam tak ia lepas.

“Brengsek sakit!” Emy memukul keras punggung Esha yang masih terbalut kaos oblong favorit pria itu. Seolah tanpa dosa ia justru tertawa keras.

“Bukain baju gue dong,” titah Esha sambil mengangkat tanganya “Manja banget sih lo!”

“Ayoo dong tanteee bukain.” Esha semakin merengek

“Tante-tante bibir lo sini gue gampar!” Emy mendudukkan dirinya dan menarik kaos Esha lalu membuangnya asal ke lanatai.

“Mending dicium daripada di gampar.” masih dengan posisi diatas tubuh Emy pria itu memajukan bibirnya. Mengecupi Emy berkali-kali. Tanpa adanya lumatan.

Hal itu justru membuat Emy kesal bukan main, ia merasa dipermainkan. Sekuat tenaga Emy menahan tengkuj Esha untuk tetap menunduk, bibirnya ia gerakkan untuk melumat pria itu dengan kasar. Emy memberikan beberapa gigitan supaya Esha membuka mulut dan membalas ciuman panasnya.

Tentu saja Esha menampilkan senyum smirknya ditengah ciuman panas Emy, inilah yang dia mau. Memancing Emy untuk menjadi dominan. Esha suka ketika Emy menguasai tubuhnya, bertindak lebih agresif daripad ia.

Emy rasanya sudah begitu hafal dengan rongga mulut Esha, perempuan itu begitu menggebu dalam ciumannya. Saliva mereka telah saling bertaut.

Emy dengan kasar membalikkan tubuhnya menjadi diatas Esha, dengan tak sabar jemari mungilnya melepaskan celana pendek yang dikenakan pria itu. Tubuhnya turun kebawah, siap memuja kebanggaan Esha yang tengah menantinya.

Emy terlihat begitu seksi dimata Esha ketika diselimuti kabut gairah panas seperti ini, pemandangan paling ia suka ketika Emy memanjakan buah zakarnya dengan jilatan panas dan remasan kenikmatan dibawah sana. Esha menyandarkan kepalanya dikepala ranjang beberapa kali meringis nikmat dengan perlakuan Emy. Tangannya meremas rambut panjang yang Emy biarkan tergerai ketika mereka bercinta itu.

“Myyyhh...” desahnya tertahan begitu merasa akan meledak.

Emy tidak suka Esha meledak sia-sia, ia bangun untuk menatap pria yang tengah menanti pelapasan itu, “Bentar ya sayang...”

Emy merangkak menaiki tubuh Esha, memposisikan senjata yang berdiri tegak itu tepat dibawah miliknya yang telah basah. Emy rupanya ingin menggoda dengan hanya menggesekkan miliknya, menikmati pemandangan muka Esha yang tengah terpejam kenikmatan.

“myyhh ayoo donhgh” Esha menekan tubuh Emy untuk merapat pada tubuhnya, menggerakkan pinggulnya sendiri untuk memasuki Emy.

Mereka saling bekerjasama mencapai puncak kenikmatan seperti semalam. Emy menggerakkan tubuhnya kebawah begitu kuat, dengan hentakan-hentakan panas yang membuat Esha memanggil namanya dengan desahan merdu.

Esha menarik dagu Emy untuk ia ciumi, padahal Emy sedang berfokus melanjutkan mahakarya di dada Esha sejak semalam. Memberi label bahwa diatas ranjang Esha adalah miliknya.

Begitu puncak didepan mata Esha membalikkan posisinya, menindih Emy yang sudah terengah lalu menumbuknya dengan keras. Emy memeluk tubuh kekar Esha dengan erat begitu ia meledak, ia bahkan menggigit tulang selangka Esha.

“Gweeh belumhh...” Esha membalik tubuh Emy untuk membelakanginya. Memacu Emy dari belakang untuk mencapai kepuasannya, tanganya meremat dada Emy tanpa ampun. Bibirnya juga dengan panas menjilati punggung mulus itu. Emy adalah miliknya jika begin, hanya miliknya dan ia hanya mau segila ini dengan Emy seorang.

Desahan Emy memacu tumbukannya untuk lebih keras lagi, tak sampai 5 tumbukan Esha akhirnya meledak menumpahkan bibit kentalnya didalam Emy tanpa penghalang.

Emy tidak suka memakai silikon pelindung, kurang nyaman dan sensasinya berbeda. Ia tak bisa merasakan bagaimana gagahnya Esha melepas miliknya jika menggunakan alat kontrasepsi.

Dengan intensitas bercinta mereka yang tinggi Emy lebih memilih untuk injeksi kedokter kandungan. Ia benar-benar selalu ingin menyatu sempurna dengan Esha tanpa penghalang apapun.

Emy memeluk Esha yang terbaring diseblahnya, tak merasa risih meski senjata milik Esha masih bersemayam di dalam miliknya. Justru memberikan pelukan supaya masuk lebih dalam.

Esha memberikan kecupan diseluruh permukaan wajah Emy, disertai dengan tangannya yang meraba si kembar dari balik selimut.

Kemesraan panas mereka terintrupsi dengan dering ponsel Emy yang berbunyi. Esha meraba nakas di belakang punggungnya meraih gawai perempuan yang kini tengah menghisapi dadanya itu.

Begitu Esha menaruh kembali gawai miliknya, Emy bertanya “Siapa?”

“Pacar lo” Emy hanya menganggukkan kepalanya lalu kembali melanjutkan mahakaryanya.

“Ada pesan juga dia.”

“Apa katanya?”

“Mau jemput di bandara besok.” Emy mendongakkan kepalanya, lalu mengecup singkat bibir bengkak Esha yang sedari tadi ia gigit kasar.

“Maaf ya besok gue balik bareng dia.” Esha mengangguk mengerti, “Gapapa tapi sekali lagi ya?”

Emy belum sempat menjawab tapi si jantan dibawah sana telah melancarkan aksinya untuk memporak-porandakan milik Emy, lagi.

Akhir tak bahagia

Radine mengusap kasar air matanya yang tidak mau berhenti, ia berdiri di tepi jalan menunggu ada taksi lewat. Dan bodohnya ia tak berpikiran untuk memesan ojek online saja. Radine sibuk dengan kebenciannya pada Nala, juga pada dirinya sendiri.

“Ra, kasih aku kesempatan buat ngobrol.” Tangannya di raih dari belakang oleh Nala, tapi langsung di tepis kasar olehnya.

“I'm not your Rara anymore!”

Teriakan Radine membuat Nala menundukkan kepalanya, apalagi dengan wajah gadis itu yang bersimbah air mata. Nala rasanya tak kuasa juga menahan air matanya.

“Pergi!”

“Ra...”

“Gue benci di panggil Rara!”

“Kasih aku waktu buat minta maaf.”

“Pergi! Asal lo tau gue nyesel pernah mencintai lo! Kalo bisa ngulang waktu, gue gak akan pernah mau ketemu manusia kayak lo!”

“Maafin aku Ra, maaf.”

“Lo brengsek banget Na, brengsek!”

Tangisan Radine memilu, gadis itu bahkan tak lagi mampu menopang tubuhnya sendiri. Ia tersedu-sedu, membuat Nala memberanikan diri untuk menopang tubuh Radine. Di peluknya tubuh lemah itu. Meski dadanya di pukul Radine berkali-kali, tapi Nala tak melepaskan dekapannya.

“Kenapa semesta jahat banget nemuin gue sama lo lagi setelah tiga tahun.” tiap Racauan Radine rasanya menyayat Nala perlahan. Perkatanya mengandung luka.

Dengan sisa tenaga Radine memukuli Nala, tangisannya tak kunjung berhenti. Ini adalah kesedihan yang ia tahan sejak tiga tahun lalu. Keduanya kini sama-sama menangis dengan tubuh saling memeluk.

Munafik jika Radine mengatakan tidak merindukan dekapan hangat ini, meskipun ia membenci Nala sehebat apapun nyatanya pelukan pemuda itu tetap memberikan kenyamanan. Dan Radine tak mampu mengalahkan kenyamanan itu untuk sekedar memberontak dan melepaskan diri. Pada akhirnya ia pasrah, menangis dalam pelukan pisau yang melukainya.

Menyambut luka

Andaikan bisa ku ulangi, Ku berjanji takkan menyakiti Takkan pernah ada, hati yang terluka

Suara itu adalah suara yang sudah lebih dari 3 tahun tidak Radine dengar, suara yang setiap hari mencoba ia lupakan dan ia hapus dari memori apapun di hidupnya.

Tapi kini kamu t'lah pergi Membawa semua bahagiaku Mungkinkah ku sanggup menebus semua itu

Tiap penggalan liriknya begitu menyayat, pembawaan si penyanyi yang luar biasa. Juga pada luka lama yang Radine simpan kini kembali menganga, jantungnya berdebar sekaligus berdenyut ngilu.

Dengarkanlah demi apapun Maafkanlah aku, ku tak bisa hidup tanpa kamu Walau siapapun menggantikan mu

Panggung yang mulanya remang-remang kini menyala dengan lampu sorot yang terfokus pada si penyanyi dengan gitar akustik di pangkuannya. Tak hanya suaru merdu menyayat hati, tapi tatapan pemuda itu juga penuh luka. Sama seperti Radine yang kini sekeras mungkin menahan air matanya.

Mungkin benar Cinta sejati datang cuma sekali Dan ku akui itulah cintamu Di hatiku Tak lekang oleh waktu

Radine tidak lagi sanggup berada lebih lama disana, ia meraih tasnya dan langsung beranjak dari duduknya. Membuat Raline yang tadinya menghayati lagu kebingungan melihatnya.

Apalagi melihat Radine yang justru mendekat ke arah panggung, bukan pergi keluar cafe.

Gadis itu berdiri di depan sang penyanyi yang tengah membungkukan badannya menerima tepuk tangan meriah dari pengunjung cafe. Begitu si pemuda mengangkat tubuhnya tegap, tamparan Radine melayang begitu saja.

Seketika membuat seisi cafe heboh, beberapa pegawai sudah maju hendak membawa Radine keluar. Tapi Jenoah mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk semua orang tetap pada tempatnya.

“Itu tamparan untuk tiga tahun lalu yang belum sempat gue kasih ke lo, sekaligus buat luka yang lo buka kembali malam ini.”

Setelahnya Radine berbalik melangkahkan kakinya keluar, bersamaan dengan air matanya yang jatuh. Nyeri itu kembali ke permukaan, perih yang sudah 3 tahun Radine coba kubur dalam-dalam.

Teman lama

Raline menggeret Radine memasuki cafe milik teman pacarnya, lalu segera menempati tempat duduk yang telah di bookingkan untuknya oleh sang pacar. Tempat duduk paling dekat dengan panggung live band. Rencananya nanti sang pacar akan menyumbang lagu di opening cafe ini.

“Ayaaang!” Raline mengangkat tinggi-tinggi tangannya lalu melambai ke arah sang pacar yang berada di kerumunan sebelah ujung cafe bersama teman-temannya. Si pemuda tersenyum lalu membalas lambaian tangannya.

Sementara Radine menundukkan kepalanya malu dengan tingkah sang sahabat, pasalnya mereka kini menjadi pusat perhatian karena teriakan Raline barusan.

“Malu ih Lin!”

“Dih ngapain malu?”

“Lo teriak-teriak, jadi pusat perhatian nih kita.”

“Justru karena kita lagi jadi pusat perhatian, ayo angkat dagu lo. Tunjukkan pada semua orang disini, secantik apa kita biar semua orang iri.” Radine hanya menggelengkan kepalanya, kadangkala ia merasa heran mengapa bisa berteman akrab dengan Raline yang punya kadar percaya diri di atas rata-rata begini.

“Cowok lo yang mana?”

“Tuh yang ngelirik ke gue mulu dari tadi.” Radine mengikuti arah pandang Raline pada gerombolan pria di ujung sana, ada seseorang memang yang matanya terfokus pada mereka. Lebih tepatnya pada Raline.

“Cakep juga ya pak dosen kalo lagi kasual gini.”

“Gue takol pala lo sekali lagi bilang cowok gue cakep!”

“Ahahahaha posesif amat sih buk!”

“Iyalah anjir, jaman sekarang pelakor bisa dari mana-mana. Even orang terdekat sekalipun. Gak peduli selama apa hubungan lo terjalin, perselingkuhan bisa masuk lewat mana aja kalo di kasih cela.” Radine mengangguk setuju dengan penuturan Raline, tidak hanya jaman sekarang bahkan dari 3 tahun lalu Radine telah mengalaminya.

“Eh btw temen cowok gue cakep-cakep loh, mau kenalan gak Rad?” Tiap kali keluar bersama Raline, ia akan selalu mendapat pertanyaan semacam ini, dan akan selalu sama ia jawab dengan senyuman.

“Lo kan udah tau jawabannya.”

“Kali aja berubah, masa masih belum minat punya cowok sih? Kita kenal udah 2 tahun, gue udah ganti cowok 3 kali, dan lo masih aja jomblo.”

“Males pacaran ah, males patah hati lagi, males nyembuhinnya. Gue mau nyari yang serius aja deh.”

“Setuju sih! Gue paling males pacaran itu ya putusnya, apalagi terakhir gue putus tuh di selingkuhin bangsat kurang cantik apa coba gue? Gak bersyukur emang tuh laki! Mana selingkuhan kayak centelan tikus ew gak ada cantik-cantiknya.”

Radine tertawa mendengar curhat colongan Raline. Gadis itu memang sekali berbicara akan panjang sekali bahasannya dan akan melebar kemana-mana.

“Tapi yang sekarang kayaknya gak akan selingkuh sih, liat aja doi dari tadi tatapannya gak berpaling dari lo gitu.”

“Oh jelas udah gue pelet.”

“Sumpah?!”

“Bercanda elah, mau melet lewat dukun mana gue?”

“Kirain, lo soalnya suka gak ketebak.”

“Ya enggaklah Rad, gila aja gue melet anak orang. Tapi tau gak, dia kemarin udah ngajak nikah loh.”

“SUMPAH!?” Radine hampir saja menggebrak meja kalau tangannya tidak di tahan Raline. Tentu saja ia terkejut, sahabatnya yang satu ini tidak pernah mau membahas pernikahan sebelumnya bagaimana bisa sang pacar tiba-tiba mengajaknya menikah?

“Sssstt! Anjir lo kayak mau ngelabrak gue.”

“Maaf,maaf, terus-terus gimana? Lo jawab apa?”

“Gue jujur aja kalo gue belum siap buat nikah dalam waktu dekat, dan dia bilang dia mau nunggu.”

“Lo masih ragu sama pernikahan?”

“Engga Rad, bukan itu. Gue cuma merasa gue belum siap jadi istri buat dia. I mean istri yang bisa berperan sebagai ibu rumah tangga gitu, lo tau sendiri gue gabisa masak, gue gabisa nyuci anjri gue gabisa ngehandle pekerjaan rumah sesimple itu. Gimana bisa gue jadi istrinya?”

“Ya lo coba omongin sama...” Obrolan keduanya terhenti begitu pacar Raline dan si pemilik cafe menghampiri meja mereka.

“Ayang ini kenalin temen aku, Radine yang sering aku ceritain ituloh.” Radine menyambut uluran tangan dari sebelahnya.

“Radine.”

“Harsa.”

“Nah, Rad itu yang di belakang lo yang punya cafe.”

“Ha?” Radine reflek menolehkan kepalanya ke arah belakang, ia begitu terkejut melihat ternyata pemilik cafe ini adalah seseorang yang ia kenal.

“Je ini temen cewek gue, Radine.”

“Udah kenal wkwkwk, temen lama si Radine mah.”

Radine ikut terkekeh bersama Jenoah meski canggung, mereka sedikit berbasa-basi tentang kabar masing-masing sebelum Harsa dan Jenoah pamit ke belakang.

Setelah kepergian keduanya Raline dengan tingkat penasaran yang begitu tinggi langsung menodong serentetan pertanyaan, “Kok lo udah kenal Jenoah? Kenal dimana? Kok gak pernah cerita sih? Temen lama dari kapan? Kok gue gak pernah tau?”

Belum sempat Radine menjawab rasa penasaran Raline, obrolan mereka terintrupsi oleh suara merdu seseorang yang kini bernyanyi di atas panggung.

Sebelum usai

Tadinya Radine sedang menulis ungkapkan kalimat cintanya pada Nala di sebuah kertas panjang yang akan ia bentuk menjadi bintang. Radine dengan rutin melakukannya tiap hari, ini adalah bintang ke 990-nya. Yang berarti kurang dari 10 hari hubungan asmaranya dengan Nala akan mencapai hari ke 1000. Hampir tiga tahun.

Tapi pesan dari Jenoah membuatnya berhenti menulis, seketika pikirannya blank. Jantungnya ikut memacu detak lebih cepat. Jenoah mungkin memang pandai berbohong, tapi Radine tau Juan tidak memiliki kekasih. Pemuda itu bahkan baru putus seminggu lalu.

Dadanya tiba-tiba terasa nyeri begitu menyimpulkan, Nalanya telah berbohong. Tadi pagi pemuda itu pamit untuk sibuk seharian membahas rapat himpunan bersama Jenoah. Tapi pesan dari Jenoah membuat Radine berpikir, ia telah dikhianati.

Jaket putih milik siapa?

Nala meminjam mobil untuk menjemput pacarnya yang mana?

Dengan gemetar Radine meraih ponselnya, mendial nomor yang lebih dari dua tahun ini ia hafal di luar kepala. Nomor yang selalu menjadi nomor daruratnya dalam keadaan apapun.

Begitu sambungan terhubung, Raline merapal do'a pada tuhan jika pemikiran buruknya hanya sebuah ketakutan belaka. Tapi rupanya tuhan tak bisa mengabulkan do'a secepat kilat, buktinya di detik berikutnya Radine merasa jantungnya merosot ke bawah. Genggaman pada ponselnya terlepas begitu saja mendengar sahutan dari sebrang telpon, “Na, adek Rara telpon nih, aku angkat ya?”

“Siapa babe?” Radine memutuskan sambungan telponnya begitu mendengar suara Nala rupanya agak jauh dari si pengangkat telpon. Pemuda itu sedikit berteriak.

Tak sampai lima menit ponsel Radine penuh dengan notifikasi, Nala berkali-kali menelponnya yang tentu saja panggilan itu ia tolak. Pemuda itu juga mengiriminya banyak pesan, tapi tak satupun yang Radine baca.

Hatinya sudah patah, tak bisa diselamatkan lagi.

3 tahun mereka ternyata sia-sia.

— Sunrise girl.

Mas Asa, terimakasih telah menjadi cahaya dikehidupan saya. Meski secara tidak sengaja, tapi kamu menggantikan mentari untuk menyinari kegelapan yang saya alami.

Harsa berdecak sebal menatap pecahan cangkirnya di lantai, belum lagi dengan kemejanya yang kini bernoda tumpahan kopi. Kemeja yang ia pakai sekarang adalah kemeja terakhir, Harsa belum sempat mengantarkan tumpukan pakaian kotornya seminggu ini ke tempat laundry. Ia terlalu sibuk, kampus tempatnya mengajar tidak memberikan cuti tahun baru. Mengharuskan Harsa menghabiskan akhir Desembernya dengan ujian akhir mahasiswa.

Harsa keluar menuju balkon apartementnya berharap ada penghuni sebelah yang bisa ia mintai tolong. Benar saja seperti dugaannya, penghuni sebelah sedang menatap matahari yang baru saja terbit seperti rutinitasnya tiap hari.

“Mba sunrise,” panggilanya, tapi gadis berambut blonde itu tidak menoleh. Harsa lalu mencoba lebih dekat “Mba, sunsrise...”

Gadis itu akhirnya menoleh kaget, bagaimana ia tidak menyadari kehadiran tetangga unitnya sampai sedekat ini?

“Mba sunrise?” Raline, si gadis menunjuk dirinya sendiri memastikan kalau yang Harsa panggil adalah dia.

“Iya kamu, hehehe...” Raline ikut terkekeh melihat Harsa yang terkekeh tapi juga menggaruk belakang kepalanya canggung.

“Kenapa mangil sunrise?”

“Abisnya saya gak tau nama kamu, tapi saya liat tiap hari kamu selalu di balkon nungguin matahari terbit, maaf kalo kamu gak suka panggilannya.”

“Sunrise bagus kok, makasih buat panggilannya.” Raline tersenyum lebar pada Harsa, hal yang justru membuat Harsa tiba-tiba merasa salah tingkah.

“Nganu...” Harsa terlihat ragu-ragu untuk mengutarakan sesuatu.

Tapi Raline rupanya paham begitu ia melihat kemeja pemuda itu bernoda coklat pekat di bagian dada.

“Kemeja masnya kenapa?” Raline menunjuk bagian dada Harsa.

“Nah ini! Kemeja saya tinggal satu ini, dan gak sengaja ketumpahan kopi, mba sunrise punya, molto gak? Kalau boleh saya mau minta, saya gak punya kemeja lagi sementara siang ini saya harus ngasih ujian di kampus.” Raline menahan tawanya, apalagi melihat mimik muka Harsa yang begitu melas.

“Boleh kok, sebentar saya ambilkan.” Begitu Raline masuk ke kamarnya Harsa menghembuskan napasnya lega. Ya setidaknya ia mengatasi satu masalah pagi ini, meski tidak tau bagaimana cara mencuci kemeja yang benar.

Raline keluar tidak lebih dari 3 menit, gadis itu menenteng satu renteng molto cair “Mau berapa mas?”

“Kalo nyuci satu kemeja kira-kira butuh berapa?”

Raline tidak lagi bisa menahan tawanya, ia terbahak mendengar pertanyaan Harsa.

“Jangan bilang masnya gak pernah nyuci ya?” Harsa hanya tersenyum kikuk, lalu menggeleng.

“EH JANGAN LONCAT LAGI!!” Harsa berteriak begitu Raline menaikkan kakinya ke atas pagar.

“Tenang aja saya gak akan nyoba bunuh diri lagi kayak seminggu lalu, saya mau loncat ke balkon masnya mau bantuin nyuci kemeja.”

Harsa memicingkan matanya, dengan tangan yang masih memegang pergelangan tangan Raline. Takut gadis itu ingin meloncat terjunke bawah untuk mengakhiri hidupnya seperti seminggu lalu. Beruntung waktu itu Harsa bisa mencegahnya.

“Beneran?”

“Iya, sini saya aja yang nyuciin.” Raline sudah bersiap untuk kembali naik ke atas pagar.

“Eh, eh! Gak usah loncat! Saya ngeri, mending lewat depan aja.”

Raline menepuk dahinya pelan, kenapa juga ia tidak lewat depan saja?

30 menit setelahnya Raline baru selesai membereskan kekacauan yang terjadi di apartement Harsa. Tadi ketika ia mencuci kemeja Harsa, laki-laki itu membereskan pecahan cangkir kopinya. Tapi ternyata Harsa tidak pandai dalam mengurus rumah, kaki dan jari tangannya justru berdarah tidak sengaja terkena beling.

“Nanti kemejanya tinggal di setrika aja, untung di luar lagi panas banget jadi bisa cepet kering. Punya setrika kan?”

Harsa yang sedari tadi duduk di sofa memperhatikan Raline yang membereskan dapurnya kini hanya mampu terpaku menatap Raline.

Harsa menggeleng, “Engga...”

“Yaudah bentar saya ambil setrika saya dulu sekalian deh saya setrikain juga, kamu kayaknya juga ga bisa pake setrika.”

Harsa tersenyum menahan malu, ia menundukkan kepalanya dan menggaruk tengkuk lehernya.

“Mba sunrise, makasih ya udah mau saya repotin hari ini.” Raline tersenyum dan mengangguk.

“Sama-sama, hitung-hitung sebagai balas budi masnya menyelamatkan hidup saya.”

Begitu Raline pamit untuk mengambil setrikanya, Harsa tersenyum begitu lebar diam-diam dia membayangkan rasanya punya istri yang akan mengurusnya seperti Raline yang sedari tadi mengurusnya.

Hari ini Raline benar-benar membantunya, bahkan sampai mengikatkan dasinya. Gadis itu juga membuatkan makan siang untuk Harsa, benar-benar seperti seorang istri bukan?

Begitu Raline pamit kembali ke unitnya Harsa menanyakan agenda gadis itu untuk acara pergantian tahun nanti malam.

“Mba sunsrise nanti malam ada acara?”

Raline menatap Harsa lamat-lamat, mencoba membaca maksud dari pertanyaan pemuda di depannya.

“Maksud saya kalo gak ada mau saya ajak makan malam, sebagai balasan karena mba nya udah bantuin saya seharian ini.”

Raline tersenyum “Lihat nanti ya kalau saya punya waktu.” Setelahnya ia melenggang pergi meninggalkan Harsa yang tengah terseyum menatap punggungnya.

Menjelang malam Harsa baru menyelesaikan kelas terakhirnya, ia baru membereskan lembar jawaban di atas meja ketika ada seorang mahasiswi menghampirinya dan memberinya sebuah amplop.

“Maaf pak Harsa, saya tadi sebelum masuk kelas bapak mendapat titipan ini dari mahasiswi fakultas sebelah.” Harsa menerima amplop tersebut dengan dahi yang berkerut, ia pikir setelah rumor palsu dia dan seorang dosen wanita disini berkencan para mahasiswi akan berhenti mengiriminya surat cinta, ternyata tidak ya?

“Dari siapa?” Tanyanya

“Saya juga tidak mengenalnya pak, maaf.”

“Yasudah, makasih ya.”

“Sama-sama, saya pamit duluan ya pak.”

Harsa langsung membuka amplop tersebut begitu tinggal ia sendiri di ruangan kelas itu, padahal biasanya Harsa paling malas membuka surat dari mahasiswi. Tapi rupanya kali ini berbeda, amplop putih polos itu menarik perhatiannya.

Halo Mas sunshine, Bolehkan saya panggil begitu? Kita belum sempat berkenalan secara resmi ya? Nama saya Raline Nadindra, tadi pagi kamu panggil saya mba sunrise. Saya suka panggilannya, saya merasa indah mendapatkan panggilan itu. Tempo hari saya berniat mengakhiri hidup saya karena kebejatan seseorang telah menodai saya. Saya kotor, saya takut dunia dan seisinya menolak saya dan menganggap saya sampah. Tapi kamu menyelamatkan saya, kamu memberikan saya motivasi untuk tetap hidup dan menyadarkan saya bahwa pemikiran saya salah. Kamu juga bilang saya berhak di cintai siapapun kedepannya, semoga saja ya. Hari ini panggilan sederhana darimu 'sunrise' membuat saya kembali percaya diri, saya masih layak disebut indah.

Mas Asa, terimakasih telah menjadi cahaya dikehidupan saya. Meski secara tidak sengaja, tapi kamu menggantikan mentari untuk menyinari kegelapan yang saya alami. Saya harap kedepannya kamu juga bisa menjadi sunshine untuk orang lain. Bahagia selalu orang baik :)

Maaf saya tidak bisa memenuhi janji makan malam sama kamu, malam ini saya berencana pergi jauh dari kota ini. Saya ingin menyembuhkan luka, selamat tingal mas Asa.

Pak dosen, maaf ya saya lancang panggil pake sebutan mas, hehehe

Harsa tercengang membaca surat dari Raline, ia lalu terburu memasukkan semua barangnya kedalam tas dan berlari menuju parkiran. Berharap macet masih bisa ia terobos setidaknya ia punya semenit saja untuk bertemu Raline.

Seperti dugaan Harsa terjebak macet lebih dari satu jam, begitu sampai di apartementnya ia berlari menuju unit Raline. Bertepatan dengan gadis itu yang baru saja menutup pintu dengan koper besar di sebelahnya.

Harsa mengatur napsanya yang terengah.

Tanpa aba ia memeluk Raline yang kini mematung dalam dekapannya. Gadis itu tak mampu berkata-kata, apalagi ketika Harsa berbisik padanya.

“Boleh gak saya minta kamu untuk tetap tinggal? Saya mau jadi sunshine buat kamu aja.”

Sebagai tanda kalau aku cuma mau jadi punya kamu.

Haechan berkacak pinggang begitu sang kekasih membukakan pintu untuknya, bukannya takut Somi justru terbahak dan langsung menubruk dada bidang didepannya itu. Tangannya menyelip di bawah sela lengan Haechan, mengaitkannya di belakang punggung kokoh itu.

“Hyuck, jangan marah-marah.”

Ujarnya merayu, dengan pipi yang di gesekkan lembut pada dada sang pacar. Haechan menahan geramannya, ia melepas lingkaran tangan Somi ditubuhnya sebelum memanggul tubuh tinggi di depannya itu bak karung beras. Lagi-lagi membuat Somi tertawa, ia menikmati meski kepalanya begitu keras terkocok ke kanan dan ke kiri.

Haechan membawanya ke kamar, lalu melempar begitu saja tubuh ringan Somi ke atas ranjang. Tentu membuat si cantik mengaduh, dengan kepala yang masih tersisa pusing akibat tersungsang barusan.

“Aduh yaaang! Kok di banting sih?”

“Kan aku udah bilang tadi mau banting kamu.”

Haechan melepaskan melepaskan baju hangat yang ia pakai, menggantungnya di tempat gantungan milik Somi. Ia hanya menyisakan kaos oblong putih favoritnya dengan celana setengah paha. Tidak peduli meski sekarang musim dingin, toh ia akan menjemput kehangatan bukan?

“Mana liat nama Donghyuck se-seksi apa nempel di tubuh kamu?”

Haechan merebahkan tubuhnya di samping Somi, menumpu tubuhnya dengan siku dan sedikit miring seolah kini ia berada di atas Somi. Tangannya juga dengan tidak sabar menyingkap kaos pendek yang Somi pakai ke atas dengan begitu lihai. Untuk hal ini memang sudah ke-ahliannya.

“Idih! Baru dateng juga main serobot aja!”

Somi menahan tangan Haechan yang hendak menarik pembungkus dadanya. Ia ikut memiringkan tubuh menghadap Haechan, dan mengerling nakal menggoda sang kekasih.

“Loh tujuan aku kesini kan buat ini emang, minggir tangannya!”

“AHAHAHAHAHAHA”

Haechan menyingkirkan tangan Somi yang menarik ujung kaosnya sendiri ke bawah setelah ia singkap tadi. Sebelah kakinya ia naikkan ke paha Somi, mengunci pergerakan gadis itu. Tangannya kali ini tidak hanya menyingkap tapi menarik lepas kaos yang Somi kenakan. Lalu membuangnya asal ke bawah ranjang.

Tangannya yang lain bergerak menelusuri punggung Somi dari bawah, membuat gadis itu berdesis geli karena elusan yang begitu lembut itu. Jemarinya menyentak pengait bra milik Somi supaya terlepas lalu menariknya asal. Ia meraba tatto baru dengan tulisan 'Donghyuck' yang berada tepat di bawah dada kekasihnya. Membuat Somi terkekeh begitu Haechan tak bersuara dan hanya mengelusinya pelan dengan pandangan yang tak lepas dari tatto barunya.

“Bagus gak?”

Haechan tidak menjawab ia justru menurunkan kepalanya untuk mengecupi bagian dimana namanya tertulis, tidak hanya memberi beberapa kecupan ia juga menyapunya dengan lidah dan sedikit gigitan di atasnya. Membuat Somi meringis menahan sesuatu.

“Hhyuuuckkh...”

“Manis...”

“Apasih orang aku tanya bagus apa enggak? malah jawab manis gak nyambung!”

Haechan mengangkat kepalanya, mengendikan bahu sekilas sebelum kembali menunduk untuk mengecup bibir Somi. Kepalanya lalu di taruh begitu saja di atas dada atas Somi, deket dengan leher mulus kekasihnya, sekali mendongak ia bisa mengecup dagu Somi dari bawah.

“Aku mau marah! Bisa-bisanya kamu nekat tattaoan!”

Somi mengelus kepala Haechan yang masih begitu nyaman berada di atas dada polosnya. Bahkan bibir pemuda itu tak tinggal diam, Haechan mengecupi permukaan dadanya.

“Yaudah bangun kalau mau marah, ini malah makin nempel.”

“Sengaja banget kan kamu tattoan pake namaku biar aku gak jadi marah?”

“AHAHAHAHAHA, ketahuan ya?”

Haechan tidak membalas ucapan Somi, tapi ia kembali mengecupi tatto 'Donghyuck' itu, sesekali menyapa dengan lidah.

Kini ia berpindah menjadi di atas tubuh Somi, menumpu dengan kedua lututnya yang mengunci tubuh Somi supaya tidak bergerak. Lalu melepas celana pendek yang Somi kenakan dengan sekali tarikan. Jarinya begitu ringan mengelus benda di balik gstring tipis itu.

Haechan mengecup dari luar gundukan kesukaannya itu, membuat Somi merinding menahan desahan, ia menelan ludahnya kasar, “Dapet ide darimana buat tattoan begitu hmmm?”

Haechan menggoda dengan memasukkan jarinya kedalam satu-satunya kain yang tersisa di tubuh Somi, mengelus si manis tanpa penghalang.

“Hhyuuckhh...”

“Hmmm, dapet ide dari mana sayang?”

“It means that I'm only yoursssss....”

Somi mendesis, disertai dengan tubuhnya yang sedikit terangkat begitu Haechan memasukkan jarinya ke dalam si manis tanpa penetrasi yang cukup terlebih dahulu.

“Hmmm gitu ya, punya aku...”

Haechan kembali menggoda dengan jarinya yang terus bekerja memuaskan yang di bawah, tapi tatapannya fokus melihat wajah Somi yang memerah dari atas. Ia suka melihat kekasihnya melenguh seperti ini, terlihat panas dan seksi juga imut di waktu yang bersamaan.

“Hyuuuckkh...”

“Apa sayang?”

Haechan menarik jarinya begitu Somi akan mencapai pelepasannya, sekaligus melepas celana dalam yang sedari tadi menghalanginya. Dan sengan sekali sentak di jantan menyatu dengan milik Somi.

Somi menarik tengkuk Haechan, ia menuntut ciuman untuk menghalau perasaan sesak di bawah sana. Cumbuan mereka membara, Haechan menyesuaikan ciumannya dengan tempo hentakannya. Pinggulnya bergerak begitu cepat mengejar kenikmatan, apalagi dengan Somi yang kini hanya bisa mendesah pasrah, dengan mata yang sesekali memejam tak berdaya justru membuatnya begitu bergairah.

“Yaaaaaangg!”

Somi setengah berteriak ketika di rasa ia akan sampai, Haechan justru tercambuk untuk lebih cepat lagi menumbuknya. Hanya beberapa detik setelahnya keduanya meledak, lalu saling memeluk merasakan kehangatan yang menyatu di bawah sana.

Haechan ambruk di atas Somi, ia menyempatkan untuk mengecup singkat bibir bengkak Somi yang tidak sengaja ia gigit tadi sebelum menelusupkan wajahnya di atas dada Somi. Kembali menyapa tatto 'Donghyuck' dengan lembut.

“Lagi ya yaaang?”

Somi tidak menjawab, ia hanya menepuk punggung Haechan sedikit keras. Percuma mau bilang iya atau tidak, si jantan sudah kembali berdiri.

“Na, masih gak bisa tidur? mau saya bacain surat kesayangan kamu gak? saya temani sampai tidur...”

Ralina mengenalnya sebagai seorang pengurus di tempatnya menimba ilmu, mulanya hanya tau dari desas-desus yang teman-temannya ceritakan tentang seorang ustad muda tampan yang sering wara-wiri ke ndalem kyai.

“Yang mana sih?” Tanyanya suatu hari begitu di depan asrma teman-temannya sedang antusias membicarakan sang ustad idola itu.

“Masa gak tau sih Na?”

“Gak tau, emang di sebelah ada yang cakep ya?”

“Yang suka jadi imam pas magrib, kalo kyai berhalangan ituloh...”

“Ustad Jamal?”

“Plis deh Na, ustad Jamal udah punya istri.”

“Ya terus yang mana?”

“Yang suka murrotal ar-rahman itu, yang kemarin malem kamu bilang suaranya ganteng.” Ralina membelalakkan matanya, lalu menutup mulutnya yang menganga terkejut.

“Oh yang ituuu, emang ganteng sih suaranya bikin adem dengernya.”

“Gak suaranya aja Na, orangnya juga ganteng tau...”

“Yakan aku gak pernah ngintip ke barisan sebelah, aku juga ga pernah ada di shaf satu mana keliatan kalo orangnya jadi imam.”

*“Yang ituloh Na, yang biasanya pake sarung pink fanta, atau biru muda di depan masjid kemarin kita ketemu pas mau ke kantin, aih pas kemarin ngobrol sama baba-mu itu.”*

“aaaaaaa yang itu, Ustad Harsa?”

“NAH IYA! USTAD HARSA.”

“Kalo itu aku juga tau, sering ke rumah emang.”

“NGAPAIN?!”

*“Ya engga tau, ketemu Baba yang jelas. Bahas asrama putra kali.”*

“”

“Yaaang aku bawain oleh-oleh nih...” Haechan berteriak dari meja makan di rumah keluarga Somi. Ia baru saja datang, setelah menyelesaikan schedule nya hari ini Haechan menyempatkan mampir untuk membeli barang kesukaan Somi.

“Iya bentar ganti bajuu!” Sahut Somi dari kamarnya.

“Udah makan Hyuck?” tanya mama Somi.

“Udah ma, tadi bareng hyungdeul.” Mama Somi mengangguk, lalu perempuan paruh baya itu membuka bungkusan yang Haechan bawa.

Seperti biasa ada beberapa makanan, dan minuman kaleng yang selalu Haechan bawa sebagai oleh-oleh ketika berkunjung ke rumah Somi.

Kali ini ia juga membawa hadiah untuk Somi, mainan kesukaannya.

“Mana hadiah aku?” Tanya Somi begitu duduk di depan Haechan.

“Nih,” Haechan menyodorkan beberapa kotak ke arah Somi.

“Kamu beliin dia mulu Hyuck, jadi demen ngoleksi dia sampek di bawa kemana-mana.” Ungkapan sang mama membuat Somi menyengir menampilkan gigi rapinya.

“Gapapa asal dia seneng aja mah, daripada mode ngambek aku jadi samsak.”

“Hahaha, maafin ya anak mama galak.”

“Galak kok lo pacarin kalo gitu?” Somi memandang kesal ke arah sang pacar dan Mama.

“Soalnya aku cinta yang galak.”

“Aduh anak muda.”

Haechan dan Somi terbahak begitu mendengar keluhan sang mama.

“Unboxing yaaang gue suka liat muka ceria lo pas bukain ginian...”

Sebenarnya tanpa Haechan perintah pun Somi sudah tidak sabar untuk membuka mainan yang Haechan bawa ini.

Tiba-tiba Haechan teringat sesuatu, hasil kegabutannya dengan Jaemin tadi pagi.

“Eh sambil live Instagram dong yaaang?”

“Ih ngapain?”

“Kan tadi pagi aku udah bilang mau bikin heboh.”

“Gamau ah, semalem kamu pake pin unicorn udahan.”

“Justru itu dong! Ya gak mah?” Tanya Haechan meminta dukungan dari mama pacarnya.

“Mama ngikut deh, yang pacaran kalian.”

“Ish iya-iya ini sambil live, tapi kamu diem jangan bersuara ya?”

“Siap!” Haechan membentuk gesture mengunci mulutnya dan membuang kuncinya.

Selama live Instagram yang Somi lakukan bersama sang mama, Haechan di balik kamera mati-matian menahan tawanya apalagi jika pacarnya itu mulai berdebat dengan sang Mama.

Setelah menyelesaikan acara unboxingnya Somi dan Haechan berpindah ke ruang tengah, mama juga akhirnya meninggalkan mereka berdua tidak mau mengganggu sejoli pacaran.

Somi menyandarkan tubuhnya di dada Haechan, yang di peluk dari belakang oleh pemuda itu. Seperti biasa mereka mengobrol tentang banyak hal, tentang bagaimana hari ini di lalui dan segala obrolan random.

Begitu Haechan mengecupi pipi Somi yang terus berbicara, tiba-tiba saja Evelyn yang rupanya terbangun menganggu aktivitas mereka “Ih kakak sama abang kalo mau nyosoran jangan disini dong, aku masih minor.”