Ran;

“Beb, aku mau cb nih..” Jaemin sedang asik terhubung dengan panggilan video bersama kekasihnya di kamar. Di luar kamar membernya yang lain sedang heboh berisik bermain, apalagi ada Lee 'biang onar' Haechan, dan dia sedang malas bermain maka ia putuskan menghubungi Ryujin saja.

“Hooh, tau aku grup kamu kalo mau cb kan trending dimana-mana.”

“Nah! Jadi kamu udah tau dong tujuan aku ngasih tau kamu hari ini?”

“Apa emang?” Ryujin mengernyitkan dahinya, merasa tidak menangkap apa maksud pacar tampannya itu.

“IH MASA LUPA!”

“ya apa? Aku gabisa baca pikiran kamu kan, to the point aja kalo ngomong.”

“Waktunya ganti warna rambut beb, kamu mah...” Jaemin mencebikkan bibirnya, ia cemberut membuat Ryujin tertawa gemas di seberang sana.

“Ya terus?”

“Masa kamu ga paham sih beb?”

“Minta aku lagi nih yang milihin warnanya?”

“IYALAH KAMU KAN HAIRSTYLIST AKU”

Ryujin mengetukkan jarinya di dagu mencoba berpikir warna apa yang belum di coba sang pacar.

“Aku sih sebenernya kemarin kepikiran mau ganti rambut warna orange, atau gak ungu tau pingin nyobain tapi nunggu rambut aku agak baikan dulu...”

“Jangan ungu dong! Nanti di kira kamu saman kayak Haechan, males ah ntar plot twist.”

“Ahahahahaa, yaudah orange.”

“Okeey aku juga bakal ganti jadi orange kalo gitu.”

Ryujin kembali terkekeh begitu melihat wajah Jaemin yang berseri-seri, love language Jaemin itu sepertinya memang samaan warna rambut.

“Kenapa sih seneng banget samaan rambut sama aku?”

“Ya seneng lah, samaan sama pacar aku. Kamu ga seneng ya?”

“Gak gitu, takut ketahuan aja aku..” cicit Ryujin pelan.

“Kita kembaran rambut berkali-kali juga mah tetep yang di rumorin sama kamu bukan aku, kesel jadinya.”

“Ahahahahaha kenapasih kamu gemes banget.”

“Soalnya aku pacarnya Ryujin jadi harus gemesin.”

“Siilnyi iki picirnya ryijin jidi hirirs gimisin.”

Obrolan Jaemin dan Ryujin di rusuh oleh teman-temannya yang kini berada di depan pintu kamar dengan mengejeknya, membuat Jaemin harus melempar sandal rumahnya ke arah mereka.

“MINGGAT LO SEMUA! GANGGU AJA DEH!!”

Ryujin spontan terbahak, bahkan ia mengeluarkan air mata karena terlalu keras tertawa. Tingkah Jaemin yang seperti ini memang selalu berhasil menjadi sumber bahagianya.

Harsa tergopoh menghampiri Jenoah di lobby yang tengah memegangi Raline, gadis itu teler. Meracau tak jelas, seperti kebiasaannya tiap kali meminum alkhohol.

“Aduh berat banget sih nyil!” Harsa mengaduh begitu kesulitan mengangkat tubuh Raline ke pundaknya, apalagi dengan gadis itu yang umek tidak bisa diam.

“Gue bantuin ke atas...” Jenoah menawarkan diri, namun di tolak Harsa.

“Gak usah Je, gue bisa kok biasanya juga gini. Btw makasih ya udah ngaterin dia dan gak di apa-apain.”

Jenoah hanya mengangguk, lalu pamit untuk pulang meski sebenarnya di benaknya menyimpan banyak tanya.

Benerkah mereka hanya berteman?

Begitu sampai di kamar Raline Harsa langsung melemparnya ke atas ranjang, gadis itu masih terus meracau. Tak peduli dengan Harsa yang kini melepas seluruh atribut di tubuhnya, mulai dari kaos kakinya sampai mengganti bajunya dengan piyama.

Harsa sudah biasa melakukannya ketika Raline tak sadarkan diri begini...

*“IH HARSA TUH ANEH GUE GAK PERNAH DI BOLEHIN BAWA MOBIL SENDIRI!” Raline kini memakinya tanpa kesadaran.

“Lo nabrak kalo nyetir, mau mati muda?” Meski tau ucapannya tak akan di tanggapi tetap saja Harsa menjawab celotehan tidak jelas Raline.

“Posesip banget, pacar juga bukan.”

“Gue kan sahabat lo.” Harsa mengusap pelan wajah Raline dengan kapas, ia dengan telaten menghapus make up Raline.

Raline mengerjapkan matanya ketika wajahnya dan Harsa hanya berjarak beberapa senti, jemari lentiknya tiba-tiba tergerak untuk mengelus pipi Harsa.

“Lo ganteng tau?” Harsa mengabaikan perkataan itu, lagi-lai sudah terbiasa dengan omongan Raline ketika mabuk.

“Kenapa ya kita gak pacaran aja?Hahahaha lucu banget kalo misalnya kita pacaran ribut tiap hari.” Harsa masih tidak tertarik membalas ocehan Raline.

“TAPI GAK MUNGKIN SIH!” Raline tiba-tiba berteriak, kemudian mimik wajahnya berubah sendu.

“Pacar idaman Harsakan siapa aja asal bukan Raline.” Ia membalikkan tubuhnya untuk membelakangi Harsa dan menjauh ke ujung ranjang, merajuk.

Harsa menghela napasnya, lalu ikut berbaring di belakang Raline. Menarik selimut untuk mereka berdua sebelum memeluk Raline dari belakang.

Baru saja matanya memejam, tapi Raline membalikkan tubuhnya menatap Harsa dengan tatapan memohon, “Kiss me...”

Tidak perlu di minta dua kali, Harsa langsung menyambut bibir Raline yang di sosdorkan padanya. Kali ini bukan hanya kecupan singkat, tapi sebuah lumatan cukup panas. Harsa bahkan menahan tengkuk Raline, dan merangkum rahangnya.

Ciuman mereka baru terlepas ketika dirasa Raline kesulitan bernapas, Harsa menghapus bekas saliva keduanya yang jatuh di sekitaran bibir Raline. Lalu ia kembali mendekap Raline.

Rupanya Raline tak tinggal diam, sebelum benar-benar memejamkan matanya ia menyempatkan untuk melepas kancing kemeja harsa satu persatu, lalu menempelakan kepalanya di dada polos Harsa.

Tempat favorit Raline untuk pergi tidur...

Harsa rasanya ingin menenggelamkan dirinya sendiri ke segita bermuda atau menghilang di kutub utara begitu ia menyadari bahwa ia masih menggunakan main account-nya ketika mengutip cuitan Raline.

Meski hanya beberapa detik, tak sampai semenit tapi sudah di pastikan jari netizen lebih cepat mencapture cuitannya. Percuma ia hapus, namanya sudah berjajar dengan nama Raline di kolom trending saat ini.

Siap-siap saja dalam satu jam kedepan ia akan di panggil oleh agensi.

Bahkan orang-orang yang berada di dalam cafe kini memperhatikan dirinya dan Nala, apalagi dengan Nala yang sedari tadi terbahak menertawakan kecerobohannya.

“Diem lo anjing jangan ketawa!”

“Hahaha orang bego lupa ganti akun segala hahahaha...”

“Gue pulang aja deh Nal, anjir berasa buronan gue di liatin banyak orang.”

Harsa hendak berdiri dari duduknya ketika seluruh pasang mata di cafe tersebut kini menatap dua orang gadis yang tengah berjalan ke arah mereka.

Seorang gadis yang Harsa ketahui adalah gebetan Nala yang memang akan ia temui, dan seorang lagi menutup wajahnya dengan kedua tangan menghindari tatapan orang-orang.

“Sorry-sorry ada insiden kak.” Kata Radine pada Nala, ia belum menyadari keberadaan Harsa yang membelakanginya.

Begitu Harsa menoleh, keempatnya sama-sama membelalakkan mata. Semesta sedang bercanda rupanya...

“Loh?”

“Anjir”

“BHAHAHAHHAHAAHA”

“Mati!” Raline memekik pelan begitu melihat Harsa berada di depannya.

Ia kembali berusaha menutupi wajahnya dengan jaket leather yang di kenakaannya, di bantu dengan Radine yang menghalangi tubuhnya. Tapi rupanya percuma, beberapa orang telah berlomba membidik mereka.

Suasana cafe kembali tenang ketika pihak manager menegur pengunjung untuk tidak membuat keributan dan mengganggu kenyamanan sesama pelayan.

Raline, Harsa, Radine dan Nala kemudian mendapatkan tempat VIP untuk mengobrol kali ini.

“Sumpah rame banget udah masuk lambe...” cicit Radine yang sedari tadi memantau media sosial.

“Nih grup juga rame, kayaknya abis ini lo di telpon manager deh.” Nala memperlihatkan ponselnya membuka chat grup mereka.

Sementara Raline menelungkupkan kepalanya di meja, berbeda dengan Harsa yang menatapnya dengan perasaan bersalah.

“Sorry...” Ujar Harsa, Raline mengangkat kepalanya untuk menatap pemuda di depannya.

“Gapapa kok gue cuma kaget aja, ini rame paling juga besok beres. Lagian akun lo di hack orangkan?”

Harsa dan Nala saling bertatapan mendengar kesimpulan sepihak Raline.

“Sebenernya engga, gue cuma salah akun aja.”

“Ha?!”

“Oh my..” Raline terpikik mendengar pernyataan Harsa, jadi?

“Oh my god, both your have a crush to each other?” Pertanyaan Radine membuat ketiganya kompak menoleh ke arahnya. Nala bahkan mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha mencerna ucapan gadis di depannya.

Sedangkan Harsa terbengong menatap Raline di depannya yang kini bersemu dan kembali menelungkupkan kepalanya di atas meja.

Harsa baru datang langsung menjatuhkan tubuhnya ke arah Raline yang tengah asik menonton film, membuat gadis itu mengaduh dan memukuli dadanya.

“Duh bagong berat banget! Bangun! Bangun!”

Harsa langsung mengangkat tubuhnya begitu Raline susah bernapas, tapi ia tidak melepaskan pelukannya. Justru semakin erat memeluk Raline dari samping, membuat tubuh ramping Raline terjepit.

“Ih jangan peluk-peluk dulu, lo bau rokok! Mandi dulu sana!”

“Mandiin ya?”

“Sini gue colok garpu mulut lo!”

“Hahahaha, sensi banget sih lagian sama rokok. Cewek gue biasa aja tuh sama bau gue.”

“Yakan itu cewek lo, bukan gue. Dan gue bukan cewek lo!”

Harsa tidak menanggapi ocehan Raline, ia beranjak pergi ke kamar gadis itu untuk mandi, dan mengganti pakaiannya. Beberapa pakaian Harsa memang ikut ada di almari Raline.

Berbagi almari dengan teman...

Hanya perlu delapan menit bagi Harsa untuk menyelesaikan mandinya, begitu selesai ia langsung melempar tubuhnya di sebelah Raline yang sudah menunggunya di atas ranjang.

“Jadi Shirina itu siapa?”

“Bentar dulu napa nyil...”

“Tinggal ngasih tau aja, lama lo.”

“Ya sabar,” Harsa langsung memeluk tubuh Raline, merapatkan tubuhnya untuk memangkas jarak yang Raline ciptakan.

“Mantan gebetan sih setau gue, tapi gue gak tau kenapa mereka gak jadian. Sekian info malam ini.”

“ANJING CUMA BUAT INFO BEGINI LO MINTA CUDDLE SEMALEMAN?!”

“Loh yang nawarin cuddle kan lo, bukan gue yang minta.”

“Yaudah lepas, gajadi cuddle aja.”

“Eits gabisa, info udah lo terima saatnya gue dapat bayarin.”

Harsa menaikkan kakinya ke atas kaki Raline, mengunci tubuh gadis itu yang memberontak dari dekapannya.

“Lepasin Asaaaa...”

Harsa seolah tak mendengar rengekan Raline dan justru mengikis jarak wajah mereka, mengecup pelan bibir Raline yang mengomel.

“Udah diem, di luar dingin mending gue peluk.”

Tolong bahagia ya, biar patah hatiku dulu gak jadi sia-sia...

Raina berhenti didepan sebuah apotek, ia hendak membeli aromatherapy semalem aromatherapy yang ia bawa dari rumah hilang entah kemana.

Memasuki pintu apotek Raina di sambut sapaan ramah sang karyawan, sudah menjadi SOP pelayanan apotek tersebut memang. Badan usaha milik negara memang harus menjaga citra baiknya.

“Selamat datang di apotek kami, ada yang bisa saya bantu? Kakaknya cari apa?”

Seorang gadis berseragam sekolah menghampirinya yang tengah berdiri bingung di antara rak-rak obat, rupanya siswi yang sedang menjalankan kewajiban praktek kerja lapangannya.

Raina tersenyum, ingat dirinya beberapa tahun lalu juga melakukan hal yang sama.

“Freshcarenya di sebelah mana ya dek?”

“Freshcarenya di sebelah sini kak, mau varian apa?”

Siswi tersebut mengantar Raina ke rak sebelahnya tempat dimana berbagai merk aromatherapy berjejer rapi.

“Citrusnya ada?”

“Citrusnya habis kak, adanya tinggal Splash fruity sama hot strong, oh ini ada lavender tinggal satu.”

“Yaudah gak apa-apa yang Splash fruity.”

Raina lalu berjalan ke kasir begitu siswi tersebut membawa barang yang hendak ia beli untuk di nota.

“Ada lagi kak?” tanya sang kasir, yang Raina tebak pasti seorang asisten apoteker.

“Ndak, itu aja.

“Totalnya sebelas ribu ya.” Raina menjulurkan selembar uang dua puluh ribuan. Lalu mengambil freshcarenya yang telah di bungkus kantong kresek kecil.

Bertepatan dengan itu seorang pemuda keluar dari arah belakang ruang tunggu, berpamitan pada petugas apotek dan beberapa siswa PKL lainnya yang berada di dalam bilik.

“Mbak Re, aku pulang dulu ya. Semangat kerjanya, dek duluan.”

Raina dan pemuda itu tidak sengaja saling tatap, ya tuhan ia sudah sangat jauh pergi ke Surabaya dan Kau pertemukan mereka lagi disini?

“Loh Raina?”

Namanya Haikal, dulu seorang teman yang Raina temui ketika sedang melaksanakan praktek kerja lapangan di sebuah apotek ternama di kotanya. Pemuda dari kota sebrang yang pernah mencuri hatinya.

Bagi Raina mulanya Haikal tidak lebih dari seorang teman yang begitu menyebalkan, tiap hari hanya menganggunya. Ada saja kelakuannya yang memancing Raina untuk marah.

Tapi sebenarnya ia pemuda yang baik, tiap malam akan mengantar Raina ke kosnya hanya untuk memastikan ia tidak di ganggu seorangpun dalam perjalanan, meski sebenarnya mereka berbeda shift.

Jika Haikal kedapatan shift pagi atau dapat jatah libur, sedang Raina dapat shift malam sampai pukul dua belas, Haikal akan menantinya di depan ruko sambil membawakan nasi goreng yang ia beli di depan gang, selalu seperti itu.

Atau jika mereka bertemu di pergantian shift, Raina pagi dan Haikal malam pemuda itu akan memberinya sekaleng susu beruang, katanya ‘Na, hadiah karena sudah bekerja keras hari ini.’

Haikal juga kerap kali membantu Raina menyelesaikan tugas hariannya, tugas yang tiap hari rasanya membuat otak Raina mendidih. Tapi bagaimana bisa pemuda mengerjakannya dengan begitu mudah, dulu Raina pikir Haikal memakan ISO–buku panduan tentang obat-obatan.

Hubungan keduanya kian lama rasanya begitu aneh jika hanya di anggap berteman. Bahkan teman-teman mereka sudah dari lama menganggap ada sesuatu di antara keduanya.

Haikal pergi kemanapun akan selalu membawa oleh-oleh untuk Raina, pun Raina apa-apa akan selalu ingat Haikal. Sampai salah seorang teman bertanya pada Raina, “Lo sama Haikal apaan dah hubungannya?”

“Teman.”

“Anjing gak ada teman kayak lo berdua.”

“Hahahaha yaudah di adain.”

Padahal sebenarnya Raina juga seringkali mempertanyakan hal itu di kepalanya sendiri, Haikal kita ini apa?

Mereka telah cukup dekat berbulan-bulan, bahkan semakin dekat. Tapi Raina sama sekali tidak berani menyuarakan isi hatinya.

Atau lebih tepatnya Haikal dan dia sama-sama tidak ada yang mengungkapkan perasaannya.

Di penghujung akhir masa praktik Haikal, Raina sering kali uring-uringan. Bagaimana tidak, Haikal akan kembali ke kota sebrang kedepannya tentu akan sulit bagi mereka untuk bertemu. Apalagi menjelang kelas akhir, mereka akan sama-sama sibuk mengahadapi berbagai ujian, di pastikan akan sangat jarang berkomunikasi. Lebih lagi Haikal itu siswa berprestasi, ambisinya begitu besar terhadap akademik. Pemenang olimpiade kebanggaan sekolahnya.

“Kenapa sih Na, cemberut mulu.” Tanya Haikal di hari terakhirnya datang ke apotek. Kebetulan mereka sedang satu shift pagi.

“Gue sedih lo bakal pulang abis ini.”

“Cie takut kangen ya? Gak heran sih Na gue emang ngangenin.” Raina memukul bahu Haikal yang lebih tinggi darinya.

“Gue sedih ntar gak ada yang bantuin ngerjain tugas lagi, gak ada yang benerin revisi gue.”

“Yee! Dasar!” Haikal mengusak rambut Raina, lalu mengekep kepalanya.

“Nanti kalo udah pisah jangan lupain gue ya Na.”

“Lo lah yang jangan lupain gue.”

“Gak akan, kapan-kapan kalo ada kesempatan gue bakal berkunjung kesini deh janji.

“Alah janji cowok mah cuma bisa di skrinsut.” Raina mencibir membuat Haikal begitu gemas untuk kembali merangkulnya.

“Ntar malem nyari ayam geprek yuk Na, gue yang traktir.”

“Eh gue rencananya mau pulang ke rumah sih ntar malem, Baba udah telpon tadi pagi mau jemput sepulang kerja.”

“Loh Na, inikan malam terakhir gue disini masa gak ada salam perpisahan sih?” Haikal memasang muka melasnya, membuat Raina akhirnya menimang lalu memutuskan untuk menghubungi sang ayah bahwa ia tidak jadi pulang malam ini.

“Nanti gue jemput ke kos lo ya...”

Malamnya sesuai janji Haikal, Raina dan ia makan malam bersama. Dan atas ide konyol Haikal mereka berdua keliling kota dengan berjalan kaki, hal yang Raina sesali karena kini betisnya terasa kebas.

Semantara Haikal sedari tadi hanya tertawa mendengar omelan Raina, “Ish lo mah!”

“Yaudah sini gue gendong.”

“Gak ah gue berat tau.”

“Berat apaan sih nyil, kecil begitu. Udah buruan naik!”

“Gamau Kal, malu di liatin orang.”

Setelah perdebatan panjang mereka akhirnya Haikal mengalah dan mulai memelankan langkahnya yang lebar, menyesuaikan dengan tempo jalan Raina yang pelan. Lengannya ia kalungkan di bahu Raina, pun dengan jaket dan topinya yang telah ia pasangkan ke Raina sedari tadi.

“Na, gue ganteng gak?”

“Jelek, lo suka jailin gue sih.”

“Padahal menurut gue, lo cantik.” Raina bersumpah demi apapun wajahnya pasti memerah mendengar ucapan Haikal.

“Itu sih dari dulu kali, satu dunia juga mengakui.” Raina berusaha menutupi salah tingkahnya.

“Cantik sih, tapi sayang jomblo.”

“Eh ngaca ya pak Haikal, lo juga jomblo.”

“Lah gue jomblo mah jelas Na, ada yang gue kejar. Gue mau fokus ke pendidikan dulu gak mau ribet ngurusin asmara, apalagi udah mau lulusan abis ini.” Ucpan Haikal itu tentu saja membuat sesuatu di dada Raina bergejolak, Na, mundur secara gak langsung dia udah nolak lo.

“Lah lo ngapain jomblo? Fokus pendidikan juga? Orang lo suka bolos gitu, udah gitu males-malesan lagi kalo di ajakin belajar.”

Gue nungguin lo... Tentu saja kalimat itu hanya ada dalam batin Raina, tidak berani ia ucapkan.

“Males pacaran, ntar kalo putus nangisin gak guna.” Raina menjawab sekenanya.

“Bagus deh, jangan nangisin cowok gak jelas ya Na, kalo gue gak papa.”

“Dih lo juga cowok gak jelas!”

Keesokan harinya Raina tidak datang ke apotek untuk mengahdiri perpisahan dengan Haikal beserta teman-temannya. Ia menghindari menangis.

Tapi ternyata Haikal menghampirinya ke kosan, “Astaga Na, kok baru bangun? Jahat banget gak ikut gue pamitan tadi.”

“Apa sih?” Raina yang baru saja bangun masih berusaha mengumpulkan nyawanya meski kini sudah berada di depan gerbang.

“Sorry Na, gak bisa lama-lama gue udah di tungguin. Ini ada hadiah buat lo.” Haikal memberikan sebuah bingkisan pada Raina, lalu ia berlari sambil melambaikan tangannya. Di ujung gang Haikal telah di nanti rombongannya.

“Bye Na!”

Raina membuka bingkisan tersebut, ada surat yang di tulis ala kadarnya dengan tulisan tangan Haikal yang tidak terlalu bagus itu.

“Na, gue sayang sama lo. Gue tau perasaan kita juga selaras. Tapi gue gak bisa Na, banyak mimpi yang perlu gue kejar, pacaran bakal menghambat itu semua. Gue mau fokus ke pendidikan dulu , lo juga harus fokus ke pendidikan! Semangat Raina! Nanti kita ketemu kalo udah sama-sama sukses ya Na, jangan makan pedes lagi. Jangan begadang Na, gak ada gue yang bakal nemenin kali ini. See you Raina.*

Raina menangis membacanya, entah ini disebut patah hati atau apa tapi mau tidak mau ia memang merelakan Haikal. Raina tau betul mimpi pemuda itu begitu tinggi, dan ia tidak mau egois menghambatnya.

Tapi kalian tau tidak apa yang lebih menyakitkan? Tiga minggu setelahnya Raina mendapat kabar dari salah seorang temannya yang waktu itu satu tim dengan Haikal.

‘Rai, Haikal kemarin baru jadian pacar.’

Raina rasanya ingin mengacak-acak dunia, what the hell?! Haikal apa maksudnya lo mau fokus pendidikan?

‘Pacarnya cantik, mirip banget sama lo. Dan mereka ternyata udah deket dari lama bahkan sebelum Haikal datang ke kota lo.’

Raina rasanya kehilangan kata-kata bahkan untuk sekedar memaki, jadi berbulan-bulan ini dirinya hanya di jadikan pelampiasan begitu?

Hatinya remuk redam, yang ia kira Haikal adalah obat dari patah hatinya tahun lalu justru kini menjadi sakit yang lebih parah. Raina merasa begitu di permainkan, Haikal yang terlalu jahat atau Raina yang selama begitu bodoh?

Tapi itu masalalu, kini Raina telah berdamai dengan semuanya. Dulu ia sempat membenci apapun yang bersangkut paut dengan pemuda itu. Termasuk ia benci masuk ke apotek, tapi akhirnya ia menerima bahwa mungkin bukan dirinya yang Haikal ingingkan.

Raina benar-benar telah berdamai dengan masalalunya.

Pertemuan tidak sengaja itu akhirnya menjadi ajang reuni, Haikal mengajaknya ke cafe terdekat. Berdalih mentraktir teman lama, teman lama. Dan Raina tidak enak hati menolaknya.

“Malang apa kabar?” Tanya Haikal.

“Baik, ujan tiap hari sekarang.”

“Kalo lo apa kabar?”

“Ya seperti yang lo liat, cukup baik.” Haikal menganggukkan kepalanya, pemuda itu berusaha membuat suasana di antara mereka tidak canggung setelah sekian tahun tidak bertemu.

“Lo part time di apotek?” akhirnya Raina balik bertanya setelah diam beberapa menit.

“Engga part time, gue emang disini kerja tujuannya.”

“Gak sambil kuliah?”

“Engga, takdirnya gue emang buat kerja kayaknya hahahaha.”

“Wah ya bagus dong udah mandiri brati.” Raina berusaha menghibur Haikal, ia tau pasti ada hal yang berat telah pemuda itu lewati.

“Kalo lo sekarang kuliah?”

“Ya gitu deh.”

“Jadi ambil psikologi?”

“Jadi dong, itu keinginan gue dari lama.”

“Wah keren banget calon psikolog ini, bagus Na.”

Raina melotot mendengar Haikal masih memanggilnya dengan panggilan masa kecilnya itu.

“Omg, stop calling me like that.” Raina reflek berkata demikian, ia hanya enggan mengungkit luka lama.

“Eh sorry-sorry kalo lo gak nyaman Rai.”

“Its okey, gue hanya kurang nyaman dengan panggilan itu kalo bukan dari Mama Baba.”

“Ke Surabaya ngapain Na?”

“Mau nonton konser.”

“Oh konsernya Haechan ya? Sama siapa?”

“Iya ini sama temen-temen, kok lo tau ada konser Haechan?”

“Taulah udah banyak kali posternya bertebaran. Masih aja suka Haechan ya dari dulu gak berubah.”

“Iyadong gue kan setia ke Haechan.”

“Udah nemu cowok yang bisa gantiin Haechan belum Rai?”

Raina tertawa mendengarnya, “Belum, kayaknya gak akan ada sih yang gantiin Haechan hahahaha.”

“Cari cowok yang nyata dong Rai, jangan yang dalam khayalan mulu.”

“Enggak ah, males patah hati nih gue lagi mikirin skripsi juga. Cuma Haechan satu-satunya cowok yang gak berpeluang nyakitin gue.”

Haikal tersenyum mendengarnya, membahas tentang Haechan dari dulu akan selalu membuat Raina bersemangat.

“Kalo lo sendiri gimana? Masih sama cewek yang waktu itu?”

Haikal menundukkan kepalanya, tidak lagi berani menatap Raina. Ia tau jika ia pernah melukai hati perempuan di depannya itu.

“Engga.” Haikal menggeleng pelan.

“Sorry gue gak tau.” Raina bercicit pelan.

“Dia udah nikah sekarang, udah punya anak. Pacaran bertahun-tahun sama gue, tpi terus gue di tinggalin.” Raina terkesiap mendengarnya, ya tuhan apakah ini karma?

“Gue jadi trauma buat punya cewek lagi, takut tiba-tiba di tinggalin tanpa alasan lagi.”

Raina menepuk pelan pundak Haikal dan berkata, “Kal, lo harus bahagia gimanapun caranya. Patah hati gue dulu sia-sia dong Kal kalo ternyata lo sekarang di tinggalin gini? Ayo Kal cari kebahagiaan lo, biar dulu air mata gue gak terbuang sia-sia kalo lo sekarang bahagia.”

“Janji sama gue lo harus bahagia.”

Raline tengah mengobrol dengan beberapa teman Harsa di kantor label rekaman pemuda itu, dia memang megenal beberapa dari mereka karena seringnya menemani Harsa kemari.

Ia juga berkenalan dengan teman Harsa lainnya, yang kebetulan hari ini datang berkunjung ke kantornya. Ada Juan dan Jenoah yang sedari tadi menemaninya mengobral sembari menunggu Harsa menyelesaikan pembuatan konsep panggungnya bulan depan.

Raline sebelumnya tau kalau Juan juga seorang penyanyi tapi tau ternyata ia cukup dekat dengan Harsa akhir-akhir ini. Kalau Jenoah ternyata seorang model yang baru Raline tau hari ini. Harsa pelit sekali tidak mengenalkan padanya jika punya teman tampan-tampan begini.

“Udah lama kenal Harsa?” Tanya Juan setelah Raline mengoceh panjang lebar tentang Harsa.

“Lama banget sih dari jaman SMA, dulu dia sering gue ajak adu bacot tiap hari. Songong banget jadi kakel.”

“Gue denger ya nyil! Sembarangan banget ngatain gue songong, lo tuh dulu kagak ada sopan-sopannya.” Harsa datang dari arah belakang, mengusak rambut Raline.

“ISH GUE KAGAK UNYIL!” Raline menghempaskan tangan Harsa dari atas kepalanya, ia berpindah duduk di samping Jenoah untuk menghindari tangan jail Harsa.

“Hape gue mana?” Raline merogoh tasnya mencari ponsel Harsa yang tadi di titipkan padanya.

“Tadi cewek lo telpon kayaknya, kagak gue angkat.”

“Waduh iya, gue kesana dulu ya bro lo berdua ngobrol dah sama nih bocah kebetulan dia suka bacot.” Harsa kembali pamit pada dua temannya.

“Harsa punya pacar?” Tanya Jenoah, ia selama ini memang tidak pernah tau perihal percintaan pemuda itu.

“Punya, bucin banget lagi najis.”

“Gak di publikasi ya?”

“Katanya kasian kalo identitas pacarnya terpublikasi, takut kena bully fansnya. Mana fans dia galak banget, gue nih sering kena sasaran.”

“Gue kira malah sebenernya lo sama Harsa yang backstreet.” Juan menimpal begitu saja, karena ya orang awam pasti akan mengira Harsa Raline tidak mungkin jika tidak punya hubungan spesial.

“Enggaklah, Harsa sama gue udah temanan lama banget gak akan bisa jadi pasangan orang tiap hari kita ribut.” Keduanya mengangguk paham mendengar ucapan Raline, ya meskipun langka tapi memang bisa saja ada pertemanan yang murni di anatara laki-laki dan perempuan.

Raline merogoh tasnya mencari sebuah kunciran yang selalu dia bawa kemana-mana, rambutnya yang begitu panjang seringkali membuat dia merasa gerah tak terduga. Dia lalu mengikat rambutnya ke atas, menampilkan lehernya yang seputih susu, Jenoah yang berada di sampingnya reflek menoleh.

“Sorry kalo gue lancang, lo punya alergi kah?” Tanya Jenoah yang melihat leher Raline memerah.

“Ha? Alergi apa?”

“Itu leher lo...” Jenoah menunjuk lehernya, membuat Juan kini juga ikut melihat sisi Raline yang di tunjuk Jenoah. Gadis itu buru-buru mengeluarkan cermin make up nya dan mengaca disana.

Membuat Jenoah dan Juan bertukar pandang dan sepertinya membatin hal yang sama.

“MADAHARSA ANJING LO APAIN GUE SEMALEM!!”

Setelah teriakan Raline, Harsa di ruangan sebelah terbahak mendengarnya.

Raline kini tengah menyandarkan punggungnya di dada Harsa, dia duduk di tengah kukungan paha Harsa dengan kaki pemuda itu yang naik ke atas kakinya.

Dagu Harsa juga bertumpu di kepalanya, mereka tengah menonton film Teman-tapi mesra yang di adaptasi dari kisah nyata sepasang sahabat itu. Film yang telah mereka tonton berkali-kali, hampir tiap kali mereka bersama di apartement masing-masing.

“Lo bosen gak sih nonton ini?” Tanya Harsa.

“Kagak, Adipati ganteng sih jadi gue gak bosen. Lo bosen ya?”

“Kagak, vanessa cakep soalnya.” Raline mendengus mendengar jawaban Harsa yang menirunya. Ia meraup muka Harsa dengan tangannya membuat pemuda itu mengaduh lalu balik menggigit gemas jarinya.

“aw! Sadis banget sih, cewek lo kabur ntar kalo lo sadis begini.”

Harsa mengambil jari Raline yang baru saja ia gigit, meniup-niup dan mengusapnya pelan.

“Cewek gue yang ini pengertian banget, mana sabar banget lagi ngadepin tingkah absurd gue. Dia tuh ngemong banget kalo ke gue, gemesin gitu.” Raline mendengarkan dengan seksama cerita Harsa tentang kekasihnya, ia tersenyum lalu mengelus pelan pipi pemuda itu.

“Bagus deh kalo lo nemu cewek yang beneran bisa ngertiin lo, gue ikut seneng dengernya.”

“Gue seneng sih kayak beneran kasmaran banget sama dia, beruntung banget dia mau sama gue yang begini padahal juga kita terpaut umur, gue berasa adiknya kadang”

Raline tersenyum lalu berpindah menjadi menghadap ke Harsa, tangannya ia kalungkan di leher Harsa dengan kepala yang kini menyender di bahu Harsa.

“Lo emang kayaknya harus dapet cewek yang lebih dewasa, biar bisa luar biasa ngertiin lo, dan bisa ngemong lo yang kadang kekanak-kanakan ini. Jangan sama yang lebih muda.” Ia kini menelusupkan kepalanya di leher Harsa, membuat Harsa sedikit oleng dan akhirnya mengangkat sedikit tubuhnya untuk di pangku.

Harsa mengelus lembut rambut Raline yang di gerai, “Rambut lo gak mau di potong? udah panjang banget.”

“Engga sekarang ntar di kira frustasi gara-gara abis putus.”

“Hahaha, kenapa putus emang?”

“Gak tau udah bosen kali,” Raline kembali menulusup ke leher Harsa.

“Eh kok nangis?Katanya gak galau di putusin...” Harsa merasakan kulit lehernya basah dengan air mata, dan tubuh Raline yang berada di pangkuannya ikut bergetar.

“Gue gak nangis karena di putusin, tapi gue kesel dia jadiin lo alasan buaut mutusin gue. Mana gue di putusin di depan teman-temannya, image lo jadi jelek di mata teman-temannya. Gue gak suka itu, apalagi terjadi karena gue.”

Harsa mengelus punggung Raline pelan, ia ikut mengeratkan dekapannya di tubuh Raline.

“Dih jelek banget nangisin gue...”

“LO MAH!” Raline berniat turun dari pangkuan Harsa namun di cegah, Harsa, menangkup wajah Raline dan menghapus air mata yang tersisa di wajah sahabatnya itu dengan ibu jari.

“Gue di mah udah biasa kalo di pandang buruk orang, jangan khawatir gitu yang penting bukan lo yang di pandang buruk gue mah santai.”

“Tapi tuh...”

Harsa membungkam bibir Raline dengan bibirnya, memberikan sedikit lumatan supaya gadis itu berhenti bicara.

“Gue gapapa Alin, everything is okey.”

Raline tidak menjawab tapi ia kembali mengeratkan pelukannya di leher Harsa. Bahkan sekarang sudah berada di gendongan pemuda itu dan di bawa ke kamarnya.

Harsa memeluknya untuk tertidur, sesekali memberikan kecupan manis di pelipisnya.

Rahasia.

Biarlah orang ingin tau, cinta kita bukan untuk di umbar-umbar...

*Sesuai dengan janjinya pada Somi siang tadi, Haechan berkunjung ke rumah gadis itu. Beruntung latihan hari ini tidak begitu lama, karena ia dan membernya yang lain sudah menghafal semua koreo-nya. Tiap kali datang berkunjung ke rumah gadis itu Haechan selalu membawa berbagai macam

makanan. Untuk Evelyn, Tuan dan Nyonya Matthew.*

Tapi kali ini ia hanya membawa satu kantong belanjaan, Somi bilang tadi ia hanya sendirian di rumah. orang tua dan adiknya sedang berkunjung ke rumah sang nenek di Busan.

“Papi sama mami pulang kapan yaangg?” #### Tanya Haechan setelah Somi membereskan bekas makan malam mereka. Keduanya kini duduk di ruang tengah sambil menonton drama di televisi, ah atau drama yang sedang menonton mereka berpelukan mesra lebih tepatnya.

“Lusa kayaknya, kenapa?” #### Jawab Somi yang begitu nyaman bersandar di pelukan Haechan, tangannya juga sibuk menyuapi es krim ke mulutnya sendiri dan mulut Haechan.

Padahal di luar salju mulai turun, suhu ruangan pun sedikit lebih dingin tapi keduanya tetap asik menikmati es krim. Mungkin efek berpelukan ya jadi dingin dunia luar tidak terasa.

“Aku nginep ya kalo gitu?” #### Sebenarnya tanpa bertanya pun Haechan juga akan menginap, Somi tidak akan ia biarkan sendirian di rumah.

” Hooh, besok kamu ada latian pagi gak?”

“Agak siang sih soalnya nunggu unit lain syuting mv.”

Somi hanya mengangguk paham, ia kembali fokus pada makanannya yang lain. Haechan juga ikut membuka minuman kaleng beralkhohol yang tadi sengaja ia beli. Pengusir lelah.

” Dingin gak yaangg?” #### tanya Haechan, tangan kirinya mengelus lengan Somi yang hanya mengenakan kaos oblong miliknya. Sekedar informasi, Somi benar-benar hanya menggunakan kaos milik Haechan. Hanya satu helai.

“Hooh...”

” Sini deketan,” #### Haechan mengangkat tubuh Somi untuk lebih merapat ke tubuhnya, ia juga semakin mengeratkan dekapannya.

Somi kini fokus menonton drama di depannya mengabaikan Haechan yang sedari tadi begitu intens menatapnya. Tangannya kini mulai nakal mengelus pelan paha Somi, niatnya mencari perhatian sang pacar.

” Yaaaaangg diem dong!” #### Rengekan Somi justru membuat Haechan terkekeh dan semakin menggodanya.

” aku ngapain emang?”

” Tangan kamu diem! aku mau nonton,”

” aku gak ngapa-ngapain padahal...”

” ish kamu mancing-mancing!”

” mancing gini?” #### Haechan sekarang justru semakin intens mengelus paha dalam Somi, bahkan tangannya mulai lebih naik dari sebelumnya.

” Yaaaaaangg!” #### Somi menatap Haechan memohon, tapi pemuda itu justru balik menatapnya tanpa dosa dan menyunggingkan senyumnya.

” Kenapa sayang?”

Somi tidak menjawab, dan berusaha mengabaikan Haechan dengan kembali fokus pada televisi di depannya. Tapi rupanya Haechan punya cara lain untuk mengambil atensinya. Pemuda itu mengangkat tubuh rampingnya ke atas pangkuan. Haechan juga membalikkan tubuh Somi menghadap dirinya.

Karena kesal, Somi langsung meraup bibir di depannya dengan kasar. Ia bahkan sengaja menggigit bibir Haechan, tapi bukannya kesakitan Haechan justru tersenyum di sela ciuman mereka yang mulai memanas. Ia suka Somi lebih agresif begini.

Somi melepas pagutan mereka setelah beberapa menit, ia meraup oksigen dan menetralkan deru napasnya. Sedang Haechan melancarkan aksinya bergerilya dari dagu Somi sampai ke atas dadanya.

” Sstttt...yaangg jangan kasih tanda, besok aku kerja.” Desis Somi saat merasa Haechan mulai memberinya gigitan kecil.

Haechan mendongakkan kepalanya saat sadar ia tidak bisa melakukan pekerjaan favoritnya malam ini, menatap Somi dengan ekspresi begitu melas.

Somi mengerti itu, ia lalu mengecupi seluruh permukaan wajah pacarnya. Memberi gigitan kecil di telinga pemuda itu saat tangan besar Haechan mulai meraba punggungnya di dalam kaos.

” Pindah ke kamar yuk yaangg jangan disini...” #### Somi berbisik pelan, sambil meremat lembut rambut belakang Haechan. Kepala Haechan sekarang sedang nyaman menelusup di dadanya, sekali lagi mengabsen bagian itu dengan lidahnya.

Haechan tidak menjawab, tapi langsung menggendong Somi menuju kamar gadis itu. Ia bahkan tidak melepas cecapan-nya, membuka pintu kamar Somi dengan tendangan kasar. Begitu tidak sabar untuk menikmati hidangannya malam ini.

Mereka sama-sama sedang membara, begitu fokus saling memberikan kenikmatan masing-masing sampai lupa tidak mematikan televisi dan membiarkan pintu kamar terbuka.

Keduanya berlomba mencapai kenikmatan lebih dulu, Somi menggigit bahu Haechan ketika di rasa mereka akan sama-sama meledak.

Ketika puncak itu datang, Haechan menyesap bibir perempuan di bawahnya, lalu memberikan sebuah kecupan di dahinya sebelum melepas penyatuan mereka.

Haechan lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh polos keduanya, ia memeluk Somi dari belakang yang kini matanya sudah mulai terpejam.

” Love you...”

Harsa terburu melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit, langkahnya begitu lebar menuju ruang VVIP dimana istrinya kini di rawat.

Iya, Harsa menikah dengan Raline sekitar setahun lalu. Dua tahun setelah Pak Julian memberikan restunya.

Begitu membuka pintu ruang rawat Raline Harsa di sambut dengan Sabil yang berkacak pinggang menghadangnya,

“Eh! Abang gak boleh masuk kalo belum mandi dan steril, ponakan aku harus bersih dari kuman-kuman jahat.”

Raline terkekeh lemah dari atas ranjangnya melihat tingkah Sabil yang memang begitu posesif pada sang ponakan sedari di dalam kandungan.

Tadi saat Mami Miyah mengabari Harsa bahwa Raline di larikan ke rumah sakit dan ketubannya pecah ia masih berada di Singapura, hendak melanjutkan penerbangan ke Korea.

“Abang udah bersih, mampir ke rumah dulu tadi. Liat abang gak pake pakaian rumah kan?”

Sabil menatap Harsa dari atas ke bawah, memastikan kiranya sang ipar benar-benar bersih atau tidak. Ia tidak mau keponakannya yang baru lahir terkontaminasi virus dari bandara yang di bawa ayahnya sendiri.

“Oke, aman.”

Harsa dengan cepat menghampiri Raline, menggenggam tangannya yang tidak tertancap selang infus. Memeluk tubuh lemah itu sebentar sebelum mengecup dahinya, lalu berbisik pelan,

“Makasih, kamu hebat sayang. Terimakasih banyak.”

Raline memejamkan matanya merasakan bibir Harsa yang mengecupi seluruh permukaan wajahnya sekarang. Ia mengelus lembut punggung Harsa yang tengah memeluknya.

“Maaf ya aku tadi gak bisa nemenin kamu, harusnya kemarin aku gak pergi.” Raline menggeleng lemah, tenaganya memang belum pulih sempurna sejak proses melahirkan tadi. Bahkan ia sempat pingsan, bayi mereka begitu sehat dengan bobot di atas rata-rata.

“Gak apa-apa, jangan ngerasa bersalah gitu. Anak kita aja yang gak sabar pingin liat dunia, padahal HPL masih 2 minggu lagi.”

Sekali lagi Harsa mengecup kening istrinya, kemudian tatapannya beralih ke arah mertuanya yang sedari tadi anteng mengendong putranya.

Raline menyentuh lengan Harsa pelan dan mengisyaratkan untuk mengambil putra mereka dari sang papi,

“Gendong gih, dia harus tau ayahnya yang hebat ini udah dateng.”

Tapi suaminya itu menggeleng pelan, justru kini duduk menyamping di ranjangnya dengan tangan yang masih menggenggamnya.

“Nanti aja abis papi, biar papi puas dulu gendong cucu pertamanya.”

Hubungan Harsa dan Pak Julian sebenarnya tidak begitu buruk, hanya saja dengan gengsi keduanya yang sama-sama tinggi terkadang membuat mereka terlihat kaku dan kurang akrab.

“Mau di kasih nama siapa kak, bang?” Tanya Sabil mengintrupsi kedua kakaknya yang mengobrol ringan.

“Mahesa Sadajiwa Hestamma.”

“Papi kasih panggilan Esa, boleh?” Pak Julian menyahuti ucapan Harsa meminta persetujuan, tubuhnya ia ayun-ayunkan pelan supaya sang cucu di gendongan nya yang mulai merengek kembali tenang.

“Boleh Pi, panggilan yang bagus dan terdengar begitu agung.”

Rupanya si bayi yang baru saja mendapatkan nama itu tau ayahnya telah tiba, tepat setelah jawaban Harsa ia menangis begitu kencang. Membuat Pak Julian sedikit kualahan.

“Siniin pi, kayaknya dia haus lagi.” ucap Raline, ia benar-benar menikmati peran barunya sebagai seorang ibu sekarang.

Begitu berada di dekapan Raline, Esa terdiam sesaat tapi kembali menangis melepaskan puting ibunya enggan untuk menyusu.

“Kayaknya baby pingin di gendong abang deh.” Ujar Sabil, entah dia hanya asal menyeletuk sebenarnya.

“Eh?” Harsa kebingungan begitu Raline menyuruhnya untuk mengangkat putra mereka.

“Aku takut yaangg...”

“Takut apa?”

“Takut jatuh nanti gimana?”

“Gak akan, kamu kan ayahnya harus bisa gendong dong.”

“Coba pelan-pelan dulu Sa, papi dulu pas Raline lahir juga gugup pertama kali gendongnya.” Pak Julian memberi saran begitu melihat menantunya terlihat ragu untuk menggendong sang cucu.

Di bantu Raline akhirnya Harsa berhasil menggendong putra mereka dan menenangkannya. Sepertinya benar dugaan Sabil, bayi itu langsung tenang di ayunan ayahnya.

Harsa menatap lamat tubuh putranya yang begitu mungil dalam dekapannya, ia mentap Raline dan berkata “Yaangg mungil banget dia, aku kekep gini gak keliatan.”

Raline melotot mendengarnya, yang benar saja bayi mereka berbobot 3,7 kg. Bisa-bisanya Harsa bilang terlalu kecil.

“Kecil dari mananya coba sayang bukalah matamu selebar dunia ini, itu aku sampek pingsan tadi ngeluarinnya gedean lagi wah kamu bisa dapet gelar duda keren.”

Pak Julian dan Sabil terkekeh mendengarnya, Raline being Raline.

“Hehehe, makasih ya udah berjuang buat baby. Kamu hebat.”

Raline merotasikan bola matanya, apalagi ia mengingat jika wajah Mahesa 100 persen mirip Harsa, yang melekat dari dirinya hanya kulit putihnya saja.

“Aku kesel liat muka baby niru kamu semua, padahal yang morning sickness berbulan-bulan aku, yang gak bisa tidur tiap malam karena tendangan tuh aku. Eh malah gak mirip aku sama sekali.”

Harsa tersenyum mendengar omelan Raline, lalu ia memperhatikan tiap inci muka putranya yang benar-benar seperti duplikatnya.

“Berarti yang paling sayang tuh abang bukan kakak selama ini...” Ujar Sabil.

“Dih sok tau, kata siapa?”

“Kata bi asih sih gitu kalo yang lebih mirip sama anaknya berarti yang paling mendominasi rasa sayangnya.”

“Iya sih, Mas Ayang kan bulol banget sama gue udahan.”

Mas Ayaang...

“Yaudah kalo kamu iri sama Harsa, tinggal buat satu lagi yang mirip kamu.”

“Setuju sama papi.” Harsa begitu bersemangat menyetujui ucapan sang mertua.

“Yang bener aja aku bahkan belum ada 24 jam yang lalu ngelahirin!?”

Raline mendengus sebal, lalu meraih putranya yang baru saja Harsa julurkan. Si kecil terlihat begitu nyaman dalam tidurnya.

Bertepatan dengan itu pintu ruang rawatnya kembali terbuka, menampilkan mami dan seorang perempuan baya yang tadi pagi menolongnya ke rumah sakit.

“Nah itu suaminya Raline, Harsa ini bu Tama yang tadi pagi ketemu Raline di depan Indomart pas ketubannya pecah, beliau juga yang membawa Raline ke rumah sakit.” Mami mengenalkan wanita penolong itu pada Harsa.

Harsa terpaku menatapnya, lalu menatap Raline yang kini juga menatapnya. Begitu istrinya mengangguk, Harsa merasa apakah semesta sekarang mencandainya?

“Wah tampan sekali suaminya, pantas kalo di kecil terlahir begitu sempurna. Perpaduan mama dan papanya.” Ujar bu Tama tersenyum lebar sambil menatap Mahesa yang kini berada di dekapan Raline.

“Saya jadi ingat putra saya, mungkin sekarang juga sudah dewasa dan punya bayi lucu seperti kalian.”

“Haduh maaf jadi curhat, hehehe. Kalau begitu saya pamit ya, sudah malam begini. Nak Raline sama bayinya sehat-sehat ya, saya harap kita bisa bertemu lagi.”

“Sekali lagi atas bantuannya bu Tama.” Pak Julian mengucapkannya dengan begitu tulus.

“Sama-sama pak, mari pak, bu, semuanya saya pamit.”

“Biar suami saya antar ibu pulang.” Ujar Raline tiba-tiba, membuat Harsa menoleh ke arahnya.

Sedari tadi laki-laki itu hanya diam, tidak tau harus berkata apa dan bereaksi bagaimana.

“Gak perlu repot-repot Nak Raline, saya bisa pesan ojek online.”

“Gapapa jeng, biar Harsa saja yang antar pulang. Lebih aman.” Mami ikut setuju dengan usulan Raline membuat Harsa mau tidak mau harus mengantarkan tamu mereka itu.

Melihat Harsa yang masih bergeming, Raline menyenggol lengannya mengintrupsi untuk mengajak Bu Tama pulang.

“Ma-marii saya antar pulang.”

Harsa memilih berjalan mendahului perempuan itu, bahkan selama dalam perjalanan mereka tidak ada obrolan apapun kecuali bu Tama mengarahkan jalan mana yang harus Harsa tempuh untuk sampai ke depan gang kontrakannya.

Mereka duduk terpisah, Harsa di kursi kemudinya dan Bu Tama di kursi belakang. Suasana yang benar-benar canggung, tau begitu tadi Bu Tama pulang sendiri saja.

Begitu sampai di depan gangnya, Bu Tama pamit ala kadarnya karena Harsa juga tidak menanggapi ucpannya.

“Terima kasih ya Nak Harsa, maaf saya merepotkan.”

Begitu membuka pintu mobil, Harsa baru bersuara. Dengan suaranya yang terdengar gemetar, menahan tangis

“Mama...Ini aku, Madaharsa.”

Biarlah orang ingin tau, cinta kita bukan untuk di umbar-umbar...

Sesuai dengan janjinya pada Somi siang tadi, Haechan berkunjung ke rumah gadis itu. Beruntung latihan hari ini tidak begitu lama, karena ia dan membernya yang lain sudah menghafal semua koreo-nya. Tiap kali datang berkunjung ke rumah gadis itu Haechan selalu membawa berbagai macam makanan. Untuk Evelyn, Tuan dan Nyonya Matthew.

Tapi kali ini ia hanya membawa satu kantong belanjaan, Somi bilang tadi ia hanya sendirian di rumah. orang tua dan adiknya sedang berkunjung ke rumah sang nenek di Busan.

“Papi sama mami pulang kapan yaangg?”

Tanya Haechan setelah Somi membereskan bekas makan malam mereka. Keduanya kini duduk di ruang tengah sambil menonton drama di televisi, ah atau drama yang sedang menonton mereka berpelukan mesra lebih tepatnya.

“Lusa kayaknya, kenapa?”

Jawab Somi yang begitu nyaman bersandar di pelukan Haechan, tangannya juga sibuk menyuapi es krim ke mulutnya sendiri dan mulut Haechan.

Padahal di luar salju mulai turun, suhu ruangan pun sedikit lebih dingin tapi keduanya tetap asik menikmati es krim. Mungkin efek berpelukan ya jadi dingin dunia luar tidak terasa.

“Aku nginep ya kalo gitu?”

Sebenarnya tanpa bertanya pun Haechan juga akan menginap, Somi tidak akan ia biarkan sendirian di rumah.

” Hooh, besok kamu ada latian pagi gak?”

“Agak siang sih soalnya nunggu unit lain syuting mv.”

Somi hanya mengangguk paham, ia kembali fokus pada makanannya yang lain. Haechan juga ikut membuka minuman kaleng beralkhohol yang tadi sengaja ia beli. Pengusir lelah.

” Dingin gak yaangg?”

tanya Haechan, tangan kirinya mengelus lengan Somi yang hanya mengenakan kaos oblong miliknya. Sekedar informasi, Somi benar-benar hanya menggunakan kaos milik Haechan. Hanya satu helai.

“Hooh...”

” Sini deketan,”

Haechan mengangkat tubuh Somi untuk lebih merapat ke tubuhnya, ia juga semakin mengeratkan dekapannya.

Somi kini fokus menonton drama di depannya mengabaikan Haechan yang sedari tadi begitu intens menatapnya. Tangannya kini mulai nakal mengelus pelan paha Somi, niatnya mencari perhatian sang pacar.

” Yaaaaangg diem dong!”

Rengekan Somi justru membuat Haechan terkekeh dan semakin menggodanya.

” aku ngapain emang?”

” Tangan kamu diem! aku mau nonton,”

” aku gak ngapa-ngapain padahal...”

” ish kamu mancing-mancing!”

” mancing gini?”

Haechan sekarang justru semakin intens mengelus paha dalam Somi, bahkan tangannya mulai lebih naik dari sebelumnya.

” Yaaaaaangg!”

Somi menatap Haechan memohon, tapi pemuda itu justru balik menatapnya tanpa dosa dan menyunggingkan senyumnya.

” Kenapa sayang?”

Somi tidak menjawab, dan berusaha mengabaikan Haechan dengan kembali fokus pada televisi di depannya. Tapi rupanya Haechan punya cara lain untuk mengambil atensinya. Pemuda itu mengangkat tubuh rampingnya ke atas pangkuan. Haechan juga membalikkan tubuh Somi menghadap dirinya.

Karena kesal, Somi langsung meraup bibir di depannya dengan kasar. Ia bahkan sengaja menggigit bibir Haechan, tapi bukannya kesakitan Haechan justru tersenyum di sela ciuman mereka yang mulai memanas. Ia suka Somi lebih agresif begini.

Somi melepas pagutan mereka setelah beberapa menit, ia meraup oksigen dan menetralkan deru napasnya. Sedang Haechan melancarkan aksinya bergerilya dari dagu Somi sampai ke atas dadanya.

” Sstttt...yaangg jangan kasih tanda, besok aku kerja.”

Desis Somi saat merasa Haechan mulai memberinya gigitan kecil.

Haechan mendongakkan kepalanya saat sadar ia tidak bisa melakukan pekerjaan favoritnya malam ini, menatap Somi dengan ekspresi begitu melas.

Somi mengerti itu, ia lalu mengecupi seluruh permukaan wajah pacarnya. Memberi gigitan kecil di telinga pemuda itu saat tangan besar Haechan mulai meraba punggungnya di dalam kaos.

” Pindah ke kamar yuk yaangg jangan disini...”

Somi berbisik pelan, sambil meremat lembut rambut belakang Haechan. Kepala Haechan sekarang sedang nyaman menelusup di dadanya, sekali lagi mengabsen bagian itu dengan lidahnya.

Haechan tidak menjawab, tapi langsung menggendong Somi menuju kamar gadis itu. Ia bahkan tidak melepas cecapan-nya, membuka pintu kamar Somi dengan tendangan kasar. Begitu tidak sabar untuk menikmati hidangannya malam ini.

Mereka sama-sama sedang membara, begitu fokus saling memberikan kenikmatan masing-masing sampai lupa tidak mematikan televisi dan membiarkan pintu kamar terbuka.

Keduanya berlomba mencapai kenikmatan lebih dulu, Somi menggigit bahu Haechan ketika di rasa mereka akan sama-sama meledak.

Ketika puncak itu datang, Haechan menyesap bibir perempuan di bawahnya, lalu memberikan sebuah kecupan di dahinya sebelum melepas penyatuan mereka.

Haechan lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh polos keduanya, ia memeluk Somi dari belakang yang kini matanya sudah mulai terpejam.

” Love you...”