Tolong bahagia ya, biar patah hatiku dulu gak jadi sia-sia...
Raina berhenti didepan sebuah apotek, ia hendak membeli aromatherapy semalem aromatherapy yang ia bawa dari rumah hilang entah kemana.
Memasuki pintu apotek Raina di sambut sapaan ramah sang karyawan, sudah menjadi SOP pelayanan apotek tersebut memang. Badan usaha milik negara memang harus menjaga citra baiknya.
“Selamat datang di apotek kami, ada yang bisa saya bantu? Kakaknya cari apa?”
Seorang gadis berseragam sekolah menghampirinya yang tengah berdiri bingung di antara rak-rak obat, rupanya siswi yang sedang menjalankan kewajiban praktek kerja lapangannya.
Raina tersenyum, ingat dirinya beberapa tahun lalu juga melakukan hal yang sama.
“Freshcarenya di sebelah mana ya dek?”
“Freshcarenya di sebelah sini kak, mau varian apa?”
Siswi tersebut mengantar Raina ke rak sebelahnya tempat dimana berbagai merk aromatherapy berjejer rapi.
“Citrusnya ada?”
“Citrusnya habis kak, adanya tinggal Splash fruity sama hot strong, oh ini ada lavender tinggal satu.”
“Yaudah gak apa-apa yang Splash fruity.”
Raina lalu berjalan ke kasir begitu siswi tersebut membawa barang yang hendak ia beli untuk di nota.
“Ada lagi kak?” tanya sang kasir, yang Raina tebak pasti seorang asisten apoteker.
“Ndak, itu aja.”
“Totalnya sebelas ribu ya.” Raina menjulurkan selembar uang dua puluh ribuan. Lalu mengambil freshcarenya yang telah di bungkus kantong kresek kecil.
Bertepatan dengan itu seorang pemuda keluar dari arah belakang ruang tunggu, berpamitan pada petugas apotek dan beberapa siswa PKL lainnya yang berada di dalam bilik.
“Mbak Re, aku pulang dulu ya. Semangat kerjanya, dek duluan.”
Raina dan pemuda itu tidak sengaja saling tatap, ya tuhan ia sudah sangat jauh pergi ke Surabaya dan Kau pertemukan mereka lagi disini?
“Loh Raina?”
Namanya Haikal, dulu seorang teman yang Raina temui ketika sedang melaksanakan praktek kerja lapangan di sebuah apotek ternama di kotanya. Pemuda dari kota sebrang yang pernah mencuri hatinya.
Bagi Raina mulanya Haikal tidak lebih dari seorang teman yang begitu menyebalkan, tiap hari hanya menganggunya. Ada saja kelakuannya yang memancing Raina untuk marah.
Tapi sebenarnya ia pemuda yang baik, tiap malam akan mengantar Raina ke kosnya hanya untuk memastikan ia tidak di ganggu seorangpun dalam perjalanan, meski sebenarnya mereka berbeda shift.
Jika Haikal kedapatan shift pagi atau dapat jatah libur, sedang Raina dapat shift malam sampai pukul dua belas, Haikal akan menantinya di depan ruko sambil membawakan nasi goreng yang ia beli di depan gang, selalu seperti itu.
Atau jika mereka bertemu di pergantian shift, Raina pagi dan Haikal malam pemuda itu akan memberinya sekaleng susu beruang, katanya ‘Na, hadiah karena sudah bekerja keras hari ini.’
Haikal juga kerap kali membantu Raina menyelesaikan tugas hariannya, tugas yang tiap hari rasanya membuat otak Raina mendidih. Tapi bagaimana bisa pemuda mengerjakannya dengan begitu mudah, dulu Raina pikir Haikal memakan ISO–buku panduan tentang obat-obatan.
Hubungan keduanya kian lama rasanya begitu aneh jika hanya di anggap berteman. Bahkan teman-teman mereka sudah dari lama menganggap ada sesuatu di antara keduanya.
Haikal pergi kemanapun akan selalu membawa oleh-oleh untuk Raina, pun Raina apa-apa akan selalu ingat Haikal. Sampai salah seorang teman bertanya pada Raina, “Lo sama Haikal apaan dah hubungannya?”
“Teman.”
“Anjing gak ada teman kayak lo berdua.”
“Hahahaha yaudah di adain.”
Padahal sebenarnya Raina juga seringkali mempertanyakan hal itu di kepalanya sendiri, Haikal kita ini apa?
Mereka telah cukup dekat berbulan-bulan, bahkan semakin dekat. Tapi Raina sama sekali tidak berani menyuarakan isi hatinya.
Atau lebih tepatnya Haikal dan dia sama-sama tidak ada yang mengungkapkan perasaannya.
Di penghujung akhir masa praktik Haikal, Raina sering kali uring-uringan. Bagaimana tidak, Haikal akan kembali ke kota sebrang kedepannya tentu akan sulit bagi mereka untuk bertemu. Apalagi menjelang kelas akhir, mereka akan sama-sama sibuk mengahadapi berbagai ujian, di pastikan akan sangat jarang berkomunikasi. Lebih lagi Haikal itu siswa berprestasi, ambisinya begitu besar terhadap akademik. Pemenang olimpiade kebanggaan sekolahnya.
“Kenapa sih Na, cemberut mulu.” Tanya Haikal di hari terakhirnya datang ke apotek. Kebetulan mereka sedang satu shift pagi.
“Gue sedih lo bakal pulang abis ini.”
“Cie takut kangen ya? Gak heran sih Na gue emang ngangenin.” Raina memukul bahu Haikal yang lebih tinggi darinya.
“Gue sedih ntar gak ada yang bantuin ngerjain tugas lagi, gak ada yang benerin revisi gue.”
“Yee! Dasar!” Haikal mengusak rambut Raina, lalu mengekep kepalanya.
“Nanti kalo udah pisah jangan lupain gue ya Na.”
“Lo lah yang jangan lupain gue.”
“Gak akan, kapan-kapan kalo ada kesempatan gue bakal berkunjung kesini deh janji.”
“Alah janji cowok mah cuma bisa di skrinsut.” Raina mencibir membuat Haikal begitu gemas untuk kembali merangkulnya.
“Ntar malem nyari ayam geprek yuk Na, gue yang traktir.”
“Eh gue rencananya mau pulang ke rumah sih ntar malem, Baba udah telpon tadi pagi mau jemput sepulang kerja.”
“Loh Na, inikan malam terakhir gue disini masa gak ada salam perpisahan sih?” Haikal memasang muka melasnya, membuat Raina akhirnya menimang lalu memutuskan untuk menghubungi sang ayah bahwa ia tidak jadi pulang malam ini.
“Nanti gue jemput ke kos lo ya...”
Malamnya sesuai janji Haikal, Raina dan ia makan malam bersama. Dan atas ide konyol Haikal mereka berdua keliling kota dengan berjalan kaki, hal yang Raina sesali karena kini betisnya terasa kebas.
Semantara Haikal sedari tadi hanya tertawa mendengar omelan Raina, “Ish lo mah!”
“Yaudah sini gue gendong.”
“Gak ah gue berat tau.”
“Berat apaan sih nyil, kecil begitu. Udah buruan naik!”
“Gamau Kal, malu di liatin orang.”
Setelah perdebatan panjang mereka akhirnya Haikal mengalah dan mulai memelankan langkahnya yang lebar, menyesuaikan dengan tempo jalan Raina yang pelan. Lengannya ia kalungkan di bahu Raina, pun dengan jaket dan topinya yang telah ia pasangkan ke Raina sedari tadi.
“Na, gue ganteng gak?”
“Jelek, lo suka jailin gue sih.”
“Padahal menurut gue, lo cantik.” Raina bersumpah demi apapun wajahnya pasti memerah mendengar ucapan Haikal.
“Itu sih dari dulu kali, satu dunia juga mengakui.” Raina berusaha menutupi salah tingkahnya.
“Cantik sih, tapi sayang jomblo.”
“Eh ngaca ya pak Haikal, lo juga jomblo.”
“Lah gue jomblo mah jelas Na, ada yang gue kejar. Gue mau fokus ke pendidikan dulu gak mau ribet ngurusin asmara, apalagi udah mau lulusan abis ini.” Ucpan Haikal itu tentu saja membuat sesuatu di dada Raina bergejolak, Na, mundur secara gak langsung dia udah nolak lo.
“Lah lo ngapain jomblo? Fokus pendidikan juga? Orang lo suka bolos gitu, udah gitu males-malesan lagi kalo di ajakin belajar.”
Gue nungguin lo... Tentu saja kalimat itu hanya ada dalam batin Raina, tidak berani ia ucapkan.
“Males pacaran, ntar kalo putus nangisin gak guna.” Raina menjawab sekenanya.
“Bagus deh, jangan nangisin cowok gak jelas ya Na, kalo gue gak papa.”
“Dih lo juga cowok gak jelas!”
Keesokan harinya Raina tidak datang ke apotek untuk mengahdiri perpisahan dengan Haikal beserta teman-temannya. Ia menghindari menangis.
Tapi ternyata Haikal menghampirinya ke kosan, “Astaga Na, kok baru bangun? Jahat banget gak ikut gue pamitan tadi.”
“Apa sih?” Raina yang baru saja bangun masih berusaha mengumpulkan nyawanya meski kini sudah berada di depan gerbang.
“Sorry Na, gak bisa lama-lama gue udah di tungguin. Ini ada hadiah buat lo.” Haikal memberikan sebuah bingkisan pada Raina, lalu ia berlari sambil melambaikan tangannya. Di ujung gang Haikal telah di nanti rombongannya.
“Bye Na!”
Raina membuka bingkisan tersebut, ada surat yang di tulis ala kadarnya dengan tulisan tangan Haikal yang tidak terlalu bagus itu.
“Na, gue sayang sama lo. Gue tau perasaan kita juga selaras. Tapi gue gak bisa Na, banyak mimpi yang perlu gue kejar, pacaran bakal menghambat itu semua. Gue mau fokus ke pendidikan dulu , lo juga harus fokus ke pendidikan! Semangat Raina! Nanti kita ketemu kalo udah sama-sama sukses ya Na, jangan makan pedes lagi. Jangan begadang Na, gak ada gue yang bakal nemenin kali ini. See you Raina.*
Raina menangis membacanya, entah ini disebut patah hati atau apa tapi mau tidak mau ia memang merelakan Haikal. Raina tau betul mimpi pemuda itu begitu tinggi, dan ia tidak mau egois menghambatnya.
Tapi kalian tau tidak apa yang lebih menyakitkan? Tiga minggu setelahnya Raina mendapat kabar dari salah seorang temannya yang waktu itu satu tim dengan Haikal.
‘Rai, Haikal kemarin baru jadian pacar.’
Raina rasanya ingin mengacak-acak dunia, what the hell?! Haikal apa maksudnya lo mau fokus pendidikan?
‘Pacarnya cantik, mirip banget sama lo. Dan mereka ternyata udah deket dari lama bahkan sebelum Haikal datang ke kota lo.’
Raina rasanya kehilangan kata-kata bahkan untuk sekedar memaki, jadi berbulan-bulan ini dirinya hanya di jadikan pelampiasan begitu?
Hatinya remuk redam, yang ia kira Haikal adalah obat dari patah hatinya tahun lalu justru kini menjadi sakit yang lebih parah. Raina merasa begitu di permainkan, Haikal yang terlalu jahat atau Raina yang selama begitu bodoh?
Tapi itu masalalu, kini Raina telah berdamai dengan semuanya. Dulu ia sempat membenci apapun yang bersangkut paut dengan pemuda itu. Termasuk ia benci masuk ke apotek, tapi akhirnya ia menerima bahwa mungkin bukan dirinya yang Haikal ingingkan.
Raina benar-benar telah berdamai dengan masalalunya.
Pertemuan tidak sengaja itu akhirnya menjadi ajang reuni, Haikal mengajaknya ke cafe terdekat. Berdalih mentraktir teman lama, teman lama. Dan Raina tidak enak hati menolaknya.
“Malang apa kabar?” Tanya Haikal.
“Baik, ujan tiap hari sekarang.”
“Kalo lo apa kabar?”
“Ya seperti yang lo liat, cukup baik.” Haikal menganggukkan kepalanya, pemuda itu berusaha membuat suasana di antara mereka tidak canggung setelah sekian tahun tidak bertemu.
“Lo part time di apotek?” akhirnya Raina balik bertanya setelah diam beberapa menit.
“Engga part time, gue emang disini kerja tujuannya.”
“Gak sambil kuliah?”
“Engga, takdirnya gue emang buat kerja kayaknya hahahaha.”
“Wah ya bagus dong udah mandiri brati.” Raina berusaha menghibur Haikal, ia tau pasti ada hal yang berat telah pemuda itu lewati.
“Kalo lo sekarang kuliah?”
“Ya gitu deh.”
“Jadi ambil psikologi?”
“Jadi dong, itu keinginan gue dari lama.”
“Wah keren banget calon psikolog ini, bagus Na.”
Raina melotot mendengar Haikal masih memanggilnya dengan panggilan masa kecilnya itu.
“Omg, stop calling me like that.” Raina reflek berkata demikian, ia hanya enggan mengungkit luka lama.
“Eh sorry-sorry kalo lo gak nyaman Rai.”
“Its okey, gue hanya kurang nyaman dengan panggilan itu kalo bukan dari Mama Baba.”
“Ke Surabaya ngapain Na?”
“Mau nonton konser.”
“Oh konsernya Haechan ya? Sama siapa?”
“Iya ini sama temen-temen, kok lo tau ada konser Haechan?”
“Taulah udah banyak kali posternya bertebaran. Masih aja suka Haechan ya dari dulu gak berubah.”
“Iyadong gue kan setia ke Haechan.”
“Udah nemu cowok yang bisa gantiin Haechan belum Rai?”
Raina tertawa mendengarnya, “Belum, kayaknya gak akan ada sih yang gantiin Haechan hahahaha.”
“Cari cowok yang nyata dong Rai, jangan yang dalam khayalan mulu.”
“Enggak ah, males patah hati nih gue lagi mikirin skripsi juga. Cuma Haechan satu-satunya cowok yang gak berpeluang nyakitin gue.”
Haikal tersenyum mendengarnya, membahas tentang Haechan dari dulu akan selalu membuat Raina bersemangat.
“Kalo lo sendiri gimana? Masih sama cewek yang waktu itu?”
Haikal menundukkan kepalanya, tidak lagi berani menatap Raina. Ia tau jika ia pernah melukai hati perempuan di depannya itu.
“Engga.” Haikal menggeleng pelan.
“Sorry gue gak tau.” Raina bercicit pelan.
“Dia udah nikah sekarang, udah punya anak. Pacaran bertahun-tahun sama gue, tpi terus gue di tinggalin.” Raina terkesiap mendengarnya, ya tuhan apakah ini karma?
“Gue jadi trauma buat punya cewek lagi, takut tiba-tiba di tinggalin tanpa alasan lagi.”
Raina menepuk pelan pundak Haikal dan berkata, “Kal, lo harus bahagia gimanapun caranya. Patah hati gue dulu sia-sia dong Kal kalo ternyata lo sekarang di tinggalin gini? Ayo Kal cari kebahagiaan lo, biar dulu air mata gue gak terbuang sia-sia kalo lo sekarang bahagia.”
“Janji sama gue lo harus bahagia.”