Ran;

Biarlah orang ingin tau, cinta kita bukan untuk di umbar-umbar...

Sesuai dengan janjinya pada Somi siang tadi, Haechan berkunjung ke rumah gadis itu. Beruntung latihan hari ini tidak begitu lama, karena ia dan membernya yang lain sudah menghafal semua koreo-nya. Tiap kali datang berkunjung ke rumah gadis itu Haechan selalu membawa berbagai macam makanan. Untuk Evelyn, Tuan dan Nyonya Matthew.

Tapi kali ini ia hanya membawa satu kantong belanjaan, Somi bilang tadi ia hanya sendirian di rumah. orang tua dan adiknya sedang berkunjung ke rumah sang nenek di Busan.

“Papi sama mami pulang kapan yaangg?”

Tanya Haechan setelah Somi membereskan bekas makan malam mereka. Keduanya kini duduk di ruang tengah sambil menonton drama di televisi, ah atau drama yang sedang menonton mereka berpelukan mesra lebih tepatnya.

“Lusa kayaknya, kenapa?”

Jawab Somi yang begitu nyaman bersandar di pelukan Haechan, tangannya juga sibuk menyuapi es krim ke mulutnya sendiri dan mulut Haechan.

Padahal di luar salju mulai turun, suhu ruangan pun sedikit lebih dingin tapi keduanya tetap asik menikmati es krim. Mungkin efek berpelukan ya jadi dingin dunia luar tidak terasa.

“Aku nginep ya kalo gitu?”

Sebenarnya tanpa bertanya pun Haechan juga akan menginap, Somi tidak akan ia biarkan sendirian di rumah.

” Hooh, besok kamu ada latian pagi gak?”

“Agak siang sih soalnya nunggu unit lain syuting mv.”

Somi hanya mengangguk paham, ia kembali fokus pada makanannya yang lain. Haechan juga ikut membuka minuman kaleng beralkhohol yang tadi sengaja ia beli. Pengusir lelah.

” Dingin gak yaangg?”

tanya Haechan, tangan kirinya mengelus lengan Somi yang hanya mengenakan kaos oblong miliknya. Sekedar informasi, Somi benar-benar hanya menggunakan kaos milik Haechan. Hanya satu helai.

“Hooh...”

” Sini deketan,”

Haechan mengangkat tubuh Somi untuk lebih merapat ke tubuhnya, ia juga semakin mengeratkan dekapannya.

Somi kini fokus menonton drama di depannya mengabaikan Haechan yang sedari tadi begitu intens menatapnya. Tangannya kini mulai nakal mengelus pelan paha Somi, niatnya mencari perhatian sang pacar.

” Yaaaaangg diem dong!”

Rengekan Somi justru membuat Haechan terkekeh dan semakin menggodanya.

” aku ngapain emang?”

” Tangan kamu diem! aku mau nonton,”

” aku gak ngapa-ngapain padahal...”

” ish kamu mancing-mancing!”

” mancing gini?”

Haechan sekarang justru semakin intens mengelus paha dalam Somi, bahkan tangannya mulai lebih naik dari sebelumnya.

” Yaaaaaangg!”

Somi menatap Haechan memohon, tapi pemuda itu justru balik menatapnya tanpa dosa dan menyunggingkan senyumnya.

” Kenapa sayang?”

Somi tidak menjawab, dan berusaha mengabaikan Haechan dengan kembali fokus pada televisi di depannya. Tapi rupanya Haechan punya cara lain untuk mengambil atensinya. Pemuda itu mengangkat tubuh rampingnya ke atas pangkuan. Haechan juga membalikkan tubuh Somi menghadap dirinya.

Karena kesal, Somi langsung meraup bibir di depannya dengan kasar. Ia bahkan sengaja menggigit bibir Haechan, tapi bukannya kesakitan Haechan justru tersenyum di sela ciuman mereka yang mulai memanas. Ia suka Somi lebih agresif begini.

Somi melepas pagutan mereka setelah beberapa menit, ia meraup oksigen dan menetralkan deru napasnya. Sedang Haechan melancarkan aksinya bergerilya dari dagu Somi sampai ke atas dadanya.

” Sstttt...yaangg jangan kasih tanda, besok aku kerja.” Desis Somi saat merasa Haechan mulai memberinya gigitan kecil.

Haechan mendongakkan kepalanya saat sadar ia tidak bisa melakukan pekerjaan favoritnya malam ini, menatap Somi dengan ekspresi begitu melas.

Somi mengerti itu, ia lalu mengecupi seluruh permukaan wajah pacarnya. Memberi gigitan kecil di telinga pemuda itu saat tangan besar Haechan mulai meraba punggungnya di dalam kaos.

” Pindah ke kamar yuk yaangg jangan disini...”

Somi berbisik pelan, sambil meremat lembut rambut belakang Haechan. Kepala Haechan sekarang sedang nyaman menelusup di dadanya, sekali lagi mengabsen bagian itu dengan lidahnya.

Haechan tidak menjawab, tapi langsung menggendong Somi menuju kamar gadis itu. Ia bahkan tidak melepas cecapan-nya, membuka pintu kamar Somi dengan tendangan kasar. Begitu tidak sabar untuk menikmati hidangannya malam ini.

Mereka sama-sama sedang membara, begitu fokus saling memberikan kenikmatan masing-masing sampai lupa tidak mematikan televisi dan membiarkan pintu kamar terbuka.

Keduanya berlomba mencapai kenikmatan lebih dulu, Somi menggigit bahu Haechan ketika di rasa mereka akan sama-sama meledak.

Ketika puncak itu datang, Haechan menyesap bibir perempuan di bawahnya, lalu memberikan sebuah kecupan di dahinya sebelum melepas penyatuan mereka.

Haechan lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh polos keduanya, ia memeluk Somi dari belakang yang kini matanya sudah mulai terpejam.

” Love you...”

Kamu harus tau kalo di dunia ini bukan hanya aku yang sayang kamu, ada milyaran lainnya.

Haechan baru saja menyelesaikan seluruh agenda latihannya hari ini, mulai dari pemanasan vokal, dan segala tekniknya yang perlu di asah sampai terkahir adalah berlatih koreografi dance baru untuk lagi utama di project tahunan ini.

Mega grup yang benar-benar spektakuler

Jika ditanya apakah ini melelahkan? Tentu saja. Tidak ada pekerjaan yang tidak melelahkan di dunia ini. Tapi Haechan menikmatinya, sejak kecil berada di atas panggung adalah mimpinya, pun telah lama ruang latihan menjadi dunianya.

Menjadi seorang superstar dunia adalah impian banyak orang, dan Haechan merasa beruntung di beri kesempatan untuk menjadi salah satunya. Namanya di kenal di seluruh penjuru dunia, itu hebat sekali. Dan sangat membanggakan, akan ada banyak cinta yang tercurah untuknya setiap saat.

Tapi terkadang...

Ia tentu saja jenuh, lelah dan ingin sejenak beristirahat. Hanya saja pekerjaannya menuntut ia untuk terus aktif kesana-kemari menyapa semua penggemar, Haechan lelah. Ia perlu amunisi untuk mengobati segala bentuk jenuhnya.

Salah satu cara untuk mengatasinya adalah sejenak pulang ke rumah, mengisi amunisi semangat dan kebahagiaan dengan Ayah Ibu dan adik-adiknya. Tak bisa lebih lama karena setumpuk agenda telah menantinya di asrama, tapi setidaknya mampu menyuntikkan secercah energi dan semangat baru untuk kembali menjalani takdirnya.

Ngomong-ngomong soal penyemangat hidup, selain Ibu yang selalu menjadi nomor satu Haechan punya perempuan lain yang bisa mengembalikan semangatnya ketika begitu lelah bekerja. Seseorang yang Haechan syukuri terlahir ke dunia dan semesta pertemukan dengannya.

Rasanya menyenangkan tiap kali gadis itu menyemangatinya dengan penuh antusias dan perhatian luar biasa. Mengingatnya saja membuat Haechan menyunggingkan senyuman, ah gadis itu efeknya terlalu luar biasa.

Ia mencari tasnya yang rupanya bertumpuk dengan tas milik anggota lain, tim mereka sekarang punya anggota lebih dari 2 lusin.

“ Abang cari apa?” Tanya salah satu dari si bungsu ketika melihat Haechan mengobrak-abrik tumpukan tas itu.

“ Tas gue dimana ya?”

“ Abang kan gak bawa tas tadi...” Haechan reflek menepuk dahinya sendiri, ya tuhan ia lupa tadi terlalu terburu-buru pergi latian sampai ia tidak sempat membawa apapun kecuali ponselnya.

“ Gue lupa!”

“ ABANG-ABANG, ADEK-ADEK SIAPA TADI YANG GUE TITIPIN PONSEL?” Haechan berteriak menatap seluruh penjuru ruang latian yang paling luas itu, hampir seluas lapangan voly.

Seseorang di sudut ruangan mengangkat tangannya, dan berseru,

“ Di gue, nyoh ada pesan nih dari somsom!”

“ EH JANGAN DI BUKA!”

Haechan langsung berlari mengambil ponselnya, begitu gesit membuka chat dari kekasihnya yang tadi belum sempat ia baca lagi setelah pesan terakhirnya.

Ada pesan suara dari gadis itu, yang tidak sabar langsung ia putar,

“ Sayang aku semangat latihannya! Kamu paling hebat di dunia! Jangan lupa makan yang banyak, kalo kamu gak nafsu makan bilang aku ya nanti aku kirimin makanan aja. Vitamin yang kemarin beli sama aku jangan lupa di konsumsi yang rutin, banyakin minum air mineral juga ya suara kamu biar tetep merdu dan kamu gak kehilangan suara kalau harus ambil nada tinggi lagi.”

Tanpa sadar Haechan tersenyum mendengarnya, celotehan panjang Somi selalu menjadi pilihan tepat untuk mengobati lelah seperti ini,

“ Jangan minum kopi kalau latian! Kamu cepet lelah, aku gak bisa dateng ke tempat kamu latian kalau kamu lelah. Boleh main game tapi jangan tiap hari begadang ya sayang, nanti kamu kecapekan karena aku gak bisa selalu peluk kamu.”

“ Nanti kalo kamu udah gak sibuk kita ketemu ya, atau kalo ada kesempatan di sela-sela sibuk kamu nanti aku samperin. Inget harus tetep gembul! Biar nanti bisa aku unyel-unyel.”

“ Pacar aku juga harus selalu inget kalo yang dukung kamu itu banyak banget, seneng banget aku gak sendirian sayang kamu. Ada banyak orang di luar sana yang sayang bangett sama kamu, mungkin lebih dari aku. Sayang aku ini luar biasa banget emang, hihihi bangga banget punya Haechan di hidup aku.”

“ Udah ya mbul, aku juga mau latian ini nanti kalo sempet telpon aku ya! Kita vc, pingin liat muka ganteng kamu. Tapi kalo kamu capek langsung istirahat aja ya jangan di paksain, love you sayang...”

“ IYA SAYAAAAANG...”

Itu adalah sorakan semua orang yang berada di ruang latihan, rupanya Haechan lupa mengecilkan volume ponselnya ketika memutar voice note dari Somi. Haechan tentu saja tersipu malu, dan salah tingkah apalagi teman-temannya kini meledeknya.

“ Cie cie cie yang punya sayang...”

“ aduh najis gue iri!”

“ wah gue kudu telpon yayang gue juga nih...”

“ Si Somi bagi dua bisa gak Chan?”

“ Jomblo can't relate!”

Haechan tidak menggubris celotehan jahil mereka, ia lalu pamit pergi ke rooftop tentu saja mencari ketenangan untuk menelpon Somi, semoga gadis itu belum tidur.

“ Halo sayang...”

Di sebut rumah karena sepanjang apapun perjalanannya, akan kembali pulang padanya.

Haechan dari kemarin sedang menikmati waktu libur di rumah orang tuanya, tempat paling nyaman untuk melepas segala penat duniawi.

Sekaligus menjadi rutinitas menjelang comeback bersama grupnya, Haechan akan selalu pulang berkeluh kesah pada ibu atas semua lelah, mencari sumber kekuatan pada ayah, dan bermain bersama adik-adiknya sebagai bentuk mengisi kembali energinya.

Haechan tengah menikmati pemandangan kota dari ketinggian tempat tinggalnya ketika ibu dan adik perempuannya pulang dari berbelanja, rupanya mereka kembali dengan membawa seorang tamu.

“Kakaaaaakk!!”

itu suara adik bungsunya yang langsung berlari dan meloncat ke ke gendongan tamu yang baru saja menaruh belanjaan ibu di atas meja dapur.

“Kayaknya semua laki-laki di rumah ini bucin kamu dek.”

Saudara perempuannya menatap si bungsu dengan menggelengkan kepala, dia punya 3 saudara laki-laki dan semuanya menempel dengan gadis di depannya itu.

“ Lo cerewet sih makanya gak ada yang suka!”

Haechan lagi-lagi meledek adik perempuannya, ia kini ikut duduk di sofa ruang tengah, sembari membuka minuman kaleng di atas meja.

“ Ibuuuu Hyuck nih ngatain aku lagi!”

“ Abang jangan jail!”

Haechan mencibir, lalu melempar adik perempuannya dengan bungkus permen yang baru dia buka.

“ ISH!”

Gadis itu baru saja akan melempar kakaknya dengan kaleng minuman tapi sang ibu datang dan mencegah keributan yang menjadi rutinitas mereka.

“ Eh jangan berantem! Abang nih juga ada gebetan kok malah jail ke adeknya, jaga image dong di depan Somi.”

“ Yang begini gebetan? Pffftt kayak gak ada yang lebih cakep aja.”

Haechan menatap Somi yang tepat duduk di sebelahnya dengan setengah mengejek, sudah biasa menjadi candaan mereka.

“ GUE PUKUL YA LO!”

Somi berancang mengangkat tangannya untuk memukul Haechan, tapi dengan sigap pemuda itu menghindar.

“ Pukul aja dek, emang manusia kayak dia halal di babak belurin.”

adik perempuannya ikut mengompori Somi.

“ Diem lo!”

“ Udah sana bantu ibu masak, hus hus!”

Haechan mengibaskan tangannya, mengusir adek perempuannya untuk segera pergi dan tidak menganggu ia dan Somi.

“ Iya-iya gue pergi, ayo dek main di kamar aja kamu.”

Si bungsu yang sedari tadi anteng di pangkuan Somi pun ikut tergusur keberadaannya, abangnya memang selalu enggan berbagi Somi!

“ ABAAANG KALO PACARAN JANGAN DI KAMAR YA!”

“ GUE KAGAK PACARAN!!”

“ OH IYA LUPA KAN FRIENDZONE, HAHAHAHA!”

Somi tidak lagi heran dengan pertikaian ini, sudah biasa terjadi tiap kali ia berkunjung. Haechan mendumel begitu sebal mendengar kekehan adik perempuannya itu.

“ Lo ngapain kesini?”

Tanya Haechan sambil membaringkan tubuhnya di Sofa, dan kepalanya berada di pangkuan gadis itu.

“ Gak sengaja ketemu Ibu tadi pas belanja, terus di ajakin mampir. Katanya lo lagi di rumah.”

“ Kan emang gue selalu pulang dulu sebelum sibuk.”

“ Lo pasti capek ya?”

Tangan Somi kini beralih mengelusi rambut Haechan yang mulai memanjang, rambutnya sedikit rusak terlalu sering di ganti warna. Ya Tuhan tahun ini pemuda ini sudah comeback lima kali, dan akan semakin melelahkan pastinya.

“ Capek sih pasti, tapi kan ini pekerjaan gue. Mau gak mau ya harus sepenuh hati ngejalaninnya. Lagian gue punya obat capek paling mujarab kan?”

“ Iya ada Ibu dan ayah juga adek-adek lo yang siap sedia memberikan semua support mereka, tapi jangan lupa ada gue juga yang yang bisa kapan aja lo hubungi kalo mau ngeluh pas sibuk.”

Haechan tersenyum mendengarnya, ia lalu meraih tangan Somi dari atas rambut dan menaruhnya di atas dada. Mendekapnya dengan genggaman.

“ Lo jangan perhatian gini dong, nanti gue gatel pingin macarin.”

“ Hilih, tadi lo bilang kayak gak ada yang lebih cakep dari gue gitu!”

“ Ahahahahaha kan bercanda.”

“ Emang ada yang lebih cakep dari gue?”

“ Sebenarnya banyak, cuma yang pas di mata gue cuma lo doang sih!”

Somi menggeplak dada Haechan, ia paling tidak suka kalau pemuda itu melayangkan rayuan begini membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat, dan pipinya memerah karena salah tingkah. Padahal sudah lebih dari 5 tahun ia mendengar rayuan pemuda itu.

“ ADUH! Sakit sayang...”

“ Sayang pala lo peyang!”

“ Ahahahaha lo kenapa sih?”

“ Kan gue udah bilang jangan manggil gue sayang, kita gak pacaran!”

“ Yaudah ayo pacaran biar bisa gue panggil sayang.”

“ GUE GEBUK YA LO!”

Bukannya takut Haechan justru tertawa, sangat puas melihat ekspresi kesal milik Somi. Ia lalu membawa tangan Somi yang sudah melayang di udara mendekati mukanya, mencium punggung tangan halus itu sekilas. Ini biasanya ampuh untuk membuat Somi berhenti mengomelinya.

“ Makasih ya untuk selalu ada.”

Haechan begitu tulus mengucapkannya, ia benar-benar bersyukur semesta mengahdirkan Somi di hidupnya. Mereka memang tidak terikat apapun, tapi dunia tau keduanya saling memiliki. Mau berapapun orang yang keduanya temui, tetap saja ujung perjalanannya adalah keduanya. Somi sudah seperti Ibu, rumah dari segala perjalanan panjangnya.

“ Najis! Kenapa jadi melow sih!?”

“ Lo mah selalu merusak suasana.”

“ Geli gue lo lembut begitu.

“ Yaudah ayo main kasar kalo gitu.”

“ SUMPAH YA DONGHYUCK GUE PATAHIN LEHER LO ABIS INI!!”

“ HAHAHAHHAHAHA...”

Somi dengan paksa menurunkan kepala Haechan dari pangkuannya, dan bergeser untuk duduk lebih jauh. Ia menatap Haechan dengan begitu kesal, bisa-bisanya bercanda hal tak senonoh di rumah orang tuanya.

“ Heh balik sini!”

“ Gak mau!!”

“ Kagak bakal gue apa-apain, bercanda doang! Sini dong beb gue mau manja-manja nih sebelum lo pulang.”

Haechan menarik tangan Somi untuk kembali mendekat ke arahnya, ia juga kembali meletakkan kepalanya di pangkuan gadis itu. Serta menuntun tangan Somi untuk kembali mengelusi rambutnya.

“ Abis ini lo langsung ke music show?”

“ Iya...”

“ Gue anterin ya?”

“ Gak usah gue bisa telpon manager abis ini, lo kan lagi liburan yaudah take your time sama keluarga.”

“ Engga lo beerangkat sama gue aja.”

Dari nada bicaranya itu bukan lagi pemintaan lebih mirip sebuah paksaan, dan Haechan selalu keras kepala.

“ oh gue tau lo mau ket...”

“ BUKAN GITU SOMIAH! MAKSUD GUE NANTI ABIS LO PULANG BIAR MAMPIR KESINI LAGI, GUE MASIH PINGIN DI MANJA!”

Somi terbahak mendengar keluhan Haechan, lalu menundukkan kepalanya untuk mengecup sekilas dagu Haechan yang tengah mendongak menatapnya.

“ Iya-iya, percaya..”

“ HALAH BILANGNYA AJA KAGAK PACARAN, TAPI TINGKAHNYA UDAH KAYAK SUAMI ISTRI!!”

Haechan dan Somi reflek menoleh ke belakang Sofa, adik perempuan Haechan tengah berdiri berkacak pinggang disana bersama Ibu yang hanya menggelengkan kepalanya.

Dasar anak muda!

Terkadang apa yang tak nampak bukan berati tiada,

Terkadang semua semu terasa nyata, hanya karena kita percaya,

Terkadang kau lupa, ada sudut yang sembunyi dari semesta.

@nadilangfs

Cara terbaik untuk tetap mempertahankanmu adalah tidak memilikimu.

Haechan menatap puan di hadapannya dengan begitu datar, ia baru saja duduk di atas ranjang ketika si puan menatapnya nyalang penuh amarah.

“Berantemnya jangan sekarang ya? Gue capek banget abis latian, niatnya dateng ke tempat lo mau istirahat.”

Tapi Somi, si puan di depannya ini rupanya enggan mengerti. Meski jelas betul Haechan begitu lelah, Somi tetap mengibarkan bendera perangnya.

“ Justru itu gue udah bilang berkali-kali kalo lo capek dan butuh healing dateng ke tempat cewek lo, jangan ke gue!”
“ Som, gue beneran capek dan gak minat ngeladenin lo”

Haechan kali ini sedikit meninggikan nada bicaranya, berharap Somi mengerti hendaknya malam ini.

“ KALO GITU LO PULANG!! GAK USAH NEMUIN GUE LAGI!!”
“ LO KENAPA SIH?!”

Haechan ikut tersulut mendengar bentakan Somi, terhitung ini adalah pertengkaran ketiga mereka dalam minggu ini.

“ Lo yang kenapa!? Cewek lo ngehubungin gue mulu, nanya kabar cowoknya gimana? Cewek lo Chan, cewek lo!? Gimana bisa dia nanyain kabar cowoknya ke gue?”
“ Tinggal lo jawab gue sibuk latian, beres gak perlu ngajak berantem gini!”
“ Lo mikir gak sih, gue di mata cewek lo kayak apa? Justru gue yang bukan siapa-siapanya elo lebih tau daripada dia, lo pikir di mata dia gue masih baik-baik aja?!”
“ Kita udah bahas ini berkali-kali...”
“ Justru itu Chan, harusnya lo udah ngerti. Gue punya cowok, harusnya gue siap sedia buat cowok gue bukan cowok orang! Gue capek tau gak?!”

Haechan menatap Somi tidak percaya, jadi apakah kehadirannya menjadi beban di kehidupan gadis itu sekarang? Meski sering bertengkar, Somi sekalipun tidak pernah mengeluh lelah dengan tiap cek cok mereka.

Tapi malam ini....

“ Oh apakah kehadiran gue sekarang begitu menganggu? Apa cowok lo yang gak suka gue sering dateng kesini? Atau gue udah tergantikan sama dia?”

Haechan kini tertawa remeh, miris pada dirinya sendiri.

“ Kenapa lo tanya gue? Tanya sama dia, kan temen lo sendiri. Harusnya lo udah tau tanpa dia bilang pun dia pasti keberatan ceweknya di datengin cowok lain.”

Haechan bangkit dari duduknya begitu saja, berjalan ke arah pintu keluar. Mungkin merasa bahwa apa yang di ucapkan Somi itu benar, ia tidak tau posisi dan sekenanya sendiri.

Tapi, di depan pintu ia berhenti teringat sesuatu yang sepertinya perlu dia pastikan lagi.

Perihal rasa mereka...
“ Gue janji gak akan datang kesini lagi, asal jawaban lo udah berubah dari tempo hari.”

Somi enggan menatap Haechan yang kini mengintimidasinya, ia tau pertanyaan apa yang akan pemuda itu layangkan.

“ Do you still love me?”

Somi tidak lagi berapi-api seperti tadi, ia begitu saja drastis menjadi sendu. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca, dan di pastikan suaranya akan bergetar setelah ini.

“ Lo selalu nanya hal gak penting buat ngulur waktu...
“ Whatever menurut lo penting apa engga, tapi buat gue ini penting. Gue perlu tau sekuat apa gue lo pertahanin.”

Terjadi jeda sepersekian detik, sebelum Haechan kembali menuntut jawaban.

“ Do you still love me? Ayo jawab!”
“ Lo tau jawabannya akan selalu sama!”

Setelah pekikan itu tangis Somi akhirnya pecah, dadanya terasa begitu menyesakkan.

Entahlah membahas tentang Haechan dan dirinya selalu penuh luka, tapi bodohnya tetap ia genggam sekuat tenaga.

Haechan kini menyunggingkan smirknya, see? He is unbeatable!

“ Gue tau, gue gak akan tergantikan siapapun. Dari dulu kita juga gak pernah berubah, tetep saling nyakitin.

Setelahnya pemuda itu menghilang di balik pintu, meninggalkan Somi yang semakin keras menangis. Sekali lagi tentang Haechan selalu menyakitkan.

“ Gue lebih takut kehilangan lo dari apapun di dunia ini.”

Monolog Somi pada dirinya sendiri malam itu di sambut suara petir dan gemuruh hujan yang tiba-tiba saja mengguyur kawasan apartemennya. Seolah semesta ikut bersedih dan terluka dengan situasi mereka, tak terikat namun dekat.

Tak pernah ada tapi lebih dari segalanya.

Keduanya saling yang enggan asing, padahal masing-masing.

Menyakitkan yang terus mereka rawat, karena bagaimanapun bersama adalah obatnya.

Raline kini tengan memperhatikan sudut-sudut di ruangan Harsa, sementara si empunya sedang sibuk menandatangani beberapa berkas. Rupanya ia melewatkan detail ruangan ini selama sering berkunjung, ia baru tau di sudut ruangan dekat dengan tanaman mini Harsa ada foto seorang wanita yang terpampang di figura kecil. Ralie mengambil foto itu dan mengamatinya, seorang wanita cantik dengan senyum matahari persis seperti senyuman Harsa.

Melihat Harsa telah menyelesaikan pekerjaannya, Raline mendekat dan bertanya “ ini foto sisapa?”

” Kata papa, itu foto mama saya.”

” hmm? gimana?”

ah mungkin memang sudah saatnya Raline tau apa saja yang terjadi dalam hidupnya selama ini.

Harsa mengambil figura foto itu dan menaruhnya di atas meja, ia letakkan di samping foto Raline yang sebulan lalu sengaja gadis itu taruh sendiri di atas meja kerjanya. Lalu Harsa meraih pinggang Raline mendekat, dan mendudukan gadis itu di ats pangkuannya. Harsa menaruh dagunya di atas bahu Raline, tangannya memeluk erat tubuh ramping itu.

Dan Raline menyandarkan punggungnya pada dada sebelah kiri Harsa, siap mendengarkan cerita yang rupanya akan cukup panjang.

” Saya belum pernah bertemu mama, saya tidak pernah tau hangat sentuhan tangannya bagaimana. Beliau meninggalkan saya dan papa bahkan sehari setelah saya lahir.” Raline dengan reflek ikut mengeratkan pelukannya pada tangan Harsa yang berada di atas perutnya, ya tuhan apa ini?

” Dulu tiap saya kecil bertanya kemana mama, papa selalu bilang mama sedang mencari kebahagiaanya dan suatu saat akan kembali. Tapi sampai saya remaja mama tidak pernah kembali, dan saya mulai membenci papa karena menganggap semua ucapannya bohong. Kemudian suatu hari saya tau fakta bahwa mama meninggalkan kami karena sudah tidak lagi mencintai papa dan dia berpaling, bahkan kehadiran saya tidak di inginkannya. Jika bukan karena papa, saya mungkin sudah berhasil mama lenyapkan sejak dalam kandungan.”

Tanpa sadar Raline meneteskan air matanya, kenapa Harsa harus hidup demikian?

” Saya tidak punya tempat untuk benar-benar pulang, dan menemukan apa yang di sebut rumah. Saya tidak punya rekan untuk mengeluhkan hidup, papa dulu begitu sibuk membangun semua ini. Dan berakhir dengan narkoba, karena saya tidak tau lagi bagaimana untuk terus hidup. Sampai saya bertemu dengan Shirina, dia membantu saya untuk melepaskan diri dari jerat kegelapan itu. Shirina menyelamatkan hidup saya, ia juga mengubah sudut pandang saya terhadap perempuan. Bahkan ketika saya hampir hancur lagi saat papa meninggal, dia begitu setia menemani saya. “

Raline mengecup lembut pelipis Harsa, berharap mampu menenangkan pemuda itu karena telah bercerita dan mebuka luka lama, ia tidak cemburu dengan Shirina. Bagaimanapun perempuan itu berjasa di kehidupan Harsa.

” Dari awal saya tau Shirina telah terikat pertunangan, tapi saya saja yang nekat mencoba ingin bersamanya. Tapi ternyata keluarganya tidak bisa menerima masalalu saya, itu kembali membuat saya terpukul. apakah saya tidak punya kesempatan untuk seorang perempuan baik? apakah saya tidak cukup pantas untuk memiliki setidaknya satu saja perempuan di hidup saya?”

” Tapi saya kemudian sadar mungkin Shirina memang bukan untuk saya, melepaskan Shirina untuk Jenoah bukan keputusan buruk saya mengenalnya cukup baik. 2 tahun kemudian mereka menikah, dan kamu tau Raline apa takdir semesta yang begitu indah?”

Raline menggelengkan kepalanya, ia enggan menebak dan hanya ingin mendengarkan kelanjutan cerita Harsa.

” Sehari setelah pernikahan mereka, saya bangun terlambat. Pak Supri sedang sakit dan saya harus datang sendiri ke kantor, lalu di tengah perjalan ban mobil saya bocor beruntung ada seorang rekan kerja yang membantu saya dan mengajak saya untuk mampir ke rumahnya sebentar. Kebetulan sekali saya tidak sempat sarapan pagi itu, beliau dan istrinya menawari saya untuk sarapan terlebih dahulu dan secara tidak terduga putri sulungnya yang rupanya baru saja bangun itu turun dan menguap di depan saya.”

Raline melotot tajam ke arah Harsa, ia menggeplak keras lengan pemuda itu yang kini malah tertawa. Raline ingin bangkit dari duduknya tapi Harsa menahannya dan semakin mengeratkan pelukannya. Ia menempelkan pipinya dengan pipi Raline,

” Saya pikir hari itu menjadi hari yang begitu sial, ternyata saya salah. Sekarang hari itu menjadi salah satu hari yang paling saya syukuri di dunia karena saya bertemu kamu. Terimakasih ya sudah mau meluluhkan saya, terimakasih karena tidak menyerah dan mau menunggu terlalu lama. Sekarang saya punya tempat untuk pulang, benar-benar sebuah rumah yang nyaman.”

Harsa menatap Raline begitu dalam, mnangkup wajah cantik itu dengan kedua tangannya.

” Sekarang biarkan saya berusaha keras untuk mendapatkan restu dan izin dari papimu, saya usahakan tidak akan lama.”

Harsa menempelkan dahi mereka dan menggesek pelan hidungnya di ats hidung mancung Raline, dan Raline menyambut itu dengan mengalungkan tangannya di leher Harsa sebelum menyatukan perasa keduanya.

Tenang saja, kali ini tidak ada Nalapraya.

Raline melangkahkan kakinya memasuki kantor Harsa, ia perlu mengeskpresikan akibat dari ulah Harsa tadi pagi. setelah Raline kurang lebih sedikit menjadi gila akrena membaca surat Harsa, laki-laki itu justru tidak menjawab pesannya, tidak mengangkat panggilannya dan sekarang mengabaikannya. Lihat saja Raline akan memberi Harsa pelajaran karena melarikan diri dari tangung jawab atas hilangnya kewarasannya tadi pagi.

Dan sebuah kesialan datang pada Andy rupanya, ia tidak sengaja bertemu Raline didepan kantor dan siap-siap saja perjalanan mereka ke lantai teratas dimana ruangan Harsa berada akan di penuhi omelan Raline, Andy here we go again!

Tapi sesuatu terjadi tanpa di duga ketika mereka menunggu lift, bisikan di belakang mereka begitu mengganggu pendengaran Andy, tidak yakin jika setelah ini orang-orang itu akan dalam keadaan baik-baik saja atau setidaknya akan ada lemparan heels dari bu bos di sampingnya yang kini sudah berbalik menatap beberapa pegawai wanita itu.

” Kok gak tau malu ya, ngaku-ngaku pacar dateng tiap hari, padahal jelas sekali jauh dari idaman wanita Pak Harsa sebelumnya.”

Andy telah siap menelpon Harsa, selaku nomor darurat jika Raline berulah tapi ia menurunkan kembali ponselnya ketika melihat Raline justru tersenyum menghampiri mereka, lalu menyapa ramah.

” Halo selamat pagi, wah cuaca hari ini indah sekali ya cocok banget sama pakaian kamu yang soft itu. Btw beli sepatu dimana? saya suka warnanya.” Semua orang yang berada disana rupanya tidak menyangka dengan respon yang Raline berikan, bukankah harusnya ada cacian atau jambakan?

pegawai yang baru saja Raline ajak mengobrol tidak menjawab dan justru pamit pergi dengan sopan melihat intruksi Andy untuk meninggalkan mereka.

” oh gue gak di gubris,” gumam Raline pelan.

Ketika berada di dalam lift berdua dengan Andy, Raline baru mengeluarkan tanduknya ia jengkel sekali, bagaimana bisa ada pegawai murahan seperti itu kantor ini?

” LO TAU GUE PINGIN NGACAK-NGACAK INI KANTOR RASANYA!” Raline berteriak melepaskan amarahnya, semangat Andy!

” Saya pikir tadi malah bakal ada setidaknya satu kepala benjol.” cicit Andy pelan.

Raline menarik napasa dalam, menghembuskannya pelan dan mengatur kembali emosinya.

” No! Harsa bilang sebagai bu bos mereka gue harus tetap di pandang baik, alasan kenapa gak gue jontorin bibirnya tadi.”

Andy mengangguk paham, sepertinya memang singa betina yang mengamuk pawangnya memang singa jantan.

Tapi sepertinya dugaan Andy salah, karena begitu pintu ruangan Harsa terbuka Raline langsung melemparkan tasnya ke sembarang arah dan berteriak kesal. warning danger satu untuk Pak Harsa nanti jika sudah masuk ke ruangannya.

satu jam kemudian setelah Harsa menyelesaikan rapat dengan para direksi ia sudah mendapati Raline yang menekuk muka cemberut dan menahan kesal. Harsa menghampiri Raline dan duduk di sampuingnya,

” Kenapa?”

” kesel banget pegawai lo ada yang ngataingue.”

” terus kamu apakan dia?'

” gak gue apa-apain, kata lo gue harus baik ke semua pegawai lo.”

Harsa tersenyum mendengarnya, Raline mendengar ucapannya dengan baik. laki-laki itu lalu menaikkan satu kakinya ke atas sofa, setengah bersila dan kini menghadap Raline. Tangannya terulur untuk mengelus rambut Raline.

” Gadis baik.” Harsa lalu memajukan tubuhnya dan membuka tangan hendak meraih tubuh Raline, tapi gadsi itu buru-buru mendorongnya.

” LO MAU NGAPAIN HEH!?”

Harsa langsung menarik tubuh Raline kedalam pelukannya, dan mengunci tubuh ramping itu.

” Hadiah karena kamu udah gak marah-marah tadi.” Raline tentu menikmati pelukan itu, yang ia dapat tanpa segala macam ilmu permodusan kali ini.

Setelah Harsa melepaskan pelukannya, Raline kembali mengeluh.

” Tapi gue masih kesel, rasanya pingin jambak orang!”

Harsa lalu menundukkan kepalanya kedepan Raline, “ Yaudah nih jambak rambut saya aja biar kamu gak kesel lagi.”

tangan Raline memang terulur ke atsa kepala Harsa, tapi bukannya menjambak ia justru menyisir halus rambut lebat itu dengan jari-jarinya.

” Enggak ah kalo inimah harus di sayang-sayang.”

— Sunflower.

Harsa menghela nafasnya lelah begitu melihat Raline tiba-tiba muncul di sebelahnya. Gadis itu tersenyum begitu lebar berdadah padanya.

“ kan pak apa gue bilang kita jodoh nih.”

” Gak ada ya jodoh karena sering ketemu, kamu ngarang teori sendiri itu.” Harsa berjalan meninggalkan Raline begitu saja.

” ADA! WITING TRESNO JALARAN SAKA KULINO LOH!” Raline rupanya memang tidak tau malu, sekarang ia berteriak di tengah supermarket. Membuat mereka menjadi pusat perhatian ibu-ibu yang sibuk berbelanja.

” Ssstttt! Jangan teriak, kebiasaan kamu itu.” Harsa menyumpal mulut Raline dengan bekapan tangannya.

Gadis itu lalu mengekor kemanapun Harsa pergi dengan muka di tekuknya, ayolah itu pasti ekspresi menggemaskan bagi pemuda lain. Tapi Harsa tetap menatapnya tanpa minat.

” Kamu ngapain ngikutin saya?”

” Lagi latihan.”

” Latian ngapain?”

” Mengikuti imam.”

Lagi-lagi Harsa di buat menghela nafas, ya tuhan kenapa Harsa harus sering di pertemukan dengan makhluk ajaib seperti Raline.

Daripada menanggapi Raline yang obrolannya melantur kemana-mana Harsa memilih mengabaikannya. Ia memasukkan beberapa kebutuhan rumah tangga kedalam trolinya. Menimang beberapa barang dan makanan yang akan ia beli.

Dan tidak sengaja di lorong berikutnya ia bertemu dengan Shirina dan Jenoah, sepasang teman lama.

” Loh Harsa?” Sapa perempuan yang rupanya tengah hamil itu, perutnya sedikit membuncit meski tertutup cardigan.

” Eh? Hai...” Harsa menyapa dengan sedikit kikuk, sementara Raline sibuk menatap ketiganya bergantian.

” Apa kabar bro?” Tanya Jenoah.

” Baik-baik, puji syukur sehat terus. Lo sama keluarga?”

” Iya baik juga, puji syukur.”

” Itu siapa?” Shirina menunjuk Raline yang mengintip di balik punggung Harsa.

” Sekretaris gue, yaudah ya gue duluan. Kalian berdua have fun.” Harsa lalu pamit pergi begitu saja, menarik tangan Raline untuk segera pindah ke lorong lain.

” Tadi tuh perkenalannya salah pak! Calon istri harusnya bukan sekretaris ih!” Raline melayangkan protesnya ketika mereka sudah beralih jauh dari pasangan suami istri tadi.

Harsa dengan cepat lalu melepaskan genggamannya di tangan Raline, membuat gadis itu mendesah kecewa.

” Maaf ya tadi saya bohong kalau kamu sekretaris saya.”

” Gak mau maafin ah!”

” Ya sudah terserah kamu kalau begitu, kan saya sudah minta maaf.”

” IH BUJUK DONG!”

” ssstt Raline jangan teriak, iya iya saya bujuk.” Harsa panik kembali ketika Raline meninggikan nada bicaranya. Wah mati muda lama-lama kalau Harsa sering bertemu dengan Raline.

” Ayo bujuk!”

” Yaudah kamu mau apa?”

” Traktir es krim ya?”

” Hanya itu?”

” Yap hanya itu, bahagia gue sederhana soalnya yang penting sama lo aja.” Lagi-lagi Harsa harus mengehla napasnya.

” Yaudah ayo saya traktir es krim.” Mereka akhirnya memutuskan berjalan ke arah lemari pendingin dimana es krim berbagai macam berjajaran disana.

Sambil memilih apa yang ia mau, Raline mengajak Harsa mengobrol, ada yang perlu ia tanyakan sebenarnya,

” Tadi itu siapa?”

” Teman.”

” Yang cowok, tapi kalo yang cewek?”

” Teman juga.” Raline sanksi mendengar jawaban Harsa, ia lalu melipat tangan di dada dan menatap Harsa menilisik.

” Yakin teman?”

Harsa menoleh ke kanan dan kiri memastikan orang yang sedang menajadi topik perbincangan mereka tidak dalam jangkauan.

” Mantan.”

” Oh waw.”

” Seleranya oke juga ya lo, kenapa putus?”

” Tidak di restui?”

” REALLY!?” Lagi, Raline mengundang atensi banyak orang. Harsa hanya bisa mengelus dada.

” Tapi Alhamdulillah deh lo gak di restui sama dia, jadi takdir mempertemukan lo sama gue deh sekarang.”

” Mulai deh.” Harsa rasanya begitu lelah menanggapi semua kehaluan gadis ini.

” Eh serius deh tapi gue penasaran kenapa lo gak di restui? Perfect begini kok di tolak sih.”

Harsa tersenyum sebentar mendengar pernyataan Raline tentang dirinya,

” Itu pandangan kamu, tapi aslinya kamu tidak tau siapa saya. Lagipula dari awal Shirina memang sudah di jodohkan dengan Jenoah, saya saja yang nekat mengajaknya berkencan.”

Raline sebenarnya masih ingin menanyakan banyak hal tentang Harsa dan Shirina di masa lalu tetapi,

” KAKAK IH AKU DI TINGGALIN KEMANA AJA SIH!?”

— Pulang.

Setelah tadi akhirnya mereka memutuskan untuk kembali berteman, kini keduanya menikmati perjalanan pulang bersama.

Harsa menawarkan tumpangan ketika Selena dan Catherine pamit pulang terlebih dulu tadi. Raline sebenarnya ingin pulang bersama Dewa saja, tapi pemuda itu menolaknya mentah-mentah.

Memang sepertinya sengaja membuatnya dan Harsa pulang bersama.

Dulu dia sering membayangkan bagaimana jika ia pulang ke asrama di antarkan Harsa, tapi cuma sebatas khalayan tentunya. Usia mereka terlalu muda, kemana-mana dulu harus di antar sang manager.

Tapi siapa sangka malam ini bisa terwujud tanpa di rencanakan seperti ini, bukan lagi di antar ke asrama. Tapi pulang ke rumah orang tuanya.

Playlist yang terputar di mobil Harsa menemani perjalanan mereka, pukul satu dini hari. Tapi Raline merasa tidak mengantuk sama sekali, apalagi dengan Harsa yang memberinya topik obrolan apa saja.

Sebenarnya mereka ini satu suara, punya pola pikir yang sama dan kepribadian yang cenderung mirip. Makanya begitu klop ketika mengobrolkan sesuatu. Kesukaannya pun banyak kesamaannya.

Sayang sekali bukan jika hanya berteman? Hehehe.

“ Lo udah dengerin lagu baru gue belum?” tanya Harsa ketika lagu barunya terdengar mengisi perjalanan mereka.

“ Udahlah, selalu enak. Gila highnote lo dari dulu gak pernah gagal.” Harsa tak bisa menahan senyumnya ketika Raline baru saja memujinya.

Sudah lama rasanya tidak tersipu karena di puji perempuan begini.

Pada bait bagian Harsa keduanya reflek menyanyi bersama,

“ You always be my favourite...”

Lalu saling menoleh berpandangan, dan tawa keduanya pecah.

Sepertinya ini yang di sebut pulang.

Benar-benar pulang, semoga ya! Tapi ingat perjalanan mereka masih begitu panjang.
Akan banyak terjalnya, meliuk naik turun tentunya. Memang untuk sekarang cukup berteman baik saja, bagaimana kedepannya itu urusan tuhan.

Tapi malam ini sepertinya Harsa menyadari sesuatu, senyuman dan tawa Raline ternyata masih tetap menjadi favoritnya.

Tak tergantikan.

— Awal mula.

Meja itu sekarang hanya terisi Raline dan Harsa, Jenan dan Anji memilih merokok di sudut ruangan. Felix dan Nala bergabung dengan ciwi-ciwi kembali mencari teh hangat. Apin pamit pulang ke rumah orang tuanya, sementara Selena meminta Fajira menemani ke kamar mandi.

Harsa tau itu semua hanya akal-akalan mereka saja, membuat dirinya kini berduan dengan Raline. Begitu canggung rasanya, apalagi setelah tadi di soraki begitu keras.

Harsa menggaruk belakang tengkuk kepalanya, menatap ragu pada Raline yang tengah memainkan ponselnya.

“ Sorry yang tadi.” ujarnya pelan.

“ Hmm?” Raline mengangkat kepalanya, tak sengaja malah menatap Harsa.

Demi tuhan lucu sekali di mata Harsa.

“ Sorry yang tadi, temen-temen gue emang jahil banget.” Harsa kembali mengungkapkan permintaan maafnya.

“ Its okey gapapa, emang pada jahil mereka.”

Raline sebenarnya sedang berusaha mencari topik pembicaraan, dia tidak pernah kehabisan topik sebelumnya untuk berbicara dengan orang lain.

Tapi ini Madaharsa, ya tuhan benar-benar Madaharsa. Sudah lebih dari 5 tahun tidak lagi mengobrol dengan pemuda itu.

Kalau Raline tidak salah ingat, pertemuan terakhir mereka kurang mengenakkan untuk di ingat. Bertengkar.

Iya mereka pernah bertengkar, tau tidak tentang apa?

Tentang hal sederhana yang bahkan terlalu kekanak-kanakan jika di debatkan sekarang.

Itu dulu saat usia mereka begitu muda, 16 tahun kurang lebih. Segala bentuk kedewasaan masih baru di godok, belum matang sama sekali.

Harsa usia 16 tahun begitu menyebalkan di mata siapapun, keras kepala sedikit urakan dan ugal-ugalan dari segala aspek.

Remaja 16 tahun pada umumnya baru mengenal yang namanya di mabuk asmara, Harsa pun sama baru tau rasanya perut di gelitiki kupu-kupu dan jantung berdebar ketika waktu itu bertemu dengan pujaan hati.

Dulu mereka sering bertemu, di acara musik besar atau penghargaan tahunan. Keduanya sama-sama bungsu di grup masing-masing. Sama-sama masih di manjakan.

Harsa sepertinya jatuh hati karena intensitas pertemuan mereka yang cukup sering itu, ya waktu itu yang seumuran dengannya tidak banyak hanya bisa di hitung jari.

Tentu ia senang ada perempuan sebaya yang ikut debut di usia muda.

Mereka sama-sama ingin menikmati masa remaja, cinta monyet itu seperti apa. Tapi mereka lupa, dunia mereka tidaklah sama. Kamera mengintai dimana pun, tidak memberikan mereka kesempatan untuk bertemu.

Harsa berkali-kali mengeluh akan kegagalan pertemuan mereka, jadwal yang begitu padat dan hampir tidak ada celah untuk berkencan.

Hey anak muda, kau dulu masih remaja!

Raline awlanya biasa saja, menikmati segala perhatian Harsa. Seru juga ada seseorang yang memperhatikannya tiap hari. Tapi lama-lama ia merasa banyak selek mereka yang menjengkelkan.

Beberapa yang Harsa lakukan terlalu berlebihan dan agak kekanakan. Raline tidak suka itu. Apalagi ketika ia bertanya, apa yang Harsa paling suka darinya, pemuda itu justru menjawab, “ Tentu saja kamu cantik.”

Jawaban yang sama sekali tidak ingin Raline dengar, ia ingin di cintai karena dirinya bukan karena parasnya.

Keduanya sebenarnya sama, belum ada kematangan dalam pola pikir mereka. Apalagi di tambah dengan beban pekerjaan yang begitu luar biasa, terkadang memaksa dewasa melebihi kodratnya itu sungguh melelahkan.

Jika di bandingkan sekarang Harsa tentu jauh begitu dewasa, meningkat 10 tanjakan sepertinya. Pun dengan Raline yang lebih berpikir rasional. Sebenarnya dewasa kini membuat mereka sadar, dulu sangat memalukan untuk di ingat. Tidak seharusnya terjadi dan perlu di perbaiki, setidaknya membenarkan apa yang menjadi kesalahpahaman.

Bukankah sekarang harusnya mereka bisa berteman?

“ Sorry buat yang dulu-dulu juga ya.” Ucap Harsa tulus.

Raline mengangguk setuju, “ Gue juga minta maaf ya nolak lo gak etis banget dulu, hehehe.” Harsa ikut terkekeh mendengarnya.

Ya ampun memalukan kalau di ingat, ia di tolak lalu di campakkan dan sakit hati sendirian.

“ Ya gue kalo jadi lo dulu juga pasti bakal nolak bocah ingusan itu sih, hahaha.”

Syukurlah kalau sekarang mereka bisa menerima keadaan dan menertawakan dulu yang di anggap luka bersama seperti ini.

“ Sekarang gimana? Have you found someone who can accept your love?”

Harsa terbahak sebentar sebelum menggelengkan kepalanya pelan,

“ Belum, gak minat nyari sih kapok ah.” Candanya, tapi justru membuat Raline kembali memasang ekspresi bersalahnya.

“ yah, sorry nih kalo gue bi...”

“ No! no! Bercanda yang tadi, bukan karena kapok kok. Cuma ya kayaknya mau fokus kerja aja. Terlalu beresiko sama pekerjaan gue sekarang kalo mikirin cinta-cintaan lagi. Apalagi tim kami semakin besar, tanggung jawabnya lebih besar.”

Ya beginilah susahnya berada di dalam tim, setiap apa yang akan di lakukan akan berpengaruh pada semua orang disana.

Raline mengangguk paham, memang begitu berat berada di dalam tim. Banyak tekanan dari segala sisi, mengekang dirinya untuk berbuat ini dan itu.

“ Semangat deh ya buat kerjaan lo, semoga makin sukses. Dan semoga kedepannya lo menemukan seseorang yang bisa mengerti lo dan dunia lo yang ribet ini.” Raline benar-benar tulus mengucapkannya, dunia industri ini begitu kejam, ia hanya saling mensupport sesama orang yang menggeluti bidang mengerikan ini.

“ Raline juga semangat ya, suksek buat albumnya nanti. Gue berharap lo menemukan seseorang dalam versi terbaik buat lo.”

Keduanya lalu saling melempar senyum, bukankah melegakan ketika kita akhirnya mampu berdamai dengan masalalu?

“ Mau jadi teman gak?”