Ran;

— Pertemuan.

Harsa sebenarnya malas untuk pergi malam ini, ia ingin menghabiskan jatah libur bulanannya kali ini dengan bermalas-malasan saja di asrama. Tapi paksaan teman-teman sebayanya tidak bisa ia tolak, 5:1 Harsa akan selalu kalah. Ingat kelompok mereka adalah yang paling buruk dalam memaksa orang, menyeramkan kata para member tertua.

Padahal sore tadi saat Jenan mengiriminya pesan tentang pertemuan malam ini, Harsa sudah memberikan alasan sedang ada latihan, menjelang album baru yang akan di rilis bulan depan.

Ini adalah pertemuan rutin, agenda yang di lakukan setiap bulan oleh Harsa dan teman-teman sebayanya. Tidak wajib sih, tapi memang kebanyakan dari mereka berusaha untuk datang. Hanya sekedar bermain dan menikmati hidup, sejenak melupakan siapa mereka di industri hiburan yang kejam ini.

Pertemuan biasa di lakukan cafe keluarga salah satu dari mereka, sebisa mungkin kerahasiaan pertemuan itu di jaga, enggan di ketahui publik. Apalagi para penguntit sialan yang sering memata-matai mereka.

Menjadi idola besar itu penuh resiko, seluruh hidup akan di amati publik sedetail mungkin. Tak ada lagi namanya privasi, kadang membuat lelah tapi Harsa sudah tau dari awal konsekuensinya, toh apa yang ia korbankan perlahan kini terbayar.

Harsa telah mengorbankan masa kecilnya untuk menjalani pelatihan, tidak ada bermain dan mencoba hal-hal baru seperti masa pertumbuhan anak-anak lain, dari bangun sampai tidur lagi yang ia tau hanya menari-menyanyi-menari-menyanyi dan bagaimana cara memuaskan penggemar di depan kamera.

Sudah dari lama itu menjadi hidupnya, sekarang sudah begitu terbiasa.

Harsa kehilangan banyak momen yang harusnya di dapat anak seusianya dulu, seperti bolos di jam pelajaran? Atau pencarian jati diri yang tentu saja dengan mencoba beberapa kenakalan remaja. Oh! Atau bagaimana rasanya jatuh cinta saat remaja, hal yang menggelikan dan menyanangkan sekaligus.

Harsa pernah mengalaminya tidak ya? Cinta monyet remaja kan alamiah, normal bagi setiap orang mengalaminya.

Mari kembali membahas pertemuan!

Harsa dan teman-temannya datang lebih akhir dari biasanya, maklum ada drama pemaksaan dulu tadi di asrama. Kali ini yang datang tidak sebanyak biasanya, tapi lumayan ramai. Mungkin beberapa dari mereka sibuk mempersiapkan pertunjukan akhir tahun. Pertunjukan mewah yang selalu di nanti setiap penggemar mereka.

Memasuki cafe mereka berenam di sambut oleh Dewantara dan beberapa lainnya yang berada di dekat pintu. Mereka menyusun meja dan kursi dengan melingkar, rupanya tengah bermain domino.

Di meja-meja lain semua orang punya kesibukan masing-masing, ada yang menyalakan tembakaunya dengan segelas amer, ada yang bermain catur. Ada juga yang berbagi 'teh' panasa industri ini.

Dewa bercengkrama dengan Juan dan Iyan. Mereka memang lumayan dekat, sering makan bersama di resto keluarga Leon. Dewa dan Harsa sebenarnya juga dekat, tapi tidak lebih dekat dari keduanya.

Jenoah sudah melipir ke tempat Jerico, si kembaran beda grupnya itu. Biasalah membahas pesona masing-masing, bagaimana cara memikat wanita. Ck, bibit buaya!

Begitupun dengan Tara yang langsung bergabung dengan para penari terbaik disini, membahas teknik-teknik tarian yang baru saja mereka pelajari. Atau bertukar keahlian.

Kalau Nalapraya jangan di tanya, ia sudah bergabung dengan meja yang dominan perempuan, siap melebarkan telinganya menerima teh panas malam ini.

“ Jenan mana?” tanya Harsa.

Dewa menunjuk gerumbulan di belakang, “ Noh lagi ngegosip sama ciwi-ciwi kayaknya.”

“ Gue ke Jenan dulu ya, mau nagih utang.” Itu hanya kelakaran Harsa, sudah biasa dia bercanda seperti ini.

Tapi ketika lebih dekat dengan meja Jenan Harsa mengurungkan niatnya, meja itu terlalu ramai. Ada Jenan, Anji, Felix, dan Apin. Kalau tidak salah harusnya ada 4 perempuan disana, Lala, Fajira bersama Catherine dan Selena yang baru akrab dengan keduanya. Tapi mata Harsa menangkap satu perempuan lagi, tidak mungkin Radine disana. Kalau itu Radine, Nala akan sudah di pastikan bergelayutan disana.

Oh sepertinya Harsa lebih baik tidak bergabung dengan meja itu sekarang.

Ia akhirnya melipir ke meja Sanud di ujung ruangan, ikut menyalakan tembakaunya. Menghisap candu itu, lalu mengeluarkan asapnya. Sedikit membantu untuk mengurangi stressnya, ya meskipun ia tau paru-parunya akan bermasalah.

Tak apa ia hanya sesekali memakainya.

Tiba-tiba saja Jenan berteriak memanggilnya, “ WOYY HAR BAYAR UTANG SINI!”

Ya begitulah cara Jenan dan Harsa saling bercanda, Harsa terkekeh mendengarnya ia mengangkat batang rokoknya yang tinggal beberapa hisapan lagi. Pertanda ia akan kesana sebentar lagi.

Rupanya komposisi meja Jenan telah berubah, Lala sudah tidak lagi di sana. Gadis itu menghampiri Juan yang tengah seru bermain Jenga. Catherine juga sudah pergi ke meja yang hanya berisi perempuan. Ya membahas fashion mungkin?

Nala juga terlihat duduk disana, memakan brownies buatan Felix. Ketika Harsa datang kursi yang tersisa adalah di samping Selena, yang mana sisi lain Selena telah di duduki oleh Raline Nadindra.

Entahlah bagaimana gadis itu bisa ikut di pertemuan ini, padahal mereka tidak lahir di tahun yang sama. Harsa tidak tau, dan hmm sedikit tidak mau tau.

“ Ey Sel, dateng sama siapa lo?” tanya Harsa sekedar basa-basi, biasanya Selena dan Catherine datang bersama Harsa dkk memang.

“ Nih samping gue, tadi abis main terus mau ikut ada perlu sama Dewa katanya.” Selena menggerakkan bahunya sebelah kanan, bermaksud menunjuk Raline.

Harsa hanya menganggukkan kepalanya. Bibirnya membentuk huruf O tanpa suara.

“ Spa downg Hwar, ittu sebwelah sweenah!” Nala berbicara tidak jelas dengan mulutnya yang masih penuh makanan, ia bahkan masih mengunyah.

“ Ngomong apa sih lo nyet!?” Kesal Harsa.

“ Ituloh Har, yang di sebelah Selana juga di sapa dong.”

“ NAH!” Nala menjentikkan jarinya ketika ucapannya tadi di terjemahkan oleh Fajira.

Harsa menghela nafasnya, sementara Raline melotot tajam ke arah Fajira.

Sedetik kemudian Harsa menolehkan kepalanya ke arah samping Selena, bermaksud menatap lawan bicaranya,

“ Halo Raline, apa kabar?”

Dan tentu saja sapaan itu di sambut sorakan yang ada disana, membuat semua yang hadir ikut mengalihkan perhatian mereka pada Harsa dan Raline yang begitu canggung saling bertatapan.

— sekawan.

Nala menatap heran ke arah Raline yang kini dengan santai menikmati Jus melon di hadapannya.

“ Cowok lo pernah naksir cewek gue.”

Ini adalah kedua kalinya Nala mengatakan kalimat itu tapi tetap tidak ada respon dari Raline. Gadis itu sekarang justru sibuk membidik makanan mereka dari segala arah, bahan update instastory.

” HEH COWOK LO PERNAH NAKSIR CEWEK GUE!”

Gertakan Nala membuat Raline akhirnya menoleh, ia lalu mengendikkan bahunya. Serta membuat ekspresi yang membuat Nala begitu kesal.

Nala lalu merebut ponsel Raline, supaya gadis itu menanggapi kekesalannya.

” Apesih?!”

” Cowok lo NAKSIR cewek gue.” Nala menekankan pengucapannya kali ini.

” Ya terus gue kudu gimana?”

” Ya apa kek, marah kek salto gitu? Ato minimal lo ada adegan jambak-jambakan gitu sama Radine, seenggaknya kasih Harsa tamparan kek.”

Raline kembali merebut ponselnya dari genggaman Nala sebelum berkata, “ Cowok gak jelas! Emang kenapa sih kalo cowok gue pernah naksir cewek lo? Emang itu keajaiban dunia yang kudu gue kagetin?”

” Ya engga, tapi masa lo gak ada kaget-kaget nya sih?”

Nala cemberut menatap Raline, pasalnya ia sudah membayangkan gadis di depannya itu kaget dengan apa yang terjadi sekarang.

Harsa tengah mengobrol dengan Radine tentang perasaan mereka di sudut lain.

” Lah emang gue udah tau kali, si Harsa pernah naksir cewek lo.”

Nala membelalakkan matanya, ini dia yang bego atau emang bodoh aja? Kenapa semua orang tau ada apa di antara Radine dan Harsa tapi dia tidak?

” KOK GUE GAK TAU!??”

” Lo aja yang bodoh berarti.”

” Lo juga kenapa gak ngasih tau gue sih dulu?” Nala rupanya sedikit frustasi, menyesal menjadi orang terakhir yang tau tentang sahabat dan kekasihnya.

” Ya terus kalo gue kasih tau lo mau apa? Biarin Harsa dulu pacaran sama cewek lo? Lah lo jadi sadboy dong, gimana sih!?”

Nala terdiam mendengar penuturan Raline, memikirkan kemungkinan yang dulu bisa saja terjadi jika ia tau lebih awal tentang perasaan Harsa.

” Gini ya Nalapraya, itu masalalu Harsa sama cewek lo, gue sebagai the one and only di hidupnya sekarang gak perlu mengkhawatirkan itu. Ya biarin aja kalo dulu Harsa emang pernah suka cewek lo, itu udah jadi masalalu...

...gue bahkan bersyukur dulu mereka sama-sama denial, bersyukur mereka dulu gak ada yang berani ngungkapin perasaannya. Dan berkali-kali bersyukur lo kemudian datang dan bikin Radine jatuh cinta, kalo lo dulu gak bilang sama Harsa lo naksir Radine, gak akan pernah ada Radine sebagai cewek lo, pun sama Harsa yang gak akan jadi cowok gue.”

Nala dalam renungannya menggangguk setuju, benar juga apa yang di sampaikan Raline cerita akan berjalan berbeda ketika ia dulu menyadari perasaan Harsa.

Tapi bukankah dia terlalu dalam menyakiti perasaan sahabatnya?

” Tapi gue nyakitin Harsa, padahal dia banyak mengorbankan segalanya buat gue, Juan sama Jeje.”

Raline tersenyum mendengarnya, lalu menepuk pelan pundak Nala.

” Itu pilihan Harsa sendiri, bagaimana cara dia berusaha memastikan kebahagiaan kalian dulu, baru dirinya. Tapi sekali lagi gue berterima kasih untuk itu, karena pilihannya gue akhirnya punya dia...

... sekarang kalian udah menemukan kebahagiaan masing-masing, jadi apa yang ada di masalalu biarin berlalu. Tugas lo, Juan dan Jeje tuh cukup bahagiain cewek lo masing-masing supaya patah hati yang Harsa laluin dulu gak sia-sia, nah tugas gue ya foya-foya ngebabuin Harsa.”

Nala mulanya terharu, tapi mendengar kalimat terakhir yang Raline sampaikan ia mendadak kesal.

” Sialan, udah serius juga!”

“HAAHHAHAHAHAHA but i love him so much.”

” Keliatan, sama bucinnya lo berdua!”

“NGACA HEY!!” Raline lalu membuka kamera ponselnya dan menempelkannya di depan muka Nala.

” Aduh ini cewek gue lama banget, di ajak ngobrol dimana sih?”

Raline ikut menyapukan pandangannya ke arah penjuru cafe, tadi Harsa dan Radine berpamitan ingin mengobrol berdua.

Dengan heboh Nala menepuk tangannya, dan menunjuk di lantai 2. Ada Radine dan Harsa yang sedang berpelukan disana.

” Cowok lo meluk cewek gue anjir”

Tanpa mendengar ucapan Nala barusan Raline sudah terburu naik ke atas, ia bahkan secepat kilat kini sudah berada di tengah Radine dan Harsa.

Memisahkan pelukan keduanya.

” Permisi, bapak ibu pelukannya gak boleh lama-lama ya, cowok gue nih!” Raline langsung menyeret Harsa mendekat ke arahnya, lalu memeluk lengan pacarnya itu.

Membuat Radine memutar bola matanya malas, “ yaelah kagak bakal gue ambil, hus hus sono deh bawa cowok lo pergi gak minat gue.”

” HEH! munaroh lo baru tadi bilang ya pernah naksir gue, sok sok-an gak minat.” Harsa memprotes ucapan Radine.

” Radine dulu masih rabun makanya naksir lo, sekarang penglihatannya udah jelas makanya jadi pacar gue.” Nala yang baru datang langsung memeluk Radine, tidak mau kalah dengan pasangan di depannya.

” Ayaaang, aku di katain sama Nala tuh!” Dengan nada manja, Harsa merengek pada Raline membuat Nala dan Radine kompak mual.

” Ew!”

Raline menepuk-nepuk pelan dada kekasihnya, “ cup cup gapapa lo emang jelek makasih ya udah ngepelet gue biar suka sama lo.”

“AYAAAAAANG IH!!”

— sekawan.

Harsa dan Raline duduk berdua di atas kap Andeca–mobil kesayangan Harsa, mereka menikmati angin pantai dan menatap bintang bersama.

“ Gue mau cerita.” Harsa akhirnya bersuara setelah lebih dari 5 menit hanya menempelkan kepalanya di bahu Raline.

“ Cerita aja gue dengerin.” Raline masih begitu setia menatap langit yang malam ini bertabur gemerlap bintang, seolah menemani malam mereka.

“ Lo taukan tiap gue suka cewek selalu aja ada orang lain yang lebih suka sama mereka, dan berakhir gue selalu ngalah.”

“ ya emang lo aja tolol, sok baik banget ngalah sama orang lain.”

“ sssttttt diem dulu gue lagi cerita,” Harsa menempelkan telunjuknya di mulut Raline.

“ Dulu gue naksir Sisi karena kita sekelas dan emang sering pergi bareng, pas gue sadar gue suka dia tiba-tiba Jenoah bilang kalo dia juga udah lama naksir Sisi. Yaudah gue milih mundur aja, toh Sisi waktu itu juga keliatan naksir Jeje. Gue ngerasa keputusan gue tepat karena sekarang mereka bahagia dan saling cinta...

... begitupun saat gue deket sama Lala, Juan awalnya emang gak bilang dia naksir Lala tapi gue paling tau Juan gimana kalo suka cewek. Gue gak pernah liat dia sesuka itu sama cewek, lagi-lagi gue ngalah. Gue seneng pas mereka jadian, seenggaknya gue tau cowok yang akan sama Lala kedepannya adalah orang baik.”

Raline menahan air matanya supaya tidak jatuh, ia sudah tau bagaimana kisah cinta Harsa sebelumnya tapi baru kali ini pemuda itu dengan gamblang menceritakan semuanya.

Menceritakan patah hatinya.

“ Pas ketemu Radine gue gak ada niat buat naksir dia, kita mulanya cuma temen tapi seiring waktu gue jatuh juga sama pesonanya, awlanya gue gak sadar kalo suka dia, gue pikir selama ini rasa gue buat dia sebatas sayang ke sahabat karena kita udah temenan lama. Tapi pas Nala bilang dia naksir Radine, gue sadar kalo selama ini gue suka sama dia. Lagi-lagi gue mengalah, Nala sama Radine keliatan bahagia banget pas bersama. Jadi lebih baik biar gue aja yang ngubur perasaan itu.”

“ Gue seneng liat mereka semua sekarang bahagia dan langgeng, gue merasa patah hati gue ternyata gak sia-sia.”

“ Tapi akhir-akhir ini gue merasa gue iri sama mereka, Sisi sibuk sama Jeje, Lala kemana-mana berdua sama Juan. Pun Radine yang kayak cuma dunia sama Nala aja. Gue sendirian.”

Raline menghapus bulir air matanya yang baru saja menetes, lalu menepuk punggung Harsa pelan.

“ Ada gue, kalo lo lupa. Gue juga temen lo.”

“ Gue suka sama cewek sekarang, tapi gue takut buat bilang ke dia. Takut gak punya perasaan yang sama kayak gue, terus gimana kalo nanti dia ninggalin gue? Gue bener-bener gak mau kehilangan dia kali ini.”

Ah rasanya tidak hanya menyesakkan bagi Harsa, tapi juga ngilu ke dada Raline.

Harsa menyukai siapa?

“ Harusnya lo coba bilang dulu sama cewek itu tentang perasaan lo, dia harus tau dan lo juga harus tau gimana perasaannya sama lo.”

“ Juan, Jeje sama Nala tadi juga bilang gitu.”

“ Nah tuh dengerin kata sahabat lo,” Raline kembali menatap langit, mencegah air matanya turun lagi.

Tapi Harsa membalikkan tubuh Raline untuk mengarah ke arahnya,

“ Gue suka sama lo, sayang banget malah. Kali ini gue mau egois, gue mau lo tetep di samping gue sekalipun lo gak suka gue balik.”

Harsa lalu memeluk Raline erat, menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Raline. Membiarkan Raline termenung setelah mendengar pengakuannya.

“ Kalo lo belum suka gue, kasih gue kesempatan buat bikin lo suka sama gue.”

Raline menepuk pundak Harsa, meminta di lepaskan.

“ lepas lepas, lepas dulu.”

Harsa menatap Raline sekilas sebelum akhirnya turun dari kap mobil, ia hendak melangkah pergi. Hingga Raline akhirnya menarik kerah belakang bajunya,

“ HEH MAU KEMANA LO!?”

“ Ternyata gue belum siap denger pernyataan kalo lo gak suka sama gue” Ujar Harsa sambil menggosok kepala belakangnya.

Raline kemudian menarik Harsa untuk mendekat ke arahnya, mengunci tubuh pemuda itu dengan melilitkan kakinya di tubuh Harsa.

Lalu menyentil pelan dahi Harsa yang kini menatapnya dari bawah, “ Gue juga suka sama lo kok.”

Harsa mengerjap tak percaya, oh ya tuhan perasaannya akhirnya terbalas?

“ Makasih ya udah berani ngasih tau gue tentang perasaan lo, kalo engga kayaknya gue beneran ninggalin lo deh.” Raline lalu membawa kepala Harsa kepelukannya.

Memeluk begitu erat.

“ Gue yang harusnya makasih, makasih udah suka sama gue. Maaf ya gue lama banget menyadari dan gak berani bilang dari lama.”

Harsa mengelus pucuk kepala Raline, sesekali merapikan rambut halus itu ketika di terbangkan angin.

Cup

“ Di maafkan!”

Kecupan singkat Raline membuat Harsa terkekeh.

Manis juga ternyata.

Setelahnya ia menggendong Raline untuk masuk ke dalam mobil, udara pagi begitu dingin.

Sebelum Harsa menyalakan mobilnya untuk pulang, Raline mengintrupsi dengan tanya, “ Bentar ini kita pacaran gak?”

Harsa tersenyum lalu mengangguk, tangan kirinya ikut meraih tangan Raline untuk di kecup.

“ Kok gak ada bunga, atau cokelat deh?”

“ Emang orang jadian harus banget pake itu?”

“ Iyalah anjir biar so sweet”

Harsa memutar bola matanya malas, “ Yang penting kan kita udah pacaran sekarang.”

“ Iya, tapi gue pingin di kasih bunga jugalah biar bisa di pamerin di sosmed.”

Lagi Harsa memutar bola matanya malas.

“ Yaudah nanti gue reka ulang ngajak pacarannya, sekalian bunga setruck”

“ Hehehe makasih Mas pacar.”

Raline mencubit pipi gembil Harsa dengan gemas, lalu menempelkan kepalanya di lengan pemuda itu.

Harsa hanya tersenyum gemas, lucu juga ya punya pacar.

— sekawan.

Raline terburu membuka pintu ketika membaca pesan dari Harsa. Bagaimana bisa tidak ada semenit tapi pemuda itu sudah berad di sana?

Madaharsa telah berdiri disana sebelum ia mengirim pesan pada Faris, meminta untuk melepaskan Raline.

“ Kok cepet banget?” Harsa tidak menjawab pertanyaan Raline, tapi buru-buru ia menggenggam tangan gadis itu membawanya pergi dari unit Faris.

Genggaman yang Raline rasa begitu kuat, tidak seperti biasanya tapi juga begitu terasa lembut bahkan di sela tautan jari mereka Harsa sesekali mengelusnya.

Di dalam mobil pun Harsa tak banyak berbicara, hanya saja tautan jemarinya tidak melepaskan Raline. Seoalah sedetik saja ia lepas Raline akan pergi meninggalkannya.

“ Kita mau kemana?” Raline baru bersuara ketika ia sadar Harsa tidak membawanya pulang. Justru jauh keluar dari perkotaan.

“ Ke pantai, udah lama gak mantai berdua aja.”

Raline mendelik mendengarnya, orang gila mana yang menuju pantai tengah malam begini?

“ Gila ya lo!?”

“ Gak papa gilanya berdua sama lo.”

Raline berdecak sebal,

“ Gue gak bawa jaket, dingin tau nanti. Balik ajalah, besok aja ke pantainya.”

“ Nanti gue peluk kalo kedinginan.”

Hey Madaharsa tidak tahukah jika jawaban itu membuat jantung Raline berpacu?

“ Gak usah nanti Faris cemburu, lepas lepas tangan lo.” Raline berusaha melepas tangan Harsa yang semakin erat menggenggamnya.

“ Lepasin Asa...” Rengekan Raline pun Harsa abaikan.

“ Seenggaknya biarin malam ini aja gue puas genggam tangan lo.”

Ucapan Harsa membuat Raline memalingkan mukanya, nada ucapan itu terasa menyayat hatinya.

Entah ia sedih untuk apa?

Entah pada perasaan yang ia rasa bertepuk sebelah tangan, atau pada perpisahan yang sebentar lagi akan Madaharsa sampaikan.

— sekawan.

Harsa lagi-lagi hanya duduk di pasir pantai, seperti dejavu tapi kali ini matanya setia mengikuti kemanapun Raline berlarian dengan Faris dan adik laki-laki itu.

Sesekali tersenyum melihat Raline yang begitu bahagia bermain ombak, tapi lalu kemudian dia menertawakan dirinya sendiri yang sampai saat ini tidak punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya.

Harsa hanya takut kehilangan selamanya.

Ketakutan sendiri.

Faris kemudian ikut duduk di sebelahnya setelah datang membawa 4 buah kelapa muda, menyadarkan Harsa dari lamunannya.

“ Udah lama temenan sama Raline?” tanya Faris memecah keheningan mereka.

“ setengah tahun kayaknya.”

“ Gue kira kalian udah temenan bertahun-tahun, wow.” Ucapan Faris membuat Harsa akhirnya menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.

“ Tiap kata yang muncul dari mulut Raline gak lepas dari Harsa, apapun yang dia ceritakan selalu berporos di Harsa. Gue pikir karena kalian mungkin udah temenan bertahun-tahun. 2 bulan nyoba deketin dia gue rasa sia-sia karena tembok yang Raline bangun susah banget di tembus, tapi belakangan gue merasa punya kesempatan ketika dia akhirnya mulai merespon tiap apa yang lakuin.”

Penuturan Faris membuat Harsa menarik napas panjang, apakah pada akhirnya Raline luluh dengan Faris?

“ Lo sesayang apa sama dia?”

Faris tersenyum mendengar pertanyaan Harsa, pertanyaan yang sudah dia prediksi akan muncul.

“ mungkin lebih besar dari rasa sayang lo ke dia, tapi bisa juga gak sebesar punya lo.”

Harsa menatap Faris, sedang mencoba mencerna ucapan pemuda itu dan mencoba memaknai kalimatnya.

“ Tapi yang jelas gue sayang banget sama Raline, kalo lo sama sekali gak maju buat dia sorry gue beneran bakal jadiin dia cewek gue. ”

Selamat datang di kekalahan selanjutnya Madaharsa.

— sekawan.

Harsa duduk selonjoran di atas pasir pantai menikmati semilir angin sore dan menatap kemanapun asal bukan pada sejoli yang sedang berlarian di tepi pantai, bermain ombak.

” Mau es degan?” Raline menyodorkan kelapa muda itu tepat di pipi Harsa.

Membuat pemuda itu menatapnya heran, gadis itu hanya membeli satu kelapa muda?

” Cuma satu?”

” Hemat.”

” Bentar deh munaroh, lo kan beli kelapa muda bawa dompet gue, udah gitu kacamata gue juga lo pake dan sekarang lo cuma bawa satu kelapa buat lo sendiri lagi?”

Raline memutarkan bola matanya malas mendengar omelan Harsa, ia lalu memasukkan sedotan kedalam mulut pemuda itu supaya terdiam.

Satu kelapa muda berdua, asekk.

” Berisik banget lo jadi cowok, pantesan Radine lebih milih Nala.”

“MAKSUD!?” Harsa menatap sengit Raline, sarkas membantah ucapan itu.

Raline menunjuk Nala dan Radine dengan dagunya, “ menurut lo Radine lebih cocok sama lo apa sama Nala?”

” Cocok atau enggaknya di mata orang lain tuh gak ngaruh, selama merekanya saling suka kenapa harus mikirin prespektif orang lain? Yang menjalin hubungan kan mereka sendiri.”

Raline menatap takjub pada Harsa, tidak menyangka mendapatkan jawaban sebijak itu dari orang yang sedari tadi membuat perutnya kram karena terbahak.

” Lo suka sama Radine?” Pertanyaan Raline kali ini berhasil membuat mata Harsa akhirnya menatap pada suka cita yang di ciptakan Radine dan Nala.

Lalu ia hanya tersenyum, kemudian menggeleng.

Tidak, perasaannya harus segera mati bukan?

” Kalo suka tuh ngomong, keduluan temen lo tau rasa ntar.” Raline menepuk pelan pundak Harsa, lalu merebut kembali kelapa muda dari tangan pemuda itu.

” Udah pernah, rasanya sama aja. Patah hati soal biasa, nanti juga sembuh sendiri kuncinya cuma merelakan aja. “

Raline menyunggingkan senyumannya, lalu mengejek dengan tatapan mata.

” Bullshit gak sih? Klise banget berkorban demi sahabat.”

” Gapapa, asal mereka bahagia gue oke aja. Cewek banyak tapi gue cuma punya sahabat 3 aja.”

Raline kembali menatap takjub, ini cowok hatinya di buat dari apa?

” Bentar, ini lo udah pernah tertikung 3 kali?”

Harsa mengangguk lalu tertawa miris, menertawakan dirinya sendiri.

” Baik banget sih? Mending lo jadi cowok gue aja.” Kelakaran Raline membuat Harsa tertawa begitu keras, lalu merangkulkan tangannya di pundak gadis itu.

” Buat gue suka dulu sama lo.”

—Bang doy.

Haechan dan member lain lagi ngumpul di ruang tengah, nonton Netflix bareng. Mereka ada jatah libur hari ini setelah melakukan promosi yang begitu padat.

” Bang Doy kemana kok gak ikut?” Tanya Haechan setelah melihat satu persatu abang-abangnya.

Haechan tuh gitu, kalo ada Doy selalu di jailin, di ajak berantem mulu tapi kalau gak ada gini selalu di cariin. Sayang tapi gengsi emang, love-hate relationship banget.

” Ada jadwal syuting katanya.” Jawab Mark sekenanya, dia sedang sibuk mengunyah semangka.

” Lah engga libur?”

” Engga, ambil varshow sama Bang Gongmyung.” Jawab Mark lagi. Abangnya yang lain sedang fokus menatap layar televisi.

Haechan lalu bangkit dari duduknya, membuat beberapa dari mereka menoleh.

” Mau kemana Chan? “ Tanya Taeyong.

” BANG DOYY IKUTTT!!” Bukannya menjawab pertanyaan sang leader Haechan justru berteriak sambil berlari ke kamar Doy.

Kan Haechan tuh gini, aslinya gak mau lepas sama Doy kemana aja mau ikut.

Doyoung keluar dari kamarnya dengan Haechan yang gelendotan di tangannya.

” GAK! Gue mau kerja Chan, bukan pikni.”

” Ya siapa juga yang bilang piknik, pokoknya gue mau ikut! Titik!”

Doyoung menghela nafasnya lelah, “ Bang ini Haechan suruh diem kenapa gue mau kerja.” Keluhnya pada Taeyong, biasanya Haechan memang hanya akan mendengarkan ucapan Taeyong.

” Ih gue mau ikut liat lo kerja, bosen di dorm!”

” Kalo bosen di dorm jalan-jalan ke luar kek sama geng lo sana, atau pergi ke rumah chenle kalo gak ke dorm dream.” Haechan keukeh menggeleng dan tetap memegangi lengan Doyoung, persis seperti anak kecil yang takut kehilangan ibunya.

” Gak mau! Mau ikut lo, mau ketemu bang Gongmyung.”

” Ck, abang gue males ketemu lo lagi suka di porotin.”

” Udah sih Doy bawa aja pergi tuh anak, lo jadiin asisten pribadi hari ini.” Johnny akhirnya bersuara karena konsentrasinya melihat Film terganggu dengan perdebatan Haechan dan Doyoung.

Lagi-lagi Doyoung berdecak kesal, lalu ia menghubungi managernya menanyakan apa boleh si bocah tengil ini mengikuti jadwalnya hari ini.

” Yaudah ayo, jangan ganggu gue tapi nanti disana.”

” OTAYY!”

Satu jam kemudian mereka telah sampai di tempat syuting, Doyoung membelikan minuman untuk staff dan rekan kerjanya kali ini. Lumayan banyak dan membuat dia kerepotan membawanya, untung ada Haechan. Kakaknya juga ikut membantu membagikan minuman itu ke para staff dan crew.

Kehadiran Haechan di ruang tunggu Doy membuat suasana menjadi ramai, ada saja yang ia lakukan. Entah mendebat Doy, menganggunya atau berceloteh hal-hal konyol.

Gongmyung tentu saja puas melihat adiknya tidak berkutik jika didebat Haechan, terimakasih sudah membalaskan kekalahannya.

Ketika syuting akan segera dimulai Doy memperingati Haechan untuk tidak membuat ulah, dan untuk tetap berada di ruang tunggu saja bersama manager mereka.

Tapi namanya juga Haechan, perkataan Doy hanya jadi angin lalu.

Ia memaksa manager untuk melihat proses syuting yang sedang di lakukan oleh Doyoung dan beberapa orang disana, ternyata ada Seulgi juga disana.

” KAK SEULGI SEMANGAT!!” Teriaknya membuat semua orang menoleh, Seulgi lalu melambaikan tangannya. Menyambut ucapan Haechan.

” Bang Gongmyung semangat!!” Gongmyung melakukan hal yang sama, ia bahkan tertawa.

” Itu si cantik juga semangat, semua crew semangat pokoknya keculi bang Doy semangat!!” Haechan menyemangati semua orang, membuat Doy berdiri dari duduknya dan menatap Haechan galak seperti biasanya, ia lalu mengepalkan tangannya ke atas seolah memperingati Haechan.

Bukannya takut Haechan justru tertawa, lalu ia memutuskan untuk menunggu Doy di ruang tunggunya. Sudah cukup mengganggu Doyoung.

Setelah berjam-jam melakukan syuting Doyoung kembali ke ruang tunggunya, Haechan rupanya baru bangun tidur. Mukanya masih sedikit mengantuk tapi mulutnya sudah mengunyah makanan.

” Bang makan, udah gue beliin nih sama buat bang Gongmyung juga.”

” Abang pulang duluan, ada jadwal lain.” Jawab Doyoung, ia sekarang duduk di sebelah Haechan sambil membuka penutup makanan cepat saji itu.

” Yaudah gue makan sendiri aja nanti.” Doyoung hanya menggelengkan kepalanya, Haechan dan perut karetnya.

Di tengah kesibukan mereka menyantap makanan, pintu ruang tunggu Doyoung d ketuk seseorang.

” Permisi, Kak Doy.”

Ada seorang gadis yang menyapanya, gadis yang tadi Haechan beri semangat dan ia panggil si cantik.

” Iya Somi masuk aja.” Doyoung mempersilahkan Somi masuk dan menyambutnya.

” Ini aku mau ngasih Kak Doy sama Abangnya album baruku. “

” Wah terimakasih banyak loh Som, albumnya cantik banget ini. Semoga sukses dan laris manis ya.”

” Hehehe makasih, semoga nyusul kayak album Nct ya Kak.”

” Aamiin.”

” Eh atuh akunya ga di kasih album juga?” Tiba-tiba saja Haechan menyeletuk, membuat Somi menolehkan kepalanya ke arah belakang punggung Doyoung.

Doyoung melotot ke arahnya, sambil bersesis “ Malu-maluin!”

Somi lalu menjulurkan satu album lagi yang di bawanya pada Haechan.

” Ini deh buat Kak Haechan kalo gitu.”

Haechan buru-buru mengambil album itu sebelum Doy melarangnya lagi.

” Aduh Som gak perlu repot-repot, Haechan gak perlu di kasih juga.”

” Gapapa Kak, aku bawa banyak kok.”

” Maaf ya Haechan emang gatau malu gitu.” Doyoung meminta maaf atas perlakuan Haechan yang gak tau malu minta album.

Somi hanya terkekeh,

” Bentar deh ini kamu namanya Somi kan?” Haechan tiba-tiba bertanya setelah membolak-balik album milik Somi.

” Iya kak, kita belum kenalan ya?”

” Iya, kan tak kenal maka tak sayang. Kenalan dulu sini.”

Doyoung memutar bola matanya malas, hadeh anak muda. Padahal tiap hari Haechan muter lagu Somi sambil joget-joget.

Eh?

Jadi ini tadi Haechan maksa ikut buat...?

O-oww Doy punya bahan gosip di dorm.

—Lantas.

Harsa dan Raline akhirnya bertemu di villa milik pemuda itu, begitu Harsa datang tadi ia di sambut senyuman cantik Raline,begitu cantik.

” Haiiiii asa ganteng!!” Gadis itu tadi berlari memeluknya di halaman villa, memeluk erat melepas rindu.

Harsa suka panggilan itu, pujian yang membuat dadanya berdegup lebih kencang. Pun membuat bibirnya sulit untuk menahan senyuman.

” Kangen bangettt” Harsa membalas pelukan itu tak kalah erat, menyampaikan bahwa rindunya lebih berat.

Keduanya sekarang duduk di balkon kamar pribadi Harsa, mentap pemandangan malam yang begitu indah. Raline menyenderkan kepalanya di dada Harsa, sembari memeluk pacarnya-yang lain itu, dari samping.

” Maaf ya menunda pertemuan kita lebih lama.” Ujarnya meminta maaf, tentu saja dia merasa bersalah telah mengabaikan Harsa berhari-hari.

“Gak papa, aku ngerti kok.” Harsa mengelus rambut lembut Raline, sesekali mengecupinya.

” Kamu gak marah kan?” Tanya Raline memastikan.

” Enggak, tenang aja.” Harsa tersenyum, sedikit miris dengan dirinya sendiri.

” Bohong, kamu pasti kesel kan? Gapapa marah aja.” Raline melepaskan pelukannya, menatap Harsa dengan menampilkan wajah cemberutnya yang justru terlihat menggemaskan.

Harsa terkekeh, “ dikit sebenarnya...”

” Tuhkan, maaf ya?” Raline lalu mengecup sebelah pipi Harsa, tanda permintaan maaf.

Lalu bagaimana Harsa tidak luluh jika begini? Ini Harsa yang terlalu mudah di luluhkan atau Raline yang begitu tau bagaimana cara melemahkannya?

Keduanya lalu kembali berpelukan, kembali menatap bintang yang malam ini terlihat begiu terang. Hening menyergap mereka untuk beberapa saat, sampai Harsa akhirnya mengajukan sebuah tanya,

” Kalo di suruh milih, kamu bakal milih aku apa Stefan?”

Raline langsung melepas pelukannya, menatap Harsa dengan terkejut. Ini pertanyaan yang ia wanti-wanti sejak dulu, tapi tak ia sangka akan Harsa tanyakan malam ini.

” Asa...”

Cukup lama keduanya terdiam, Raline tidak tau harus menjawab apa. Pun Harsa yang tegang menanti jawaban, takut kalau-kalau jawaban Raline akan menyakiti hatinya. Melukai harapannya sendiri.

Setelah sekian lama akhirnya Harsa memilih bersuara, ia merapikan helaian rambut Raline yang terbang tertiup angin.

” Gak perlu dijawab, aku belum siap denger kalo akhirnya yang kamu pilih itu Stefan.”

” Selama ini aku selalu percaya pada diriku sendiri, bahwa di antara kami berdua akulah yang paling kamu cinta.”

Raline menetaskan air matanya, bagaimana bisa Harsa mencintainya sebesar itu?

” I hurt you...” Ucap Raline.

” Tapi you love me, gapapa.” Harsa begitu tenang menjawabnya.

Seolah sakit hatinya tak berarti apa-apa selama Raline masih mencintainya.

Seperti keyakinannya yang tetap kukuh, kelak Raline akan memilihnya. Tak peduli sudah selama apa Raline dan Stefan menjalin hubungan, Harsa yakin ia yang akan di pilih di akhir permainan ini nanti.

Tidak, sebenarnya itu hanya untuk menyemangati dirinya sendiri.

Ketika ia tau bahwa di lihat dari segi manapun, Stefan telah memenangkan permainan ini terlebih dahulu.

Raline akan selalu menomor satukan Stefan, atas dirinya.

” Bilang sama aku kalau kamu mau berhenti...” Ucapan itu Raline utarakan dengan tersedu, melepas Harsa rasanya menyakitkan meski hanya di bayangkan.

” Aku gak akan berhenti, kalau bukan kamu yang minta sayang. Udah ya jangan nangis.”

Harsa menghapus air mata dari mata cantik itu, lalu memeluk kekasihnya begitu erat.

Dari awal mencintai Raline ia sudah tau segala konsekuensinya, pun harus siap jika kapan saja di tinggalkan.

Raline telah terikat janji dengan laki-laki lain jauh sebelum bertemu dirinya.

” Asa, andai kamu datang sebelum Stefan ada...” Gumaman Raline terengar begitu ngilu, berdenyut pada dadanya.

Andai Harsa bisa mengatur waktu, ia akan jauh lebih cepat menjemput Raline bahkan jauh sebelum gadis itu mengenal Stefan.

Andai.

—Renang.

Somi ketawa-ketawa sendiri liatin ponsel Haechan, mereka baru aja selesai sarapan bersama. Pagi ini tour guide Somi bukan Ibu lagi, tapi Haechan.

” Ngeliatin apasih? Kayak orang sinting ketawa sendiri.” Haechan heran melihat Somi yang bahkan sekarang semakin mengeraskan tawanya.

” Chat temen-temen lo lucu banget, AHAHAHAHAHAHA!”

Haechan lalu merebut ponselnya dan membaca pesan di grup chat teman-temannya.

” Hadehh, cowok-cowok gak jelas.”

” Lo juga bagian dari cowok-cowok gak jelas itu kalo lo lupa.” Haechan hanya mengendikkan bahu mendengar ucapan Somi.

” Mau balik kapan?” Tanya Somi, ia tau hari ini Haechan ada jadwal promosi untuk lagu barunya.

” Abis ini setelah nemenin lo renang.”

” Padahal gue gak di temenin juga gak papa.”

” Gue yang kenapa-kenapa, enak aja lo renang sendirian kalo diliatin cowok lain gimana!?”

Kan, mulai lagi sisi posesif milik Haechan.

” Yaelah, kan mau renang di private pool siapa yang mau liatin?”

” Yaudah sih mumpung bisa renang bareng, lo gak kangen renang sama gue?”

Somi mensejahterakan langkahnya dengan Haechan, ia merapatkan tubuhnya pada pemuda itu lalu menarik lengan Haechan untuk bertumpu di bahunya.

” Gak gitu, lo punya jadwal siang ini. Emang keburu kalo harus nemenin gue?”

” Tenang aja keburu kok, gue berenangnya bentar aja nanti. Si Ibu agak siangan biar nyusul lo kesini.”

“Okey..”

Somi dan Haechan menikmati waktu berdua mereka, waktu yang akan sulit di lalui jika mereka berada di Seoul.

Sambil menunggu Somi mengganti bajunya, Haechan menunggunya di tepian kolam renang. Ia hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam favoritnya.

” Kenapa belum nyebur?” Tanya Somi.

Bukannya menjawab pertanyaan itu Haechan justru mengomel,

” Yang bener aja lo pake baju begitu? Wah gila! Untung cuma ada gue, gimana kalo lo berenang sama orang lain? Besok-besok kalo berenang pake yang lebih tertutup kenapa Som, punya gue jangan di liatin ke orang lain.”

Somi memutar bola matanya malas, selalu saja seperti ini. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Haechan, mengecup bibir pemuda itu singkat.

” Berisik!” Satu-satunya cara menghentikan omelan Haechan memang hanya dengan sebuah kecupan.

Setelah itu Somi meninggalkan Haechan yang masih mematung di tepi kolam, gadis itu mulai menenggelamkan tubuhnya ke air kolam. Bergerak kesana kemari,

” Gak gitu caranya,” komentar Haechan singkat.

” Ya emang berenang kudu gimana sih? Ribet amat lo!”

Haechan menghampiri Somi, meraih pinggang rampingnya. Jarak mereka terkikis, bahkan Somi merasakan deru nafas Haechan di depan wajahnya.

” Gini sayang kalo mau ngecup itu,”

Somi tidak mampu berkata ketika Haechan kembali menyatukan bibir mereka.

Kecupan yang terjadi cukup lama, seoalah membayar rindu yang menumpuk 3 bulan ini.

—Jeju, dan kamu.

2 jam setelahnya Haechan akhirnya sampai di kediaman keluarganya. Dia benar-benar pulang sore itu, tidak peduli dengan umpatan para member.

Tenang, dia akan kembali ke Seoul sebelum jadwal mereka dimulai besok.

Masuk ke dalam rumah yang ia cari pertama kali adalah si Ibu, perempuan paruh baya itu sedang sibuk memasak makan malam di dapur.

” Ibu...”

” Loh? Abang pulang? Bukannya jadwal kamu padet banget ya?”

” Biasalah buceennn!” Teriakan sang adik dari ruang tengah membuat Ibu terkekeh, dasar anak muda.

” Dia dimana bu?” Meski tanpa menyebut nama pun, Ibu tau siapa yang putranya maksud.

” Ada di kamar kamu, ibu suruh istirahat. Dari tadi sampai di bandara heboh banget gak bisa diem.”

Haechan tersenyum mendengarnya, merasa lega bahwa meskipun hubungan mereka telah berakhir gadis itu tetap menjalin hubungan yang baik dengan keluarganya.

” Dasar, yaudah abang ke kamar dulu ya bu?” pamitnya, lalu melangkah menuju kamar yang sudah lama tidak dia singgahi.

” Kalo lagi tidur jangan di ganggu ya Bang, kasian.” Sang ibu mengingatkan, takut kalau putranya mengganggu waktu istirahat tamu spesialnya.

Haechan membalasnya dengan gumaman pelan, “ Dia mah paling juga lagi selca yang banyak, mana ada lelahnya sih tuh anak.”

Jadi kangen kan.

Haechan membuka pintu kamarnya, benar saja seperti dugaan Somi sedang berswafoto di kamarnya. Memilih dari berbagai angle, rupanya gadis itu belum menyadari kehadirannya.

” Ekhem!”

” HAH!” Keterkejutan Somi membuat Haechan terkekeh, wajahnya menggemaskan sekali.

Setelah mengatasi rasa terkejutnya, Somi lantas berkacak pinggang dan menatap Haechan garang.

” Ngapain lo kesini!?” Ketusnya, Haechan mengangkat sebelah alisnya, ini Somi gak salah ngasih pertanyaan kan?

” Sorry, tapi harusnya gue yang nanya gitu kan?”

Somi akhirnya teringat sesuatu, yang Haechan ucapkan memang benar. Inikan rumah pemuda itu, ya terserah dia juga mau kesini atau tidak.

Tapi tapi perempuan gak pernah salah kan?

” Ya suka-suka gue dong!”

” Yaudah suka-suka gue juga.” Haechan lalu masuk ke dalam kamar, ia memilih duduk di tepi ranjang. Tidak takut meskipun di tatap begitu tajam oleh gadis di depannya.

” Keluar ih! Gue mau istirahat, lo ganggu banget husss husss!!” Somi mengusir si empunya kamar, dia bahkan menarik lengan Haechan untuk beranjak dari duduknya.

Bukannya bangkit Haechan justru semakin kuat mempertahankan duduknya.

” Kebalik Somiah! Ini kamar gue, gimana sih!” Haechan menyentil pelan kening Somi, membuat gadis itu cemberut.

Gemas sekali!

” Ih sama Ibu suruh gue tempatin dulu selama gue disini, jadi untuk sementara ini kamar gue!” Lagi, Somi masih tidak mau kalah dengan ucapan Haechan.

” Enak aja! Ini kamar gue, jadi terserah gue dong mau disini atau engga.” Haechan semakin keukeh mempertahankan hak kepemilikannya.

” Ngalah dong Chan, gue tamu loh disini. Inget tamu adalah Raja! Minggir-minggir!” Somi bahkan sekarang sudah naik ke atas ranjang, lalu mendorong Haechan dari belakang.

Meski telah di dorong dari atas ranjang, Haechan tetap tidak mau mengalah ia kini juga ikut naik ke atas, merebahkan tubuhnya di sebelah Somi yang duduk bersila.

” Berisik amat! Yaudah sini berbagi kamar aja!”

“GAMAUU!! SIAPA LO!?”

” Lah iya juga ya, udah bukan siapa-siapa.” Setelahnya Haechan tertawa miris, menertawakan dirinya sendiri.

Di pikir-pikir, untuk apa dia jauh-jauh pulang ke Jeju malam ini ya?

Keduanya akhirnya terdiam, Somi sibuk dengan pikirannya sendiri menatap ke segala arah yang penting tidak menatap manik milih mantannya itu.

Sementara Haechan menatap langit-langit kamarnya, menerawang masalalu.

” Lo kangen gue ya? Sampek liburan sendirian kesini, mampir ke rumah lagi.” Entah pertanyaan atau pernyataan yang baru saja Haechan sampaikan itu, tapi sukses membuat Somi menoleh dan menatapnya.

” GAK KANGEN! LO JELEK NGAPAIN DI KANGENIN!”

Somi dengan segala gengsinya, lucu! Tentu saja membuat Haechan terkekeh,

” Yah berarti gue doang dong yang kangen?” Haechan kini ikut bersila di depan Somi, bahkan dengan begitu berani menatap mata gadis itu.

Dari posisi seperti ini Somi merasa di intimidasi, jantungnya bahkan berdegup lebih kencang.

Haechan ganteng banget!

” Gue emang sengangenin itu, jadi gak heran.” Ini adalah jawaban yang Somi harap dapat menutupi kegugupannya.

Tapi rupanya gurauan itu tak membuat Haechan tertawa kali ini,

” Gue gak suka kangen sendirian, lo gak mau nemenin gue kangen gitu?”

Pertanyaan Haechan rasanya mencubit dadanya, agak nyeri.

” Jangan serius gitu! Muka lo jelek kalo gitu.” Somi mendorong muka Haechan sedikit menjauh darinya.

Pemuda itu akhirnya memilih kembali merebahkan diri, kembali menatap langit-langit kamarnya.

” Gue gak nyangka kangen sama lo rasanya seberat ini.”

Somi akhirnya ikut merebahkan diri sebelah Haechan, ikut menatap langit-langit kamar juga.

” Lo cuma kangen, karena belum terbiasa.”

Haechan kini beralih menatap Somi, gadis itu kini memainkan jarinya sendiri di atas perut.

” Chan, kangen belum tentu mau balik lagi kan?”

Pertanyaan Somi kali ini menamparnya, jadi rindunya selama ini untuk apa?

” Lo bener, tapi gue mau balik lagi, bukan sekedar kangen aja. Ada banyak hal yang perlu kita perbaiki sama-sama, lo udah lama jadi bagian dari tujuan hidup gue harusnya gue perjuangkan untuk tetap bertahan, gak pasrah gitu aja pas lo mau pergi...

... harusnya gue tetep berusaha kan bikin lo bahagia karena gue?”

Somi tidak menjawab pertanyaan panjang itu, ia tidak tau kata apa yang paling pas untuk menjawabnya.

Tapi Somi tau harus melakukan apa, ia lalu memiringkan tubuhnya menghadap Haechan. Memeluk pemuda itu erat.

Erat sekali, kepalanya menelusup di dada Haechan.

Kembali mencari kenyamanan.

Kadang jawaban memang tidak harus dengan kata bukan?