Ran;

#Lee

Somi menunjukkan kameranya pada dua muda-mudi yang baru saja ia potret kebersamaan nya di tepian sungai Han.

“Bagus banget,” si gadis terlihat begitu gembira melihat hasil jepretan Somi. Sementara sang pemuda hanya mengangguk setuju dengan tanggapan kekasihnya, “Jepretan lo makin bagus kak.”

“Thanks,” seulas senyuman terbit di ranumnya yang kemerahan.

“Gantian dong aku jugaaa mau di fotoo ih!” pemuda lainnya yang lebih kecil kini merengek-rengek di antara mereka. Lengannya yang gempal bergelanyut di lengan Somi, “Fotoin juga kak.”

Rengekan yang membuat Somi terkekeh, “Yaudah sana pose.”

Kegiatan swafoto mereka terintrupsi dengan kehadiran kedua orang tua sang pemuda, “Udahan yuk fotonya, kita cari makan!” Ajak laki-laki paruh baya bermarga Lee itu.

Istrinya menimpali, “Juleea sama pacarnya belum balik?”

Somi mewakili menjawab pertanyaan ibu kekasihnya itu, “Tadi udah kesini, tapi aku suruh duluan aja ke restonya. Jule tadi pingin beli arum manis katanya.”

“Yaudah kita susul mereka aja yuk,”

“Aku belum puas fotonya disini atuh!” lagi-lagi yang paling bungsu mernegek.

“Kan barusan udah di foto,” joseph selaku kakak laki-lakinya menyela.

“Cuma 3 jepretan, yang banyak itu abang sama Selia! Aku kan juga mau fotoo sama kak Somi daritadi kalian sibuk foto sendiri.”

Baru saja keributan dimulai tapi papa Lee segera menengahi, “Yaudah sini kameranya papa yang fotoin.”

Somi menjulurkan kamera milik kekasihnya, donghyuck lee pada sang papa. Ia lalu berpindah tempat berdiri di sebelah perempuan yang paling Haechan cintai di dunia.

“Kamu gak dingin?” tanya wanita sepantaran ibunya itu.

“Enggak kok ma, kan udah pake jaket.”

“Cucu mama gak rewel kan?” Tangan lembut itu menyentuh perut Somi yang mulai membuncit, mengelus nya penuh kasih sayang.

“Enggak, anehkan ma giliran ku ajak tidur di kamar bapaknya dari semalem anteng banget. Pas dirumah ya ampun nyiksa gak bisa tidur.”

Mama keluarga Lee terkekeh, “kangen papanya tuh.”

“Bahaya nih ntar lahir jadi anak papa banget.”
Keduanya tertawa bersama sampai tak sadar bahwa kamera Papa lee membidiknya.

“Ibu-ibuu ngetawain apa sih? Selia ikutan dong.” Selia, gadis yang berstatus sebagai kekasih Joseph itu menyempil diantara keduanya.

Setelah selesai dengan sesi foto mereka melenggang meninggalkan tepian sungai Han yang semakin malam semakin ramai. Papa Lee dan mama lee berjalan di depan bergandengan tangan, sambil mengenang masa muda.

Joseph tentu saja mengikuti langkah ringan Selia yang kesana kemari. Bahkan keduanya berlarian, sementara itu langkah pelan somi di temani adik bungsu Haechan, Gabriel.

“Kakak kangen abang gak?”

“Kamu kangen abangmu ya?” Somi justru membalikkan pertanyaan.

Dengan tegas Gabriel buru-buru menggeleng, “Engga!”

“Alah bilang aja kalo kangen.”

“Engga yaaa, aku seneng abang jauh gak ada yang jail. Kakak nih pasti yang kangen?”

“Kangenlah pasti, abangmu kan emang ngangenin.”

“hueeek,” Gabriel tentu meledek. “Muka kayak abang ganteng dimananya?”

“Di matakulah. Haechan tuh ganteng banget tau.”

“Idiihh kene pelet abang!”

“Ahahahahahaha,” Somi tertawa sampai harus memegangi perutnya. Sulung dan bungsu keluarga lee memang saling gengsi untuk mengakui mereka saling menyayangi satu sama lain.

”Somi mau arum manis?” Papa lee menoleh ke belakang begitu melihat tenda penjual arum manis.

“Boleh pa.”

“Bentar tunggu dikursi sana sama mama, biar papa sama Gabriel yang antri.”

Somi tersenyum begitu lengannya di tuntut ibu keduanya itu, rasanya menyenangkan menghabiskan waktu libur bersama keluarga kekasihnya. Meski Haechan sedang beribu kilometer jauh dari jangkauannya kini, tapi berada di tengah kehangatan keluarga nya membuat ia merasa lelaki juninya kini ikut bersama mereka.

Perlakuan keluarga Haechan tak ada yang berbeda dengan atau tanpanya terhadap Somi, selalu penuh kehangatan. Apalagi ketika 2 bulan lalu fakta bahwa dalam rahimnya kini hidup salah satu keturunan mereka, sambutan keluarga itu semakin lebar menerima Somi. Ia bak dirumahnya sendiri.

Sepuluh menit kemudian papa lee dan Gabriel baru kembali, “ini arum manis untuk putriku yang paling manis.” Papa lee menyodorkannya satu cubitan arum manis.

Haechan jauh di Paris sana rasanya tak perlu khawatir dengan sang kekasih dan calon buah hati, keluarga nya menjaga perempuan jeon itu dengan penuh kasih dan kehangatan persis sepertinya.

Jemari mungil yang saling bertautan itu terlepas ketika melihat seorang pria turun dari mobil hitam mengkilatnya. Masih dengan jas yang dipilihkan sang ibu tadi pagi, Mahesa menatap sang ayah dengan bangga. Ia berlari menghampiri Harsa dengan tidak sabaran, meninggalkan gadis kecil yang sedari keluar dari ruang kelasnya ia genggam tangan mungilnya.

“Papaaaaaa!”

“Hai jagoan,” Mahesa meloncat ke gendongan sang ayah. Mengecup kedua pipi Harsa dengan riangnya.

“Mama mana?”

“Hari ini mama dirumah, adek lagi rewel.” Harsa menurunkan sang putra, lalu meraih tas ransel bermotif superhero kesayangan putranya itu untuk ia gendong di bahu kiri.

“Papa jemput sama siapa?”

“Rahasia, nanti liat sendiri ya.”

“Boleh Esa tebak?” Mahesa dengan segala antusiasnya membuat Harsa menjongkokan diri agar sejajar dengan putra kesayangannya itu.

“Coba tebak, kalo bener nanti papa kasih hadiah.”

Mahesa menaruh telunjuknya di dahi, pura-pura sedang berpikir keras lalu menjentikkan jari mungilnya antusias “Sama nenek kan?”

Membuat Harsa menggigit bibir bawahnya menahan gemas, Mahesa menurun sempurna pada sang ibu perihal ekspresi. Tangannya terulur mengelus lembut rambut Mahesa, “Hebat banget anak papa, bisa nebak dengan bener. Mau hadiah apa hmm?”

“Hihihihi, tadi pagi mama bilang mau makan masakan nenekkan. Pasti papa di suruh mama jemput nenek dulu, iyakan?”

“Oh jadi gitu hmm?”

“Tapi Esa tetep dapet hadiahkan?”

“Memangnya mau hadiah apa?”

“Boleh minta jemput papa setiap hari?”

“Ahahahahahaha, ada-ada aja. Memang kenapa kalo dijemput mama atau sopir?”

“Ih Esa mau pamer tau kalo punya papa keren begini.”

“Ini pasti mama yang ngajarin pamer-pamer begini?”

“Heheheheh, jemput tiap hari ya pa?”

“Baiklah bos kecil, mulai besok papa yang jemput kamu.”

“Janji?” Mahesa mengacungkan jari kelingking nya, meminta sang papa untuk berikrar.

“Janji!”

“yeaaayy papa emang paling top mantap is the best.”

*

“Kamu abis janji apa ke anaknya?” Raline memasuki kamarnya dengan berkacak pinggang menatap sang suami yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

“Esa udah cerita?”

“Udah bikin siaran satu dunia kalau tiap hari mau di jemput papanya.”

“Ahahahahahhaha, lucu banget persis kamu selalu heboh.” Raline menatap sinis pada Harsa yang kini justru tanpa dosa mendudukan diri di ranjang mereka.

“Jangan janji yang aneh-aneh deh sama anaknya. Udah tau Esa kalo ada orang janji bakal di tagih sampek akhirat!”

“Aneh apanya? Cuma janji jemput tiap hari.”

“Terus kamu bisa nepatin itu pak Harsa yang terhormat?”

Harsa mengangkat alisnya, “Di usahakan.”

“Kamu dan kantor udah sibuk banget loh, belum lagi kalo nanti tiba-tiba di suruh gantiin papap, Esa bakal kecewa kalo kamu gak nepatin janjinya.” Harsa meraih tangan Raline, lalu menuntunnya untuk duduk disebelahnya.

Selagi Raline bersandar pada kepala ranjang Harsa merebahkan kepalanya dipangkuan sang istri, tepat di depan perut yang kini mulai terlihat membuncit itu.

Sambil mengecup pelan perut Raline ia berucap “Bisa, aku usahakan untuk selalu bisa jemput jagoan kita.”

“Adek gimana?” Raline menghembuskan nafasnya pasrah, tangannya kini terulur untuk mengelus pelan rambut suaminya.

“Ya langsung tidur tadi abis digendong kamu, belum bangun. Pules banget kalo udah nempel bapaknya. Heran deh punya anak dua nempel semua sama bapaknya, aku cuma di jadiin tempat singgah sembilan bulan aja.”

Harsa terkekeh dengan keluhan Raline perihal kecintaan anak mereka terhadapnya, dengan singkat ia mengecup bibir sang istri yang sedari tadi menggodanya dengan omelan “bumil ngomel mulu.”

“Ish! Jangan cium-cium!”

“Sini boboan, kamu capek pasti udah beresin rumah seharian.” Harsa menarik Raline untuk merebahkan diri diatas lengannya yang terbuka.

Ia memeluk erat tubuh wanita yang sudah menemaninya hampir 8 tahun itu, pelan-pelan ia tepuk lengan Raline seperti biasa, tangannya yang bebas mengelus lembut alis Raline agar wanitanya segera terlelap.

Begitu memastikan Raline pulas, dikecupnya seluruh permukaan wajah Raline yang selalu menjadi favoritnya. Baik marah maupun bahagia ekspresi Raline selalu menjadi favoritnya.

“Sleep tight mama.”

*

“Esa nanti di jemput papa lagi?” Tanya Mili, gadis kecil yang paling cantik dikelasnya menurut Esa.

“Iya! Mulai hari ini aku bakal di jemput papa terus.”

“Yeayyy!” keduanya bersorak bersama, bahkan saling berpelukan.

“Papa Esa ganteng, Mili suka.”

Mahesa lekas melepas pelukannya, “Kalo sama Esa gantengan siapa?”

“Gantengan papanya lah, hehehe kemarin Mili di kasih dadah sama papa Esa. Nanti kalo Mili sudah besar mau jadi pacar papa Esa.”

Mendengarnya membuat Mahesa melepas genggaman tangannya pada gadis kecil yang selalu ia ceritakan pada sang mama tiap hari itu. Mahesa menghampiri ibu guru di depan kelas, meminta untuk di telponkan sang mama detik itu juga.

Tanpa melihat Somi tau siapa yang sedang berusaha membuka password apartemen pribadinya, hanya butuh sepuluh detik untuk si pelaku memunculkan batang hidungnya di ruang tengah tempat Somi kini sedang bersantai menonton TV.

“Yang ada paket nih di depan, beli apa berat banget?” Haechan mengangkat kardus paket yang tadi dia temui di depan pintu unit kekasihnya.

“Ada deh,” Somi meraih kardus paket tersebut lalu melenggang pergi meninggalkan Haechan sejenak.

Haechan melepas coat tebalnya, dan menyimpan barang bawaannya di meja dapur, ada beberapa makanan yang ia beli.

“Kamu beli makanan gak sayang?” Teriak Somi dari dalam kamarnya, “ada aku belanjain stok daging juga buat kamu masak tuh.”

“Snacknya zorro?” Gadis itu sudah memakai piyama tidurnya, lalu ikut duduk di sebelah Haechan yang kini menyenderkan punggungnya ke sofa.

“Ada tuh, mana si galak sekarang?”

Jemari lentik Somi mengelus lembut permukaan wajah Haechan yang kini memejamkan mata dari samping, “Ku masukin rumahnya, alergi kamu makin parah akhir-akhir ini. Jadi Zorro dikandang dulu, mamanya mau manjain papa.”

“Ahahahahaha, sini naik aku pingin peluk yang lama.” Detik berikutnya Somi sudah berada diatas pangkuan Haechan. Memeluk erat pria yang hampir dua minggu tidak ia temui itu.

Tentu saja dengan manja Haechan menelusupkan wajahnya ke perpotongan leher sang puan, menghirup dalam aroma menenangkan yang datang dari tubuh Somi. Aromaterapi paling ampuh untuk melepaskan penatnya tiap kali menyelesaikan tur dunia.

Haechan tak butuh psikolog untuk menenangkan pikirnya yang begitu penuh. Haechan tak butuh terapis untuk membantunya menyembuhkan lelah. Haechan tak butuh obat-obatan untuk membuatnya sembuh dan tertidur tenang. Ia hanya butuh dekapan Somi, yang hangat dan paling menenangkan persis seperti dekapan mamanya.

Untuk apa mendengarkan musik relaksasi berjam-jam demi bisa tertidur? Haechan hanya butuh Somi berbisik pelan di telinganya sebelum tidur, maka ia akan nyenyak. Selama ada Somi Haechan rasa dunianya akan berjalan baik-baik saja.

“Kamu libur berapa hari?”

“4 hari, abis itu aku ke Jepang lagi.”

“Sayangku jaga kesehatan ya? Aku ga suka kamu sakit.” Somi meletakkan kepalanya diatas dada sang pacar yang rupanya makin hari terasa makin bidang. Ia suka mendengarkan detak tak karuan milik Haechan tiap kali mereka berpelukan.

“Udah minum obat herbalnya belum kamu?” di tanya demikian Haechan melepas pelukannya dan menyengir tanpa dosa, bersiap mendengar ocehan panjang Somi setelahnya.

“Belum, aku lupa.”

“Ck! Kebiasaan, tapi bawakan?”

Gelengan Haechan membuat Somi bangkit dari duduknya, “tadi aku buru-buru kesini yang, lupa ga bawa obatnya.”

Tanpa menghiraukan alasan Haechan, Somi masuk kedalam kamarnya kemudian kembali dengan membawa obat herbal yang biasa Haechan minum.

“Untung tadi paketnya udah dateng, sengaja nih aku beli stok obat kamu.”

“Astaga yang? Jadi tadi paket itu obat aku?”

“Huum, kamu suka alesan lupa ga bawa kalo kesini. Jadi yaudah aku stokin aja.”

Somi kembali duduk dipangkuan Haechan, lalu membuka penutup obat herbal tersebut dan bersiap menegakkannya ke Haechan “yang bentar turun dulu, baunya engga enak nanti aku muntah kena kamu loh.”

“udah gausah alesan.”

Dengan cekatan Somi menegakkan obat tersebut, membuat Haechan mau tidak mau melakukannya dalam satu tegukan. Ia menahan bau tidak sedap dari obat herbal tersebut, susah payah memaksa agar tidak ia muntahkan seperti biasanya.

Hal yang justru membuat Somi terkikik melihat wajah merah kekasihnya, ia lalu menunduk untuk mengecup singkat bibir Haechan.

“Biar manis.”

Haechan tentu tidak bisa menahan kegemasannya, dielusnya rambut Somi dengan lembut lali ia tarik dagu gadis itu untuk kembali menyatukan bibir mereka.

“Cantikku yang selalu jadi obat paling mujarab.”

Ayunandiras membawakan dua mangkok kolak nangka ke halaman belakang villa keluarga Rajasa, “Ini mama buatin kolak nangka, Hema bilang kamu suka ini persis banget sama kakeknya dulu.”

Mira menerima mangkok tersebut, mencicip penuh minat untuk menyenangkan hati perempuan di depannya, ia tatap lekat kecantikan alami ayunandiras yang tidak terlihat menua. Bagaimana bisa dengan beban seberat itu ibu negara ini masih tetap terlibat segar? Tak terlihat garis kerutan menua di wajahnya.

“Selain kolak nangka, Mira suka apa lagi?”

“Es campur durian di Semara, sebelah masjid Agung itu Ma” Mira dengan anggun menjawab pertanyaan ibu negara ini.

“oh itu kesukaan Samudera kalo pulang ke Semara selalu minta belikan omnya disitu.”

“Iya mas Hema sering cerita kalau Sam sama Tata suka banget es campur disitu.”

“Gimana kolaknya? Enak atau kurang manis? Mama soalnya kurang suka manis.”

“Enak banget, ini nangka dari kebun belakang ya ma?”

“Iya dulu pak Jenderal nanam sendiri pohonnya, waktu Hema masih kecil mama masih hamil Nyayu.”

“Lebih tua pohon nangkanya dong daripada Nay.” Mira dan calon ibu mertuanya sama-sama tertawa.

“Samira, kamu tau sesuatu tentang laki-laki tidak?”

Samira menanti kelanjutan ucapan calon ibu mertuanya, “apa ma?”

“Laki-laki itu akan menikahi perempuan yang dia temui ketika dia siap untuk menikah. Itu yang pertama, bukan siapa yang dia suka pertama kali.”

“Dalam hidup laki-laki ada 2 jenis perempuan, pertama perempuan yang dia bidik dari kejauhan untuk dijadikan istri. Tidak akan ia ganggu sampai ia siap untuk menikah. Kedua, perempuan yang hanya ia jadikan teman untuk mebersamai hari sepi atau jahatnya perempuan yang memang ia ajak untuk main-main saja.”

“Sebagai perempuan terdengar jahat memang, tapi begitulah otak laki-laki bekerja berbeda dengan bagaimana otak kita bekerja.” Samira mendengarkan dengan seksama tiap kalimat yang keluar dari perempuan ayu di depannya.

“Laki-laki itu makhluk bermain, makhluk berburu sudah menjadi tabiatnya untuk kesana kemari dulu sebelum pulang.”

“Hema itu suka mengeksplorasi hal baru, dari kecil memang mudaj tertarik dengan hal-hal baru tapi pasti ada satu yang tetap menjadi favoritnya.”

“Dulu waktu bersama Erika, mama yakin kamu juga sudah tau bagaimana hubungan mereka media setiap hari kan mengulik itu. Mama tau Hema belum menemukan jenis perempuan pertama, karena dari awal mereka tau bagaimana pun tidak akan pernah bersama.”

“Erika perempuan baik, tapi restu Tuhan lebih dari segalanya. Dan Hema tau dia dan Erika hanya sedang membuang waktu, namanya juga anak muda.”

“Dengan perempuan setelah Erika mama tidak tau siapa saja mereka tapi yang mama tau Hema masih bermain, menjelajahi hal baru yang ia temui. Ibarat rumah orang dia hanya ingin mencicipi makanan suguhan di dalamnya, tidak berniat menetap. Karena ia tau bukan rumah itu yang mau dia jadikan tempat pulang, hanya sekedar singgah.”

“Lalu beberapa bulan lalu Hema menceritakan kamu di keluarga nya, setiap detail yang ia ketahui tentangmu ia sampaikan dengan mata berbinar-binar. Sebagai seorang ibu, mama tau putra kecil mama ternyata sudah membidik rumahnya untuk pulang. Bahkan jauh sebelum ia mengajakmu berkenalan.”

Ayu memegang tangan Samira, menata pada cincin yang melingkar indah di jari manis gadis itu, “Mau dilanjutkan atau tidak pernikahan ini semua keputusan ada di tanganmu. Jangan merasa terbebani dengan siapa besan ibumu ini, kalau memang kamu tidak bisa menjalani kehidupan bersama putra mama ya tidak apa-apa. Yang penting kamu harus bahagia ya nduk.”

Air mata Samira meluruh, dipeluknya erat sekali perempuan yang melahirkan Hema itu “Jangan nangis toh cah ayu, nanti Hema sedih kalau Hema sedih ibu merasa gagal jadi orang tuanya.”

“Mana senyum cantiknya?” Ayunandiras menghapus air mata Mira dengan jemari lentiknya, kemudian menarik senyum milik sang gadis.

“Nah ini senyum cantik yang sering putra mama banggakan. Katanya bikin mabuk kepayang.”

“Mama...”

“Dalem cantik?”

“Katanya jodoh itu cerminan ya?”

“Setengah betul setengah salah, pasangan itu saling nduk. Bukan selalu 50 dan 50 untuk menjadi 100 tapi kadang juga 70 dan 30 tergantung bagaimana keduanya saling memberi keseimbangan dan pengertian.”

“Kadangkala jika kitanya suka ngomel, bisa jadi pasangan kita stok sabarnya luar biasa. Ya itu soalnya stok sabar kita diambil pasangan semua ahahahahah.”

Rambut Samira dielus begitu lembut persis belaian ibunya sendiri dirumah, “Pernikahan itu berat, bukan cuma kamu dan pasanganmu jadi setiap aspeknya harus kamu pikirkan dengan matang. Segalanya perlu imbang supaya padu dan harmoni.”

“Mas Hema sering bilang begitu.”

Ayu tersenyum, “Itu petuah kakeknya dulu ketika pak Jenderal menikahi mama.”

“Dengar sekali lagi ya cah ayu, Hema mengajakmu menikah bahkan tidak memberimu pilihan untuk menolak tapi bukan berati kamu tidak bisa menolaknya. Kamu bisa menolak menikah dengannya, karena hidupmu masih milikmu dan hanya kamu yang berhak menentukan pilihan apapun itu.”

“Mama terimakasih sudah menerima aku dengan baik sekali.”

“Sudah seharusnya sebagai seorang ibu dan sesama perempuan begini.”

“Terimakasih juga telah melahirkan laki-laki sehebat Hemachandra.” Ayunandiras memeluk Samira kembali, sebisa mungkin ia menahan air matanya untuk tidak luruh.

Malam itu Mira mendapatkan hadiah pelukannya, cukup lama sampai ia sendiri yang melepaskan diri dari dekapan Hema. Alun-alun Nusanesia begitu sepi, hanya ada mereka bertiga tentunya dengan Mahatma yang berada di kejauhan.

“Kamu kenapa ?” Hema sepertinya peka sedang terjadi sesuatu dengan perempuannya.

“Mas, aku bukan perempuan yang suka membandingkan diri dengan perempuan lain. Aku tidak pernah merasa kurang dengan apa yang aku miliki, aku cukup percaya diri dengan apa adanya aku. Tidak peduli seberapa lama dan jauh hubunganmu dengan perempuan sebelumnya aku tidak perlu merasa kurang darinya, kalau kamu sudah memilihku artinya aku sudah layak bukan?”

Natsyamirah menjeda kalimatnya, memastikan bahwa pandangan Hema melekat padanya “Tapi aku tidak suka dengan hubungan yang belum selesa,”

“Hubunganku dengan Erika sudah selesai jauh sebelum aku bertemu kamu,”

“Bukan dengan Erika tapi dengan” Hema menyela ucapan Mira yang belum selesai itu “ Aku tidak pernah punya hubungan dengan perempuan lain selain Erika.” Mira menyandarkan punggungnya dibangku taman, melihat ke segala arah asal tidak bersitatap dengan Hema.

“Dengan anak menteri itu tidak pernah terjadi apapun selain kencan buta yang pernah dirancang orang tuanya. Dengan Roroajeng, kami tidak berkencan.”

“Tapi Mas Hema masih menggantungnya bukan?”

“Harusnya dia tau kami tidak bisa dilanjutkan dan sudah selesai.”

“Mas kamu tidak menyampaikan pamitmu, membuat dia merasa aku merebutmu.”

“Kamu tidak merebutku dari siapapun Mira!”

“Kemarin aku satu acara dengannya, ia menyampaikan banyak hal tentang kalian. Banyak janjimu yang belum kamu tepati terhadapnya. Selesaikan itu dulu mas, baru temui aku lagi. Atau,”

“Kamu mau apa Samira?”

“atau lebih baiknya memang kita berpisah dulu, kita masing-masing masih saling menyembunyikan satu sama lain. Itu bukan sebuah pondasi yang tepat, aku belum mengenal kamu sebaik kamu mengenalku.”

“Samira! Jangan ngaco kamu, kita udah persiapan pernikahan kita udah enam puluh persen.”

“Justru itu mas, ayo selesaikan dulu masing-masing dari kita. Urusan Mas Hema dengannya, begitupun dengan aku yang masih berusaha mencintaimu.”

Natsyamirah meninggalkan Hema sendirian di bangku taman, pemuda itu mengacak rambutnya dan berteriak kesal. Meski begitu tetap memerintah Mahatma untuk mengantar calon istrinya itu kembali ke rumah “Mahatma, antarkan Mira sampai rumah. Mulai besok kurangi penjagaannya.”

Mira dan Hema memisahkan diri dari rombongan kepresidenan selepas makan siang bersama. Mereka atau lebih tepatnya Hema memilih (memaksa) untuk berkendara sendiri dan hanya mengizinkan Mahatma mengikuti mereka dengan mobil lain.

“Gimana tadi ketemu keluargaku?” Mira yang tadinya asik memandangi jalanan tol baru dari Semara ke Nusanesia kini menoleh ke arah si pengemudi, Hema Chandra.

“Asyik, seru banget apalagi sama Nay.” Mendengar jawaban antusias Mira, tentu saja Hema tersenyum lebar.

“Udah gak nervous kan?”

“Awalnya tadi aku nervous, tapi Ibu ah maksudku mama yang welcome banget jadi berasa udah kenal lama banget. Aku ga nyangka Nay dan Mbak Nat juga se-seru tadi. Terakhir ketemu mbak Nat, masih ada sedikit kecanggungan. Tapi tadi seneng banget bisa akrab sama mereka.”

“Syukur deh kalo kamu nyaman selama acara tadi.”

“Aku enjoy kok, itu juga berkat Mas Hema. Makasih udah ceritain aku ke mama, Mbak dan Nay sebenarnya jadi aku merasa sangat diterima tadi.”

Hema menggenggam sebelah tangan Mira, “Tentu tugasku mengenalkan kamu pada keluargaku supaya kamu di terima.”

Mira menatap laki-laki disampingnya dengan lamat, dipandang begini Hema terlihat begitu tampan tak menampilkan sisi tengilnya seperti biasanya.

Setelah beberapa menit Hema bersuara kembali, “Sudah puas menatap ketampanan ku?”

“Ahahahhaha pede banget.”

“Mira akhir tahun ayo menikah, aku sudah bilang ibu dan ayahmu kemarin. Tadi sebelum perjalanan ini, mama dan papa juga sudah merestui.” Yang di ajak bicara hanya mampu mematung, masih kesulitan mencerna ucapan yang baru ia dengar.

“Bentar, Mas Hema bilang apa?”

“Ayo nikah sama aku.”

“Wah to the point banget.”

“Sudah menemukan yang aku cari, buat apa ditunda lagi?”

“Ini kamu ngajak pacaran aja engga, langsung gas nikah aja.”

“Oh kamu maunya pacaran dulu?”

“Maksudnya tuh minimal kamu nanyalah aku mau atau engga nikah sama kamu gitu.”

“Gak, aku gamau kasih kamu pilihan buat nolak. Aku mau kamu nikah sama aku.”

Mira melepas genggaman tangannya, lalu memijit pelipisnya “bentar mas aku pusing mencerna omongan mu.”

“Kita nikah akhir tahun ya?”

“Sek toh, kenapa akhirnya mantep sekali ngajak aku nikah?”

“Kriteria jadi istriku cuma 3 Mira, dan kamu sudah memenuhi ketiganya.”

“Emangnya apa aja?”

“Yang aku suka, yang aku suka banget, yang aku suka sekali.”

“MAS HEMA!”

Ralina berjalan dengan langkah kecilnya menyusuri lorong sekolah yang saling bersahutan terdengar nadzoman para santri dari dalam kelas. Gamis merah maroon dipadukan dengan Rabbani softpink yang sempurna menutupi dada sampai ke pinggangnya, perpaduan warna yang pas dengan kulit putih susu miliknya.

((Nadzoman adalah media untuk menghafal))

Meski tanpa makeup tebal, Raline tetap terlihat begitu cantik. Wajahnya bersinar begitu berseri-seri, entah karena air wudhu yang tak pernah ia lupakan atau efek dari euforia pengantin baru. Eh.

Ralina baru menikah, sebulan lalu.

Bibir mungilnya sesekali mengikuti nadzoman, sekaligus melalar hafalannya agar tidak lupa. Kebetulan jadwal lalaran di sekolah hari ini adalah tasrif istilahi, pelajaran yang ia sukai dulu semasa mengemban pendidikan di pesantren.

((Tasrif istilahi adalah bagian ilmu shorrof, ilmu yang mempelajari tata bahasa arab))

“Fa'ila yaf'ilu fi'lan...” itu Bab 6 dari fi'il tsulasi mujarrod. Lalaran pelannya terhenti ketika seorang ustadzah menyadari kehadirannya.

Yang tadinya seorang ustadzah itu berdiri di depan kelas, mungkin sedang memantu lalaran di dalm kelas sekarang langsung menundukkan kepalanya berjalan mundur mempersilahkan Ralina untuk masuk ke dalam kelas.

“Monggo Ning sampun mantun laré-laré lalaranipun.” Tangan sang ustadzah mengepal dan menunjuk dengan jempolnya.

((Lalaran : mengulang hafalan))

Ralina tersenyum dan mengangguk anggun, “Nda papa Us, biarkan diselaikan dulu tinggal beberapa mauzun.” Sebenarnya sengaja Ralina tadi menunggu di balik dinding, ia tidak mau menginterupsi lalaran yang sudah jelas akan berhenti jika ia memasuki kelas detik itu juga. Toh bel pelajaran pertama belum berbunyi, hanya saja ia berangkat dari ndalem lebih cepat 5 menit tadi. Sengaja, sekaligus menemani suami berjalan menuju sekolah. Lalu keduanya terpisah di gerbang sekolah.

Begitu tidak lagi mendengar suara lalaran dari dalam kelas Ralina sekali lagi tersenyum sebelum mengangguk, “Saya masuk dulu ya Us.”

“Njih Ning.” Setelahnya ustadzah yang juga merupakan alumni santriwati itu menunduk menata alas kaki Ralina dengan posisi siap digunakan dari dalam kelas. Lalu berjalan mundur sampai menghilang dari jangkauan pandangan Ralina.

Memasuki kelas Ralina menyapa dengan senyuman manisnya. Senyuman yang beredar dikalangan santriwati menjadi salah satu alasan mengapa putra kiai mereka jatuh cinta pada Ralina.

Setelah mengucap salam dan membaca do'a qobla ta'alum, Ralina menyapa santriwati “Selamat pagi mbak, sudah sarapan?”

Dengan kompak mereka menjawab, “Pagi Ning, sampun.” ini merupakan salah satu yang disukai para santri dari Ralina, selalu menyapa mereka dan menunjukkan kepedulian dengan ceria.

“Alhamdulillah kalo begitu...”

“Ngapunten, Ning sampun sarapan?” Celetuk seorang santri diujung depan.

“Alhamdulillah sampun...”

“Kale sinten Ning?” Ujar yang lain menimpali, yang justru hal itu mengundang gelak tawa. Begitupun dengan Ralina yang merona dengan celetukan godaan itu, ia terkekeh.

“Eh nganu maksud kulo, sarapan kale nopo ngoten loh Ning...” Si santri menepuk bibirnya sendiri, mengoreksi pertanyaan.

“Njih sami kale nopo ingkang dipun dhahar mbak-mbak sedoyo niku. Sekarang hari Senin kan? Berarti waktunya dhahar rawon kan?” para santriwati itu mengangguk setuju, sampai lagi-lagi salah satu dari mereka kembali menyeletuk.

“Walah Ning, tirose kulo ten ndalem wonten menu spesial ngoten.” Ralina tersenyum dengan menggeleng pelan.

((Ndalem : sebutan rumah))

“Loh njih spesial toh, Ning kan dhahar e dipun rencangi kale Gus.” Lagi-lagi Ralina digoda, ia rasa pipinya sudah begitu memerah sekarang.

“Cieeee...”

Setelah menyelesaikan kekehan dan perasaan gelinya atas godaan itu Ralina mengintrupsi “Sampun njih, sak niku kulo absen riyen sak derenge lanjut ngesai.”

((Ngesai : memaknai kitab kuning dengan huruf pegon))

((Kitab kuning : kitab kosongan tanpa makna))

((Pegon : seni menulis arab, biasanya dengan bahasa daerah))

Namun begitu membuka buku absensi Ralina menyadari sesuatu, tidak ada bolpoin 3.0 yang biasa terselip di kitab kuningnya. Ralina merogoh saku gamisnya, siapa tau ia lupa memasukkan bolpoin khusus mengesai itu ke dalam saku. Namun ternyata tidak ada.

“Masyallah hi-tech saya sepertinya terjatuh...” Mendengar keluhan Ralina para santri meringis ngilu, bolpoin itu harganya lebih mahal dari bolpoin biasa. Dan apabila terjatuh akan membuatnya macet dan tersendat sehingga begitu tidak nyaman ketika digunakan.

Hi-tech jatuh, adalah mimpi buruk.

“Mba, boleh pinjam...” Belum selesai Ralina berbicara hendak meminjam bolpoin tetapi pintu kelas di ketuk oleh seorang santri.

“Assalamualaikum...”

“Waaalaikumsalam, Njih wonten nopo Mas?”

Santri tersebut menunduk begitu dalam, ia menjaga pandangan sebisa mungkin untuk tidak menatap satupun perempuan di ruangan itu. “Ngapunten Ning, niki bolpoin jenengan dugi Gus Harsa. Tirose ketinggalan wau ten meja makan.”

Ralina bangkit dari duduknya dan menghampiri sang santri yang kini berdiri dengan lututnya dengan tangan menjukurkan bolpoin Ralina sopan. “Masyallah, syukron njih Mas.”

< terimakasih ya mas>

“Kale niku Ning, wonten pesan dugi Gus...”

“Njih nopo?”

“Dawuhi Gus wau, mengke panjenengan mantun ngajar dipun rantos ten ngajenge masjid.”

Ralina lagi-lagi menahan pipinya supaya sebisa mungkin tidak merona, apalagi melihat para santriwati yang kini rasanya ikut menahan gemas dengan pesan dari suaminya itu.

“Njih, Njih, matur suwon Njih Mas.” Setelah santri tersebut pamit undur diri Ralina kembali memulai kelasnya.

“Mongga mbak do'anya...” Para santri menyambut dengan bacaan do'a pengharapan ilmu yang bermanfaat dari para mushonnif pengarang kitab.

“Qolal mushonnifu rahimahumullohu ta'ala wanafa ana bihi, wa bi ulumihi fid daraoini. Aamiin.”

((Do'a yg biasa di baca sebelum ngesai))

Setelahnya Ralina mulai membaca kitab kuning kosongan itu dengan sasa-an bahasa jawa yang akan di tulis oleh para santri. “Bismillahi kelawan nyebut asmanane Allah, Arrahmani kang moho welas ing dalem dunyo lan akhirat, Arrahimi kang moho welas ing dalem akhirat beloko.”

“Faslun, ai hada faslun utawi iki iku ono fasal.” Nada esai-an Ralina begitu khas, pelafalannya jelas dengan intonasi kuat meski bernada. Membuat para santri begitu senang jika mengesai kitab kuning dengannya.

Kurang lebih butuh 30 menit untuk mengesai satu fasal dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia berikut dengan keteranganya. Ada sisa waktu sekitar 10 menit sebelum jam pelajaran berganti.

Biasanya waktu tersebut Ralina gunakan untuk mendengarkan keluh kesah para santri, tentang apa yang membuat mereka merasa kurang nyaman di asrama. Atau ia gunakan untuk berbagi kisah para ulama' dan nilai nilai jihadnya.

“Alhamdulillah ngesai nya sampun, mbak-mbak ada yang mau di tanyakan?”

“Mboteeeen...”

“Kalau mboten kulo akhiri riyen Njih?”

“Njih..”

“Loh Ning tumben kajenge medal riyen? Biasanya nunggu bel.” Tanya Ara, santriwati yang tadi juga menggodanya.

“Lah jenengan sedoyo mboten wonten pertanyaan tirose, njih kulo akhire mawon.”

“Kulo sangkaaken kajenge medal riyen amergi dirantosi Gus.” Kan, lagi-lagi Ralina digoda.

“Astagfirullah...” Mau tidak mau Raline terkekeh, santriwati yang satu itu memang sedikit unik.

“Ngapunten Ning, kulo mung bercanda.”

“Njih mboten nopo-nopo, lucu jenengan.”

“Ning, Gus Harsa ten ndalem suka ngajak bercanda nopo mboten?” Pertanyaan spontan dari pojok ruangan membuat Ralina membelalakkan matanya, lalu kembali terkekeh.

“Suka, beliau cukup humoris. Kenapa mbak? Beliau kalau ngajar kaku tah?”

“Mboten....“ Para santriwati menggeleng.

“Gus Harsa lucu Ning kalo ngajar, banyak bercanda.” celetuk salah seorang santriwati, lalu beberapa detik kemudian ia menutup mulutnya yang spontan menjawab itu.

“Eh, ngapunten Ning.”

Ralina tersenyum, merasa bersyukur kalau cara mengajar suaminya disukai para santriwati.

“Coba nanti kalo beliau ada waktu luang sehabis ngajar jenengan mintai cerita lucu deh. Beliau punya banyak.” Ujar Ralina yang disambut tatapan antusias remaja muda itu.

“Ning ngapunten Njih, kulo mung penasaran. Ngapunten niki, Jenengan ten ndalem nimbali Gus Harsa nopo?” Ralina terkekeh dengan pertanyaan polos tersebut.

“Ya sama kayak mbak-mbak kalo manggil.”

“Gus ngoten?” Ralina mengangguk mengiyakan.

Rasanya tidak mungkin bukan ia menyebut secara gamblang panggilannya pada suami ketika dirumah.

“Masa Gus Ning? Mboten Mas ngoten? Nopo linthune ngoten?”

Ralina tersenyum, “Beliau ndak mau dipanggil Mas, Dawuhi kulo sanes adine beliau mboten angsal mangggil begitu.”

Meski tidak yakin dengan panggilan Gus-Ning yang Ralina utarkan tetapi para santriwati itu mengganguk paham dengan penjelasan yang baru saja dipaparkan.

Bertepatan dengan itu bel pergantian jam pelajaran berbunyi, mengharuskan Ralina segera mengakhiri kelasnya.

“Sudah Njih, semoga ilmunya bermanfaat”

“Aamiin...”

“akhirul kalam, summa salamualaikum wr.wb.”

Begitu keluar dari gerbang sekolah Ralina sudah melihat sang suami berdiri di depan masjid bersama seorang pengurus di asrama putra rupanya.

Ralina mendekat ke arah mereka, lalu berhenti sejajar dengan Harsa meski berjarak 3 meter. Membuat ustad yang sedang berbicara dengan Harsa itu reflek menunduk lalu melangkah sedikit mundur. Harsa menoleh ke belakang, mendapati istrinya yang tersenyum dengan mengagguk.

“Sampun Ning?” Tanya Harsa.

Sebenarnya tadi Ralina tidak berbohong, Harsa memang memanggilnya dengan sebutan Ning. Ketika diluar rumah mereka.

“Njih sampun Gus.” Harsa kemudian pamit undur diri pada ustad yang tadi menemaninya menunggu Ralina.

Harsa berjalan lebih dulu, baru Ralina mengikuti 3 langkah di belakangnya. Ini merupakan tatakrama ketika mereka berada di ruang publik.

Begitu dirasa jauh dari area santri dan mendekati ndalem mereka, Harsa memelankan langkahnya. Menunggu Ralina supaya beriringan disampingnya. Tangannya meraih kitab kuning yang Ralina dekap, “Mana sini kitabnya tak bawakan.”

“Lah ngapain?”

“Ya biar kamu gak keberatan, kamu gak boleh kecapekan pokoknya. Abis ngajar itu gak boleh bawa beban.”

“Alay deh, cuma kitab beratnya gak sampai satu kilo padahal.”

Mereka kini memasuki gerbang ndalem, dengan tangan Harsa yang berani merangkul pundak istrinya “Ya gapapa akukan mau manjakan istri, masa ayang gak suka hmm?”

“Ya suka.”

Nah sudah tau kan panggilan apa ketika mereka di rumah?

Setidaknya meski tak lagi sama, kita pernah.

“Ini beneran gapapa kita disini?” Raline bertanya was-was dengan pandangan yang mengamati sekitarnya. Tempatnya tak asing, tapi rasanya aneh dan ini pengalaman pertama nya di dunia ini.

Dengan santai Kirana menjawab sambil meminum matcha latte yang baru saja dia pesan, “Tenang, aman kok.”

Azalea disebelahnya mengehela napas pasrah, “Kebiasaan Kirana ini.”

“Apa sih Prameswari ini, protes mulu dari tadi.”

“Ya abisnya kamu, aku udah bilang jangan asal main ke universe lain. Nanti itu bisa — ssssttt! Diam! Itu liat target yang kita cari disini.” Ucapan Azalea dipotong begitu saja.

Mereka berempat kini menatap pada sepasang laki-laki dan perempuan yang baru saja memasuki cafe dengan membawa setumpuk box yang entah apa isinya.

*

Gadis itu menggerutu sebal sedari tadi, bahkan dari semalam ketika saudara sepupunya meminta tolong untuk mengambilkan pesanan seragam pernikahannya. Bukan tidak mau membantu, masalahnya yang diperintah untuk mengantarkannya adalah Aghazian. Laki-laki yang pernah memiliki hubungan dengannya, meskipun entah apa hubungan mereka dulu. Yang jelas dia malas sekali harus pergi dengan laki-laki itu.

“Ini kita bisa langsung pulang aja gak sih mas?”

“Bentar, napas dulu disini. Capek aku muterin jalan, kamu salah baca maps!”

“Salah sendiri siapa nyuruh gue baca maps?”

“Perempuan emang gamau salah.”

“Maksud —” Omelannya tak lagi mampu keluar begitu seorang waitres menyapa meja mereka, menanyakan pesanan.

“Loh Gilang?” Aghazian menyapa, sementara ia mendadak terdiam tak mampu berkata.

“Eh Mas Aghaz, apa kabar? Masih sama ini ya? Awet banget kalian.” Dia melotot dengan ucapan pemuda yang diam-diam telah lama mencuri hatinya. Jauh sekali dari zaman sekolah menengah.

“Ahahahaha, kabar baik. Awet apa nih?”

“Hubungannya, hehehehe mau pesan apa kalian berdua?”

Aghazian meboleh pada perempuan yang mendadak diam tak mengomel disebelahnya, “Mau pesan apa kamu?” Yang ditanya bukan menjawab justru terlihat seperti orang linglung bingung hendak menjawab apa. Berada diantara kedua laki-laki ini membuatnya ingin enyah dari semesta.

*

Setelah mencatat pesanan kedua teman lamanya semasa sekolah, Gilang bergegas kembali tapi seseorang pelanggan menahan lengannya.

“Sorry, mas nya kenal sepasang yang duduk di meja nomor 11 itu?”

“oh itu teman saya dulu pas sekolah Kak.” jawab Gilang ramah.

“Kalau yang perempuan?”

“Teman satu kelas,” kali ini gilang menjawab sambil menatap ke meja nomor 11.

“Tapi ku rasa dia bukan hanya sekedar teman satu kelas?” Gilang menatap curiga pada perempuan di depannya, sekaligus menatap satu persatu teman perempuan itu yang ketiganya kompak menatapnya.

“Maaf kak, kita pernah ketemu sebelumnya?”

“Gak penting kita pernah ketemu atau engga, yang penting gimana perasaan kamu ke perempuan itu?”

“Kamu siapa?”

“Kalau ku jawab seseorang yang tau perasaan perempuan itu, kau mau menjawab pertanyaan yang tadi tidak?”

“Memangnya bagaimana perasaannya?”

“Jawab dulu, bagaimana perasaan mu?” Gilang merubah tatapan curiganya menjadi lebih lunak, “She is my ex crush.”

“Omo!”

“Haaaa?”

Yang memekik itu jelas Azalea dan Ratu, Raline Nadindra tentu saja hanya mampu mengangakan mulutnya. Dan Kirana menjentikkan jarinya antusias lalu menarik Gilang untuk duduk di meja mereka.

“Eh? Saya harus kerja kak.”

“Tenang, udah aku booking ke manager kamu buat berdongeng disini.”

“Ha?”

“Udah, anggap aja aku ini lagi butuh kamu sebagai narasumber yang ceritanya mau ditulis.”

“Ha?”

“Ih kebanyakan hah heh hoh!” Ratu melemparinya tisu.

Setelahnya mengalirlah cerita semasa SMA yang Raline simak dengan begitu cermat, sebisa mungkin ia menahan ekspresi. Apalagi ketika Gilang mengatakan ia tak punya kesempatan untuk mengutarakan perasaannya bahkan sampai kini mereka hidup masing-masing. Gilang bilang perempuan itu kini hanya bagian dari masa indah sekolahnya, meski ia menyesal tak pernah mengutarakan apa yang seharusnya ia katakan dari dulu pada perempuan itu tapi mau bagaimanapun waktu tidak bisa di ulang. Dan kesempatan tak lagi datang. Gilang telah melepaskan perasaannya, menyimpannya begitu rapi dengan kenangan-kenangan remajanya yang lain. Toh menurut nya sekarang, rupanya si perempuan sudah bahagia dengan laki-laki itu. Laki-laki yang dulu juga membuatnya mundur.

*

“Gimana udah lega?” Azalea bertanya begitu mereka hendak kembali.

Raline lemas rasanya tak sanggup banyak bicara mendengarkan cerita versi Gilang di dunia ini, “Setidaknya aku gak jatuh sendirian kan?”

“Tapi, tapi ini sama gak sih sama di tempat kita?” Ratu bertanya pada Kirana, jujur ia tak paham dengan konsep dunia ini.

“Kurang lebih sama, tapi aku juga gak bisa menjamin hahahahaha.”

“Lah?”

“Aku gatau Raline dan Gilang disini memilih pilihan yang sama atau tidak dengan Raline dan Gilang disana. Karena terakhir aku tau Kirana disini memilih melepaskan daripada tetap menggenggam sepertiku.”

“Yaudah yang penting sekarang Raline tidak lagi penasaran dengan perasaan laki-lakinya bukan?”

“Yep benar kata Prameswari.”

“Terus ini kalo kembali apa yang mau lo lakuin?” Ratu bertanya pada Raline, tapi perempuan itu justru mengendikkan bahunya tak tahu.

“Kalau saranku, seandainya bertemu dengan Gilang versimu disana. Coba kalian urai perasaan kalian dulu. Semisal sekarang sudah tak saling menyukai tak masalah setidaknya mampu menjawab semua tanya yang selama ini menghantui.”

“Capek ya jadi dewasa?” Kirana menghela napasnya.

“Udah ayo cepet balik ke tempat asal.” Ajak Azalea pada teman-temannya.

Kirana menggeleng, ia tersenyum lebar sebelum berkata “Kalian duluan aja?”

“Kamu mau kemana emang?”

“Mau nyari si sekkiya bentar, aku gatel banget pingin melampiaskan amarah. Hahhahaha.”

Ketiga menatap aneh, entahlah Kirana kadang memang diluar nalar pola pikirnya.

Perihal restu teman yang terkadang sama susahnya dengan restu orang tua.

Kirana berjalan sibuk dengan gawai dalam genggamannya sampai tak sadar Lia berdiri tepat di depannya. Alhasil ia menubruk perempuan itu, “aish ngapain sih berdiri disini?”

“ Yu di panggil dari tadi engga denger heh!”

“Kurang keras manggilnya brati”

“Bahh ai bawain toa aja besok!” Lia being Lia dengan segala keketusannya.

“Ahahahaha apasih sensi mulu.”

“Jadi nugas dimana ini?” Tanya Lia.

“Katanya udah di tungguin di Gazebo belakang, Sasa mana?”

“Ai suruh beli cemilan dulu sama Gita.”

“Telpon gih, nitip susu beruang.”

“Dih telpon sendiri aja, yu punya pulsa kan?” Kirana merotasikan bola matanya jengah, untung sudah hafal dengan bagaimana cara Lia berbicara yang memang sedikit mengguncang kesabaran.

“Kirana!” Itu teriakan Azalae yang duduk di gazebo bersama beberapa teman mereka yang lain tengah membuka laptop masing-masing.

Kirana melambaikan tangannya, bersamaan dari arah samping mereka Raline datang dengan Ratu.

“Tebak! Tebak! Tadi kita ketemu siapa di parkiran?” Raline bahkan belum mengambil duduk tapi ia sudah antusias hendak bercerita.

Azalea menatap penuh minat dan menimpali dengan semangatnya, “Siapa? Siapa? Mas crush kah?”

“Ketemu mas Ajil kah?” Kirana menebak tepat sasara. “Yaps betul sekali dik Kiran.”

“Soalnya tadi aku juga ketemu mas Ajil, malah sama Putra.”

“Omo! Omo! Sama putra? Wah bukan rejeki Ratu yang ketemu Putra berarti.” celoteh Raline sambil menepuk-nepuk pelan pundak Ratu.

“Yaudah bukan jodohnya emang berarti,” ucapan lemah Ratu justru mendapat sorakan.

“oh jadi sebelumnya udah berharap jodoh nih?”

“Yu semua ngomongin siapa sih?” Lia yang sedari tadi tak mengerti dengan topik obrolan mereka bertanya.

“Cogan fakultas sebelah.” Jawab Kirana sekenanya.

“Duh cogan cogan, semua cowok sama aja gak sih?”

Kirana menimpali Lia sambil mengupas kuwaci yang Azalea bawa, “Justru karena semua cowok itu sama setidaknya kalau tampan masih sedap di pandang mata!”

“Nah! Ya sekedar buat cuci mata gitu kan bisa!” Ratu menambah pernyataan Kirana dengan antusias.

“Waktu itu kamu sendiri kan yang bilang justru yang gak seberapa nyakitin nya kadang gak kira-kira.” Ujar Raline yang langsung mendapatkan respon tawa dari Lia.

“Ahahahahahha duh sial bener lagi.”

“Btw Kirana nih...”

“Apa Prameswari cantikku?”

“Hilih,” Raline dan Lia kompak mengejek mendengar Kirana menjawab ucapan Azalea dengan sok manis begitu.

“Nih ada satu rekomendasi yang kayaknya sesuai request Baba.”

Kirana tentu antusias melihat ponsel Azalea yang tengah menampilkan foto seseorang, “Mana-mana?”

Tak hanya Kirana namun beberapa dari mereka juga turut mengoper ponsel Azalea untuk dilihat, “Gimana gengs?” tanya Azalea meminta pendapat teman-temannya.

“Cakep tapi bukan tipe saya,” ujar Ratu.

“Tipe kamu yang ghosting soalnya.”

“Ahahahahahahahha”

“Gak ada yang lain kah? I think kurang cocok sama Kirana, gak keliatan klik.” Penilaian Raline membuat mereka sama-sama menganalisa.

“Gak minat ah, yang lain coba Prameswari.” Kirana akhirnya berujar sambil mengembalikan ponsel Azalea.

“Haduh repot sekali anak ini, katanya yang sesuai request baba, ini udah ada?”

“Ya tapi aku gak minat? Gimana dong?”

“Brati kriterianya harus nambah, sesuai request Baba yang Kirana minat.” celetuk Ratu.

“Nah begitu!”

“Alemong!”

“Emang manusia satu ini ribet Azalea, udah jangan dicariin.” Ujar Raline yang rupanya sudah malas menanggapi permintaan Kirana yang satu itu.

“Nyari oposeh yu pada?” Lia rupanya ikut penasaran, “Sini sini ai aja yang cariin.”

“Nah itu, coba deh ke Lia.”

“Ih dia kemarin malah nyodorin antah berantah entah dari mana, manalah aku mau.”

“Lah yu dikasih liat bilang engga minat mulu, terus minat yang mana?”

“Ituloh yang lagi jalan dari kantin, itu temenmu kan?” Lia mengikuti arah pandang Ratu yang tengah menatap seorang pemuda dengan kemeja hitamnya berjalan sambil menyapa mahasiswi yang berlalu lalang di depannya.

“Hadeh jangan dia, yang lain aja skip.”

“Tapi kalo itu cakep aku minat kok,” ucapan Kirana juga mendapat persetujuan dari Azalea.

“Ai yang ga setuju yu sama dia.”

“Kalo sama aku?” Ratu dan Azalea kompak bertanya.

“No, no, no, yang lain aja jangan itu.”

Raline tentu menggodanya, “Oh soalnya dia mantan gebetanmu?”

“Sembarangan kalo ngomong! Amit amit ih! Wes pokoknya jangan ya cantik-cantik ku, cakep sih emang tapi i will say no kalo minta restu sama dia.”

“Ya emangnya dia kenapa?” tanya Azalea penasaran.

“ya kalo ai bilang enggak dan jangan berarti kan ai tau sesuatu yang kurang pantas yanh kalian gak tau.”

“Kalo gitu yang pantas dan bakal kanjeng Lia restui buat aku yang mana?” ujar Kirana yang kini sudah membuka bungkus kuwaci keduanya.

“Ya yang kemarin aku tunjukin,”

“Tapi aku gak minat yang itu Lia! Yang lain dong.”

“Haduh gak tau lagi ai, gak punya stok yang sesuai request ur baba.”

“Emang babanya ini anak permintaan nya rada susah.” Ujar Raline, rupanya ia juga ikut frustasi dengan titipan Baba Kirana.

“Tapi ya Kirana, percuma toh yang kamu minati tapi kalau dia nya tidak minat?”

“Aduh Prameswari! Bisa gak nge-ultinya nanti aja?”

“Ahahahahahhaha”

“Mending minta Baba sendiri coba yang nyari?” ini adalah usulan Ratu yang kesekian kali, selalu sama.

“No, thanks. Skip. Aku mau nyari sendiri dulu.”

“Eh tapi kepikiran gak sih, kalo restu temen itu gak kalah susah dari restu orang tua?” Topik obrolan dari Raline rupanya begitu menarik.

Kirana berseru lantang, “Setuju! Itu tadi Lia gak ngasih restu.”

“Udahlah yu jangan ngeyel.”

“Ahahahahaha, biasanya kalo yang di ngeyelin terang-terangan gitu gak beneran disuka sih Lia.” Azalea mengerlingkan matanya.

“Sssttt Prameswari diam aja!”

“Tapi yang kata Raline tadi bener loh, seleksi temen juga sesusah seleksi orang tua.”

“Gimana ya Ratu, pilihan kamu dua-duanya ada raport merahnya.” Ujar Kirana.

“TUHKAN! Yu juga gak suka kan kalo ada raport merahnya?”

“Yakan temen pasti mau yang terbaik toh, dilihat-lihat dulu kalo green flag boleh lah di coba.”

Kirana menyahuti ucapan Raline, “Terakhir kamu bilang greenflag justru punya red flag loh.”

“Ahahahahahah, sorry my preen. Kan mana aku tau kalo greenflag hanya kamuflase.”

“Itu aku juga ketipu.” Timpal Azalea singkat, “Sorry atas penilaian raport yang tidak menyeluruh ya Kiran hahaha.”

“Ini ngomongin siapa lagi sih?” Lia bertanya penasaran, lagi-lagi ia tidak tau objek pembicaraan teman-temannya.

“RAHASIA.” Keempatnya kompak menjawab Lia yang justru mendapatkan umpatan dari gadis itu, “Oh sialan emang!”

“Etapi sebenernya meskipun ada red flag, masih bisa dimasukin keranjang Baba kan?” ucapan Ratu tak lagi di gubris, begitu Sasa dan Gita datang membawa sekresek penuh cemilan.

“Buset ini kalian niat nugas apa piknik sih sebenernya?”

Jurnal akhir tahun

Ia menutup blog yang baru saja diunggah penulisnya beberapa menit lalu, matanya menatap pada puan yang berjalan dari kejauhan searah dengan tempatnya kini berada. Sesaat mata mereka bertemu sebelum pandangan si puan teralih pada lalu lalang didepannya. Ia menyapa dengan ramah, “Hai, sama siapa?”

“ Hai! Tadi sama temen, pangling banget lama gak liat kamu.”

“Hehehe, iya dong menyambut tahun baru harus dengan penampilan baru” si puan hanya mengangguk, entah sejak kapan obrolan mereka terasa asing.

“ Anyway aku barusan baca jurnal tahunan kamu.”

“Oh ya? Makasih udah baca,”

“Tulisan kamu pretty good as always, tapi..”

“Tapi?” si puan mengernyitkan dahinya penasaran.

“Kayaknya ada yang terlewat belum kamu tulis dijurnal deh.”

“Memangnya apa yang kulewatkan?”

“ Tidak ada aku rupanya di sana.” Si puan tersenyum sekilas sebelum kembali menatap tuan di depannya dengan datar.

“Tuan, kau berharap ada disana?” yang ditanya tentu saja mengangguk meski perlahan ia juga penasaran alasan tak ada satupun kalimat tentangnya di jurnal tahunan puan di depannya. Tidakkah harusnya ada sepenggal tentang mereka?

Dering ponsel sang puan mengintrupsi mereka, tak ada jawaban atas rasa penasarannya yang ia dengar justru ucap pamit, “ ah maaf aku tidak bisa menemanimu bercengkrama lagi, papa sudah menelpon aku harus segera pulang dan membawakan pesanannya tempo hari.”

Yang bisa ia lakukan hanya menatap punggung yang berjalan menjauhinya, dengan gelutan pikiran menerka banyak hal. Sampai seseorang mengagetkan dan menepuk pundaknya “Yak sekkiya!”

Ia menatap heran perempuan yang kini juga ikut menatap kearah sang puan berjalam pergi, entah dari mana asalnya tiba-tiba ada sesosok perempuan sok akrab ini disebelahnya. “ Kau pasti penasran kenapa tidak ada sepenggal kalimatpun tentangmu dijurnalnya kan? Kau pasti juga penasaran pesanan papanya kan? Sampai ia terburu-buru meninggalkanmu.”

“Kau siapa?”

“ Tidak penting siapa aku, yang jelas aku tau jawaban atas rasa penasaranmu itu.”

“ Memangnya apa?” Bukannya menjawab perempuan antah berantah itu justru menengadahkan tangannya. “Eits bayar dulu! Tidak ada informasi gratis di dunia ini.”

“Ha?”

“Informasiku tidak gratis tuan, kau -”

“YAAK! KIRANA!!” Teriakan dari arah belakang mereka mengintrupsi, membuat ia menoleh dan perempuan disebelahnya mendumel dengan mata terpejam.

“haishh! Prameswari ini ngapain sih!” Gadis bernama Prameswari itu menghampiri mereka dan menjewer telinga Kirana.

“aaduh! Ampun Prameswari!”

“Kan sudah aku bilang jangan ganggu universe lain! Ayo kembali!” Prameswari menarik Kirana untuk menjauh dari si tuan yang kebingungan menatap mereka.

“Bentar ish! hei sekkiya! Dia tidak akan menulis dialog yang belum jelas epilognya bagaimana, dia –”

“ Aish! Sudah jangan dengarkan perempuan aneh ini tuan!” Prameswari kemudia menunduk hormat berpamitan kemudian langsung menarik Kirana pergi dari sana.

“Ah Prameswari tidak asik sama sekali!”