Ran;

—Akhirnya, bertemu Papa.

Hati manusia masih dibuat oleh Tuhan, sekeras apapun pasti akan luluh. Apalagi hati seorang ibu, sebenci apapun Raline pada Harsa ia tidak akan pernah bisa menolak fakta bahwa laki-laki itu tetap ayah dari putranya.

Ia akhirnya mengalahkan egonya.

Sebulan setelah ulang tahun Harsa waktu itu, Raline akhirnya memberanikan diri untuk membawa putranya bertemu sang ayah. Mahesa berhak tau, anak siapa dia.

” Ma, kita mau kemana?” Tanya Mahesa ketika sang ibu pagi buta membangunkannya.

” Esa mau ketemu papa gak?”

Tentu saja dengan antusias Mahesa menjawab, “ MAU MAUU MAUU BANGET MA!”

Raline tersenyum, ah sesederhana ini kebahagiaan putranya.

” Ayo mama antar ketemu Papa.”

” Pa udah pulang kerja ya ma? Duitnya udah banyak? Yeayy nanti papa tidur sama kita ya Ma!” Mahesa saking semangatnya sampai berloncatan kesana kemari, akhirnya dia akan bertemu papa.

Tapi sayang, papa tidak akan pulang ke rumah bersama kita.

Setelah turun dari angkutan umum yang membawa mereka, Raline menggenggam erat tangan putranya memasuki komplek mewah itu. Berbekal alamat rumah yang Raline dapat dari Shirina, mereka akhirnya berdiri di depan sebuah rumah yang mewah. Sangat jauh berbeda dengan rumah kecil yang mereka huni.

” Ma, ini rumah siapa?” Mahesa begitu kagum memandang halaman rumah, ada kolam ikan dan air mancur di depannya, pun garasinya berjejer mobil-mobil keren yang mengkilat.

Andeca, Andeci, Bora, dan Bori. Hahahaha.

” Ini rumah Papa.” Kali ini Raline tampak ragu, haruskah ia mengetuk pintu besar itu?

” INI RUMAH PAPA? RUMAH KITA JUGA DONG MA?” Mahesa membelalakkan matanya begitu lebar, mulutnya pun ternganga. Wah keren dia bisa punya rumah seperti ini, rumah yang biasa ada di sinetron yang Mama tonton.

Raline tersenyum sebelum menjawab, “ Bukan sayang, ini rumah Papa bukan rumah kita.”

Ya tuhan menyesakkan.

Otak kecil Mahesa masih sulit mencerna, bagaimana bisa ini rumah papa tapi bukan rumahnya juga? Bukankah Rumah om Juan juga merupakan rumah Yuan? Mama lagi-lagi berbicara hal yang sulit Mahesa mengerti.

Raline akhirnya mengetuk pintu besar itu, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Bagaimana jika nanti ia di anggap meminta pertanggungjawaban? Tidak! Raline sama sekali tidak membutuhkan itu, juga tidak ingin menuntut apapun.

Ia hanya ingin Mahesa tau siapa Ayah kandungnya.

Sampai pada ketukan ketiga, pintu besar itu akhirnya terbuka. Menampilkan Maya yang rupanya terkejut dengan kehadiran mereka, lalu Harsa dari arah belakang bertanya,

” Siapa Ma?” Laki-laki itu masih menenteng dasinya, lengan kemejanya masih ia gulung ke atas. Rupanya mereka baru selesai sarapan bersama.

Ah sarapan bersama keluarga ya.

” A..aku.. hmm.. maksudnya sa..saya...” Raline tiba-tiba saja merasa tak sanggup berbicara, haruskah? Bagaimana jika nanti Mahesa pada akhirnya memilih tinggal bersama papanya? Ia akan sendirian, lagi?

” Loh Ma? Katanya mau bertemu Papa? Kita kok jadi ke rumah Nesa?” Mahesa begitu kebingungan ketika melihat kedua orang tua temannya berada di rumah yang tadi Mama bilang adalah rumah Papa.

Raline kini berjongkok di depan putranya, sekali lagi melihat ke arah Harsa dan istrinya sebelum berbicara pada putranya,

Tangan lembutnya mengelus kepala Mahesa, ia sedang berusaha menenangkan diri. Sungguh berdamai dengan masalalu itu tidak segampang yang orang lain mau.

” Mahesa sayang, ini rumah Papa, Esa bilang mau ketemu papa kan? Itu papa, ayo salim ke papa.” Raline menunjuk Harsa yang kini rasanya tak lagi sanggup berdiri, lututnya lemas. Ia bergetar mendengarnya, Raline akhirnya luluh.

” Ma, itukan papanya Nesa. Mama salah orang ya? Kata Mama, papa kerja jauh kan? Ayo Ma kita cari papa ke tempat kerjanya aja.” Mahesa rasa mamanya hanya berusaha menghibur dirinya.

Ma, Esa memang mau bertemu Papa, tapi bukan yang mengaku-ngaku seperti ini! Mahesa mau papanya yang asli, kalau di pinjami Nesa atau Yuan ya sama aja percuma.

” Mahesa dengerin Mama, itu beneran Papanya Esa, papa kandung Esa, papa yang buat Esa ada di dunia. “

” Pa...pa..?” Mahesa menahan tangisnya, benerkah itu papa? Berarti selama ini papa tidak pergi jauh? Papa ada di dekatnya. Papa adalah papanya Nesa juga?

Lalu kenapa papa tinggal bersama Nesa? Kenapa papa tidak tinggal bersamanya dan Mama? Apa papa tidak suka dengan kehadirannya?

Raline akhirnya menuntun Mahesa untuk mendekati ayahnya, anak itu kini menatap Harsa dengan berbagai tanda tanya.

Lalu ketika Harsa berjongkok di depannya ia bertanya,

” Om beneran papanya Esa?”

Harsa mengelus pucuk kepala putranya, ia begitu terharu.

” Papa sayang, ini papa bukan om.”

” Pa...pa...” Setelahnya tangis Mahesa pecah, berbarengan dengan pelukan Harsa yang begitu erat membungkus tubuh mungilnya.

Maya menangis di belakang suaminya, akhirnya waktu ini tiba. Pun dengan Raline yang kini tersedu-sedu telah memalingkan wajahnya ke arah belakang. Enggan menatap adegan haru biru itu.

Setelah melepaskan pelukan sang papa, Mahesa memundurkan langkahnya. Anak itu lalu mengajukan tanya yang membuat Madaharsa tak mampu berbicara,

” are you really my daddy? Pa gak suka ya sama Esa? Kenapa selama ini gak pernah pulang? Pa juga gak pernah telpon Esa, padahal Nesa bilang papanya sering telpon dia kalo pergi jauh. Pa apa bedanya Esa sama Nesa? Kenapa Pa ninggalin Mama sama Esa berdua aja? Pa, apa bener kata orang, kalo Esa anak yang tidak inginkan?”

Madaharsa sontak menggelengkan kepalanya dengan pertanyaan akhir itu, tidak sayang, tidak kamu adalah hal yang paling papa syukuri ada di dunia, menemani Mama.

” Pa, Esa seneng ketemu papa, tapi Esa benci papa.” Setelahnya Mahesa membalikkan badannya, lalu menyentuh jemari ibunya. Menggenggam erat tangan lembut itu, lalu melangkah pergi.

” Ma, ayo pulang. Pa kayaknya gak pernah mau Esa ada.”

” Ma, jangan nangis! Esa gak suka, ayo Ma pulang, Esa gapapa cuma tinggal sama Ma aja. Esa udah gak pingin ketemu Papa.”

Madaharsa terduduk di depan rumah menyaksikan kepergian putranya yang begitu tangguh menuntut sang ibu untuk meninggalkannya.

Dadanya remuk redam, ia bahkan seperti tidak lagi memiliki tujuan untuk hidup. Putranya membencinya, harusnya ia memang tau kesalahannya sefatal itu, memang pantas Mahesa membencinya.

Ketika Maya ikut duduk di sebelahnya, laki-laki itu memeluk istrinya erat ia butuh pelukan, sekedar bahu untuk bersandar dan mengeluh.

” May, saya gak tau setelah ini harus hidup untuk siapa. Mahesa benci ayahnya.”

Itu adalah kalimat paling pilu yang pernah Maya dengar dari Madaharsa, kalimat yang rasanya menyampaikan seluruh kesakitan laki-laki itu selama ini.

—Halo, mari sejenak berdiskusi

Harsa mungkin memang brengsek, bajingan, bedebah, atau apapun terserah kalian ingin menyebutnya apa, karena dari awal cerita ini di lihat dari sudut pandang Raline dan Mahesa.

Tapi bagaimana jika yang tersakiti sebenarnya bukan hanya keduanya? Madaharsa juga kesakitan luar biasa.

Ia mencintai Raline, meski tak pernah ia ungkapkan. Karena baginya percuma, di ucapkan pun hanya akan meninggalkan luka. Ia tidak akan pernah di biarkan memilih Raline, apalagi memilkinya.

Maka Harsa memilih meninggalkannya, setidaknya dengan itu ada jaminan Raline akan hidup tenang tanpa gangguan atau ancaman dari keluarganya. Biar saja keluarganya sekedar tau Raline jika perempuan itu hanya sebatas sewaan, sekali lagi itu untuk menyelamatkan Raline.

Bukan cuma Maya yang tersiksa dengan pernikahan mereka, Madaharsa juga tersiksa. Ia memang bajingan, atau brengsek entah apalah itu tapi baginya pernikahan itu sakral, berjanji atas nama tuhan. Maka bagaimanapun keadaannya harus di pertahankan.

Ketika Nesa lahir ia bahagia luar biasa, karena saat itu juga Harsa yakin anaknya yang lain juga telah lahir di dunia. Anaknya yang sengaja ia hadirkan di dunia untuk menemani Raline, menggantikan ketidak berdayaannya.

Harsa memang dengan sengaja menghadirkan Mahesa, ia jujur saat ia tak ingin di lupa. Ia takut hubungannya dan Raline dahula tak memberi kesan apa-apa, lalu Raline hanya menganggapnya selintas lewat saja. Harsa mau di terus ingat, terus ada dalam kehidupan Raline, tapi yang paling utama Harsa ingin Raline mencintainya, membalas cintanya.

Maka dengan hadirnya Mahesa, Harsa pikir itu adalah cara terbaik membuat Raline mencintai bagian dari dirinya. Ya seegois itu memang mencintai Raline.

Berkali-kali ia menolak gugatan Maya bukan karena mencintai perempuan itu, tapi ia merasa harus memberikan Nesa orang tua yang lengkap yang selalu ada setiap saat memberinya kehangatan cinta kasih.

Hal yang tak bisa ia berikan pada Mahesa.

Putranya tidak merasakan kelengkapan orang tua, maka jangan terjadi lagi pada putrinya. Harsa tidak ingin gagal dua kali.

Tidakkah kalian berpikir Raline begitu tega?

Membiarkan Mahesa tidak mengenal ayahnya, Ayah yang selama ini ia damba kepulangannya. Raline itu kalah dengan egonya, kalah dengan rasa marah dan kecewanya.

Mau sebejat apa perlakuan Harsa padanya, bagaimanapun Harsa tetap ayah dari putranya.

Harsa tidak memiliki kesempatan menjadi suaminya, tapi harusnya Raline memberikan kesempatan pada Harsa untuk menjadi ayah yang baik bagi putranya.

Siapa bilang Harsa tidak ingin hidup bersama Raline dan Mahesa?

IA INGIN SANGAT AMAT INGIN!

Tapi keadaan tidak bisa mewujudkan itu semua. Ia tidak mungkin meninggalkan keluarganya demi membangun keluarga yang lain. Ia tidak akan menceraikan istrinya demi menjadikan orang lain istri.

Kalopun nanti pada akhirnya ia dan Maya berpisah, Raline belum tentu mau hidup bersamanya bukan? Harsa hanya tidak ingin memaksa, meski rasanya begitu menyiksa perasaannya.

Sebenarnya sederhana, Harsa hanya ingin sekali saja bahagia, misal dengan Mahesa yang hadir di hadapannya dengan memanggil sebutan 'Papa'

Tapi nyatanya, Harsa sama sekali tidak pernah bahagia.

Bagaimana menurut kalian? Jadi apakah Harsa sejahat itu?

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Mahesa selalu senang tiap kali ia menampakkan kakinya di sekolah, ia senang bertemu dengan bu guru, bermain perosotan dan ayunan, bermain bersama Yuan dan teman-teman lainnya. Meski kadang ia di anggap berbeda, hanya karena tidak pernah di tunggui mama di depan kelas. Atau bahkan beberapa temannya suka mengejek, Esa tidak punya papa seperti mereka hanya karena ia tak pernah pulang di jemput papa.

Tapi ia tak ambil pusing perkataan temannya itu, Esa kan punya papa. Hanya saja kata Mama papa sedang bekerja di tempat yang jauh, tidak bisa pulang. Papa harus bekerja untuk membeli mainan nanti, lihat saja nanti kalau papa pulang Esa akan minta mainan yang mahal.

Oh tentu saja tidak lupa minta es krim, seperti yang papinya Yuan sering belikan!

Mahesa menatap gadis kecil di sudut kelas yang sedari tadi terdiam, dan enggan bicara. Bu guru bilang tadi namanya Nesa, murid baru pindahan.

Esa menatap Bu guru yang tengah sibuk melerai teman-temannya, lalu mendesah pelan sebelum akhirnya memutuskan menghampiri gadis kecil itu.

” Halo Nesa...” Sapanya ramah.

” Hai...” Si gadis menjawab dengan lirih.

” Mau main sama Esa?” Tawarnya sambil menggoyangkan potongan puzzle di tangannya.

” Esa?”

” Iya, namaku Esa. Mahesa Sadajiwa, keren kan namaku? Itu mama loh yang buatin.” Gadis cilik di depannya hanya mengangguk saja mendengar celotehan Esa.

” Aku Nesa, papa yang kasih nama.” Cicitnya pelan, dia masih merasa takut berbicara dengan orang baru, meski sepertinya Mahesa adalah teman yang baik.

” Wah keren kamu punya papa.”

” Eh? Semua orang kan punya papa.” Nesa merasa aneh, bagaimana bisa memiliki papa di anggap keren. Apakah itu sebuah prestasi?

” Aku gak punya papa....” Mahesa berucap pelan tapi tangannya tetap fokus merangkai puzzle, bahkan ia berbicara tanpa memandang Nesa.

” Eh punya ding, hehehe papaku lagi kerja jauh kata mama. Doakan cepet pulang ya Nes, biar aku juga punya papa kayak kamu.”

” Iya, semoga papa Esa cepat pulang dari kerjanya ya biar sama kayak papa peluk aku tiap pulang.” Keduanya lalu tersenyum bersama, saling mengaminkan doa supaya papa Mahesa cepat pulang dari bekerja.

Semoga!

Bu guru yang tidak sengaja mendengarkan percakapan keduanya pun ikut mengaminkan doa itu, Mahesa anak yang baik dan begitu cerdas. Tapi ia sering terlihat bersedih ketika pulang sekolah, hanya karena melihat teman-temannya berebut pelukan papa di depan gerbang sekolah.

—Salah, karena salahnya.

Madaharsa menghapus air matanya yang menetes begitu saja ketika mendengar ucapan terimakasih putranya, iya putranya. Mahesa Sadajiwa adalah putranya.

” Huu sediih, Esa pasti kangen sama papanya. Bersyukur Nesa punya papa sama mama yang selalu ada buat Nesa.” Gadis kecil itu menggenggam erat kedua tangan orang tuanya. Ia merasa bersyukur tidak merasakan sesakit apa merindukan papa seperti temannya itu, Papanya setiap hari selalu pulang ke rumah. Kalau pergi jauh pun akan menyempatkan waktu untuk vidcall bersamanya setiap kali akan pergi tidur.

Nesa begitu menyayangi papa, tentu juga mamanya.

Setelah acara usai Maya–ibu Nesa, berpamitan pergi ke toilet sebentar.

” Mama mau ke toilet dulu ya, Papa sama Nesa tunggu di mobil aja.” Madaharsa hanya mengangguk mendengar ucapan istrinya. Ia lalu membawa sang putri ke dalam gendongannya menuju mobil.

Tapi nyatanya Maya tidak pergi ke toilet, ia sengaja berbohong. Wanita itu menghampiri Raline yang kini tengah berbicara dengan Lala dan seorang guru.

” Permisi, bisa bicara dengan Raline?”

Ketiga orang di depannya serempak menoleh, lalu Raline bertanya

” Maaf, siapa ya?”

Maya mengulurkan tangannya, “Saya Maya ibunya Anesa.”

Rasanya Raline menyesal telah bertanya, ya tuhan wanita ini ingin membicarakan apa?

Akhirnya mereka berdua memilih berbicara empat mata di ruangan yang Maya pinjam pada seorang guru tadi.

” Saya tidak akan lama Raline, hanya sebentar.”

Mendengar ucapan pembukanya saja Raline sudah siap kalau-kalau ia akan di maki setelah ini.

” Lebih dari 5 tahun hidup bersama Madaharsa saya tidak pernah melihatnya menangis, ketika putri kami lahir ke dunia dia tidak menangis, ketika ibunya pergi meninggalkan dia selamanya dia juga tidak manangis. Harsa begitu terlihat tegar dengan apapun yang menghantamnya. Tapi hari ini aku melihatnya menangis, ketika putramu bilang dia membenci ayahnya sendiri. Madaharsa menangis untuk pertama kalinya di depan mataku.”

Raline hanya diam tak menanggapi apapun yang di ucapkan Maya, bahkan rasanya ia hanya menatap kosong ke arah sudut ruangan sedari tadi enggan menatap mata Maya ketika bercerita.

” Dia mencintaimu, 5 tahun tak mengubah apapun, dia tetap mencintaimu. Raline, menyakitkan ketika suamimu menyebut nama wanita lain ketika menggauli istrinya. Itu yang Harsa lakukan padaku di malam pertama kami, harusnya hari itu jadi hari bahagia kami berdua tapi nyatanya semalam penuh yang ia sebut adalah namamu.”

Kali ini cerita Maya berhasil meluruhkan air mata Raline yang sedari tadi ia tahan sekuat tenaga. Tidakkah Madaharsa terlihat seperti bajingan?

” Pernikahan kami tidak pernah berhasil Raline, kami saling bertahan demi Nesa. Aku sudah sering kali meminta di ceraikan, tapi kamu tau dia bilang apa Raline?,

...dia bilang dia telah gagal menjadi orang tua untuk anaknya bersamamu. Maka ia tidak ingin gagal lagi menjadi orang tua untuk Nesa, ia tidak mau menghancurkan rumah hangat yang Nesa miliki sekarang. Tapi aku tau di lubuk hatinya dia tetap ingin hidup bersamamu, bersama Mahesa.

Dengan suara bergetar Raline akhirnya berani menjawab pernyataan Maya.

” Lalu inti dari pembicaraan ini apa Nyonya Hestamma yang terhormat? Saya rasa mau Harsa mencintai saya atau tidak itu bukan lagi urusan saya. Saya tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan suami anda.”

Maya justru tertawa mendengarnya, “Kamu lucu Raline, bagaimana mungkin kamu dan Harsa tidak lagi memiliki hubungan jika ada Mahesa di antara kalian? Mau di tolak bagaiamapun kamu tidak bisa menampik itu.”

” Nyonya Hestamma, apa yang anda inginkan sekarang?”

” Aku mencintai laki-laki lain, tentu itu bukan Harsa. Aku ingin mengejar kebahagianku, tidak menyerah seperti Harsa.”

Raline terperangah mendengar, apa maksud wanita di depannya ini?

” Kau akan menghancurkan rumah hangat putrimu?”

” Raline, aku akan tetap menjadi ibu Anesa meski tidak lagi menjadi istri ayahnya. Aku pastikan Anesa tidak akan kehilangan sosok ibu,

....Aku mendatangimu hanya ingin memastikan sesuatu, kelak jika pada akhirnya kau telah mengalahkan egomu dan pada akhirnya berbaik hati memberi tau Mahesa tentang ayahnya. Tolong cintai putriku juga.”

Keduanya kemudian saling terdiam, larut dengan pikiran masing-masing.

Ya tuhan rumit sekali kau menciptakan alur hidup mereka.

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Dari pagi Mahesa begitu bersemangat, ia bahkan berlompatan kesana kemari. Membuat Raline cukup lega, setidaknya anak itu tidak lagi memikirkan pertanyaannya yang semalam.

Raline duduk di samping Lala, menyaksikan prosesi wisudawan putranya mereka berada di barisan depan sendiri. Ini sih permintaan Juan, katanya nanti kalau duduk di belakang mereka gak bisa liat ketampanan Yuan sama Esa.

Airmata Raline kembali menetes ketika nama Mahesa Sadajiwa di sebut, anaknya itu harus memakai namanya sebagai wali tidak seperti semua teman-temannya yang memakai nama ayah mereka. Tidak seperti Anesa Dyah Hestamma yang bisa memakai nama ayahnya sebagai wali.

Rupanya setelah prosesi wisuda berakhir, ada pengumuman tentang siapa saja murid yang berprestasi entah tentang akademik mereka atau tentang keikutsertaan lomba antar sekolah.

Nama terakhir yang di panggil untuk menerima penghargaan adalah Mahesa Sadajiwa, ia menerima penghargaan sebagai murid teladan. Ah bangganya Raline, putranya begitu luar biasa.

Lalu ketika ibu guru meminta Mahesa memberikan sedikit kata yang ingin di sampaikan, anak itu tersenyum lebar terlebih dahulu. Malah dengan pedenya melambaikan tangan ke seluruh tamu undangan, membuat semua orang tertawa karenanya.

” Ehmm..e... Terimakasih kepada Tuhan dulu, kata Mama yang nomor satu itu Tuhan, hehehe....”

” Terimakasih mama udah gedein Esa, ngajarin Esa sampek pinter, sayang sama Esa, Esa sayang Ma muach...”

Raline menangis haru mendengarnya, ah bayinya sudah besar.

” Bu guru terimakasih udah ngajarin dan ngasih tau Esa banyak hal, Tante Lala, om Juan terimakasih udah sering bantuin Esa. Yuuaaaan, Nesaaaa makasih udah mau temenan sama Esa! Semuanya makasih ya teman-teman.”

Setelah berbicara heboh seperti itu Mahesa langsung memberikan kembali mic nya pada bu guru,

Namun sepertinya dia melupakan satu hal, ia kembali meminta mic untuk mengucapkan kalimat terakhir.

” Lupa, hehehe. Ini buat Papa, Pa sebenarnya Esa benci sama Pa, karena Pa gak pernah pulang bahkan ga pernah telpon Esa kayak Om Juan yang kalo pergi jauh selalu telpon Yuan, tapi terimakasih ya Pa udah bikin Esa ada di dunia. Bu guru bilang kalo gak ada mama sama papa, maka Esa ga bisa lahir. Makasih Pa.”

Raline kini tak lagi menahan isakannya, ia tersedu-sedu. Begitu keras sampai Lala memeluknya erat, menenangkannya karena mereka kini menjadi pusat perhatian.

Tak lama Mahesa berlari setelah turun dari podium menghampiri mamanya, memeluk mamanya dengan erat.

” Ma, maaf ya tadi Esa sebut Pa. Maaf ya Esa buat mama nangis lagi. Janji abis ini Esa gak akan sebut Pa lagi.”

Ucapan itu semakin menyesakkan dada Raline, seoalah belati yang tajam menghunusnya sejahat itukah ia kepada putranya?

Mahesa maafkan mama, papamu tidak bisa kamu miliki seorang diri, ia milik keluarga lain.

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Rupanya Madaharsa benar-benar menuruti permintaannya, ia tidak lagi menampakkan diri depan Raline maupun di depan Mahesa.

Mahesa juga bercerita, Nesa tidak lagi pernah di antar jemput papanya, selalu di atar sopir. Raline tentu tidak peduli.

” Ma, besok ke sekolah kan?” Esa bertanya pada sang mama yang kini sibuk menyetrika pakaian.

” Iya dong sayang, besok kan kamu wisuda. Nih makanya mama setrika baju bagus. Hmm anak ganteng mama udah gede aja, udah mau masuk sekolah dasar abis ini.”

Mahesa tertawa mendengar penuturan mamanya, ah mama memang paling tau bagaimana cara membuatnya bahagia.

“Hmmm Ma, besok ke sekolah sama siapa?”

” Besok kita di ajak bareng sama Mami Papinya Yuan, gapapa ya sayang kita nebeng dulu oke? Nanti kalo mama udah bisa beli mobil kita gak perlu nebeng lagi, gak perlu naik kendaraan umum lagi.”

Esa sekali lagi tersenyum mendengarnya, lalu memeluk mamanya dari samping.

” Makasih ya ma, udah selalu nemenin Esa. Esa sayang banget sama mama.”

Tapi sepertinya Raline menangkap suatu gelagat aneh dari putranya, ada yang sedang di sembunyikan rupanya.

” Anak mama kenapa? Ada yang mau di omongin?”

Esa terlihat ragu memandang mamanya, haruskah ia berkata jujur? Mengungkapkan apa yang seharian ini mengganggu pikirannya.

” Ma, bu guru bilang besok harus datang sama orang tua,” anak itu menunduk sebelum melanjutkan ucapannya, ia memainkan jarinya sendiri takut kalau-kalau mama tidak akan suka dengan apa yang akan ia ucapkan.

” Yuan bilang akan datang sama Mami Papinya, kemarin Nesa juga bilang kalau dia mau datang sama Mama Papanya. But, ma... Where is pa? Will he come home for me? Just tomorrow.” Meski Esa mengucapkan kalimat itu dengan begitu pelan dan lirih tapi sukses menyayat rongga dada Raline. Sukses membuat Raline meluruhkan air matanya. Ia bahkan sampai tak mampu berkata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.

Esa, sampai kapanpun Papa gak akan pernah pulang.

Anak laki-laki itu lalu berubah panik ketika melihat ibunya bersimbah airmata, ah ini salahnya harusnya tadi dia tidak bertanya hal iu.

“Ma, don't cry. Esa ga suka mama sedih, maaf ya Ma. It's okey, just Ma and me no Pa pun Esa tetep bahagia kok, besok kan Esa lulus. Besok Esa udah naik pangkat gedenya, hehehe.”

Mahesa menghapus air mata yang mengalir di pipi mamanya, lalu mengecup perempuan tercintanya itu berkali-kali. Anak itu kembali harus berlapang dada, kembali harus menahan iri ketika besok hari kelulusannya tak di hadiri seorang papa.

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Setelah hari itu beberapa kali Madaharsa menghubunginya, namun ia tolak. Raline hanya tidak mau lagi berhubungan dengan laki-laki itu, apalagi suami orang.

Cukup ia pernah di cap sebagai pelacur hanya karena hamil tanpa suami, jangan sampai kali ini ia di cap sebagai perebut suami orang.

Tapi rupanya Madaharsa terus gigih menghubunginya, memohon minta sedikit waktu untuk berdiskusi tentang mereka, atau lebih tepatnya tentang Mahesa?

Akhirnya Raline menyerah,

” Saya tidak akan mengambil hak asuh Mahesa, tenang saja.” Harsa memulai percakapan dengan cukup tenang, tapi Raline rupanya tetap tersulut emosi,

” Ya emang lo siapa mau ngambil hak asuk dia?!”

” Kalo kamu lupa, saya masih tetap ayah biologisnya. Dan itu tidak akan pernah berubah.” Raline berdecak sebal mendengarnya.

” Saya janji gak akan ganggu kehidupan kamu dan Mahesa lagi, tapi tolong biarkan dia tau kalau ayahnya masih hidup dan ada di dunia ini.” Kali Harsa memohon pada Raline, benar-benar permohonan tulus seorang ayah.

” Mahesa gak punya ayah, dari awal dia gak akan punya ayah. Lo tau itu, dan lo gak bisa merubah itu. Lo aja yang tolol mau dia ada!”

” Raline saya mohon...”

” Lo udah punya anak, lo udah jadi papa buat seseorang, ngapain lagi mohon-mohon buat di panggil papa sama anak gue? Anak gue gak butuh papa lagi.”

Madaharsa akhirnya menyerah, harusnya dia tau mematahkan prinsip Raline itu percuma.

” Oke, kalau begitu biarkan saya menjalankan kewajiban saya sebagai ayahnya kalau begitu.”

” Kewajiban apa? Hah? Kenapa gak dari dulu kalo mau lakuin itu? Padahal lo tau dari awal kalo dia akan hidup, lo yang sengaja membuat dia ada.” Raline tetap tak tergoyahkan meski rasanya begitu menyiksa melihat manik kesakitan milik Harsa.

” Raline kamu mau apa sebenarnya?”

” Jangan pernah muncul lagi di hadapan gue, di sengaja ataupun enggak! Lo gak boleh bilang ke Mahesa kalo ayahnya ada disini, sebagai gantinya lo boleh ngeliat Mahesa dari jauh, cukup dari jauh. Dan jangan campuri kehidupan kami lagi.”

“Permisi..” setelahnya Raline meninggalkan Harsa seorang diri.

Terlambat Harsa, terlambat Raline terlalu membencimu.

Dengan lirih ia bertanya pada dirinya sendiri,

“Alin, kamu pernah gak sedetik aja mencintaiku?”

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Setelah hari itu, hari dimana Raline tidak sengaja bertemu dengan papanya Nesa, ia merasa hidupnya tidak lagi tenang.

Apalagi menyangkut Mahesa, ia jadi merasa takut untuk kehilangan putranya. Hal ini menyebabkan ia sering sekali meminta izin pergi istirahat lebih awal untuk menjemput putranya.

Raline sudah terlalu banyak meminta izin, hingga hari ini terpaksa ia kembali menitipkan Mahesa pada Lala. Ia kini tengah berada di ruangan tempat Shirina–menantu bosnya biasanya menggambar desain baju pesanan pelanggan.

Mulanya ia tadi di minta Shirina mendesain ekor gaun pengantin yang baru, meskipun tidak pernah belajar tata busana, tapi Raline sedikit tau bagaimana cara mendesain gaun, Bu Fani yang mengajarinya dulu saat awal bekerja.

Lalu tiba-tiba saja, entah bagaimana caranya seseorang masuk ke ruangan itu dan duduk di sofa. Seseorang yang tempo hari tidak sengaja Raline temui.

Dan sialnya, Raline baru mengetahui fakta bahwa laki-laki di depannya ini adalah teman dekat suami Shirina, sial sial sial. Pantas saja laki-laki itu mengetahui keberadaannya.

Mati-matian Raline berusaha tidak menghiraukan kehadirannya, tidak menoleh apalagi bersuara.

” Sudah sangat lama ya...” Laki-laki itu bersuara setelah sekitar sepuluh menit lebih terjebak keheningan bersama Raline.

” Tuan tolong jangan mengganggu, saya sibuk.” Raline masih terus berfokus pada gambar ekor gaunnya, meski sedari tadi ia hanya hapus-coret. Fokusnya bahkan sudah lenyap sedari laki-laki itu masuk ke butik ini.

” Terimakasih telah melahirkannya...” Ucapan laki-laki itu membuat Raline mengangkat kepala dan menatapnya nyalang. Alisnya bahkan terangkat sebelah, seolah bertanya melahirkan siapa?

” Raline, tanpa melihat dan tahu keberadaannya pun saya tau ia akan lahir,”

Harsa kini menundukkan kepalanya, tak lagi berani menatap manik wanita di depannya.

” Waktu itu meskipun saya memilihmu orang tua saya tidak akan membiarkan saya pergi begitu saja dengan pilihan sendiri, pada akhirnya kamu yang akan menjadi korban.”

” Saya melepas kamu, dan memilih menikah dengan perempuan pilihan itu. Karena mau di perjuangkan seperti apapun saya tidak akan pernah bisa memiliki kamu.”

Raline kini bergetar mendengarnya, genggamannya pada pensil lukis itu semakin mengerat mungkin akan segera mematahkan pensil itu sebentar lagi.

” Waktu itu saya akhirnya memilih egois, saya sengaja menghadirkan dia supaya ketika kita berpisah pun kamu akan terus mengingat saya. Saya mau terus ada dalam kehidupan kamu, meski tidak nyata setidaknya hadirnya dia telah mewakilkan saya. Saya tau kamu tidak akan membunuhnya, kamu akan mencintainya begitu tulus. Terimakasih sudah mencintai bagian dari saya itu.”

Mendengarnya emosi Raline seperti di sulut, bualan macam apa yang baru saja di katakan laki-laki di depannya ini?

“BRENGSEKK!!” Raline melempar pensil dalam genggamannya ke arah Harsa, lalu berdiri di depan laki-laki itu dengan amarah.

Tangannya hampir saja melayangkan sebuah tamparan, tapi ia cegah

” Karena keegoisan lo dan pemikiran dangkal lo yang tolol itu, anak gue lahir berbeda sama anak orang lain. Dia harus menerima sanksi sosial tercap anak haram!” Raline kini melampiaskan amarahnya, amarah yang sudah ia tahan bertahun-tahun. Wajahnya pun sudah bersimbah air mata, tapi tatapannya tetap nyalang menantang Madaharsa.

” EMANG DARI AWAL HARUSNYA MAHESA TAU KALAU DIA GA PERNAH PUNYA PAPA, PAPANYA UDAH MATI BAHKAN SEBELUM DIA ADA!”

Setelah itu Raline menyambar tas kerjanya, keluar ruangan dengan menutup pintu begitu keras. Ia tak peduli jika di lihat banyak orang, ia tak peduli di tatap aneh.

Yang Raline mau saat ini adalah pelukan putranya, Raline butuh sumber kehidupannya.

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Raline hari ini meminta izin pulang lebih awal kepada atasannya, ia harus menjemput Mahesa. Anaknya itu ngeyel ingin masuk sekolah padahal baru kemarin pulang dari rumah sakit. Di bujuk pun percuma, ia agak keras kepala.

Lala tadi mengabari jika Yuan di jemput omnya jadi sepertinya tidak ada yang menemani Esa menunggu sampai ia datang ke sekolah. Maka dari itu ia begitu terburu-buru, bahkan nekat pergi menggunakan taksi meski dengan biaya yang lebih mahal. Kendaraan umum yang biasa ia naiki ke sekolah putranya tidak kunjung datang.

Benar saja sesampainya di gerbang sekolah, Esa sudah menunggunya. Sedikit berkeringat karena kepanasan, pasti anaknya itu enggan di suruh bu guru menunggu di kelas.

” Esa, maaf ya mama lama”

” Iya gapapa kok ma, tempat kerja mama kan jauh.” Raline tersenyum mendengarnya, Mahesa selalu mengerti keadaannya. Rasanya anak itu di paksa dewasa oleh keadaan.

” Yaudah yuk pulang, mama udah ijin pulang cepet loh.”

” Bentar ya ma, nunggu papanya Nesa jemput dia dulu. Kasian nanti dia sendirian.” Mahesa menunjuk seorang anak perempuan yang duduk di halte bus depan sekolahnya.

” Yaudah, ayo kita temenin dia disana.”

Raline menggandeng tangan putranya lalu menghampiri si gadis kecil yang terlihat murung itu.

” Nesa kenapa?” Tanyanya lembut sambil berjongkok di depan gadis itu.

” Eh?” Rupanya si kecil kaget dengan kehadiran orang dewasa yang tiba-tiba bertanya itu. Ekspresinya berubah menjadi takut.

” Eh jangan takut Nesa, ini mamanya Esa tau bukan orang jahat.” Mendengar penjelasan Mahesa akhirnya Nesa tersenyum ramah pada Raline.

” Nesa belum pulang?” Sekali lagi Raline mencoba berbasa-basi.

” Nunggu papa.”

” Yaudah tante sama Esa temenin ya sampek papa kamu dateng.” Gadis itu hanya mengangguk, ia memang tak banyak bicara. Cenderung pemalu dan penakut, sangat berbeda dengan Mahesa.

Tak lama sebuah mobil mewah hitam mengkilat berhenti di hadapan mereka, lalu pintu kemudinya terbuka menampilkan seseorang berjas hitam lengkap dengan kacamata hitamnya. Terlihat begitu mewah.

” PAPA!” Teriakan Nesa membuat Raline yang tadinya fokus menscroll media sosial akhirnya teralih menatap laki-laki yang kini menyambut pelukan Nesa.

Demi tuhan Raline seketika kehilangan kesadarannya sejenak. Lalu ketika laki-laki itu melepas kacamata hitamnya, Raline buru-buru meraih tangan putranya dan langsung menyeretnya pergi.

Padahal tadi Mahesa sedang terpukau menatap Papanya Nesa yang dimatanya terlihat begitu keren.

Hmm sepertinya keren punya papa seperti itu.

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Tadi saat pulang dari rumah Yuan, Esa terus berceloteh sampai mereka ada di depan rumah. Bocah itu menceritakan banyak hal pada sang ibu, mulai dari Bu guru yang mengajarkan nyanyian baru, lalu ia berkenalan dengan teman baru yang katanya menarik dan lucu. Sampai bercerita tentang papinya Yuan yang tersedak cola ketika mereka membeli es krim di resto cepat saji.

Mahesa setiap harinya memang seolah tak akan kehabisan kata. Berceloteh sepanjang hari.

Mungkin karena terlalu lelah malam ini bocah itu sudah tertidur dari pukul 8 malam, ia tertidur di depan televisi ketika melihat tayangan ulang kartun kesukaannya. Padahal hanya Raline tinggal sebentar mencuci piring bekas makan malam mereka.

Saat akan memindahkan putranya ke kamar, Raline merasakan suhu tubuh Esa lebih tinggi dari biasanya, bahkan terlalu panas rasanya.

Ia segera mengambil kompresan, dan memeluk putranya lebih erat dari biasanya, Esa tidak boleh kedinginan.

Tengah malam Raline terjaga ketika mendengar Esa meringik dan mengeluarkan air mata tanpa sadar, suhu tubuhnya semakin tinggi tidak seperti ketika ia demam biasanya. Raline panik.

Satu-satunya yang ia pikirkan saat itu adalah menelpon Lala, meminta sekali lagi bantuan pada keluarganya.

Lala tolong angkat telponnya!

” Halo, mbak...”

” Maaf menganggu malam-malam, aku gak tau lagi harus menghubungi siapa selain mbak. Esa demam tinggi, sudah ku kompres tapi tak kunjung turun, aku takut mbak. Bisa minta tolong antarkan kami ke rumah sakit? Aku tidak yakin ada kendaraan umum tengah malam begini.” Raline menangis dalam setiap kalimatnya, sesekali ia menatap Esa yang meringkuk di bawah selimut, anaknya terus meringis menahan sakit.

Ya tuhan kenapa tidak Raline saja yang merasakan sakitnya.

” Makasih mbak, makasih banyak. Iya aku tunggu. Hati-hati mbak.”

Raline rasanya ingin bersujud di depan Lala, mengucapkan ribuan kata terimakasih untuk seluruh kebaikannya, wanita itu dan suaminya telah begitu banyak membantu selama ini.

Tuhan terimakasih masih mengirimi Raline orang baik seperti mereka.

Setelah di beri penanganan di UGD Mahesa di bawa ke ruang inap, Juan memilihkan kamar VIP. Dan biaya perawatannya ia dan Lala yang akan menanggung.

Juan begitu merasa bersalah, tadi siang dia membelikan banyak es krim untuk Mahesa. Ia berkali-kali meminta maaf pada Raline,

” Gapapa Mas Juan, Esa emang sebelumnya abis ujan-ujanan bukan cuma perkara es krim itu aja.” Raline cukup memaklumi, putranya kan memang sering main air di tambah suka makan es krim tentu saja mudah jatuh sakit.

Sementara Juan mengurusi administrasi, Lala menemani Raline di ruang rawat Esa. Untung di rumahnya ada asisten rumah tangga, jadi Yuan bisa di tinggal tengah malam begini.

” Mbak makasih ya.” Ucap Raline yang kesekian kalinya.

” Dek, kamu udah bilang itu puluhan kali loh malam ini. Udah ya? Kamu kan udah mbak anggep keluarga, wajar dong minta bantuan sama mbak.”

Lala memeluk Raline, menyalurkan kekuatan untuknya. Sekaligus menenangkan kekhawatiran Raline, ia berkata bahwa Esa adalah anak yang kuat ia akan segera sembuh, lalu pulih dengan cepat.

Esa semoga cepat sembuh.

Lumayan lama sebelum akhirnya Juan kembali ke ruang rawat Mahesa, Lala yang menantinya pun sedikit mengantuk di sofa ruangan.

” Lama banget Mas?”

” Iya tadi di UGD ga sengaja ketemu temen, anaknya jatuh langsung di bawa ke rumah sakit.” Juan menjelaskan alasannya tertahan agak lama di ruang tunggu administrasi.

” Innalilahi, gapapa kan tapi? Apa jatuhnya parah?”

” Gak parah, cuma lecet dikit lututnya biasalah anak orang kaya, baret dikit di bawa ke rumah sakit padahal di tetesi obat merah di rumah sudah cukup.”

Raline yang mendengar percakapan itu kembali menahan tangisnya, ia menatap sang putra yang kini tertidur tenang dengan infus yang menancap di tangannya.

Maaf ya nak, mama baru bisa membawa kamu ke rumah sakit ketika sakit parah seperti ini. Itupun dengan bantuan om Juan, harusnya kamu terlahir seperti anak orang kaya itu.

” Syukurlah kalau begitu, anak siapa sih emang Mas?” Lala akhirnya penasaran, siapa teman suaminya yang membawa anaknya ke rumah sakit tengah malam hanya karena sedikit lecet.

” Temanku dulu pas SMA, yang pernah aku ceritain di jodohin ituloh, nikahnya ga jauh sama nikahan kita waktu itu.”

“Oalah, yang istrinya anak pejabat itu ya? Wah Alhamdulillah deh akhirnya mereka bahagia dan punya anak meski menikah karena paksaan.”

Lalu apakah mempunyai anak adalah ukuran kebahagiaan sebuah pernikahan?