Ran;

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Mahesa selalu senang tiap kali ia menampakkan kakinya di sekolah, ia senang bertemu dengan bu guru, bermain perosotan dan ayunan, bermain bersama Yuan dan teman-teman lainnya. Meski kadang ia di anggap berbeda, hanya karena tidak pernah di tunggui mama di depan kelas. Atau bahkan beberapa temannya suka mengejek, Esa tidak punya papa seperti mereka hanya karena ia tak pernah pulang di jemput papa.

Tapi ia tak ambil pusing perkataan temannya itu, Esa kan punya papa. Hanya saja kata Mama papa sedang bekerja di tempat yang jauh, tidak bisa pulang. Papa harus bekerja untuk membeli mainan nanti, lihat saja nanti kalau papa pulang Esa akan minta mainan yang mahal.

Oh tentu saja tidak lupa minta es krim, seperti yang papinya Yuan sering belikan!

Mahesa menatap gadis kecil di sudut kelas yang sedari tadi terdiam, dan enggan bicara. Bu guru bilang tadi namanya Nesa, murid baru pindahan.

Esa menatap Bu guru yang tengah sibuk melerai teman-temannya, lalu mendesah pelan sebelum akhirnya memutuskan menghampiri gadis kecil itu.

” Halo Nesa...” Sapanya ramah.

” Hai...” Si gadis menjawab dengan lirih.

” Mau main sama Esa?” Tawarnya sambil menggoyangkan potongan puzzle di tangannya.

” Esa?”

” Iya, namaku Esa. Mahesa Sadajiwa, keren kan namaku? Itu mama loh yang buatin.” Gadis cilik di depannya hanya mengangguk saja mendengar celotehan Esa.

” Aku Nesa, papa yang kasih nama.” Cicitnya pelan, dia masih merasa takut berbicara dengan orang baru, meski sepertinya Mahesa adalah teman yang baik.

” Wah keren kamu punya papa.”

” Eh? Semua orang kan punya papa.” Nesa merasa aneh, bagaimana bisa memiliki papa di anggap keren. Apakah itu sebuah prestasi?

” Aku gak punya papa....” Mahesa berucap pelan tapi tangannya tetap fokus merangkai puzzle, bahkan ia berbicara tanpa memandang Nesa.

” Eh punya ding, hehehe papaku lagi kerja jauh kata mama. Doakan cepet pulang ya Nes, biar aku juga punya papa kayak kamu.”

” Iya, semoga papa Esa cepat pulang dari kerjanya ya biar sama kayak papa peluk aku tiap pulang.” Keduanya lalu tersenyum bersama, saling mengaminkan doa supaya papa Mahesa cepat pulang dari bekerja.

Semoga!

Bu guru yang tidak sengaja mendengarkan percakapan keduanya pun ikut mengaminkan doa itu, Mahesa anak yang baik dan begitu cerdas. Tapi ia sering terlihat bersedih ketika pulang sekolah, hanya karena melihat teman-temannya berebut pelukan papa di depan gerbang sekolah.

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Mahesa Sadajiwa memberengut kesal ketika sang ibu membangunkannya lebih pagi hari ini, bahkan masih setengah enam pagi tapi kini ia sudah rapi dengan seragam sekolah dan baru saja menyelesaikan sarapannya.

” Ma, ngantuk..hoaaahm” Esa menguap begitu lebar ketika sang ibu memasangkan tali sepatunya.

Ya tuhan kenapa Esa begitu mirip papanya sih.

” Semalam kan mama bilang supaya cepet tidur, tapi kamu malah ngecipris sana sini.”

” Ma no ngomel masih pagi!” Esa menggeleng-gelengkan kepalanya dan telunjuknya di depan Raline.

” Iyaa iyaaa, ayo Mama anter ke rumah Yuan, gapapa ya hari ini kamu berangkat sama tante Lala? mama harus ada di tempat kerja sebelum jam 6 pagi hari ini.” Esa menganggukan kepalanya mengerti, semalam mamanya memang sudah memberitahu jika pagi ini harus pergi bekerja sepagi mungkin.

Semangat mama!

Mengenai Lala, Raline mengenalnya sebagai sesama walimurid. Lalu mereka menjadi cukup akrab ketika Yuan–putra Lala, hanya mau berteman dengan Esa di sekolah. Anak itu memang sedikit pemalu, berbeda dengan Esa yang terkadang tingkahnya bikin malu.

” Tapi nanti Ma jemput kan?”

” Iya nanti mama yang jemput ya kalo urusan kerjaan mama cepet selesai.”

” Kalo nanti belum selesai gimana? Esa di jemput siapa?” Raline memang sering kali menitipkan Mahesa jika berangkat sekolah kepada Lala, ia sering diharuskan masuk kerja di pagi buta.

Tapi kalau pulang sekolah ia selalu menjemput sendiri putranya, lalu membawanya ke tempat kerja. Beruntung pemilik tempat kerjanya mengizinkan dia membawa Esa setelah pulang sekolah.

” Nanti kalo mama belum jemput, ikut Yuan aja ya? Paling juga tante Lala yang jemput.” Sekali lagi Mahesa mengangguk mengerti, tapi sebenarnya ada pertanyaan yang mengganjal untuknya.

” Ma? Yuan selalu pulang sama papinya kalo tante Lala gak bisa jemput....” Mahesa menjeda kalimatnya, lalu mendongak ke atas menatap sang Mama yang kini menghentikan langkahnya.

” Ma bisa minta tolong Pa kalo ga bisa jemput Esa nanti” Mahesa mengecilkan suaranya di akhir kalimat, takut kalau-kalau yang dia ucapkan barusan membuat Mamanya marah.

” Esa.....”

” But its okey ma, Pa kan kerja kayak mama pasti sibuk dan ga bisa jemput Esa, nanti Esa pulang sama Yuan sama papinya juga gapapa, om Juan suka traktir es krim loh Ma kalau pulang bareng, hehehe.”

Mahesa lalu kembali menyelipkan jarinya di genggaman sang mama, mengayunkan genggaman itu dengan riang lalu menarik sang Mama untuk terus berjalan mencari angkutan umum untuk ke rumah Yuan.

Raline menghapus bulir bening yang membasahi matanya. Esa, maafin mama ya kalau kamu gak akan pernah bisa di jemput papa.

—Salah, tapi hadirnya bukan kesalahan.

Raline menatap puluhan tespack di depannya, di coba berkali-kali pun dengan berbagai merk berbeda hasilnya tetap sama. 2 garis merah itu harusnya jadi kabar bahagia bagi setiap perempuan, itu tandanya mereka akan segera menjadi seorang ibu dari calon malaikat kecilnya.

Tapi Raline justru menangis histeris, bagaimana bisa ia akan menjadi seorang ibu tanpa gelar Istri terlebih dahulu?

Teledor sekali dia membiarkan rahimnya terisi sebuah nyawa, harusnya malam itu dia menyadari bahwa tak ada pengaman yang membentengi permainan mereka.

Ia harus bagaimana?

Harsa tidak akan bertanggung jawab, laki-laki itu hari ini menikah.

Apakah Raline harus mengemis di depan keluarganya? Meminta istrinya untuk berbagi suami? Itu adalah pilihan buruk, bahkan kemungkinan paling buruknya bisa saja keluarga laki-laki itu akan memintanya melakukan aborsi.

Lagipula tidak pernah ada ikatan apapun bukan di antara keduanya? Tidak pernah ada perjanjian apapun juga. Raline dan Harsa hanya sepasang teman, yang ketika malam saling berbagi kenikmatan.

Raline rasanya ingin mengakhiri hidupnya sekarang, tapi jika ia bunuh diri apa bedanya dia dan kedua orang tuanya yang tega meninggalkan dia seorang diri di tengah kekejaman dunia ini?

Raline benci bunuh diri.

Gadis itu kini mengelus perutnya yang masih rata, ah ralat bukan gadis lagi lebih tepatnya perempuan. Di dalam tubuhnya kini ada kehidupan lain, kehidupan yang tak pernah Raline pikirkan akan hadir secepat ini.

Ia sempat berpikir untuk membunuh janin tak berdosa itu, tapi apakah tuhan akan mengampuninya? Bahkan ia telah berdosa dengan menghadirkannya, apakah ia akan menambah dosa lagi dengan melenyapkannya?

Raline tidak sekeji itu.

Cukup dia saja yang di buang orang tuanya, jangan dengan calon anaknya.

Maka dari itu Raline memutuskan untuk merawat kandungannya, ia harus jadi seorang ibu yang baik. Ia harus bisa membesarkan anaknya sendiri.

Bayi itu harus lahir. Harus.

Apapun yang terjadi akan Raline lalui untuk kelak hidup bersama anaknya. Ia akan merancang hidup berdua di masa depan bersama buah cintanya. Ah buah cinta ya?

Benarkah anaknya tercipta karena cinta?

—Salah, tapi bukan kesalahan.

” Harusnya malam itu berakhir, tidak lagi di bawa ke masa depan apapun tentangnya lagi...”

Raline mendesah lega ketika ia membuka pintu kamar di atas ranjangnya ada Madaharsa yang terlelap.

Gadis itu tadi terburu-buru pulang ketika kelas usai saat Nala-teman segeng Harsa, memberitahunya bahwa Harsa kabur dari rumahnya.

Kali ini entah pemuda itu kabur karena apa, yang jelas ia bukan sekali dua kali melakukannya. Rasanya tiap kali ia beradu argumen dengan mama, atau yang paling sering dengan papanya ia akan kabur.

Harsa tipe orang yang enggan di dikte untuk melakukan apapun, ia cenderung bergerak karena kemauan dan prinsipnya sendiri. Bertolak belakang dengan keinginan kedua orang tuanya yang menginginkan dia menjadi anak penurut.

Beruntung akhir-akhir ini jika kabur Harsa akan bersembunyi di tempat Raline. Tidak lagi ke bar, menyewa kamar hotel atau paling parah ke luar negeri.

Perlahan Raline menghampirinya, duduk di sisi ranjang sambil memandangi wajah tampan pemuda itu. Harsa saat tertidur memancarkan aura yang berbeda, ia terkesan seperti anak kecil yang lugu dan polos. Akan sangat berbeda ketika ia terbangun, terlalu menyebalkan tingkah lakunya.

Raline mengelus pelan pipi gembilnya, Harsa itu suka makan dan malas berolahraga makanya ketika teman-temannya pamer perut roti, dia cuma nyengir pamer perut bayi. Tapi Raline bilang dia lebih suka Harsa yang seperti itu, makinlah menjadi motivasi bagi Harsa untuk tidak meratakan perutnya.

Tidak, sebenarnya Raline suka Harsa mau bentuknya seperti apapun.

Rupanya elusan lembut tangan Raline membangunkan tidur nyenyak Harsa, ia mengerjakan mata beberapa kali sebelum akhirnya menarik Raline kedalam pelukannya.

Atau bisa di sebut kini Raline berada di atas dadanya.

Dengan wajah sedekat itu hembusan nafas mereka beradu, tak perlu waktu lamapun kedua candu itu bertemu, berbagi rindu katanya. Apapun rasanya, bagi Harsa milik Raline akan selalu manis, melebihi gula termanis di seluruh penjuru dunia.

Cukup lama, Raline akhirnya melepaskan diri. Ia menarik nafas dalam, Harsa selalu membuat mabuk kepayang.

” I want you baby ...”

Sebenarnya tanpa di ucapkan pun Raline sudah tau, mereka akan berakhir dengan kegiatan menguras keringat itu, mencari kenikmatan yang bisa seolah saling membawa menuju surga, katanya.

Ya semoga tidak berakhir di neraka saja.

Setelahnya tidak ada lagi kata-kata, selain desah saling memuja. Harsa terlalu ahli untuk menanggalkan bajunya dalam sekali tarik. Bahkan Raline tak tau sejak kapan ia tanpa sehelai benangpun, ia hanya sibuk menikmati permainan Harsa di atasnya.

Permainan pemuda itu biasanya sedikit kasar dan tak jarang menyakitkan, tapi Raline rasa malam ini Harsa berbeda. Lebih lembut dari biasanya, bahkan terlalu lembut. Benar-benar begitu memujanya, Raline semakin mabuk kepayang.

” Baby...i will...” Gumam Harsa sedikit terengah, pertanda ia sampai pada puncak kenikmatan tertinggi.

Raline selalu liar dan luar biasa, tidak pernah mengecewakan rasanya. Selalu berhasil membawa Harsa pada rasa surga yang tak ia dapatkan dari wanita lain.

Harsa mencabut miliknya, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang keduanya. Agak berbeda dari biasanya yang bisa menghabiskan belasan ronde semalam.

Harsa lalu mengecup pelipis Raline cukup lama, seolah menyampaikan perasaan yang tak pernah bisa ia ucapkan. Lalu memeluk Raline begitu erat, seolah dunia akan merebut perempuan itu kapan saja dari dekapannya.

Raline jelas merasakan perbedaannya, Harsa tak seperti biasanya. Harsa tak pernah selembut itu menjamahnya, Harsa tak pernah mengecupnya lama selepas kegiatan panas mereka.

Tapi karena terlalu lelah Raline memilih ikut menyusul Harsa ke alam mimpi daripada memikirkan perbedaan pemuda di sampingnya itu.

Tidur Raline malam itu begitu nyenyak, hangat dekapan Harsa membawanya pada kualitas terbaik tidurnya selama ini. Bahkan saking nyenyaknya, ia baru menyadari ketika bangun di esok harinya jika Madaharsa tak lagi di sisinya.

Pemuda itu pergi, tak meninggalkan sepatah katapun. Hanya meninggalkan sebuah undangan pernikahan di atas meja riasnya.

Raline rasanya ingin marah, melampiaskan kekecewaannya, tapi kemudian dia sadar memangnya dia dan Harsa terikat apa?

Selama ini tak pernah ada ikatan kepemilikan atas keduanya, pun ucapan kata cinta. Selama ini yang terucap ketika mereka bersama hanya umpatan kenikmatan ketika saling berhasil memuaskan. Hubungan mereka memang hanya sebatas itu, tidak pernah lebih.

Semalam Raline terlalu terlena akan kelembutannya, sampai tak menyadari bahwa itu adalah akhir dari mereka. Itu adalah perpisahan yang Harsa ciptakan lebih manis. Ia juga tidak menyadari jika malam itu Harsa tidak memakai pengamannya, bibit terbaiknya ia biarkan melebur dengan produksi masa subur Raline.

Mau bagaimanapun, janin itu akan segera tumbuh. Ini adalah salah tapi bukan lahirnya kesalahan.

Jenoah menghembuskan napasnya berat. Penggerebekan yang begitu menguras tenaga, anak buahnya ada yang tertembak tapi syukurlah target akhirnya bisa di lumpuhkan dan kini pimpinan mereka telah di tangkap.

Jenoah menatap sosok di depannya, lelaki paruh baya yang kini tangannya terborgol duduk di kursi interogasi. Ia melangkah mendekat, siap mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Karena sedari tadi laki-laki itu enggan menjawab.

Jenoah membuka ponselnya menatap foto seorang gadis di ponselnya, lalu menunjukkan potret gadis itu pada tersangka di depannya.

” Putrimu cantik, tidakkah sangat di sayangkan jika ia harus terluka?” Jenoah memberikan ancaman agar bedebah di depannya ini membuka suara.

” Kau tidak akan berani melukainya.” Pak tua itu berbicara sangat tenang, terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang di kepalanya tertempel moncong pistol.

” Kenapa tidak? Jangan meremehkanku.” Ucap Jenoah lantang.

” Kau mencintai putriku, kau tidak akan pernah berani menyakitinya seujung kuku pun.” Jenoah menelan ludahnya dengan susah payah. Kegelisahan yang sedari tadi ia tahan akhirnya muncul.

” Anak muda kau pikir aku tidak mengawasi siapa saja yang berada di dekat putriku? Aku bahkan sudah tau pada akhirnya kau juga yang akan membelukku disini.”

Pak tua itu menjeda kalimatnya, lalu menatap Jenoah dengan intens.

” Shirina adalah harta paling berharga yang ku punya, ia tidak pernah memakai uang-uang haramku. Aku menyiapkan perusahaan ibunya untuk biaya hidupnya. Mungkin setelah ini aku bukan ayah yang baik baginya, tapi aku ingin dia mendapatkan figur yang lebih baik dariku...”

” Shirina sebatang kara setelah ini, bisakah kau berjanji untuk menjaganya setelah aku pergi? Tolong bahagiakan putriku Jenoah.”

Akhir dari perbincangan itu adalah eksekusi mati yang tak lagi dapat di hindari.

Shirina maaf.

Radine pada akhirnya memutuskan untuk rebahan di sebelah Nala. Iya mereka beneran cuma rebahan, bukan seperti yang teman-temannya maksud di replies twit Radine.

Lagian mereka pasti cuma bercanda kan?

” Ih geseraan.. jangan mepetin aku..” Radine memprotes kala Nala semakin mengikis jarak di antara mereka, bahkan kini ia tak sungkan menaruh kepalanya di bahu sang pacar. Hanya menaruh.

” Kak... “

“Hm..”

“Geseran...”

“Hm...”

” Ha hem ha hem nissya sabyan lo?” Kesal Radine karena Nala tak mengindahkan ucapannya.

“Eits eits apaan lo-lo begitu...” Nala menaruh telunjuknya di atas hidung Radine.

” Kak geseran, mau bangun nih...”

Radine akhirnya memilih pergi ke dapur meninggalkan Nala yang kembali sibuk dengan selingkuhannya, kamera.

” Mau gak kak?” Sekembalinya Radine, dia menawarkan eskrim strawberry pada Nala yang hanya di respon dengan tatapan aneh dari kekasihnya.

Hahahaha, Nala benci strawberry dan Radine suka itu.

“Ew, aneh.”

” Kamu mah yang aneh masa ga suka strawberry...emmm yummy...” Radine semakin menggoda Nala dengan memakan potongan buah strawberry di depannya. Ekspresinya menunjukkan betapa nikmatnya memakan strawberry. Hal ini tentu saja membuat Nala penasaran,

” Enak banget?”

” Banget, mau coba?” Radine menjulurkan sebuah potongan strawberry ke depan mulut Nala.

” Pingin coba pake cara lain...”

Setelahnya Radine hanya membulatkan matanya kaget ketika bibit Nala menempel sempurna di atas bibirnya. Hanya kecupan, tidak singkat dan cukup membuat otak Radine blank seketika.

” Manis, not bad lah...” Nala berkomentar dengan sedikit terkekeh.

Tenang teman-teman mereka cuma rebahan

—Kamu dan kenangan.

Setelah pulang dari pesta ulang tahun Mahesa, Raline memutuskan untuk berkunjung ke tempat Harsa, tempat dimana laki-laki itu tertidur nyaman.

Raline meletakkan setangkai bunga matahari yang di bawanya di atas pusara bertuliskan Madaharsa Hestamma.

Tanggal kematiannya persis hari ini, beberapa tahun lalu.

Madaharsa meninggal ketika hendak pergi menyusul istinya ke rumah sakit saat melahirkan Mahesa.

” Asa... putramu hari ini berulang tahun yang kelima.”

Raline tergugu, begitu sesak dalam dadanya.

” Asa.. putramu akan memiliki seorang ayah sambung.”

” Asa... putramu akan memanggil orang lain dengan sebutan papa..” Lagi Raline tergugu begitu keras.

” Asa... harusnya kau disini melihat bagaimana persisnya dirimu dengan Mahesa.”

Kali ini cukup lama Raline menundukkan kepalanya, bahkan ia membiarkan air matanya terjatuh merembes ke tanah.

” Asa... Terimakasih sudah membuat Mahesa hadir di dunia menggantikan mu.”

” Asa... Terimakasih sudah berhasil membuat kak Ayesha waktu itu mempertahankan kehamilannya.”

” Asa.. aku gak kesepian kok, aku tetep ngerasa kamu ada disini. Kamu ada dalam diri Mahesa, kamu menjelma menjadi dia kan?”

” Asa... Aku kangen...”

” Kali ini gak bisa di obatin dengan ketemu Mahesa aja. Asa aku pingin meluk kamu...”

Raline terjatuh ke atas pusara Madaharsa, ia tak lagi sanggup berjongkok menahan badannya.

” Asa tunggu aku ya? Tapi mungkin akan sangat lama, aku masih pingin liat Mahesa tumbuh seperti kamu nanti menjadi laki-laki paling baik dan paling penyayang di dunia.”

Raline akan selalu mengingat perkataan Madaharsa di hari pernikahan laki-laki itu dengan Ayesha.

” Jika kita tidak bisa bersama di kehidupan ini, aku pastikan di kehidupan selanjutnya pun aku akan tetap memilih kamu, atau jika nanti aku pergi dulu dari dunia aku akan dengan sabar menunggu kamu di keabadian.”

Dan Raline percaya kini Madaharsa telah menunggu di keabadian, tapi ia tidak ingin segera bertemu. Raline sudah berjanji untuk melihat Mahesa tumbuh sampai melampaui umur ayahnya.

—Pesta ulang tahun, terimakasih sudah lahir.

Raline tersenyum begitu lebar ketika si empunya acara ternyata menanti kehadirannya di depan rumah, lalu ketika melihatnya datang langsung berhambur memeluknya.

” Atee kirain ga dateng...”

” Dateng dong sayang, masa di ulang tahun anak ganteng tante ga dateng.”

” Mana kado beruang Asa?” Raline tertawa mendengarnya, bocah yang tengah memeluk kakinya ini selalu menagih boneka beruang setiap tahun.

” Nih boneka beruang buat Mahesa tahun ini, sama buket bunga mataharinya juga.”

Bocah itu kegirangan mendapatkan kado yang sudah ia tunggu sedari tadi lalu ia dengan bangga memamerkan pemberian Raline pada semua orang. Ia berlari menuju sang mama yang tengah tersenyum menatapnya dari jauh.

” Mamaaaa Asaa dapet beruang lagi dari ate Alin. Yeayyy!”

Raline ikut tersenyum, bahagianya sederhana. Cukup melihat Mahesa Sadajiwa bahagia.

Matanya menangkap perempuan yang baru saja Mahesa panggil 'mama' itu berjalan kearahnya. Sekali lagi Raline tersenyum menyapa

Dulu Ralin membencinya, bahkan memprotes tuhan kenapa perempuan itu di hadirkan ke dunia? Apalagi sampai hidup di sekitarnya.

Tapi sekarang Raline justru ingin setiap hari mengucapkan terimakasih padanya, terimakasih karena telah melahirkan obat rindu paling mujarabnya.

” Alin terimakasih kadonya, Mahesa dari tadi nungguin kamu, takut tante kesayangannya gak dateng.” Ibu Mahesa menggengam tangan Raline. Perempuan itu baik, bahkan sangat baik sebenarnya. Hanya saja takdir membuatnya menjadi sedikit jahat di kehidupan Raline.

” Sama-sama kak, tadi ada sedikit kendala di jalan, maaf ya kak.”

” Gapapa, yang penting kamu hadir di hari paling sepesial nya. Dia bakal sedih banget kalo sampai kamu ga dateng.” Perempuan itu tersenyum, senyum yang begitu cantik, menurun pada Mahesa.

Lalu keduanya berbincang-bincang, tentang banyak hal. Mereka dulu tak sedekat ini, lalu menjadi dekat, sedekat saudara kandung sejak kehadiran Mahesa. Malaikat kecil bagi Raline.

Obrolan mereka terhenti ketika Mahesa datang menghampiri bersama seorang laki-laki yang menggendongnya.

” Ate Alin, kenalin ini om Gana, kata mama dia bakal jadi papanya Asa..”

Raline terdiam mendengarnya, papa? Mahesa akan punya papa? Ayesha akan menikah lagi?

” Alin, aku minta izin sama kamu untuk menikah dengan Margana. Dia laki-laki yang baik, aku akan jamin dia akan melaksanakan tugas sebagai ayahnya Mahesa, menggantikan peran Harsa yang selama ini tidak Mahesa dapatkan.” Ayesha menundukkan kepalanya di depan Raline.

” Kenapa harus meminta izin padaku kak?”

” Kita berdua bertahan hidup untuk Mahesa, jadi ku rasa setiap keputusan yang menyangkut Mahesa kau juga harus ikut andil di dalamnya. “

Raline terdiam, menatap Ayesha yang masih menggenggam tangannya, menatap laki-laki bernama Margana itu, menatap Mahesa yang begitu nyaman dalam pelukan laki-laki itu.

Harsa, aku harus bagaimana? Membiarkan putramu memanggil laki-laki lain dengan sebutan papa?

Tanpa sadar air mata Raline terjatuh, ia segera menyekanya lalu menatap Margana tepat di matanya.

” Berjanjilah padaku untuk membahagiakan Mahesa, berjanjilah padaku jika kelak kalian memiliki buah hati jangan bedakan kasih sayangnya dengan Mahesa. Menikahlah, bahagikan keluarga kecil kalian.” Lagi Raline mengusap air matanya yang jatuh, bahkan kini menetes ke tangan Ayesha.

Melihat itu Mahesa mencondongkan tubuhnya pada Raline, ikut menghapus jejak air mata di pipi gadis itu.

” Ate jangan sedih, mulai sekarang yang bakal jagain Asa bukan cuma Mama sama Ate aja, sekarang ada papa juga.”

Harsa putramu bahagia mendapatkan figur yang engkau tinggalkan. Kali ini Raline tergugu, tak lagi mampu menahan deras air matanya.

—Beruang, Sunflower, Raline.

Pagi ini Raline bangun tidur dengan perasaan yang membuncah. Bahkan ia memulai hari dengan begitu semangat, menyapa setiap orang yang ia kenal di jalan. Bahkan tersenyum ramah pada tiap orang yang ia temui. Hari ini hari spesial seseorang, tentu saja orang ini juga spesial di hidupnya. Mungkin bisa di bilang seseorang yang mengubah hidup Raline dari yang ingin bertemu ajal sampai ingin hidup lebih dari seratus tahun untuk terus melihat orang itu, untuk memastikan ia akan selalu bahagia.

Sambil berjalan riang ia memeluk sebuah boneka Beruang, ini hadiah yang ia siapkan dari jauh hari. Di pesan begitu khusus olehnya. Hadiah yang benar-benar Raline minta supaya di buat se-spesial mungkin.

Raline membuka pintu kaca toko bunga favoritnya, lalu dengan berjalan mengendap ia mendekati sang penjaga toko yang rupanya tengah sibuk menata beberapa anggrek di meja.

“Dorr!!”

“COPOTTR JANTUNGKU COPOTT!” Latahan orang tersebut membuat Raline terbahak. Seru sekali mengagetinya.

” Astaga kak Alin! Untung jantungku buatan tuhan, gimana kalo made in China?”

Raline terkekeh menatap gadis yang lebih muda 2 tahun darinya itu, cucu pemilik toko bunga favoritnya.

” Memangnya kenapa kalo made in China?”

” Ya cepet rusak kalo di kagetin terus tau! Ah China selalu membuat produk yang cepat rusak.” Dumelan gadis ini memang kadang kemana-mana jauh dari topik, makanya Raline suka menggodanya.

” Berarti Huang Renjun begitu?”

” Oh ya tidak dong!”

” Lah dia kan made in China, gimana sih?”

” Ya berbeda pokoknya produk China yang tidak gagal cuma Huang Renjun, Liu Yangyang, Zhong Chenle, Do...” Raline menggelengkan kepalanya ketika gadis itu menyebutkan serentetan idol kpop asal China. Whatever, Raline malas menanggapinya.

” Ngomong-ngomong Kakek kemana?” Tanya Raline, biasanya pak tua itu ada di depan toko sambil mengobrol dengan burung peliharaannya.

” Kakek sedang sakit, makanya aku yang membantu bibi hari ini.”

” Ya baguslah biar kamu gak cuma jadi kaum rebahan sambil ngefangirl doang.”

” Aish Kakak ini seperti tidak tau saja rasanya bucinin bias!” Raline hanya mencebik.

” Ini boneka beruang dari siapa?”

” Dariku...”

” Bohong, dari cowoknya ya?”

” Engga astaga, ini aku beli kemarin untuk kado seseorang.”

Gadis itu tersenyum menggoda Raline, mencolek dagunya. Sambil bercie-cie.

” Cieee... Siapa tuh? Cowok apa cewek?” Tanya kepo.

” Laki-laki.”

” Asik Kak Raline akhirnya punya teman spesial!!”

Astaga gadis ini sungguh hiperaktif, Raline hanya bersuara didalam hatinya.

Lihatlah gadis itu kini tengah heboh kegirangan hanya karena Raline bilang akan mengado seorang laki-laki.

” Astaga, diamlah kau seperti anak kecil loncat-loncat seperti itu.”

” Maaf, aku senang kau akhirnya menemukan pasangan.”

” Hey aku tidak bilang dia pasangan ya!” Tegas Raline mengingatkan.

” Bodoamat, nyenyenyenyeee... Awas tidak mengenalkan pacarmu padaku nanti.”

” Ku harap kau tidak akan kecewa ya nanti karena ekspektasi mu sendiri.” Raline hanya tersenyum ketika gadis itu menjulurkan lidah mengejek.

“By the way kenapa di kasih boneka beruang?”

” Dia suka beruang...”

” Oooooww pria yang romantis rupanya. EH KAI KAN JUGA SUKA BERUANG?”

” WAH KAU SUKA DIA KARENA DIA SUKA BERUANG SEPERTI KAI YA?”

Astaga gadis ini, Raline rasa isi otaknya hanya terisi idol tampan saja. Ck...ck...

” Tidak, dia memang suka beruang, bukan karena aku mengidolakan Kai lalu aku akan mencari orang lain yang suka beruang juga.”

” Hehehe, kirain kan gitu.”

” Sudah sana ambilkan pesananku, kemarin aku sudah mengirim pesan untuk bibi.”

” Iya-iya tunggu sebentar.”

Seperginya gadis itu Ralin berkeliling toko, sekedar melihat koleksi bunga yang ada. Melihat beberapa lukisan Kakek yang terpampang di dinding. Kakek pemilik toko adalah seniman, entah mengapa di usia senjanya ia justru membuka toko bunga.

” Ini nona Raline Nadindra pesanan buket bungamu.” Gadis tadi kini sudah berada di belakangnya, sambil membawa sebucket bunga matahari pesanannya.

” Terimakasih Rara.”

” Ya sama-sama, tapi tumben kau pesan sebuket besar? Biasanya hanya beberapa tangkai.” Rara memang beberapa kali tau jika Raline akan memesan beberapa tangkai bunga matahari setiap pagi. Entahlah untuk apa, tapi yang Rara tau Raline begitu mencintai bunga matahari.

” Tentu saja untuk kado pelengkap boneka beruang ini.”

” Aih kau so sweet sekali ya, aku jadi iri.”

” Ahahahaha kalau begitu nanti ketika kau ulang tahun ku kado bunga saja ya.”

” Ett tidak mau! Belikan aku sesuatu berbau Renjun nct ya?”

Lagi-lagi Raline menggelengkan kepalanya, astaga gadis ini. Apa-apa Renjun.

” Iya iya..”

” Terimakasih kakak cantik.” Rara memeluk Raline spontan, ia senang bertemu dengan manusia seperti Raline yang bisa ia anggap seperti kakaknya sendiri. Rara tidak memiliki saudara, tidak lagi memiliki orang tua, ia hanya tinggal dengan bibi dan kakek maka dari itu dia begitu menyayangi Raline.

” Sudah ya Ra, aku pergi dulu..”

” Oke, eh sampaikan salamku pada yang berulang tahun ya? Selamat ulang tahun, semoga bahagia selalu..”

” Iya nanti ku sampaikan.”

” Ngomong-ngomong dalam budaya China bunga matahar menyimbolkan panjang umur loh, semoga pasangan kakak panjang umur.”

Raline tersenyum mendengar nya, lalu berpamitan pergi.

Panjang umur ya?

Raline terbangun dari tidurnya saat matahari sudah jauh merangkak di langit. Terlalu siang untuk di katakan bangun pagi. Masih dengan malas bahkan untuk mengumpulkan nyawa ia merogoh nakas di samping tempat tidurnya, mengambil ponsel yang rupanya sudah berdering puluhan kali.

Rupanya panggilan tak terjawab dari beberapa teman, keluarga dan entahlah Raline malas membacanya. Baru saja akan terlelap kembali, tapi kini ponsel suaminya ikut berdering.

Ah suami....

Sebenarnya masih sangat aneh menyebut panggilan itu, bahkan hanya di sebut dalam hati saja Raline merasa pipinya memerah. Menikah efeknya memang seluar biasa inikah?

” Yang.. ponsel kamu bunyi tuh...” Ujarnya sambil menepuk-nepuk punggung tangan Harsa di atas perutnya.

Iya sedari semalem mereka tidur dengan posisi seperti itu, Harsa memeluknya erat tak di lepas barang semenitpun. Aih nikmatnya punya suami.

” Hmmm...biarin..” Harsa menjawab sekenanya, setengah bergumam. Bahkan kini ia semakin mengeratkan pelukannya. AC kamar mereka sepertinya terlalu dingin, maka dari itu Harsa butuh pelukan hangat istrinya.

Istri, tidak menyangka mereka sudah melangkah sejauh ini.

Kesal dengan suara ponsel yang terus berdering, Raline akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tidurnya. Namun sial suaminya itu menahannya dalam dekapan. Seolah tak membiarkannya menjauh barang sesentipun. Posesif. Tapi Raline suka sisi posesif Harsa.

” Bentar deh yangg.... Angkat dulu itu ada telpon..”

” Udah biarin, ah kamu mah itu anak-anak dari semalem emang.”

” Siapa tau penting, coba sekali aja angkat biar ga bunyi terus...”

Bukannya menurut saran istrinya Harsa justru semakin menelusupkan wajahnya pada bahu Raline, yang mana piyama tidurnya sedikit melorot memang.

” Ih gelii... Jangan ndusel gini deh kayak kucing aja.”

” Aku kan beruang....”

Raline hanya memutar bola matanya malas, Harsa mode manja sedang kambuh rupanya.

” Angkat dulu itu telponnya sayang.... Berisik banget dari tadi...”

” Ck... Di bilangin itu anak-anak iseng yangg emang sengaja mau gangguin kita aja udahlah biarin. Mending sini mepetan aku lagi, pelukan aja kita.”

Harsa menarik tubuh Raline yang sudah sedikit menjauh. Kembali menempelkan mukanya di tubuh sang istri. Aleman.

” Udah siang ih aku mau bangun, pamali bangun kesiangan. Nanti rejekinya di patok ayam, kalo kamu miskin anak kita mau makan apa hah?”

Raline memang mengomel tapi bukannya takut Harsa justru tersenyum lebar, aih membayangkan ada anak di antara mereka ternyata membahagiakan ya. Jadi tidak sabar.

” Heh! Malah mesam-mesem, bangun pak bangun!”

” Santai yangg anak kita ntar minumnya kan ASI kamu jdi tenang meskipun rejeki di patok ayam.”

Plakk

Raline dengan kesal menggeplak lengan suaminya. Memang kadang mengobrol dengan Harsa itu memancing emosi.

” Yaudah kalo kamu gamau bangun, minggir! Aku mau bangun sendiri terus mandi.”

Raline menyingkap selimut tebalnya, merapikan bajunya yang sempat sedikit melorot. Lalu bergegas menuju kamar mandi, namun langkahnya terhenti di depan pintu ketika Harsa memanggil.

” Yangg masa aku di tinggal sendiri?”

” Ya terus? Kamu juga gamau bangun tadi.”

” Mandi bareng yok!” Dengan semangat Harsa berucap bahkan sambil mengedipkan mata menggoda istrinya.

“GAK ADA!!”

Setelahnya pintu kamar mandi di tutup begitu keras oleh Raline, membuat Harsa terbahak sendirian di atas ranjangnya. Aigo lucu sekali istrinya, masih aja malu kalau di goda.

Harsa lalu mengambil ponselnya, mematikan daya. Lalu meletakkan asal ponsel tersebut di bawah ranjang. Masalah selesai. Para pengganggu nakal itu tidak akan lagi bisa menganggu tidurnya kali.

Sungguh rasanya Harsa lelah, semalam tidak cukup tidur. Badannya remuk, terlalu banyak aktivitas di hari sebelumnya, bahkan sampai begitu larut malam.

Eh dengan kurang ajarnya teman-teman nya itu justru mengganggu waktu istirahatnya.

Mengganggu malam pertamanya.