Ran;

Seperti rutinitas sebelum memulai agenda latihan mereka practice room akan dipenuhi teriakan dari ketujuhnya– ah, ralat! Sekarang hanya enam orang, Renjun belum menampakkan batang hidungnya. Haechan berlarian keliling ruangan dengan membawa sepatu milik si bungsu, siap melemparnya ke ujung lain yang tengah dinanti oleh Jeno. Sementara Mark lee, sedang memperdebatakan ide untuk tambahan koreografi mereka bersama Chenle dan seorang pelatih. Kalau Jaemin? asik menikmati americanonya dan menikmati bagaimana Jisung dibuat berlarian oleh dua kakaknya yang lain.

Renjun datang sepuluh menit kemudian, membawa satu set minuman dan makanan sesuai kesukaan masing-masing teman-temannya. “Duduk semua, makan dulu!” Tentu saja Chenle dan Jeno langsung berlari ke arahnya, berbeda dengan Haechan yang masih seru menggoda Jisung.

“Dari mana? Lama amat telatnya” tanya Mark lee begitu duduk disamping si China.

“Makan bareng Somi dulu tadi, terus beli ini semua” Haechan menghentikan aksinya begitu mendengar satu nama tersebut “WEH?! Ngapain lu ketemu cewek gue?” Ia lalu ikut duduk dilingkaran, memepet Renjun dengan gaya sok intimidasinya itu.

Yang ditanya tidak menjawab, justru asik mengunyah pizza dengan toping mozarella diatasnya. Sampai Haechan harus menghentikan tangan itu untuk berhenti menyuap, “Heh! Lo! Ngapain ketemu cewek gue?”

“Ck!” Decakan sebal itu Renjun keluarkan begitu botol colanya ikut disabotase Haechan, “Baru sempet ngasih kado, kemarin-kemarin kan dia sibuk. Jadi tadi ketemu gue ngasih kado aja, kagak bakal gue rebut cewek lo! Puas tuan Lee Haechan?” Renjun menekankan kalimat akhirnya.

Tapi rupanya sang gemini menyadari sesuatu, “Mampus! Gue lupa!” ia merutuki diri dengan menjambak rambut lalu berteriak histeris membuat seisi ruangan mendadak menatap mereka, membuat Mark harus meminta maaf pada semua staff.

“Hooh, kata Somi tadi punya pacar rasa jomblo” tak menggubris histeria temannya Renjun justru menambahi beban Haechan.

“Mending pacaran sama gue ajalah kak somi” celutkan asal bunyi dari mulut Jisung membuat lehernya menjadi korban cengkraman Haechan, “ampun bang ampun!”

“Kok bisa ada orang lupa ultah pacarnya,” Jeno akhirnya berkomentar setelah menghabiskan semangkok ramyeon nya.

“Kagak lupa ya anying! Gue udah beli kadonya cuma–“

“Cuma gak tau sekarang ditaruh dimana, soalnya gue ga sempet beres-beres abis flight kemarin, gitukan?” Jaemin menyelas Haechan yang hendak beralasan.

“Betul, terima kasih juru bicaraku.”

“Arrghh! Gimana ini? Gue kayaknya bakal dikuliti kalo sampek Somi tau kadonya ilang, eh gak ilang cuma belum ketemu aja.”

Dengan santai Chenle memberi jawaban yang sebenarnya tidak Haechan inginkan, “Beli baru aja, simple” solusi itu tidak dijawab, hanya Haechan tatap dengan malas.

“Yaudah lo telpon Somi dulu gih, dia mau menghubungi lo gak tega liat jadwal lo yang kerja 24/7 itu mumpung masih lusa flight selanjutnya.” Usulan renjun akhirnya ia setujui, Haechan hafal sekali perempuan nya tidak akan menghubungi duluan ketika jadwal mereka padat merayap, Somi selalu enggan mengganggu waktu sibuknya meski perasaan rindu sebesar Hindia selatan.

“Bentar ponsel gue mana ya?” Haechan bertanya dengan tangan yang sibuk merogoh semua sakunya, “nih” Jeno mengulurkan ponsel berwarna putih yang ada di depan nya, “bukan yang itu yang satunya” lalu gantian Jisung yang kini menyodorkan ponsel lain yang tadi ia gunakan untuk memutar lagu, “ini bang”

“Satunya lagi, itu buat kerjaan.” Ucapan Haechan membuat semua teman-temannya menghela napas, banyak sekali Handpohone gemini satu itu.

“Handphone lo berapa sih gemini?” Jeno kini melemparnya dengan bekas kaleng soda. Haechan masih sibuk mencari keberadaan ponsel kesayangannya, “Di saku jaket udah dicari?” Pertanyaan yang dilontarkan Jaemin sekaligus memberikan jawaban yang ia cari, benar saja ponselnya untuk urusan pribadi itu ia taruh di saku jaket yang ia lempar saja ke sofa tadi.

“Dia punya Handpohone banyak buat apasih?”

“Palingan buat caper ke anak gadis orang”

“Kok mau Somi sama begajulan begitu, sampek ultah aja lupa” jari Haechan diletakkan di depan mulut Renjun yang berkomentar sedari tadi, “ssst gue mau telpon ayang!”

Mark tertawa mendengar kelakaran adik-adiknya, “kok bisa orang lupa ultah pacarnya,” ia menggelengkan kepala tak masuk akal sampai pertanyaan Jeno ikut serta membuatnya panik “Btw bang, kemarin teh Yeri lo kado apa?”

“Hah?”

Mari lupakan Mark yang juga lupa ultah sang kekasih itu, kembali pada Haechan yang tengah menggerutu sebal lantaran Somi tak kunjung menjawab panggilan nya. Sampai suara sang manager mengintrupsi mereka semua untuk segera bersiap melaksanakan latihan, Haechan mengetikkan beberapa pesan, dan mengirimkan voice note, “lu jangan tidur dulu pulang latian nanti gue mampir, gue delivery order makanan kesana, awas lu gak ada di apart” pesan yang daripada berisikan kalimat romantis justru berisi ancaman, entahlah suka-suka Haechan saja bagaimana ia menjalani hubungan nya dengan Somi.

Lima jam berlalu, kini Haechan tengah merasakan dinginnya lantai ruang latihan dengan punggungnya yang tak terbalut apa-apa, jisung disampingnya berdebat dengan Chenle tentang antariksa dan alien. Sementara Jaemin dan Mark sibuk memesan makanan, mereka kelelahan dan sedang butuh untuk mengisi energi.

Sampai tiba-tiba Haechan bangkit dari posisi tidurnya dan mengusulkan sebuah permainan sambil menunggu makanan mereka tiba, “Yang kalah minum!”

“Oke deal!” Ide itu langsung disetujui begitu saja, melupan sesuatu yang harusnya ia lakukan.

Entah bagaimana permainan itu berubah menjadi ajang tes siapa yang paling tinggi kadar toleransi alkhoholnya, berakhir dengan Haechan yang kepalanya berada dilantai dengan wajahnya yang mulai memerah.

Ponsel Haechan berdering, Mark menjadi satu-satunya member yang masih memiliki kesadaran penuh memeriksanya, “Chan! Chan! Telpon dari Somi! Chan!” seperti biasa Mark dengan segala kepanikan nya.

Haechan dengan setengah kesadaran nya meminta Renjun menampar pipinya kanan kiri sebelum mengangkat telpon dari sang pacar, “oy yang kenapa?”

“Lo latian sampek jam berapa? Jadi kesini kagak sih?” Haechan menepuk dahinya sendiri, sial ia lupa lagi.

“Hooh iyaaa ini selesai cintaku, wait bentar ya jangan ditinggal tidur!” Haechan tergopoh mengemasi barang-barangnya sampai tak sengaja tersandung kaki Jeno, “ADUH!”

Dari seberang telpon Somi menghela napas, “yaudah hati-hati gak usah buru-buru, pake taksi aja kalo kecapekan, atau bisa besok aja ketemunya kalo hari ini ca–“

“Enggak! Sekarang aja ketemunya, kangen ayang, mau di puk-puk ayang” Haechan merajuk dengan suara yang dibuat seimut mungkin, membuat teman-temannya mual.

Dan disinilah Haechan, sedang menunggu pintu apartemen dibuka oleh sang pemilik dari dalam, dengan keadaan yang sepertinya sudah diambang kesadarannya, “yaaang!”

Haechan menjatuhkan kepalanya di pelukan Somi begitu pintu terbuka, menelusup mencari aroma favoritnya, “hggg kangen pacarkuu banget”

Tepukan di punggungnya mau tak mau membuat ia terpaksa melepas pelukan, “ish! Lo mabok ya! ah elah!”

“Hehehehehe, kiss ayaang” Haechan memajukan tubuhnya, hendak meraih pinggang Somi tapi perempuan itu menghindar, tangannya mendorong dada bidang yang biasa ia jadikan sandaran kala sedang menonton film bersama itu “ih gak mauuu! Lo mabok!”

Setelah drama kejar-kejaran untuk sebuah ciuman itu berhenti, Haechan duduk bersila memakan makanan yang ia pesan sendiri tadi, Somi menjulurkan sekaleng minuman penyegar yang telah ia bukakan, “lo masih lahap gitu padahal baru makan?”

“Hooh laper yang laper”

“Bukannya abis makan sebelum kesini?” Haechan memicing mendengar pertanyaan kekasihnya itu, “Kok tau gue abis makan?”

Somi melanjutkan menguyah makanannya sembari menjawab dengan enteng, “Renjun kasih tau”

Tiba-tiba saja Haechan menggebrak meja, menuding somi dengan dua sumpitnya dengan memicingkan mata “Lo! Ada hubungan apa sama Renjun?”

“Aishh! Kaget bodoh!”

“Lo selingkuh ya sama Renjun?”

“Heh? Selingkuh kok sama Renjun, mending Jeno lah”

“Oh! Oh! Oh! Kamu ada niat selingkuh sama Jeno ya? Udah gak sayang Haechan lagi ya? Aku kurang apaaa Somiiiii?” Dan mulai lagi dengan drama yang Haechan ciptakan sendiri.

Karena kesal Somi menyumpal mulut Haechan yang hendak terus mengoceh itu dengan makanan, “Selingkah selingkuh makan tuh selingkuh”

Haechan menatap Somi malas, pura-pura merajuk dan enggan menghadap kearahnya.

“Ngapain sih?”

“Haechan ngambek sama Somi!”

“Yaudah gue ambekin balik!”

“Yaaaaaang!”

“Ih! bujuk dong kalo pacarnya ngambek!”

“Gak! Lo drama banget! Udah cepet abisin makannya!”

“Galak kayak Renjun!” Somu tidak menggubris, biar saja Haechan bergelut dengan ocehan nya sendiri.

“Jangan-jangan kamu emang beneran sama Renjun ya, makanya galaknya sama?”

“Gue gebuk ya lo lee haechan!” Somi mengangkat piringnya sendiri, seolah akan segera melayangkan benda itu kearah sang pacar “ampun ampun ampun hehehe i love you so much”

Setelah menghela napas berkali-kali Somi akhirnya mengatakan alasan mengapa ia kerap kali menghubungi Renjun, ia hanya bertanya apa yany sedang kekasihnya lakukan, sepadat apa kesibukannya, selelah apa rutinitasnya, karena Haechan dan kesibukannya akan melupakan segalanya termasuk mengirimkan kabar.

Somi punya kesibukan yang luar biasa, sebulan bisa 2 kali ke luar negeri, sedang Haechan bisa sampai 3 atau 4 kali. Mereka jarang punya waktu luang bersam, Haechan di Korea, Somi pergi ke luar negeri, begitu Somi pulang Haechan ke luar negeri. Bahkan pernah mereka tidak bertemu sampai 2 bulan lebih, karena jadwal yang tidak pernah selaras itu.

Maka di waktu luangnya Somi seringkali mencari tau aktivitas Haechan lewat teman-teman nya, bukan tidak bertanya langsung pada Haechan. Hanya saja pemuda itu akan langsung menuju ke tempatnya begitu ia kabari kalau sedang rindu, meski sepadat apa jadwalnya. Somi lebih suka bertanya kepada teman-temannya, daripada menggangu Haechan dengan bertanya langsung padanya. Setidaknya ia tau, kalau kekasihnya tetap baik-baik saja meski tidak berkabar.

“Yaaang? Kamu bisa hubungi aku kapan ajaloh”

“Hmmm tau emang bisa, tapi gue gak mau ganggu”

“Gak ke ganggu tuh, aku seneng kalo kamu ngechat dan bilang kangen!”

“Iya tapi abis itu lo langsung kemari bolos latian lagi, terus kena marah manager lagi?”

“Alah cuma omelan kecil, daripada kamu nahan kangen kan?”

Somi menggenggam tangan Haechan, “aku gak papa Hyuck, aku ngertiin kesibukanmu, yang penting kamu sehat ga lupa istirahat, dan gak maksain kapasitas diri kamu. Jangan sempet-sempetin nyamperin aku kalo emang gak ada waktu dan capek, kalo lupa ngasih kabar jangan nyalahin diri sendiri juga kerjaanmu kan banyak. Aku bisa kok nyari tau kabarmu lewat mana aja, oke?”

“Gak oke!” Haechan menggelengkan kepalanya dengan gemas, “yaaang?”

“Kamu pacaran sama aku, jadi komunikasi juga sama aku. Jangan cuma mikirin gimana sibuk dan capeknya aku aja, kamu bebas gangguin aku kapan aja. Kalo kangen cepet bilang, biar aku curi waktu buat kita pacaran. Oke cantik?”

Somi mengangguk paham, lalu dengan sukarela masuk kedalam dekapan hangat Haechan, “Sayang Haechan banyaaak banget”

“Sama, aku juga sayang Haechan banyaak banyaaak”

“Ish!” Somi memukul punggung Haechan, selalu saja seperti itu mematahkan momen romantis dengan ucapannya yang asal-asalan.

Haechan mengelusi rambut Somi, sampai gadis itu menyadari sesuatu, “Eh kamu belum cuci tangan ya?”

“Belum, cuma dijilat aja”

“LEE HAECHAN! GUE BARU KERAMAS TADI SIANG!” Haechan tentu saja sudah berlari sebelum rambutnya jadi bahan amukan Somi.

“Ahahahahaha maaf sayangku”

“SINI GAK LO?!”

Setelah drama kejar-kejaran yang kesekian kali itu, mereka tentu berakhir diranjang. Hal yang harusnya sudah tertebak dari awal, tujuan bertemu mereka adalah untuk mengembalikan energi, saling memuja untuk memuaskan kebutuhan biologis masing-masing.

Kini Somi menatap Haechan yang langsung terlelap begitu mereka menyelsaikan satu putaran permainan, pemuda itu langsung tertidur begitu ia peluk.

“Cih! Orang-orang kok bisa dapat aftercare? Gue ditinggal tidur, itupun masih mending kalo besok pagi tidur disini gak keburu latian” Somi mendumel sendiri, merasa sebal melihat trend yang bersliweran tentang bagaimana para perempuan memamerkan aftercare pasangan mereka, lihatlah Haechan? Tidur dengan tenang, apalah ikut trend, yang penting kekasihnya punya waktu untuk istirahat.

“Selamat istirahat gom gom” satu kecupan Somi hadiahkan di dahi kekasihnya, lalu ia ikut masuk ke dalam selimut, meringsut kedalam pelukan Haechan.

Ya begitulah bagaimana nano-nanonya hubungan Somi dan Haechan, sedikit diluar nalar tapi masih cukup normal untuk seorang Lee Haechan dengan segala titel tingkah ajaibnya.

Shamsi Prihadi, pria 30 tahun yang kini berada di pekarangan rumahnya itu sedang memberikan pupuk kompres pada tanaman miliknya saat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Laki-laki itu melepas yopi besar khas yang digunakan para petani sebelum melangkah mendekat hendak menyambut tamu yang datang tanpa undangan itu.

Langkah sepatu bootsnya berhenti begitu melihat seorang perempuan turun dari mobil yang kini Shamsi tau, adalah mobil travel yang mengantarkan perempuan itu pastinya.

Shamsi tidak melanjutkan langkahnya, tangannya juga terdiam disebelah kanan dan kiri badannya. Ia terdiam meski perempuan di depannya memberikan seutas senyum paling cantiknya. Senyuman yang hampir sepuluh tahun tidak pernah Shamsi lihat lagi.

“Hai” suara lembut itu masih saja terdengar lembut di telinga Shamsi meski sudah sejak lama menghapusnya dari list daftar suara favorit.

Tak mendapatkan respon dari laki-laki di depannya, Almahyra Diana menurunkan kembali tangannya ia kemudian menatap sekitar. Pekarangan rumah yang meski tanpa bertanya Heera tau siapa pemiliknya, sangat Shamsi sekali. Penuh dengan bunga-bunga indah, sayuran, dan beberapa buah yang bisa cepat panen. Pekarangan rumah yang pernah Heera impikan, sepuluh tahun lalu.

Seolah tersadar dari keterkejutan dan lamunannya Shamsi akhirnya bersuara, “Heera?”

Perempuan di depannya terkejut, sebelum akhirnya matanya berbinar seolah suka mendengar bahwa laki-laki ‘nya’ masih mengingat namanya.

“Hehehe iya, aku kira tadi kamu lupa”

“eh? Gak lupa tapi tadi aku agak terkejut aja, maksud aku kok bisa kamu ada disini?” Shamsi merevisi perkataannya, dengan tanya yang lebih baik.

“ah itu dari Kania yang ngasih alamat ini.”

“Kania? Kania Prihadi? Adikku itu?” Heera mengangguk tegas, “Kamu kok kenal Kania?”

“Kamu kenapa gak pernah ngenalkan Kania?”

Shamsi tersenyum dengan pertanyaan itu, masih sama sepertinya dengan Heera sepuluh tahun lalu, dari pada menjawab sebuah tanyanya lebih suka membalik pertanyaan.

“Mungkin belum sempat saja, ayo duduk dulu aku panggilkan Kania kalo begitu.”

Heera duduk di atas ranjang kayu yang sudah di lapisi karpet hangat, begitu Shamsi hendak berbalik arah ia menyampaikan tujuannya datang ke Jepang kali ini “Aku kesini bukan untuk ketemu Kania, tapi ketemu kamu.”

Shamsi menatap perempuan itu lekat, “Banyak hal yang harusnya kita selesaikan dari sepuluh tahun lalu bukan?” Shamsi mengerti maksud Heera bagaimana, ia akhirnya ikut duduk disebelah perempuan itu dengan banyaknya kecamuk yang kini berterbangan di dalam kepalanya.

Obrolan mereka baru saja hendak di mulai begitu seorang gadis kecil keluar dari dalam rumah, “Papaa?”

“Ya sayang?” Heera tentu menoleh terkejut begitu Shamsi menghampiri gadis kecil itu dengan sebutan kasihnya.

Berbeda dengan si kecil yang sepertinya tertarik dengan kehadiran tamu sang ayah, “oh? Ada tamu? Halo tante” dengan ramah ia menjulurkan tangan mungilnya menyapa Heera dan mengajak bersalaman.

Tentu saja Heera akan mengesampingkan rasa penasarannya dan menyambut perkenalan menggemaskan itu, “Halo cantik” si kecil menahan salah tingkahnya begitu di panggil demikian oleh orang asing.

“Namu kamu siapa?”

“Ana”

“Wah cantik sekali namanya, Ana umur berapa?”

“5 tahun” Heera kemudian menatap Shamsi yang begitu lekat menatap gadis kecil itu, Heera tau mungkin saja kesempatan nya sekarang tidak pernah datang lagi.

“Papa, aunty Nia bilang makanannya sudah siap.”

“Ya sayang, bilang aunty Nia dulu ya kalo ada tamunya dari Jakarta oke?”

“Okee, bye tante”

Heera menatap Shamsi seolah meminta penjelasan, “Itu tadi putriku.”

Meski dengan mata yang hampir berkaca-kaca Heera meresponnya dengan baik, “Cantik, cantik sekali mungkin persis ibunya ya?” Shamsi menunduk, mengangguk pelan “Ibunya sudah meninggal saat dia berusia 3 bulan.”

“ah maaf,”

“its okey, bukan salah siapapun atas kepergiannya.”

“aku turut berduka cita”

“Terima kasih Heera”

“Sham, aku punya kesempatan gak?”

“Buat?”

Pertanyaan spontan Almahyra belum terjawab begitu Nia hadir diantara mereka, “Kak Heera! Aku kira masih sejaman lagi sampainya.”

Hamish dan Tere sudah berpacaran lebih dari 6 tahun, sejak sama-sama menyandang status mahasiswa kedokteran. Sayangnya mau selama apa hubungan mereka tetap tak mampu merobohkan benteng yang dibangun tuhan mereka masing-masing.

Jodoh mereka adalah kata ‘pisah’ yang Hamish renungi dengan kegalauan luar biasa. Apalagi dengan undangan yang Tere kirimkan atas namanya, pujaannya itu merancang pesta dengan laki-laki yang 3 bulan lalu baru ia kenalkan dengan keluarga.

Ditengah kesedihannya langkah kaki Hamish membawanya bertemu Miranda Hanum, pegawai BUMN yang ia temui menangis di trotoar jalan.

Dunia memang tidak lebih lebar dari daun kelor bukan? Ketika Miranda ternyata menyandang status pegawai di perusahaan yang dipimpin ayahnya.

Miranda adalah gadis sederhana yang tiba-tiba saja Hamish ingin memiliki hidup bersamanya, sebuah keinginan yang di anggap tuan Zaidan kekonyolan semata.

Ajakan menikah itu dilayangkan begitu saja di depan rumah kos yang Miranda huni dalam perantauannya, tentu ia bukan gadis gila yang akan menganggukkan kepala setuju begitu saja.

Tapi ajakan mencari sang ayah, membuat kaki Miranda melangkah masuk ke mobil Hamish yang akhirnya membawa mereka jauh menuju Salatiga.

Sayangnya ayah yang belum pernah Miranda peluk raganya itu ditemukan tak bernyawa ketika ia datang, membuat keduanya dipaksa ‘adat’ untuk menikah dihadapan jenazah wali nikah Miranda.

Kembali ke ibukota dengan status baru membuat keduanya lupa, ada restu yang belum turun. Hamish menikmati kehidupan barunya sebagai suami, sampai lupa mengabari kedua orang tuanya kini memiliki seorang menantu.

Di mata Zaidan, selain bawahan Miranda sudah ia anggap anaknya sendiri. Ia tau bagaimana kerasnya kehidupan perempuan yang dulu merupakan mahasiswinya itu. Zaidan yang memberikan Miranda modal untuk menghadapi kerasnya hidup ibu kota. Zaidan selalu akan memastikan Miranda mendapatkan kehidupan yang layak, dan menurutnya Hamish belum selayak itu.

Kecewanya luar biasa ketika mengetahui fakta jabatan Miranda bertambah bukan hanya sebagai sekretaris nya tapi sekaligus menantunya. Bagaimana mereka menikah diluar pengetahuan nya?

Kasih ayah tetaplah selebar jagat raya, Hamish adalah putra semata wayangnya dan Miranda adalah seseorang yang ingin dia pastikan punya kehidupan yang lebih layak. Zaidan hanya perlu sedikit ruang untuk segera memaafkan, sebelum memastikan resepsi anak-anaknya di gelar dengan sempurna.

Dalam sebuah pernikahan beberapa menganggap kehadiran anak adalah tolak ukur keberhasilan nya bukan? Miranda selalu ingin menjadi seorang ibu, tapi rupanya Hamish hanya ingin hidup berdua dengannya. Laki-laki itu benci proses bagaimana bayi dilahirkan.

Perempuan yang harusnya ia tatap pertama kali di dunia menghembuskan nafas terakhirnya ketika mengantarnya ke dunia. Perempuan yang kini ia sebut ibu juga mengalami banyak permasalahan dalam kehamilannya, bahkan hampir tak terselamatkan ketika adiknya terlahir beberapa tahun lalu.

Hamish tidak suka perempuan hamil, sedang Miranda ingin dalam rahimnya ada buah cinta mereka.

She fall first, Taylor.

Setiap kali kakinya menginjak bumi Korea Seo Herin akan selalu menemui teman lama yang rasanya lebih cocok disebut kakak angkat karena kedekatan mereka.

Bersama Yerim ia biasanya akan banyak menghabiskan waktu bersama, sekedar wisata kuliner atau mengunjungi beberapa tempat bagus. Selain mengenang masa-masa pelatihan mereka dahulu, keduanya kerap kali saling mencurahkan keluh kesah masing-masing. Yerim dengan dunia idolanya yang tentu melelahkan, dan Herin dengan dunia barunya diluar sana.

Pada sebuah malam di tepian sungai Han sambil menikmati jajanan jalanan khas disana obrolan mereka sampai pada rumor kencan seorang teman, “Minhyung beneran pernah sama temen kelasnya itu gak sih kak?”

Yeri berhenti memakan arum manis merah muda yang sedari tadi berusaha ia habiskan sebelum meleleh, bahunya terangkat singkat entah berarti tidak tau atau tidak mau tau.

“Beberapa hari lalu gue liat rumornya di timeline,” Herin melanjutkan ucapannya.

“Kayaknya udah dibantah agensinya gak sih?” Yeri justru balik melemparkan pertanyaan, yang sebenarnya ia sudah tau jawabannya.

Kini giliran Herin yang mengangkat bahunya, “entah, ya lo gimana yang masih tinggal senegara sama dia?”

“Ya mana gue tau,” kembali yeri melahap arum manisnya yang leleh perlahan termakan udara.

Herin melirik sekilas menatap dengan senyum yang ia tahan, sepertinya menarik untuk membicarakan beberapa perempuan dilingkar pertemanan laki-laki bermarga lee itu.

“Btw kalo sama bestienya yang waktu itu masih sering hangout bareng gak? Jadwal minhyung kan padat banget sekarang,” Yeri melirik sebentar sebelum meraih susu pisang yang baru ia teguk setengah.

“Yang mana?”

“Yang pernah satu music show ituloh, yang lo dulu suka cem—”

“Gak tau!” Herin tak bisa lagi menahan gelak tawanya melihat perubahan ekspresi Yeri “Ahahahahahhahaha!”

“Mark tuh sekarang masih naksir semangka atau beneran kepincut Rookie agensi lo yang lagi banyak di ship itu?” Yeri menatap Herin jengah, ayolah 10 menit obrolan mereka hanya berisi tentang Mark Lee dan perempuan-perempuan nya.

“Lo kenapa sih? Dari tadi bahasnya Mark mulu?”

“Ahahahahahha, this used to be your favorite conversation sis.”

“Ish! Sejak kapan gue suka bahas Mark dan perempuan-perempuan nya?!”

“Oh iya ya? Lebih ke Mark dan how do you admired him kan?”

Yeri tidak membalas ia membiarkan Herin kembali melontarkan kalimat-kalimat yang di inginkan gadis itu, “I hope even though she fall first, but he has to fall harder.”

Yeri mengulum bibirnya kedalam, kakinya ia ayunkan mendengar kalimat harapan Herin yang dalam hati sebenernya juga ia inginkan. Tapi yang keluar dari mulutnya justru ucapan yang berbeda, “Dia terlalu sempurna gak sih? Untuk perempuan yang dianggap dunia penuh segudang masalah seperti ku?”

“Siapa memang yang bilang begitu?”

“Tentu saja akan disayangkan banyak orang, mereka akan mengatakan He deserve better than me.” Herin berdiri dihadapan perempuan Kim itu, menarik napas panjang sebelum melontarkan beberapa kalimat yang kalau bisa ia teriakkan keseluruh dunia bahwa, “tidak ada yang lebih mencintai Mark lee dari Kim Yerim.”

“Herin, aku perempuan dengan banyak rumor memalukan. Dia laki-laki sempurna tanpa jejak bu—”

“Dari mana kau mendapatkan rumor menjijikan itu?” Yeri menundukkan kepalanya.

“Dari seorang penguntit yang kau hancurkan kameranya kan? Penguntit yang berusaha mengikuti Mark dengan ugal-ugalan dan sangat amat mengganggu itu.”

“Rumor jelek tentang mu muncul setelah kejadian itu, kau jadikan dirimu sendiri tameng untuk laki-laki yang mereka puja. Lantas bagaimana bisa mereka berkata kau tidak layak untuknya?”

Herin masih terus berceloteh panjang tentang bagaimana Yerim mengagumi minhyung sejak mereka di sembunyikan di basement agensi sebagai siswa pelatihan.

Monolog Herin terhenti karena dering ponsel dari saku jaket yerim, “dari siapa?” tanyanya.

Yerim menggeleng tidak ingin memberitahu Herin suara siapa di seberang sana, “Dimana?”

“Masih di sungai Han, bersama Herin.”

“Hmmm anak itu masih mengajakmu jalan-jalan tengah malam begini?”

“aku yang mengajaknya.”

“hem, yasudah jangan larut pulangnya bilang Herin berhenti mencaci maki ku.” Yerim terkekeh mendengarnya, berbeda dengan Herin yang melotot tak suka dengan pembicaraan yang ia curi dengar itu.

“YAKK! LEE MINHYUNG!!”

“Apa?”

“Kalau kau buat yeriku sedih lagi, ku pangkas habis alis camarmu itu!”

“Excuse me? Yerimu? She is mine right?”

Herin merebut ponsel yeri, dan mengalihkan panggilan menjadi panggilan video “shi is min shi is min, minimal pacaran dulu!” cibirnya dengan kesal.

“Tanya kakakmu itu kenapa tidak mau jadi pacarku?”

“Lo jelek!”

“Yang penting aku bule.”

“apa hubungan nya?!”

“Yerimie suka bule.” Ucapan Mark membuat yeri tertawa dan Herin berlagak ingin muntah mendengarnya.

“Sudah ya? Aku harus latihan satu koreo lagi, cepat pulang. Kabari kalau sudah sampai rumah nanti.”

“hmm, Vitamin mu jangan lupa.” Mark mengangkat jempolnya sebelum mematikan panggilan videonya.

“Kak, caramu mencintainya itu yang paling luar biasa.” Herin menutup percakapan malam itu dengan epilog yang membuat yeri menampilkan senyum terbaiknya.

Mungkin memang jika dibandingkan dengan semua wanita yang digadang-gadang cocok dengan laki-laki itu yeri masih banyak kurangnya. Tapi ia memenangkan hati Minhyung dengan cara paling luar biasa.

Haechan hanya menatap gelas-gelas koktail di depannya, tidak lagi berniat meminumnya setelah satu tegukan tadi. Pikirannya berkelana kemana-mana, penuh dengan jadwal pekerjaan yang tak kunjung mereda dan penuh dengan seseorang yang mulai ia rindukan.

ah mungkin memang sudah ia rindukan sejak terakhir kali suaranya terdengar di telpon, Somi tidak lagi menghubunginya sejak telponnya sebulan lalu. Haechan juga enggan meluruskan pertengkaran mereka, terlalu lelah dengan kesalahan yang terus diulang itu.

Status memang masih menjalin kasih, tapi keduanya sudah tak lagi berkomunikasi. Saling menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing, Somi dengan puluhan iklan nya dan Haechan dengan puluhan stage shownya.

Malam ini Eric mengajaknya sedikit melupakan kesibukan duniawi dengan menghadiri megahnya gemerlap dunia malam. Ia harap juga mampu sedikit melupakan isi kepalanya yang penuh ingin meledak itu.

Alih-alih menikmati lantai dansa, Haechan justru duduk diam di sofa. Sampai seseorang menghampiri nya, ikut duduk disebelahnya. Tatapannya otomatis mengarah pada perempuan yang tengah mengenakan leather jacket kesayangannya itu, ah rindu sekali rasanya.

Sekuat tenaga Haechan menahan diri untuk tidak memeluk Somi yang baru saja melepas jacket miliknya itu. Jacket yang ia tinggal di apartemen perempuan itu sebelum keberangkatan nya ke Indonesia lebih dari sebulan lalu.

“hai!” Somi menyapa pelan, sedikit merasa awkard dengan keadaan mereka. Apalagi Haechan hanya membalasnya dengan anggukan, dengan tatapan intensnya yang menakutkan.

Mereka saling diam sampai tiba-tiba saja Eric memeluk keduanya dari belakang, “Baikan deh lo berdua, atau kalo udah gak bisa cepatan putus yang ngantri lo berdua sa banyaknya.” Tentu saja ucapan itu membuat keduanya membelalakkan mata seolah tak terima.

“Kesini sama siapa?” Somi spontan menoleh ketika akhirnya Haechan mengeluarkan suaranya, ah rindu sekali rasanya. Sudah sebulan lebih ia hanya mendengarkan suara madu itu lewat platform musik.

“Sendiri” Haechan hanya mengangguk mendengarnya, lalu mengganti posisi duduknya dengan menumpu kedua siku dipahanya dan tangan yang bergenggaman. Membuat Somi akhirnya menggigit bibirnya sendiri.

“Eric bilang tadi kamu kesini, jadi aku kesini sekarang” cicit Somi pelan, bahkan mungkin hanya Haechan yang dapat mendengar suaranya itu di tengah hiruk pikuk musik yang tengah diputar.

Haechan mengangkat sebelah alisnya seperti bertanya, “Hyuk, aku gak bisa gini terus. Let's clear it, now or never!”

Haechan menghela nafasnya, “Kamu maunya gimana?” suaranya begitu lembut membuat Somi ingin menangis lagi mendengarnya.

“Aku minta maaf atas kesalahan yang aku lakuin di Milan waktu itu, maaf selalu nyalahin kamu juga atas —”

“Mi, aku gak suka kamu clubbing sama orang yang gak aku kenal karena aku gak tau dia bisa jaga kamu apa engga. Aku gak bisa pastiin kamu aman atau enggaknya, gimana kalo dia lakuin sesuatu sama kamu? Gak ada yang tau apa yang akan terjadi sama orang yang lagi mabukkan?”

“Sebagai laki-laki normal aku tau kamu itu emas ditumpukan jerami, semua mata keranjang itu lapar natap kamu. Di Korea kamu aman, karena banyak temen-temen ku yang ikut jagain, kalau diluar sana? Aku harus nitipin kamu ke siapa?”

Somi menundukkan kepalanya, “Bahkan seandainya kamu bukan pacarku laki-laki disini sekarang akan berlomba mendaratkan tangan-tangan kotor mereka ke kamu Mi.”

“Maaf ya, aku salah. Aku cuma mikirin kesenengan —”

“Iya, jangan di ulangi!” Haechan meraih tubuh Somi dalam dekapannya. Tidak ingin memperpanjang lagi pertengkaran mereka.

“Aku waktu itu clubbing nya sama —”

“I don't like him, he likes you. Aku cemburu banget jangan pergi sama dia lagi.” Somi tidak membantah lagi, ia semakin menenggelamkan kepalanya di pelukan Haechan yang begitu ia rindukan.

Berakhir dengan Haechan yang justru mengangkat tubuhnya keatas paha untuk dipangku, pinggangnya turut di peluk erat. Bersmaan dengan cecapnya yang di ajak beradu manisnya sisa koktail yang baru mereka teguk.

Ah rasanya lebih baik kembali ke apartemen milik salah satunya, menuntaskan dahaga kerinduan yang sudah tertahan lebih dari sebulan. Haechan butuh amunisi untuk mengisi kembali energinya. Pun Somi yang merindukan kehangatan di balik selimut mereka.

Evelyn menatap heran pada kakaknya yang tiba-tiba muncul di depan pintu rumah mereka, padahal tempo hari perempuan 22 tahun itu mengabari bahwa akan menghabiskan libur chuseoknya bersama sang kekasih.

“Kak? Are you okay? Kenapa?” pertanyaan itu keluar setelah memperhatikan mimik wajah kakaknya tak secerah biasanya, banyak kabut dan awan gelapnya.

Di tanya seperti itu Somi bukannya menjawab justru meneteskan air matanya, menangis tersedu dengan tangan yang menengadah ke arahnya “hiks pin pinjem hape hiks huhuhu”

Evelyn sontak memberikan ponselnya, meski tak mengerti dengan apa yang terjadi pada kakaknya “Lo kenapa kak?”

“Haechan gak angkat telpon gue, dia lagi marah tapi gue gak tau dia marah kenapa” Kalimat yang somi ucapkan terbata, disambut dengan tangisan tersedu khas sekali rengekannya.

“Lo abis ngapain sampek abang marah emang?”

“Gak tauuuu!! Huuuuhuuhuu hiks!”

Evelyn ikut berpikir kira-kira kesalahan apa yang kakaknya perbuat sehingga membuat lelaki juni itu marah dan mendiaminya.

Dering ponselnya menandakan telpon yang baru saja kakaknya lakukan di terima, tanpa melihat Evelyn pun tau kalau yang sedang kakaknya telpon dengan nomor ponselnya adalah kontak bernama ‘Donghyeok oppa’

“Halo kenapa dek?” suara madu khas milik Haechan menyapa indra pendengaran mereka.

“Kamu gak angkat telponku! Tapi angkat telpon orang lain Hyuk!” Somi kembali terisak, diseberang sana Evelyn dapat mendengar helaan nafas berat yang baru Haechan lakukan. Seolah mengerti ia langsung meninggalkan kakaknya, memberikan mereka waktu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi atau memperpanjang pertengkaran. Entahlah Evelyn tidak ingin ikut campur, keduanya sama-sama sudah dewasa.

*

Haechan membenci suara tangisan Somi seperti ini, rasanya tiap kali mendengarnya ia ingin berlari sekencang mungkin menghampiri pacarnya itu, memeluk dengan erat dan memberikan banyak kecupan.

“udah nangisnya!” suaranya tetap datar, tak ingin diubah meski begitu iba.

Suara patah-patah diseberang sana membuatnya memejamkan mata, “kamu diemin aku hyuk, ayo ketemu, jangan marah gak jelas gini”

“aku emang suka marah gak jelas”

“HYUK!”

“Kamu selalu bilang kalau aku marah tanpa alasan, kamu selalu bilang aku posesif banyak ngelarang kamu ngelakuin ini itu, kamu selalu bilang aku terlalu cemburuan, terus dimatamu aku harus gimana mi?”

“Hyukkk...” suara diseberang terdengar melemah tapi masih disertai isakan-isakan kecil.

“Kamu tau aku gak suka kamu clubbing sama orang yang gak aku kenal, tapi kamu tetep ngelakuin itu berkali-kali.”

“Sowry—”

“Emang aku yang salah mi, gak seharusnya aku ngelarang kamu ngelakuin ini itu. Punya hak apa emang aku atas dirimu? Sekarang silahkan lakuin apapun yang kamu sukai aku gak akan komentar lagi. Udah malem, good night.”

Haechan memutus telponnya sepihak, ia tidak ingin meledakkan emosi yang sudah ia tahan berhari-hari. Kepalanya perlu di dinginkan terlebih dahulu, sebelum perempuannya itu nekat nanti menemuinya.

Sesilia tertidur diranjang empuk milik Mahes di apartemen mewahnya. Sampai tengah malam ia menunggu Hesa pulang tapi lelaki itu tak jua menampakkan punggungnya.

Sekitar pukul satu malam Sesila terbangun, ia terganggu dengan seseorang yang menciumi lehernya dari belakang. Dengan setengah terpejam Sila menoleh ke belakang, di dapatinya Hesa yang berusaha meraih tubuhnya. Gerakan yang sedikit grusuh tersebut membuat Sila akhirnya mengumpulkan kesadaran penuh. Aroma alkohol menguar dari tubuh Hesa. Aroma yang baru Sila hirup setelah kurang lebih 6 bulan menemani laki-laki itu.

“Om mabuk?” Sila sedikit mendorong dada bidang yang belakangan dekapan nya ia inginkan untuk selamanya.

“Hmmm?”

“Beberes dulu om,” bukannya beranjak menjauh Hesa justru terpaku menatap Sila. Ia mengunci tatapan mereka, lalu dengan cepat mengecup bibir ranum sila yang belakangan menjadi candunya.

Gadis itu terpaku tak sadar meski tangan Hesa kini menariknya mendekat dengan merapatkan tubuh mereka, “Do I have to sign for your package?”

Sila memundurkan sedikit tubuhnya, agak terkejut dengan nada yang mendadak berubah sensual tersebut, “I'm thisrty”

“Can i?” sebenarnya itu bukan sebuah pertanyaan, karena setelah nya Sila tak lagi memiliki kendali atas tubuhnya. Hesa mengambil alih kuasa dengan gagah melucuti semua benang diatas kulit mulusnya.

Laki-laki itu lihai sekali membuatnya lupa daratan, Sila membuang akalnya entah kemana yang ia tau hanya memejamkan mata begitu Hesa menikmati menu utamanya.

Tubuhnya bahkan dengan lapang menerima sebagian dari Hesa yang diajak mengalun memanjakan miliknya. Cecapnya tak sanggup merangkai kata sedasyat apa ledakan dinawah sana, Sila menggitnya menahan desah manis yang meletup-letup tak lagi kuat dibendung.

Di atasnya Hesa memacu dengan irama, ia ciptakan tempo yang memabukkan diiringi dengan sapuan panas bibirnya diatas kenyal lembut Sila yang baru ia jamah secara utuh.

Sila tak lagi peduli sejalang apa ia, malunya telah terenggut sejak tadi. Ia kali ini hanya ingin menikmati lahar-lahar yang berhasil Hesa gali dengan gagahnya. Getaran itu terasa bersamaan dengan Hesa yang semakin menambah laju kecepatannya. Sila menggigit bahu diatasnya begitu di dalam tubuhnya meledak sesutu yang sedari tadi ia damba. Bersamaan dengan itu kekar Hesa jatuh diatas empuk miliknya, menyesap sebentar sebelum memejamkan mata.

“It's a good Chamomile!”

Begitu keluar dari kamar mandi Sesilia dikejutkan dengan Hesa yang menyodorkan paper bag mini dior ke hadapannya, “apa?”

Sila tentu spontan mengeluarkan isinya, “tempo hari kamu ketiduran saya lihat habis scroll lipstick ini, jadi saya check out kan.” Ucapan Hesa membuat Sila melotot, “aku scroll bukan berarti pingin beli ya!”

“oh kirain saya mau itu.”

“Ya mau!”

“Kok kamu jadi sewot?” Sila spontan memasang wajah berseri dengan senyuman lebar, “Terima kasih ya om ganteng!” tangan lentiknya dengan tidak sopan juga mampir memcubit pipi Hesa sebelum ia beranjak ke depan cermin untuk mencoba lipstik mahal tersebut.

Setelah beberapa saat mengaplikasikan ke bibirnya, ia berbalik badan menatap Hesa yang sedari tadi berada di belakangnya memperhatikan bagaimana ia merapikan lipstik di bibirnya sendiri “Bagus gak?”

“Sini saya cobain” Sila belum sempat merespon, tapi bibirnya lebih dulu di bungkam ranum yang semalam baru ia cicipi itu. Kecupan Hesa memang tidak lebih lama dari semalam, tapi cukup kembali membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari semalam. Kalau saja lengannya tidak di tahan Hesa, ia rasanya ingin merosot ke bawah.

“Rasanya aneh, enakan yang semalam. Saya suka bau strawberrynya.”

Setelah berkata demikian seperti tanpa dosa Hesa menggeser tubuh Sila dari depan cermin, laki-laki kini menatap pantulan dirinya sendiri dengan bibir yang penuh merah akibat lipstik Sila yang menempel di bibirnya.

Dengan menahan kesal Sesilia menghapus kumis palsu yang baru ia gambar beberapa jam lalu di wajah tampan Mahes.

Sejujurnya ia gugup, di tatap begitu sinis — menurut Sesil, oleh Mahes. Padahal sebenarnya laki-laki itu tengah memperhatikan wajah ayunya.

“Dah!” Sesil beranjak menjauhkan jarak mereka begitu selesai dengan pekerjaan nya, tapi rupanya Mahes kembali memangkasnya dengan menarik perempuan yang lebih muda 6 tahun dibawahnya itu.

Tentu tanpa aba Sesil jatuh diatasnya, belum sempat berteriak merealisasikan keterkejutan nya ranumnya justru dibungkam hangat oleh milik sang tuan. Sesilia melotot, ini adalah pertama kali Mahes memberikan sentuhan intim setelah sebulan lebih mereka bekerjasama.

Begitu kecupannya dilepas, dengan gugup Sila membenarkan duduknya. Pura-pura merapikan anak rambutnya adalah gestur untuk menutupi salah tingkahnya.

“Menginap saja.” Tanpa menjawab Sila langsung beranjak meloncat ke arah ranjang, ia segera menutup tubuhnya dengan selimut, demi tuhan selain salah tingkah Sila merasa jantungnya berdegup tidak normal berada di dekat Mahes.

#Side story from sunflower

Setahun pertama pernikahan tak banyak yang membuat Harsa terkejut perihal hal-hal yang belum ia ketahui tentang sang istri, meski banyak hal yang baru ia ketahui bagaimana akhirnya buruk-buruknya wanita yang ia cintai itu terlihat sepertinya bukan sesuatu yang membuatnya kaget. Toh dari awal mengenal Raline, wanitanya itu memang penuh dengan keajaiban dan perilaku di luar nalar. Harsa sudah hafal, sudah maklum dan sudah menerimanya.

Raline mungkin memang tidak termasuk dalam satupun list perempuan yang masuk kriteria idaman bagi Harsa, tapi Raline adalah orang yang mampu Harsa toleransi semua kekurangannya. Dan paling ia syukuri semua kelebihan yang dipunya, kelebihan energi misalnya.

Pada akhirnya setiap dari kita nantinya akan bersama dengan siapa yang mampu kita terima segala aspek baik buruknya, bukan lagi perihal memenuhi kriteria.

Dan Raline adalah satu-satunya orang dengan setumpuk kekurangan yang tetap Harsa mau untuk hidup bersamanya.

Ia suka direpotkan wanita itu, ia suka tiap kali Raline merecoki hidupnya. Ia suka bagaimana Raline berceloteh panjang setiap harinya. Ia suka menyaksikan keajaiban-keajaiban tingkah perempuan itu tiap detiknya. Ya intinya apapun tentang Raline akan selalu Harsa sukai.

Tipikal bucin.

2 tahun pernikahan mereka Harsa masih saja jatuh cinta setiap harinya, bahkan hanya dengan melihat Raline bangun tidur dengan mengucek mata saja Harsa jatuh cinta. Ndlosor terjungkal geblak dengan bagaimana cantiknya Raline di matanya.

Harsa akan selalu menatap Raline sempurna meski banyak yang bilang perempuan itu banyak kurangnya. Bagi Harsa hanya bersama Raline saja sudah cukup untuk hidup, meski menurut banyak orang tak lengkap tanpa hadirnya buah hati.

Untuk apa buah hati? Jika membicarakan nya saja membuat wanitanya bersedih hati.

Harsa akan selalu menghindari pembicaraan itu dimanapun dan kapanpun demi menjaga air mata berharga istrinya agar tidak lagi terjatuh sia-sia.

“Kamu pingin punya anak gak sih?”

“Aku pingin punya kamu selamanya.” Suatu hari percakapan singkat mereka di dalam kamar, yang tentu saja berakhir dengan pelukan Harsa paling hangat.

Harsa tidak pernah mempermasalahkan keputusan Raline untuk menunda kehamilan sampai ia merasa siap. Harsa juga tidak pernah bertanya kapan wanitanya akan merasa siap. Menurutnya asal hidup masih bersama Raline, maka dunia akan baik-baik saja.

Suatu pagi sepulang menunaikan kewajiban pekerjaan dari Australia Harsa bergegas menuju kamarnya, hendak memeluk sang istri tercinta yang sudah hampir 4 hari tidak ia jumpai kecupannya.

Tapi rupanya Harsa harus menahan rindu begitu pujaan hatinya itu menolak ia peluk dengan alasan, “IH KAMU BAU GAK USAH PELUK-PELUK!”

Harsa akui ia memang sedikit berkeringat, dan belum membersihkan diri memang tapi Raline biasanya akan dengan senang hati berlari kepelukannya tak peduli sekebas apa tubuhnya.

Keningnya mengerut dengan tanya begitu selesai mandi tapi Raline justru memarahinya, “SIAPA NYURUH KAMU PAKE SABUN ITU? BAUNYA GAK ENAK BANGET!”

“Hey sayang,” suranya melembut berusaha menaklukkan singa betina yang baru saja ia usik dengan kesalahan yang tak ia sadari apa “aku ada salah ya?”

“AKU GAK SUKA BAU KAMU!” Raline beranjak pergi meninggalkan nya begitu saja, membuat nya kebingungan sendiri dan kembali ke kamar mandi untuk mengulang ritual membersihkan diri.

Seharian Harsa memikirkan keanehan yang sedang terjadi pada istrinya, tak mau di sentuh, tak mau ia dekati bahkan kini tak mau satu meja makan dengan nya. Hal yang membuat Harsa justru takut, apakah Raline sudah tidak mencintainya?

Lamunan Harsa di depan televisi ruanh tengahnya terintrupsi oleh hadirnya sang ipar kesayangan, “ih istri abang aneh banget sumpah!”

“Masa marah-marah karena ayam goreng yang Sabil bawa dari rumah gak kayak ayam goreng bi asih?” Sabil duduk disebelah kakak iparnya, mengadukan kejengkelannya terhadap sang kakak.

“Padahal tadi siang yang telpon mami minta di bawain ayam goreng dari rumah dia, eh malah minta rasa ayam goreng bi asih. Ya kalo gitu mah tinggal minta bi asih sendiri aja.”

Harsa kini menatap sang ipar, “Pas abang pergi kakakmu ada aneh-aneh gak?”

“Ya dia tiap hari juga aneh atuhlah bang”

“iya sih, tapi hari ini aneh banget.” Sabil kini juga ikut berpikir, kembali mengingat apa saja yang dilakukan sang kakak 4 hari terakhir.

“oh sabil inget!” Harsa menoleh siap mendengarkan dengan seksama cerita yamg di bawa iparnya itu, “Kemarin kakak minta Mr. Andy manjat pohon cemara tetangga di depan komplek tau, mana sambil marah-marah.”

“Hah? Ngapain?”

“ya gatau, istri abang kan emang aneh.”

“Terus gimana?”

“Kata mami kayaknya lagi ngisi tapi kakak malah tambah ngomel gak jelas terus ngambek dan pulang”

“Ngisi apa?”

“Ngisi bayi lah, hamil bang.”

Harsa tertegun sejenak sebelum ia menyadari sesuatu, “kakakmu masih KB.”

“aduh padahal Sabil udah seneng kirain mau punya ponakan.”

Sepeninggal adik iparnya Harsa bergegas memasuki kamarnya, dilihatnya Raline yang sedang terkikik menonton drama korea di laptopnya. Perlahan ia hampiri, tapi selangkah lagi di dekat Raline ia justru di lempar sebuah bantal, “KAMU UDAH MANDI BELUM SIH?”

“Ya tuhan, aku udah mandi 4 kali hari ini.”

“Bau nya aku gak kuat.”

“Aku panggil dokter ya?”

“KAMU KIRA AKU SAKIT?”

“Aku gatau kamu kenapa, mungkin indera penciuman kamu lagi sensitif dan perlu pemeriksaan?”

Pertanyaan Harsa justru membuatnya harus tidur diluar kamarnya sendiri malam itu. Dan berakhir dengan seharian penuh Raline tidak menyapanya.

Satu-satunya cara adalah dengan memanggil mama mertuanya, ia tak lagi sanggup menghadapi tingkah Raline yang aneh dari biasanya.

Mami Miya datang dengan beberapa alat tes kehamilan, “Tapi mi Raline masih pake KB kok”

“Eh ya di cek dulu kan siapa tau kebobolan.”

Harsa hanya mengangguk patuh, tak berani mengikuti ibu mertuanya menghampiri Raline di depan televisi yang asyik menonton acara gosip.

Yang terjadi persis seperti dugaan Harsa, istrinya mengomel begitu sang mami memintanya untuk melakukan tes kehamilan. Tapi bagaimanapun Raline akhirnya berhasil Mami Miya paksa untuk melakukannya.

Harsa merasa begitu berdebar menunggu Raline keluar dari kamar mandi, begitu pintu terbuka ia ikut berdiri tak sabar melihat hasil yang akan istrinya bawa.

“Gimana-gimana?” Tanya antusias sang mami, Raline tidak menjawab tapi menjulurkan 4 alat tes yang ia bawa.

Semuanya positif.

Mami miya meloncat gembira lalu memeluk putrinya, persis seperti dugaan nya ia akan segera menimang cucu. Respon yang berbeda dengan Harsa yang kini hanya mampu mematung, ia memegang beberapa tespek itu dengan perasaan yang tak lagi bisa di deskripsikan dengan kata.

Harsa membalikkan tubuhnya membelakangi dua wanita yang kini berpelukan riang itu, dihapusnya bulir yang tak kuasa ia tahan agar tak menetes. Dadanya bergemuruh, memuncakan buncah bahagia yang ingin ia ledakkan dengan tangis biru.

Dua menit kemudian ia baru berani berbalik menatap istrinya, Raline rupannya menunggu respon laki-laki favoritnya itu “aku boleh peluk?” tanya Harsa dengan begitu lembutnya.

Begitu mendapat anggukan dari Raline ia langsung menarik calon ibu dari anak-anaknya itu kedalam pelukan lebarnya. Memeluk begitu erat dengan membisikkan ucapan terimakasih sebanyak yang ia mampu.

Sayangnya pelukan mereka tak bisa bertahan lima menit saja, “kamu bauuuu!”